Kamis, 02 Mei 2013

Catatan Perjalanan Pendakian G.Slamet (19-21 April 2013)

Gunung slamet adalah gunung tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Tertinggi ke dua di pulau Jawa setelah Semeru. Tinggi gunung slamet mencapai 3428 mdpl. Gunung Slamet merupakan salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Gunung ini terletak di kabupaten banyumas, purbalingga, dan tegal.
Dulu sewaktu kecil, saat bersepeda pagi-pagi ke sekolah diwaktu cerah sering saya melihat Gunung Slamet begitu megahnya menjulang tinggi. Jauh lebih tinggi dari deretan pegunungan disekitarnya. Dari rumah saya yang berjarak ratusan kilometer ini saya bisa melihat gunung slamet yang besar dan menjulang. Saya benar-benar kagum dibuatnya.

Semenjak saya menyukai kegiatan pendakian gunung, saya menjadikan Gunung Slamet sebagai gunung yang harus saya daki rimbanya. Di bulan Mei tahun lalu sebetulnya sudah ada ajakan dari beberapa teman, namun karena belum ada kesempatan saya memutuskan untuk menundanya. Di bulan desember tahun lalu sebetulnya saya sudah mulai merencanakannya, namun lagi-lagi urung, kali ini karena cuaca yang tidak memungkinkan untuk mendaki gunung. Pun sama dengan bulan Februari tahun ini.

Akhirnya kesempatan itu datang lagi di akhir bulan april. Saya mendengar bahwa pendakian Gunung Slamet sudah dibuka lagi, karena cuaca sudah mulai mendukung. Akhirnya di awal maret saya mulai merencanakan pendakian gunung Slamet. Pertama-tama saya menentukan tanggal, yaitu tanggal 19-21 April 2013. Kemudian saya mengajak teman-teman yang berkeingian untuk mendaki gunung Slamet. Hingga akhirnya mendekati tanggal pendakian, jumlah anggota pendakian yang terkumpul ada 10 peserta. Yaitu: saya, Ucup, Atut (Perempuan satu-satunya), Arif, Panji, Annas, Bara, Galih, Sirin, dan Yanto.

Seminggu sebelum tanggal yang ditentukan, persiapan-persiapan pendakian dimatangkan, karena, mendaki gunung tanpa persiapan yang matang sama saja dengan bunuh diri. Mulai dari peralatan, logistik, transportasi menuju basecamp, dan merencanakan proses pendakian. Rencananya kami akan melalui jalur pendakian gunung slamet via bambangan. Kebetulan ucup juga sudah dua kali melewati jalur ini. Semua peseta pendakian akan berangkat bersama dari jogja kecuali yanto, karena yanto berangkat dari purbalingga. Seminggu sebelum tanggal yang ditentukan cuaca jogja cukup cerah, mudah-mudahan sama halnya dengan di gunung Slamet.

Akhirnya tanggal yang ditentukan datang juga. Jum'at pagi, 19 April 2013, anggota pendakian berkumpul di kost saya. Kami akan berangkat bersama-sama dari jogja. Masing-masing peserta ternyata membawa tas carier, tas besar khusus pendakian, kecuali atut -karena perempuan sendiri- hanya membawa tas semi carrier. Setelah pembagian tugas membawa logistik kelompok dan tenda dome akhirnya pukul 09.30 kami bersembilan meluncur dari jogja menuju basecamp pendakian gunung slamet di purbalingga menggunakan lima motor.

