Gunung slamet adalah gunung
tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Tertinggi ke dua di pulau Jawa setelah
Semeru. Tinggi gunung slamet mencapai 3428 mdpl. Gunung Slamet merupakan salah
satu gunung berapi aktif di Indonesia. Gunung ini terletak di kabupaten
banyumas, purbalingga, dan tegal.
Dulu sewaktu kecil, saat
bersepeda pagi-pagi ke sekolah diwaktu cerah sering saya melihat Gunung Slamet
begitu megahnya menjulang tinggi. Jauh lebih tinggi dari deretan pegunungan
disekitarnya. Dari rumah saya yang berjarak ratusan kilometer ini saya bisa
melihat gunung slamet yang besar dan menjulang. Saya benar-benar kagum
dibuatnya.
Semenjak saya menyukai kegiatan
pendakian gunung, saya menjadikan Gunung Slamet sebagai gunung yang harus saya
daki rimbanya. Di bulan Mei tahun lalu sebetulnya sudah ada ajakan dari
beberapa teman, namun karena belum ada kesempatan saya memutuskan untuk
menundanya. Di bulan desember tahun lalu sebetulnya saya sudah mulai
merencanakannya, namun lagi-lagi urung, kali ini karena cuaca yang tidak
memungkinkan untuk mendaki gunung. Pun sama dengan bulan Februari tahun ini.
Akhirnya kesempatan itu datang
lagi di akhir bulan april. Saya mendengar bahwa pendakian Gunung Slamet sudah
dibuka lagi, karena cuaca sudah mulai mendukung. Akhirnya di awal maret saya
mulai merencanakan pendakian gunung Slamet. Pertama-tama saya menentukan
tanggal, yaitu tanggal 19-21 April 2013. Kemudian saya mengajak teman-teman
yang berkeingian untuk mendaki gunung Slamet. Hingga akhirnya mendekati tanggal
pendakian, jumlah anggota pendakian yang terkumpul ada 10 peserta. Yaitu: saya,
Ucup, Atut (Perempuan satu-satunya), Arif, Panji, Annas, Bara, Galih, Sirin,
dan Yanto.
Seminggu sebelum tanggal yang
ditentukan, persiapan-persiapan pendakian dimatangkan, karena, mendaki gunung
tanpa persiapan yang matang sama saja dengan bunuh diri. Mulai dari peralatan,
logistik, transportasi menuju basecamp, dan merencanakan proses pendakian.
Rencananya kami akan melalui jalur pendakian gunung slamet via bambangan. Kebetulan
ucup juga sudah dua kali melewati jalur ini. Semua peseta pendakian akan
berangkat bersama dari jogja kecuali yanto, karena yanto berangkat dari
purbalingga. Seminggu sebelum tanggal yang ditentukan cuaca jogja cukup cerah,
mudah-mudahan sama halnya dengan di gunung Slamet.
Akhirnya tanggal yang ditentukan
datang juga. Jum'at pagi, 19 April 2013, anggota pendakian berkumpul di kost
saya. Kami akan berangkat bersama-sama dari jogja. Masing-masing peserta
ternyata membawa tas carier, tas besar khusus pendakian, kecuali atut -karena
perempuan sendiri- hanya membawa tas semi carrier. Setelah pembagian tugas
membawa logistik kelompok dan tenda dome akhirnya pukul 09.30 kami bersembilan
meluncur dari jogja menuju basecamp pendakian gunung slamet di purbalingga
menggunakan lima motor.
Gambar 1. Foto di depan kost
saya, sebelum meluncur menuju basecapm pendakian
Dari jogja kami harus menempuh
sekitar tujuh jam naik sepeda motor untuk mencapai basecamp pendakian di
purbalingga. Untuk sampai di purbalingga, kami menempuh jalur utara, namun Kami
melewati beberapa jalan alternatif. Dari jogja kami menuju candi borobudur,
kemudian lenjut lewat kepil. Jalan kepil ini adalah jalan alternatif yang
sangat rusak parah. Namun ini lebih baik dari pada harus memutar lewat
temanggung meskipun dengan kondisi jalan yang jauh lebih manusiawi.