Gambar 1. Foto di depan kost saya, sebelum meluncur menuju basecapm pendakian
Dari jogja kami harus menempuh sekitar tujuh jam naik sepeda motor untuk mencapai basecamp pendakian di purbalingga. Untuk sampai di purbalingga, kami menempuh jalur utara, namun Kami melewati beberapa jalan alternatif. Dari jogja kami menuju candi borobudur, kemudian lenjut lewat kepil. Jalan kepil ini adalah jalan alternatif yang sangat rusak parah. Namun ini lebih baik dari pada harus memutar lewat temanggung meskipun dengan kondisi jalan yang jauh lebih manusiawi.
Pukul 12.00 kami mampir di kepil terlebih dahulu untuk melaksanakan sholat jum'at. Jalan alternatif kepil benar-benar tidak manusiawi. Jalan naik turun berkelok-kelok diperparah dengan lubang disana sini. Dibeberapa bagian jalan hanya bisa dilalui satu lajur saja. Sehingga beberapa kendaraan harus terpaksa bersabar antri, menunggu kendaraan dari arah berlawanan untuk lewat terlebih dahulu.
Setelah berhasil keluar dari kepil kemudian kami sampai di wonosobo, pertigaan kretek lebih tepatnya. Sebelum pertigaan kretek kami mengambil jalan ke-kiri, jalan alternatif, sehingga kami tidak harus memutar melewati kota wonosobo. Jalan alternatif ini lebih manusiawi dibandingkan jalan kepil. Dibeberapa bagian memang rusak dan terdapat banyak lubang, namun lebih banyak lagi bagian yang bagus.
Keluar dari jalan alternatif ini kami kemudian menuju Banjarnegara. Jalan Wonosobo-banjarnegara tidak terlalu buruk meskipun masih terdapat beberapa bagian yang berlubang. Jalannya lumayan berkelok-kelok. Namun jalan yang sempit ditambah kendaraan yang padat cukup menyulitkan kami. Beberapa kali kami harus berusaha untuk menyalip mobil-mobil besar. Jalanan ini lumayan naik turun, melewati beberapa lembah. Beberapa kali saya dapat menjumpai pemandangan yang cukup elok, bahkan pada sebuah kesempatan saya menjumpai sepasang raptor (burung pemangsa, bisa elang ataupun alap-alap) sedang swaring (terbang memutar) diatas lembah yang lumayan dekat, tidak terlalu tinggi, sehingga saya dapat melihatnya cukup jelas. Namun sayang saya tidak membawa binoculer sehingga sulit untuk saya mengidentifikasi jenis raptor yang saya lihat. Dari banjar negara kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju purbalingga.
Pukul 16.30 akhirnya kami sampai di kota purbalingga. Di kota ini kami mampir sejenak untuk istirahat, makan, juga sholat ashar. Ucup sebagai penunjuk jalan sekaligus warga pribumi purbalingga mengajak kami makan di mie ayam kriuk di kota purbalingga. Sambil mengistirahatkan pantat yang panas karena harus duduk di sepeda motor melewati perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, kami mengisi perut yang sudah mulai keroncongan. Mengisi kembali energi. Karena menurut ucup, dari purbalingga menuju basecamp Bambangan masih sekitar satu jam lagi.

Gambar 2. Mampir sejenak di mie ayam kriuk purbalingga (Saya jadi korban sebagai tukang foto)
Setelah perut kenyang, perjalananpun kembali dilanjutkan menuju basecamp pendakian bambangan. Jalan menuju basecamp sudah mulai menanjak, beberapa kali bahkan harus melewati tanjakan yang cukup curam. Sampai-sampai sepeda motor yang saya tumpangi bersama arif harus berjuang ekstra keras untuk dapat naik. Seperti kebanyakan daerah pegunungan, dengan jalan yang naik turun dan berkelok-kelok, pemandangan yang saya dapat juga cukup keren. Kami harus melewati beberapa perkampungan, hutan pinus, dan yang lebih eksotis lagi adalah perkebunan stoberi. Disebelah kiri jalan hutan pinus, dan disebelah kanan jalan kebun stroberi membentang cukup luas dengan latar dinding bukit yang hijau. Benar-benar pemandangan yang sangat eksotis. Udara segar dan dingin sudah mulai bisa saya rasakan. Kehidupan asri di daerah pegunungan. Mendekati basecamp kami disambut oleh gerimis.
Pukul 18.00 akhirnya kami sampai di basecamp pendakian gunung Slamet via Bambangan. Sesampainya dibasecamp kami dikejutkan dengan kondisi basecamp. Basecamp slamet ini jauh berbeda dengan basecamp pendakian gunung pada umumnya. Dari beberapa gunung yang sudah saya kunjungi, basecamp nya sangat sederhana khas rumah-rumah orang desa. Kebanyakan berupa sumah yang dilengkapi dipan raksasa dengan lantai tanah. Menurut pengalaman saya, basecamp merbabu lewat jalur wekas adalah basecamp yang paling bagus dibandingkan basecamp pendakian gunung lainnya yang pernah saya kunjungi seperti merapi, sindoro, sumbing, dan lawu. Namun rekor itu terpatahkan, karena basecamp slamet via bambangan jauh lebih bagus dari basecamp beberapa gunung yang pernah saya kunjungi. Bahkan kalau boleh saya bilang, basecamp ini lebih bagus dari rumah saya sendiri apalagi kost-kostan saya. Basecamp slamet via bambangan adalah rumah permanen dengan lantai keramik yang masih baru dan kokoh serta luas. Belum lagi pelayanan yang diberikan, setibanya kami di basecamp langsung disediakan air panas untuk membuat minuman hangat serta diajak ngobrol oleh penjaga basecamp. Di basecamp ini kami melakukan regristrasi pendakian dengan membayar Rp. 6.000,- dan membayar parkir Rp. 5.000,- @ sepeda motor. Kami akan melakukan pendakian siang, sehingga malam ini kami bermalam dibasecamp. Hujan sudah mulai turun bersama udara dingin yang menusuk tulang.
20 April 2013
Pukul 05.00 kami semua terbangun. Hujan sudah lama reda dan pagi ini langit terlihat cerah. Puncak gunung slamet terlihat megah, jelas terlihat dari basecamp. Udara pagi ini benar-benar dingin, khas daerah pengunungan. Apalagi sepagi ini harus menyentuh air untuk wudhu, sholat subuh. Sambil menggigil saya memngucap syukur sambil mata tak hentinya memandangi keeolkan puncak Slamet yang terlihat gundul.
Pukul 07.15, kami bersiap-siap untuk menapakkan kaki menggapai puncak Slamet yang kami lihat tadi pagi. Sebelumnya kami sudah mengisi energi dengan sarapan di basecamp (9 ribu untuk nasi sayur+Telor+mendoan+teh anget). Tim pendakian juga sudah lengkap, tadi pagi yanto, salah satu anggota pendakian yang berangkat dari purbalingga sudah datang. Akhirnya setelah persiapan sudah siap, kami pun meluncur melangkahkan kaki. Dan sebelum itu saya meneriakan kode etik pegiat alam, sebuah kode etik yang akhir-akhir ini sudah mulai dilupakan oleh para pendaki gunung.
1)      Take nothing but picture (tidak mengambil apapun kecuali gambar)
2)      Leave nothing but trace (tidak meninggalkan apapun kecuali jejak)
3)      Kill nothing but time (tidak membunuh apapun kecuali waktu)
4)      Burn nothing but spirit (tidak membakar apapun kecuali semangat)

Gambar 3. Sesaat sebelum pendakian
Untuk mencapai gunung slamet harus melewati delapan pos terlebih dahulu. Dari basecamp menuju pos I adalah lahan pertanian milik penduduk. Naik sedikit dari basecamp kami disambut oleh gapura pendakian gunung slamet via bambangan. Jalur pendakian berada disebelah kiri jalan dari gapura tersebut. Jalanan mulai sedikit menanjak dan sudah merupakan jalan setapak. Jalanan ini melewati lahan-lahan penduduk. Cuaca pagi ini sangat cerah, jalan sedikit saja keringat sudah mulai bercucuran. Terus mengikuti jalan kemudian kami keluar dari lahan penduduk dan mulai memasuki hutan cemara. Hutan cemara ini sangat terbuka, sehingga belum mampu melindungi kami dari terik matahari. Suara burung-burung terdengar ramai di kanan dan kiri jalur pendakian, namun sayang burung-burung tersebut sulit diamatai karena hinggap disemak-semak dan entah di pohon yang mana. Saya juga sempat beberapa raptor swaring jauh di atas hutan.
Pukul 08.40, akhirnya kami mencapai pos I. Pos I ternyata bernama pondok gembirung. Dari basecamp dampai pos I ternyata sudah cukup melelahkan, keringan sudah menemukan jalan keluarnya. Di pos I ini terdapat bangunan yang beratap seng dan dindingnya juga dilingkupi seng untuk menahan angin. Kami sitirahat sebentar di pos I. pos I ini adalah pintu gerbang menuju hutan yang sesungguhnya, hutan yang benar-benar eksotis. Di pos I ini saya juga disuguhi pemandangan yang sangat eksotis, beberapa raptor terlihat swaring sangat dekat dengan pos I. bahkan salah satu raptor swaring tepat di atas kepala saya, bahkan saya sampai histeris sendiri. Tebakan saya raptor yang swaring di atas kepala saya adalah elang hitam, dilihat dari ukuran, waarna badan dan paruh, juga bentuk sayapnya. Saya juga disuguhi oleh atraksi keberanian burung srigunting yang mengusir raptor tadi. Sungguh burung kecil yang berani.



Gambar 4. Pos I, Pondok Gembirung
Pukul 08.45, Puas beristirahat kami melanjutkan perjalanan memasuki hutan gunung Slamet. Hutan gungun Slamet berbeda dengan kebanyakan hutan di gunung-gunung di Jawa Tengah dan DIY. Kebanyakan hutan di merapi, merbabu, sindoro, sumbing, mauun lawu hanya berupa hutan homogen yang biasanya terdiri dari pohon cemara gunung dan tidak terlalu lebat. Hutan gunung slamet adalah hutan heterogen dengan pohon yang sangat besar-besar, belum lagi dengan semak belukar. Hutan ini sangat melindungi kami dari terik matahari, teduh. Hutan yang sangat lebat ini jelas saja menjadi tempat yang cocok untuk berbagai jenis burung. Suara burung terdengar ramai di kanan dan kiri jalur pendakian. Namun sayang saya sama sekali tak dapat menemukan burung-burung tersebut. Hanya ocehan mereka yang setia menemani pendakian kami. Jalur pendakian dari pos satu ini benar-benar sempit, berbeda dengan gunung-gunung lain.
Pukul 09.50, akhirnya sampai juga di pos II. Pos II bernama pondok walang. Di pos ini tidak terdapat bangunan seperti di pos I, tapi merupakan lahan luas untuk kamping. Saat kami tiba disini juga terdapat kamping milik pendaki dari jakarta. Di pso ini kami hanya istirahat sebentar, kemudian pukul 10.00 kembali melanjutkan perjalanan.