Pukul 12.00 kami mampir di kepil
terlebih dahulu untuk melaksanakan sholat jum'at. Jalan alternatif kepil
benar-benar tidak manusiawi. Jalan naik turun berkelok-kelok diperparah dengan lubang
disana sini. Dibeberapa bagian jalan hanya bisa dilalui satu lajur saja.
Sehingga beberapa kendaraan harus terpaksa bersabar antri, menunggu kendaraan
dari arah berlawanan untuk lewat terlebih dahulu.
Setelah berhasil keluar dari
kepil kemudian kami sampai di wonosobo, pertigaan kretek lebih tepatnya.
Sebelum pertigaan kretek kami mengambil jalan ke-kiri, jalan alternatif,
sehingga kami tidak harus memutar melewati kota wonosobo. Jalan alternatif ini
lebih manusiawi dibandingkan jalan kepil. Dibeberapa bagian memang rusak dan
terdapat banyak lubang, namun lebih banyak lagi bagian yang bagus.
Keluar dari jalan alternatif ini
kami kemudian menuju Banjarnegara. Jalan Wonosobo-banjarnegara tidak terlalu
buruk meskipun masih terdapat beberapa bagian yang berlubang. Jalannya lumayan
berkelok-kelok. Namun jalan yang sempit ditambah kendaraan yang padat cukup
menyulitkan kami. Beberapa kali kami harus berusaha untuk menyalip mobil-mobil
besar. Jalanan ini lumayan naik turun, melewati beberapa lembah. Beberapa kali
saya dapat menjumpai pemandangan yang cukup elok, bahkan pada sebuah kesempatan
saya menjumpai sepasang raptor (burung pemangsa, bisa elang ataupun alap-alap)
sedang swaring (terbang memutar) diatas lembah yang lumayan dekat, tidak
terlalu tinggi, sehingga saya dapat melihatnya cukup jelas. Namun sayang saya
tidak membawa binoculer sehingga sulit untuk saya mengidentifikasi jenis raptor
yang saya lihat. Dari banjar negara kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju
purbalingga.
Pukul 16.30 akhirnya kami sampai
di kota purbalingga. Di kota ini kami mampir sejenak untuk istirahat, makan,
juga sholat ashar. Ucup sebagai penunjuk jalan sekaligus warga pribumi
purbalingga mengajak kami makan di mie ayam kriuk di kota purbalingga. Sambil
mengistirahatkan pantat yang panas karena harus duduk di sepeda motor melewati
perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, kami mengisi perut yang sudah mulai
keroncongan. Mengisi kembali energi. Karena menurut ucup, dari purbalingga
menuju basecamp Bambangan masih sekitar satu jam lagi.
Gambar 2. Mampir sejenak di mie
ayam kriuk purbalingga (Saya jadi korban sebagai tukang foto)
Setelah perut kenyang,
perjalananpun kembali dilanjutkan menuju basecamp pendakian bambangan. Jalan
menuju basecamp sudah mulai menanjak, beberapa kali bahkan harus melewati
tanjakan yang cukup curam. Sampai-sampai sepeda motor yang saya tumpangi
bersama arif harus berjuang ekstra keras untuk dapat naik. Seperti kebanyakan
daerah pegunungan, dengan jalan yang naik turun dan berkelok-kelok, pemandangan
yang saya dapat juga cukup keren. Kami harus melewati beberapa perkampungan,
hutan pinus, dan yang lebih eksotis lagi adalah perkebunan stoberi. Disebelah
kiri jalan hutan pinus, dan disebelah kanan jalan kebun stroberi membentang
cukup luas dengan latar dinding bukit yang hijau. Benar-benar pemandangan yang
sangat eksotis. Udara segar dan dingin sudah mulai bisa saya rasakan. Kehidupan
asri di daerah pegunungan. Mendekati basecamp kami disambut oleh gerimis.