Gambar 5. Pos II, Pondok Walang
Dari pos II hutan yang kami lalui semakin lebat saja. Burung-burung masih terdengar ramai, namu sudah tidak saya jumpai lagi raptor yang swaring. Mungkin karena jarak pandang tertutup oleh pohon-pohon besar. Mulai dari pos II ini tim juga terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berjalan cepat di depan, terdiri dari bara, annas, galih, sirin, dan yanto. Sementara itu saya bergabung dengan kelompok dua yang berjalan santai di belakang, terdiri dari saya, ucup, atut, panji, dan arif. Jalur pendakian memang sempit dan menanjak, cukup menguras energi. Namun, saya rasa tidak ada percabangan, hanya ada satu jalur pendakian, walaupun susah.
Pukul 11.15, akhirnya kami -kel dua- sampai di pos III. Pos III bernama pondok cemara. Saya bertanya-tanya kenapa pos III ini dinamai pondok cemara karena disini sama sekali tak ada pohon cemara. Sama seperti di pos II, di pos III ini juga hanya terdapat lahan untuk camping, bukan bangunan. Namun, lahan campingnya cukup luas, mungkin bisa menampung 3 sampai 4 tenda dome. Di pos III ini juga terdapat sumber mata air, namun untuk mengambil air di pos ini harus turun terlebih dahulu ke bawah. Kami hanya istirahat sebentar di sini, kemudian pukul 111.20 melanjutkan perjalanan.



Gambar 6. Pos III, Pondok Cemara
Kelompok satu dan dua sudah berjarak sangat jauh. Kami kelompok dua sudah tidak bisa mendengar lagi jejak-jejak kelompok satu. Hutan semakin lebat saja. Sebenarnya burung-burung masih terdengar cukup ramai di kanan dan kiri jalur pendakian namun karena konsetrasi yang sudah menurun dan badan yang semakin lelah, saya sudah tidak begitu mempedulikannya. Beberapa anggota kelompok dua sudah terlihat begitu kepayahan, karena jalan semakin menanjak saja, apalagi dengan jalan setapak yang sempit. Bahkan beberapa kali saya harus merayap karena menghindari semak ataupun pohon tumbang. Menurut cerita ucup, dari pos III ini terdapat terowongan cinta, namun entah yang mana terowongan cinta itu. Karena terlalu banyak terowongan dengan semak belukar yang kami lewati.
Pukul 12.15, kami sampai di pos IV, Pondok Samarantu. Samarantu berasal dari kata samar dan hantu yang artinya hantu samar-samar. Menurut cerita-cerita pos IV ini adalah titik angker dari jalur pendakian gunung Slamtet. Tidak terdapat bangunan di sini, tapi terdapat lahan yang cukup luas untuk camping, mungkin cukup untuk 2 sampai 3 tenda dome. Namun dengan riwayat cerita pos IV saya kira jarang ada pendaki yang berani camping dan mendirikan dome di pos ini. Kami langsung melanjutkan perjalanan.

Gambar 7. Atut berpose di pos IV, Samarantu
Perjalanan dari pos IV ini sudah mulai terbuka. Pohon-pohon besar sudah terlihat jarang, namun masih menyisakan semak belukar disana-sini juga pohon-pohon kecil. Cuaca masih cukup cerah namun kabut sesekali bergerak mengalangi jalan, tapi hawa dingin yang dibawanya cukup menyegarkan badan yang mulai kepayahan. Jalanan masih sangat menanjak sementara perut kian keroncongan saja, rasanya energi dari nasi rames di basecamp tadi sudah terkuras habis.
Pukul 12.45 akhirnya kami sampai juga di pos V, pondok mata air. Sesuai namanya di pos ini terdapat sumber mata air yang terletak agak turun kebawak, ke arah barat. Saya turun untuk mengambil air wudhu sekaligus mengisi persediaan air. Airnya sangat jernih, saat saya menyentuh air tersebut rasanya seperti sedang menyentuh air kulkas. Sangat dingin. Bahkan dinginnya sampai menusuk-nusuk tulang. Bahkan ketika saya mencoba naik lagi ke pos V, kaki saya sampai kram karena begitu dinginnya air tersebut. Di pos V terdapat bangunan -lebih kecil dari pos 1-. Kelompok satu dan dua bergabung kembali di pos V ini. Di pos V terdapat banyak sekali sampah yang menumpuk. Rasanya kode etik pegiat alam hanya sebatas slogan semata. Setelah menghabiskan beberapa makanan kecil serta sholat Dzuhur yang dijamak sekalian dengan Ashar kami kembali melanjutkan perjalanan. Pukul 14.00 kami kembali melanjutkan perjalanan.