Pukul 18.00 akhirnya kami sampai
di basecamp pendakian gunung Slamet via Bambangan. Sesampainya dibasecamp kami
dikejutkan dengan kondisi basecamp. Basecamp slamet ini jauh berbeda dengan
basecamp pendakian gunung pada umumnya. Dari beberapa gunung yang sudah saya
kunjungi, basecamp nya sangat sederhana khas rumah-rumah orang desa. Kebanyakan
berupa sumah yang dilengkapi dipan raksasa dengan lantai tanah. Menurut
pengalaman saya, basecamp merbabu lewat jalur wekas adalah basecamp yang paling
bagus dibandingkan basecamp pendakian gunung lainnya yang pernah saya kunjungi
seperti merapi, sindoro, sumbing, dan lawu. Namun rekor itu terpatahkan, karena
basecamp slamet via bambangan jauh lebih bagus dari basecamp beberapa gunung
yang pernah saya kunjungi. Bahkan kalau boleh saya bilang, basecamp ini lebih
bagus dari rumah saya sendiri apalagi kost-kostan saya. Basecamp slamet via
bambangan adalah rumah permanen dengan lantai keramik yang masih baru dan kokoh
serta luas. Belum lagi pelayanan yang diberikan, setibanya kami di basecamp
langsung disediakan air panas untuk membuat minuman hangat serta diajak ngobrol
oleh penjaga basecamp. Di basecamp ini kami melakukan regristrasi pendakian
dengan membayar Rp. 6.000,- dan membayar parkir Rp. 5.000,- @ sepeda motor.
Kami akan melakukan pendakian siang, sehingga malam ini kami bermalam
dibasecamp. Hujan sudah mulai turun bersama udara dingin yang menusuk tulang.
20 April 2013
Pukul 05.00 kami semua terbangun.
Hujan sudah lama reda dan pagi ini langit terlihat cerah. Puncak gunung slamet
terlihat megah, jelas terlihat dari basecamp. Udara pagi ini benar-benar
dingin, khas daerah pengunungan. Apalagi sepagi ini harus menyentuh air untuk
wudhu, sholat subuh. Sambil menggigil saya memngucap syukur sambil mata tak
hentinya memandangi keeolkan puncak Slamet yang terlihat gundul.
Pukul 07.15, kami bersiap-siap
untuk menapakkan kaki menggapai puncak Slamet yang kami lihat tadi pagi.
Sebelumnya kami sudah mengisi energi dengan sarapan di basecamp (9 ribu untuk
nasi sayur+Telor+mendoan+teh anget). Tim pendakian juga sudah lengkap, tadi
pagi yanto, salah satu anggota pendakian yang berangkat dari purbalingga sudah
datang. Akhirnya setelah persiapan sudah siap, kami pun meluncur melangkahkan
kaki. Dan sebelum itu saya meneriakan kode etik pegiat alam, sebuah kode etik
yang akhir-akhir ini sudah mulai dilupakan oleh para pendaki gunung.
1) Take
nothing but picture (tidak mengambil apapun kecuali gambar)
2) Leave
nothing but trace (tidak meninggalkan apapun kecuali jejak)
3) Kill
nothing but time (tidak membunuh apapun kecuali waktu)
4) Burn
nothing but spirit (tidak membakar apapun kecuali semangat)
Gambar 3. Sesaat sebelum pendakian
Untuk mencapai gunung slamet harus melewati delapan pos
terlebih dahulu. Dari basecamp menuju pos I adalah lahan pertanian milik
penduduk. Naik sedikit dari basecamp kami disambut oleh gapura pendakian gunung
slamet via bambangan. Jalur pendakian berada disebelah kiri jalan dari gapura
tersebut. Jalanan mulai sedikit menanjak dan sudah merupakan jalan setapak.
Jalanan ini melewati lahan-lahan penduduk. Cuaca pagi ini sangat cerah, jalan
sedikit saja keringat sudah mulai bercucuran. Terus mengikuti jalan kemudian
kami keluar dari lahan penduduk dan mulai memasuki hutan cemara. Hutan cemara
ini sangat terbuka, sehingga belum mampu melindungi kami dari terik matahari.