Gambar 8. Pos V, pondok mata air
Dari pos V ini kelompok dibagi menjadi dua kembali. Namun di kelompok dua tinggal menyisakan saya, ucup, dan atut. Panji dan arif akhirnya harus ikut di kelompok satu karena di tas carrier mereka terdapat perlengkapan membuat dome. Sebetulnya saya sedikit kasihan dengan panji, karena sepertinya fisiknya sudah sangat lemah, namun harus mengikuti kelompok satu yang bertenaga kuda dengan langkah yang capat. Sementara itu, kelompok dua berjalan amat santai di belakang. dari pos V sudah mulai meninggalkan hutan. Sudah tidak ada lagi pohon-pohon besar, hanya terdapat semak belukar dan pohon-pohon kecil serta beberapa pohon tumbang, sepertinya pohon-pohon bekas kebakaran. Kabut mulai menemani perjalanan kami. Jalannan masih saja menanjak.

Gambar 9. Jalur pendakian setelah pos V
Pukul 14.15 kami sampai di pos VI, Samyang Jampang. Ternyata jarak dari pos V ke pos VI hanya sebentar saja, hanya 15 menit perjalanan. tidak seperti jarak antar pos lainnya. Di sini hanya terdapat lahan kecil dengan pohon tumbang, mungkin hanya cukup untuk satu buah tenda dome saja.

Gambar 10. Pos VI, Samyang jampang
Istirahat sebentar di pos VI ini kemudian pukul 14.20 kami kembali melanjutkan perjalanan. Jalur pendakian masih naik dengan semak belukar serta pohon-pohon kecil di kanan dan kiri jalur pendakian. Saya sempat melihat sekumpulan burung opior jawa berkicau dan terbang disekitar jalur pendakian. Namun karena kondisi fisik dan konsentrasi yang semakin menurun saya sudah tidak begitu mempedulikannya. Rasanya ingin cepat-cepat sampai di pos VII untuk istirahat apalagi jalanan sangat menanjak dan sempit. Dengan kondisi fisik yang sudah menurun serta kabut yang menemani sepanjang perjalanan dari pos V saya mulai menjadi sedikit romantis, pun sama denga ucup. Kami mulai berpuisi, meracau tak jelas. Beberapa kicauan dari ucup "menjadi satu dengan putih, maka tak ada lagi beda, seperti menghilang di dalam kabut". "saya beritahukan kepadamu kawan, tak akan ada kedamain di puncak gunung, karena kedamaian berada di jejak-jejak ketika mencapainya, ketika kalian berjalan".
Pukul 15.00 akhirnya kami sampai di pos VII, Samyang kendit. Di pos ini terdapat bangunan seperti di pos V, namun dengan kondisi yang sedikit lebih buruk. Terdapat lubang di beberapa bagian atap dan samping. Kami memutuskan untuk membuat tenda dome di pos ini, sebenarnya dome sudah selesai di pasang ketika kelompok dua sampai di pos ini. Satu dome yang bagus di pasang di luar (kapasitas 6) sementara dome yang jelek di pasang di dalam bangunan (kapasitas 4). Saya dan kelompok dua di tambah dengan arif harus lkhlas beada di tenda dome yang jelek, meskipun akhirnya justru tenda dome kamilah yang lebih nyaman dari pada tenda dome bagus yang dipasang di luar.



Gambar 11, pos VII, samyang kendit
Setelah dome selesai di buat kami pun mulai memasak di sini. Saya dan annas bertuga sebagai koki kali ini. Perut-perut yang keroncongan dan fisik yang sudah terkuras sudah meminta jatahnya. Suasana hangat mulai terasa, mengalahkan hawa dingin yang menyelimuti sedari tadi. Suara sendok yang saling beradu, juga tawa dan teriakan canda sambil makan. Memori seperti ini yang selalu saya rindukan dalam mendaki gunung. Sungguh benar-benar hangar bercanda bersama.