Suara burung-burung terdengar ramai di kanan dan kiri jalur pendakian, namun
sayang burung-burung tersebut sulit diamatai karena hinggap disemak-semak dan
entah di pohon yang mana. Saya juga sempat beberapa raptor swaring jauh di atas
hutan.
Pukul 08.40, akhirnya kami mencapai pos I. Pos I ternyata
bernama pondok gembirung. Dari basecamp dampai pos I ternyata sudah cukup
melelahkan, keringan sudah menemukan jalan keluarnya. Di pos I ini terdapat
bangunan yang beratap seng dan dindingnya juga dilingkupi seng untuk menahan
angin. Kami sitirahat sebentar di pos I. pos I ini adalah pintu gerbang menuju
hutan yang sesungguhnya, hutan yang benar-benar eksotis. Di pos I ini saya juga
disuguhi pemandangan yang sangat eksotis, beberapa raptor terlihat swaring
sangat dekat dengan pos I. bahkan salah satu raptor swaring tepat di atas
kepala saya, bahkan saya sampai histeris sendiri. Tebakan saya raptor yang
swaring di atas kepala saya adalah elang hitam, dilihat dari ukuran, waarna
badan dan paruh, juga bentuk sayapnya. Saya juga disuguhi oleh atraksi
keberanian burung srigunting yang mengusir raptor tadi. Sungguh burung kecil
yang berani.
Gambar 4. Pos I, Pondok Gembirung
Pukul 08.45, Puas beristirahat kami melanjutkan perjalanan
memasuki hutan gunung Slamet. Hutan gungun Slamet berbeda dengan kebanyakan
hutan di gunung-gunung di Jawa Tengah dan DIY. Kebanyakan hutan di merapi,
merbabu, sindoro, sumbing, mauun lawu hanya berupa hutan homogen yang biasanya
terdiri dari pohon cemara gunung dan tidak terlalu lebat. Hutan gunung slamet
adalah hutan heterogen dengan pohon yang sangat besar-besar, belum lagi dengan
semak belukar. Hutan ini sangat melindungi kami dari terik matahari, teduh.
Hutan yang sangat lebat ini jelas saja menjadi tempat yang cocok untuk berbagai
jenis burung. Suara burung terdengar ramai di kanan dan kiri jalur pendakian.
Namun sayang saya sama sekali tak dapat menemukan burung-burung tersebut. Hanya
ocehan mereka yang setia menemani pendakian kami. Jalur pendakian dari pos satu
ini benar-benar sempit, berbeda dengan gunung-gunung lain.
Pukul 09.50, akhirnya sampai juga di pos II. Pos II bernama
pondok walang. Di pos ini tidak terdapat bangunan seperti di pos I, tapi
merupakan lahan luas untuk kamping. Saat kami tiba disini juga terdapat kamping
milik pendaki dari jakarta. Di pso ini kami hanya istirahat sebentar, kemudian
pukul 10.00 kembali melanjutkan perjalanan.
Gambar 5. Pos II, Pondok Walang
Dari pos II hutan yang kami lalui semakin lebat saja.
Burung-burung masih terdengar ramai, namu sudah tidak saya jumpai lagi raptor
yang swaring. Mungkin karena jarak pandang tertutup oleh pohon-pohon besar.
Mulai dari pos II ini tim juga terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
berjalan cepat di depan, terdiri dari bara, annas, galih, sirin, dan yanto.
Sementara itu saya bergabung dengan kelompok dua yang berjalan santai di
belakang, terdiri dari saya, ucup, atut, panji, dan arif. Jalur pendakian memang
sempit dan menanjak, cukup menguras energi. Namun, saya rasa tidak ada
percabangan, hanya ada satu jalur pendakian, walaupun susah.
Pukul 11.15, akhirnya kami -kel dua- sampai di pos III. Pos
III bernama pondok cemara. Saya bertanya-tanya kenapa pos III ini dinamai
pondok cemara karena disini sama sekali tak ada pohon cemara. Sama seperti di
pos II, di pos III ini juga hanya terdapat lahan untuk camping, bukan bangunan.