Gambar 12. Memasak dan makan-makan di pos VII
Setelah itu kami menikmati lam di pos VII, duduk menunggu senja. Menikmati hawa dingin sambil bercanda bersama. Di pos VII ini sudah berada di atas awan, beberapa kali suara gemuruh terdengar di bawah, petir tentunya. Di pos ini juga sudah terdapat bunga edelweis, namun sayang pada bulan-bulan ini bunga yang menjadi lambang cinta abadi dan hanya tumbuh di puncak gunung tersebut belum mekar. Hari semakin sore dan gelap, udara kian dingin menusuk. Akhirnya hujan sudah mulai turun. Setelah sholat magrib yang kembali dijamak dengan isya, kami memutuskan untuk istirahat. Besok dini hari harus sudah bangun untuk summit atack, mengejar sunrise di puncak Slamet.
21 April 2013
Pukul 02.00 saya dibangunkan oleh ucup. Kemudian semua anggota pendakian lainnya pun mulai dibangunkan. Saatnya untuk persiapan melakukan summit attack. Barang-barang yang tidak perlu dan berat seperti tas carrier dan tenda dome di tinggal di pos VII. Kami hanya membawa logistik siap makan seperti roti dan makanan ringan. Jangan lupa juga untuk membawa air minum, baik itu air mineral maupun air penambah energi. Saran saya, ketika naik gunung jangan lupa untuk membawa coklat dan membuat nutrijel. Semua logistik dimasukan pada satu tas semicarrier dan dua buah botol berisi nutrijel yang saya buat sebelum tidur semalam. Cuaca sangat cerah, hujan sudah lama reda sedari malam tadi. Bimntang bertaburan, di langit dan di bumi. Ya, cuaca yang cerah memungkinkan kita dapat mnikmati keindahan dunia modern yang berhasil menemukan lampu. Susunannya acak, dan tak kalah indahnya dengan bintang alami yang terbentang di langit. Menyinari gelapnya malam.
Pukul 03.00 kami siap untuk melakukan summit attack. Namun sayang panji tidak bisa ikut karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Kemungkinan ia terserang montain sickness, sebuah penyakit di ketinggian gunung. Begitulah yang namanya naik gunung, terkadang kita harus tahu kapan waktunya untuk stop, dan lanjut. Dan saya pikir keputusan panji untuk tidak ikut summit atack sangat bijak.
Udara dini hari yang benar-benar menusuk tulang, gemintang yang bertaburan di langit dan bumi, juga angin malam yang berhembus mesra mengantarkan langkah kami menjejak puncak slamet. Dari pos VII ini kelompok kembali terbagi dua, namun dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Kelompok satu terdiri dari bara, annas, galih, sirin, dan yanto. Sementara itu kelompok dua terdiri dari saya, ucup, atut, dan arif. Total ada sembilan orang dari kelompok kami ini yang berjalan menuju puncak. Sepertinya kami kelompok pertama yang bergerak menuju puncak.
Setelah pos VII sebenarnya masih ada pos VIII, namun di gelap malam saya idak menemukan pos VIII ini. Saya baru menemukan pos VIII ketika turun. Pos VIII bernama samyang ketebon. Dari pos VII ke pos VIII jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya 10 menit perjalanan saja. Vegetasi yang kami hanya terdapat semak dan rumput khas puncak gunung serta beberapa pohon kecil. Beberapa pohon edelweiss tumbuh di kanan dan kiri jalur pendakian, namun lebih banyak lagi yang tumbuh di lembah-lembah gunung. Kondisi jalan juga semakin menanjak saja. Kami terus berjalan dengan napas yang memburu karena oksigen yang kian menipis serta udara dingin yang menusuk tulang. Namun pemandangan langit dan perumahan di bawah benar-benar mengagumkan, cukup menghibur dan menjadi penyemangat.
Pukul 03.20 kami akhirnya sampai di pelawangan. Disini kelompok satu dan dua kembali bergabung. Di pelawangan inilah merupakan batas vegetasi. Biasanya orang menyebutnya sebagai batu merah. Karena mulai dari sini jalur pendakian sangat terjal dan hanya terdiri dari batu-batuan merah yang beberapa diantaranya labil. Untung cuaca saat itu cerah, tak bisa saya bayangkan kalau terjadi badai.
Hari yang masih gelap dan hanya mendapat penerangan dari senter sedikit menyulitkan proses mendaki batu merah ini. Puncak gunung slamet masih belum terlihat. Dari pelawangan ini, kita harus pintar-pintar mencari jalur sendiri. Patokannya adalah kita berjalan diantara jurang, jadi kanan dan kiri kita jurang. Jika terlalu kanan maupun terlalu kiri akan berakibat vatal. Di sebelah kanan di atas pelawangan terdapat in memoriam, mungkin milik pendaki yang meninggal di gunung slamet.
Beberapa kali kabut turut sedikit mengurangi jarak pandang juga membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Suara gemuruh petir juga beberapa kali saya dengar dari sebelah timur. Sekarang kami sudah-benar-benar di atas awan. Beberapa kali batu labil yang terinjak longsor kebawah. Selain harus berhati-hati dan waspada, jarak antar pendaki juga jangan terlalu dekat. Harus bisa menjaga jarak. Saya dan ucup berada di belakang sendiri, menjadi sweeper.
Pukul 04.30, setelah sempat meliat sebuah meteor menggores langit akhirnya kami sampai di puncak gunung slamet. Di tanah tertimggi jawa tengah. Masih terlalu pagi saat kami datang kesini. Mentari sama sekali belum terlihat, bahkan kami masih bisa mencari-cari beberapa konstelasi bintang. Jangan tanya suhu di puncak, sangat dingin kawan. Bahkan kami masih belum berani ke atas puncak. Kami masih menunggu di punggung puncak, berlindung pada bebatuan dari angin yang benar-benar dingin.
Setelah rasa lelah mencapai puncak cukup mereda, kami sholat subuh berjamaah dalam dingin. Sungguh tak ada yang bisa mengalahkan sensasi sholat subuh di puncak gunung. Dengan badan yang bergetar menahan dingin, kami berdiri menghadap Tuhan dari tanah tertinggi. Beberapa kali bahkan saya tak bisa mengucapkan lafal sholat dengan fasih karena sambil bergetar menahan dingin. Kalian harus mencobanya kawan.
Setelah selesai sholat kami duduk berkumpul menunggu mentari terbit di ufuk barat. Masih di punggung puncak, karena rupanya suhu di puncak dengan anginnya masih terlalu ekstrim. Sambil mengigil kedinginan -bahkan beberapa saling berpelukan- kami bercanda dan menunggu semburat merah yang melukis langit.

Gambar 13. Sedang berjuang menahan dingin di puncak slamet
Akhirnya momen yang ditunggu-tunggu pun datang juga. Semburat jingga mulai menggaris langit sebelah timur. Beberapa bukit dan gunung mulai nampak. Dibawah, terlihat lautan membentang luas, indah seperti gumpalan kapas. Dan kami sedang berada di bawahnya. Rumah-rumah terlihat pada lautan awan. Bukit-bukit hijau yang tersamarkan kabut tipis yang membiaskan cahaya mentari pagi benar-benar istimewa. Ucap syukur karena kami berkesempatan menikmati momen yang sungguh luar biasa ini. Maha suci Allah SWT dengan segala ciptaannya ini. Keindahan yang tak kan pernah bisa di rangkum dalam kata, digambarkan dalam kanfas, dan di abadikan oleh kamera. Hanya mata dan ingatan yang sanggup merekamnya, anugrah dari Tuhan yang maha Esa. Di ujung timur, di balik lautan awan, samar-samar saya bisa melihat gunung sindoro, sumbing, merapi, dan merbabu. Indah berlatarkan jingga. Di sisi utara saya bisa melihat gunung ceremai berdiri kokoh. Cuaca benar-benar cerah.









Gambar 14. Suasana menunggu pagi di puncak slamet
Pagi semakit hangat, mentari terlihat semakin tinggi. Baru saja saya matahari yang baru merekah merah sudah terlihat penuh. Saatnya untuk naik kepuncak gunung slamet yang sebenarnya. Udara sudah tak sedingin tadi pagi. Teman-teman yang lain juga sudah mulai ribut berfoto ria. Saya masih tertegun takjub dengan pemandangan di sebelah timur. Lembah dan bukit yang tertutup kabut tipis. Seperti lembah sicuan pada film-film cina, kata ucup. Saya sadar, bahwa saya sedang berada di tanah tertinggi jawa tengah, berada di atas awan. Sungguh pemandangan yang amat mengagumkan. Saya meresapi semua itu dengan seluruh jiwa saya.
Puncak gunung slamet sangat luas. Terdapat kawah ditengahnya. Sebenarnya turun sedikit kita akan menjumpai puncak triangulasi, namun puncak triangulasi terlalu dekat dengan bibir kawah. Letaknya juga lumayan jauh dari tempat saya berdiri sekarang. Udara semakin hangat, menambah romantis suasana dipuncak. Saatnya untuk enikmati semua kedamaian ini hingga tuntas, sambil mengisi perut dengan makanan ringan yang tadi kami bawa. Dengan makanan di tangan, suasana semakin riang.




Gambar 15. Suasana puncak yang riang
Pukul 06.30, setelah puas menikmati suasana puncak gunung slamet kami memutuskan untuk turun. Menuju kembali pos VII, tempat kami meninggalkan panji dan semua barang-barang pendakian. Suasana semakin cerah dan panas. Jika turun dari puncak terlalu siang saya takut kalau-kalau kabut sudah mulai turun dan menghalangi jarak pandang, padahal seperti yang sudah saya katakan, trek dari pelawangan ke puncak begitu curam dan medan berupa batu yang beberapa labil. Akan sangat susah jika kabut turun.
Naik dan turun dari puncak slamet sama susahnya. Seperti saat naik, saat turunpun membutuhkan kehati-hatian dan konsentrasi. Kita harus pintar-pintar memilih jalur. Jangan sampai terperosok ataupun salah jalur. Sebab, di kiri dan kanan adalah jurang, jangan sampai tersasar dan keluar dari jalur.
Saat turun, kami berpapasan dengan banyak sekali pendaki yang baru akan muncak. Rupanya tadi sepi karena kamilah kelompok pertama yang mencapai puncak. Di gunung, semua orang menjadi saudara dan kawan lama. Setiap orang yang bertemu pasti saling menyapa dan bertukar semangat. Sungguh pemandangan yang mengasyikan. Saat saya sudah mencapai pelawangan, masih saya dengar teriakan-teriakan semangat dari kelompok-kelompok yang sedang berjuang menuju puncak. Salah satu hal yang selalu membuat saya rindu naik gunung. Akhirnya pukul 07.30 kami kembali sampai di pos VII.
Setelah packing, pukul 09.00 kami turun dari pos VII. Saya memutuskan untuk memasak (sarapan) di pos V, karena kami sudah kehabisan air bersih. Jarak dari pos VII ke pos V tidak terlalu jauh, apalagi saat turun waktu tempuh bisa lebih cepat dua kali lipat.