Namun, lahan campingnya cukup luas, mungkin bisa menampung 3 sampai 4 tenda
dome. Di pos III ini juga terdapat sumber mata air, namun untuk mengambil air
di pos ini harus turun terlebih dahulu ke bawah. Kami hanya istirahat sebentar
di sini, kemudian pukul 111.20 melanjutkan perjalanan.
Gambar 6. Pos III, Pondok Cemara
Kelompok satu dan dua sudah berjarak sangat jauh. Kami
kelompok dua sudah tidak bisa mendengar lagi jejak-jejak kelompok satu. Hutan
semakin lebat saja. Sebenarnya burung-burung masih terdengar cukup ramai di
kanan dan kiri jalur pendakian namun karena konsetrasi yang sudah menurun dan
badan yang semakin lelah, saya sudah tidak begitu mempedulikannya. Beberapa
anggota kelompok dua sudah terlihat begitu kepayahan, karena jalan semakin
menanjak saja, apalagi dengan jalan setapak yang sempit. Bahkan beberapa kali
saya harus merayap karena menghindari semak ataupun pohon tumbang. Menurut
cerita ucup, dari pos III ini terdapat terowongan cinta, namun entah yang mana
terowongan cinta itu. Karena terlalu banyak terowongan dengan semak belukar
yang kami lewati.
Pukul 12.15, kami sampai di pos IV, Pondok Samarantu.
Samarantu berasal dari kata samar dan hantu yang artinya hantu samar-samar.
Menurut cerita-cerita pos IV ini adalah titik angker dari jalur pendakian
gunung Slamtet. Tidak terdapat bangunan di sini, tapi terdapat lahan yang cukup
luas untuk camping, mungkin cukup untuk 2 sampai 3 tenda dome. Namun dengan
riwayat cerita pos IV saya kira jarang ada pendaki yang berani camping dan
mendirikan dome di pos ini. Kami langsung melanjutkan perjalanan.
Gambar 7. Atut berpose di pos IV, Samarantu
Perjalanan dari pos IV ini sudah mulai terbuka. Pohon-pohon
besar sudah terlihat jarang, namun masih menyisakan semak belukar disana-sini
juga pohon-pohon kecil. Cuaca masih cukup cerah namun kabut sesekali bergerak
mengalangi jalan, tapi hawa dingin yang dibawanya cukup menyegarkan badan yang
mulai kepayahan. Jalanan masih sangat menanjak sementara perut kian keroncongan
saja, rasanya energi dari nasi rames di basecamp tadi sudah terkuras habis.
Pukul 12.45 akhirnya kami sampai juga di pos V, pondok mata
air. Sesuai namanya di pos ini terdapat sumber mata air yang terletak agak
turun kebawak, ke arah barat. Saya turun untuk mengambil air wudhu sekaligus
mengisi persediaan air. Airnya sangat jernih, saat saya menyentuh air tersebut
rasanya seperti sedang menyentuh air kulkas. Sangat dingin. Bahkan dinginnya
sampai menusuk-nusuk tulang. Bahkan ketika saya mencoba naik lagi ke pos V,
kaki saya sampai kram karena begitu dinginnya air tersebut. Di pos V terdapat
bangunan -lebih kecil dari pos 1-. Kelompok satu dan dua bergabung kembali di
pos V ini. Di pos V terdapat banyak sekali sampah yang menumpuk. Rasanya kode
etik pegiat alam hanya sebatas slogan semata. Setelah menghabiskan beberapa
makanan kecil serta sholat Dzuhur yang dijamak sekalian dengan Ashar kami
kembali melanjutkan perjalanan. Pukul 14.00 kami kembali melanjutkan
perjalanan.
Gambar 8. Pos V, pondok mata air
Dari pos V ini kelompok dibagi menjadi dua kembali. Namun
di kelompok dua tinggal menyisakan saya, ucup, dan atut. Panji dan arif
akhirnya harus ikut di kelompok satu karena di tas carrier mereka terdapat
perlengkapan membuat dome. Sebetulnya saya sedikit kasihan dengan panji, karena
sepertinya fisiknya sudah sangat lemah, namun harus mengikuti kelompok satu
yang bertenaga kuda dengan langkah yang capat. Sementara itu, kelompok dua
berjalan amat santai di belakang. dari pos V sudah mulai meninggalkan hutan.
Sudah tidak ada lagi pohon-pohon besar, hanya terdapat semak belukar dan
pohon-pohon kecil serta beberapa pohon tumbang, sepertinya pohon-pohon bekas
kebakaran. Kabut mulai menemani perjalanan kami. Jalannan masih saja menanjak.
Gambar 9. Jalur pendakian setelah pos V
Pukul 14.15 kami sampai di pos VI, Samyang Jampang.
Ternyata jarak dari pos V ke pos VI hanya sebentar saja, hanya 15 menit
perjalanan. tidak seperti jarak antar pos lainnya. Di sini hanya terdapat lahan
kecil dengan pohon tumbang, mungkin hanya cukup untuk satu buah tenda dome
saja.
Gambar 10. Pos VI, Samyang jampang
Istirahat sebentar di pos VI ini kemudian pukul 14.20 kami
kembali melanjutkan perjalanan. Jalur pendakian masih naik dengan semak belukar
serta pohon-pohon kecil di kanan dan kiri jalur pendakian. Saya sempat melihat
sekumpulan burung opior jawa berkicau dan terbang disekitar jalur pendakian.
Namun karena kondisi fisik dan konsentrasi yang semakin menurun saya sudah
tidak begitu mempedulikannya. Rasanya ingin cepat-cepat sampai di pos VII untuk
istirahat apalagi jalanan sangat menanjak dan sempit. Dengan kondisi fisik yang
sudah menurun serta kabut yang menemani sepanjang perjalanan dari pos V saya
mulai menjadi sedikit romantis, pun sama denga ucup. Kami mulai berpuisi,
meracau tak jelas. Beberapa kicauan dari ucup "menjadi satu dengan putih,
maka tak ada lagi beda, seperti menghilang di dalam kabut". "saya
beritahukan kepadamu kawan, tak akan ada kedamain di puncak gunung, karena
kedamaian berada di jejak-jejak ketika mencapainya, ketika kalian
berjalan".
Pukul 15.00 akhirnya kami sampai di pos VII, Samyang
kendit. Di pos ini terdapat bangunan seperti di pos V, namun dengan kondisi
yang sedikit lebih buruk. Terdapat lubang di beberapa bagian atap dan samping.
Kami memutuskan untuk membuat tenda dome di pos ini, sebenarnya dome sudah
selesai di pasang ketika kelompok dua sampai di pos ini. Satu dome yang bagus
di pasang di luar (kapasitas 6) sementara dome yang jelek di pasang di dalam
bangunan (kapasitas 4). Saya dan kelompok dua di tambah dengan arif harus
lkhlas beada di tenda dome yang jelek, meskipun akhirnya justru tenda dome
kamilah yang lebih nyaman dari pada tenda dome bagus yang dipasang di luar.
Gambar 11, pos VII, samyang kendit
Setelah dome selesai di buat kami pun mulai memasak di
sini. Saya dan annas bertuga sebagai koki kali ini. Perut-perut yang
keroncongan dan fisik yang sudah terkuras sudah meminta jatahnya. Suasana
hangat mulai terasa, mengalahkan hawa dingin yang menyelimuti sedari tadi.
Suara sendok yang saling beradu, juga tawa dan teriakan canda sambil makan.
Memori seperti ini yang selalu saya rindukan dalam mendaki gunung. Sungguh
benar-benar hangar bercanda bersama.
Gambar 12. Memasak dan makan-makan di pos VII
Setelah itu kami menikmati lam di pos VII, duduk menunggu
senja. Menikmati hawa dingin sambil bercanda bersama. Di pos VII ini sudah
berada di atas awan, beberapa kali suara gemuruh terdengar di bawah, petir
tentunya. Di pos ini juga sudah terdapat bunga edelweis, namun sayang pada
bulan-bulan ini bunga yang menjadi lambang cinta abadi dan hanya tumbuh di
puncak gunung tersebut belum mekar. Hari semakin sore dan gelap, udara kian
dingin menusuk. Akhirnya hujan sudah mulai turun. Setelah sholat magrib yang
kembali dijamak dengan isya, kami memutuskan untuk istirahat. Besok dini hari
harus sudah bangun untuk summit atack, mengejar sunrise di puncak Slamet.
21 April 2013
Pukul 02.00 saya dibangunkan oleh ucup. Kemudian semua
anggota pendakian lainnya pun mulai dibangunkan. Saatnya untuk persiapan
melakukan summit attack. Barang-barang yang tidak perlu dan berat seperti tas
carrier dan tenda dome di tinggal di pos VII. Kami hanya membawa logistik siap
makan seperti roti dan makanan ringan. Jangan lupa juga untuk membawa air
minum, baik itu air mineral maupun air penambah energi. Saran saya, ketika naik
gunung jangan lupa untuk membawa coklat dan membuat nutrijel. Semua logistik
dimasukan pada satu tas semicarrier dan dua buah botol berisi nutrijel yang
saya buat sebelum tidur semalam. Cuaca sangat cerah, hujan sudah lama reda
sedari malam tadi. Bimntang bertaburan, di langit dan di bumi. Ya, cuaca yang
cerah memungkinkan kita dapat mnikmati keindahan dunia modern yang berhasil
menemukan lampu. Susunannya acak, dan tak kalah indahnya dengan bintang alami
yang terbentang di langit. Menyinari gelapnya malam.
Pukul 03.00 kami siap untuk melakukan summit attack. Namun
sayang panji tidak bisa ikut karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan.
Kemungkinan ia terserang montain sickness, sebuah penyakit di ketinggian
gunung. Begitulah yang namanya naik gunung, terkadang kita harus tahu kapan
waktunya untuk stop, dan lanjut. Dan saya pikir keputusan panji untuk tidak
ikut summit atack sangat bijak.
Udara dini hari yang benar-benar menusuk tulang, gemintang
yang bertaburan di langit dan bumi, juga angin malam yang berhembus mesra
mengantarkan langkah kami menjejak puncak slamet. Dari pos VII ini kelompok
kembali terbagi dua, namun dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Kelompok satu
terdiri dari bara, annas, galih, sirin, dan yanto. Sementara itu kelompok dua
terdiri dari saya, ucup, atut, dan arif. Total ada sembilan orang dari kelompok
kami ini yang berjalan menuju puncak. Sepertinya kami kelompok pertama yang
bergerak menuju puncak.
Setelah pos VII sebenarnya masih ada pos VIII, namun di
gelap malam saya idak menemukan pos VIII ini. Saya baru menemukan pos VIII
ketika turun. Pos VIII bernama samyang ketebon. Dari pos VII ke pos VIII
jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya 10 menit perjalanan saja. Vegetasi
yang kami hanya terdapat semak dan rumput khas puncak gunung serta beberapa
pohon kecil. Beberapa pohon edelweiss tumbuh di kanan dan kiri jalur pendakian,
namun lebih banyak lagi yang tumbuh di lembah-lembah gunung. Kondisi jalan juga
semakin menanjak saja. Kami terus berjalan dengan napas yang memburu karena
oksigen yang kian menipis serta udara dingin yang menusuk tulang. Namun
pemandangan langit dan perumahan di bawah benar-benar mengagumkan, cukup
menghibur dan menjadi penyemangat.
Pukul 03.20 kami akhirnya sampai di pelawangan. Disini
kelompok satu dan dua kembali bergabung. Di pelawangan inilah merupakan batas
vegetasi. Biasanya orang menyebutnya sebagai batu merah. Karena mulai dari sini
jalur pendakian sangat