Gambar 16. Bersiap-siap turun dari pos VII
Kelompok mulai terbagi dua lagi. Seperti biasa, saya tergabung dalam kelompok dua yang berjalan santai dibelakang. Pukul 09.45 kami sampai kembali di pos V, pos mata air. Kami memutuskan untuk memasak disini. Namun, annas, galih, sirin, dan yanto memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Karena mereka ada urusan, dan tidak ikut kembali ke jogja. Akhirnya hanya tersisa saya, ucup, atut, panji, arif, dan bara di pos V. kami akan masak dan sarapan dulu di pos V sebelum turun ke basecamp.
Persediaan logistik yang tersisa kembali dikeluarkan, bersama dengan alat-alat memasak seperti kompor mini, nasting, dan botol gas kecil. Menu kali ini adalah tumis kacang panjang, tumis labu, sarden, dan mie instan sebagai sumber karbohidrat. Dalam mendaki gunung logistik adalah barang yang sangat penting, terutama untuk menambah energi. Jadi, kalau bisa jangan hanya membawa mie instan.


Gambar 17. Memasak dan makan-makan di pos V, sebelum turun.
Pukul 10. 45, setelah packing dan perut terisi kami bersiap untuk turun ke basecamp. Jangan lupa buat semua sampah kembali dibawa turun. Leave nothing but trace, setidaknya kode etik tersebut kita terapkan mulai dari diri kita sendiri, karena kode etik bukan hanya slogan semata. Butuh sebuah tindakan nyata sebagai perwujudannya. Dari rangkaian pendakian gunung, bagian tersulit adalah turun gunung. Selain karena kondisi fisik dan konsentrasi yang sudah sangat menurun, tidak adanya passion atau tujuan puncak seperti saat naik merupakan faktor yang membuat bagian turun terasa berat. Waktu tempuh turun memang jauh lebih cepat dari pada saat naik, namun rasanya -menurut saya- terasa jauh lebih berat saat turun gunung. Walaupun barang bawaan lebih ringan dari pada saat naik, tapi beban di kaki rasanya jauh lebih berat. Mungkin karena kaki harus menumpu dan mengerem saat turun. Kemampuan kaki dan lutut benar-benar dieksploitasi. Oleh karena itu, buat kalian yang berencana naik gunung, jangan lupa menyisakan separuh energi untuk bagian turun gunung. Jangan semua energi dihabiskan untuk menuju puncak kawan. Beberapa kali kami de kelompok dua harus jatuh dan duduk mengeluh merasakan kaki yang kian lemas dan mati rasa saja. Pukul 15.00 akhirnya saya mencampai basecamp kembali. Rasanya benar-benar lega bisa melihat basecamp lagi.









Gambar 17. Keriangan saat turun ke basecamp
Pukul 17.00, setelah istirahat sejenak akhirnya kami memutuskan untuk langsung pulang kejogja. Keputusan yang sangat berani menurut saya, mengingat kondisi fisik yang sudah sangat menurut dan lelah luar biasa, sebenarnya tidak memungkinkan untuk berkendara jarak jauh. Setelah melewati perjalanan pulang penuh keceriaan, membawa bahagia dari puncak slamet, serta panji dan atut yang sempat jatuh dari motor di banjarnegara, akhirnya pukul 24.00 kami sampai kembali di Jogja. Bersiap untuk kembali menghadapi kenyataan. Tiga hari kemarin, saya sudah cukup mengecharge ulang energi positif di puncak gunung dengan semua kisahnya. Saatnya kembali pada rutinitas nyata di kehidpan nyata. Gunung bukan tempat untuk lari dari masalah, tapi tempat untuk mengumpulkan kembali semangat untuk menghadapi masalah di dunia nyata. Esok, pasti saya akan sangat merindukan momen-momen yang sangat berkesan di gunung slamet. Saya akan sangat merindukan rimbamu, juga kabut tipis di jurang-jurangmu, gunung slamet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar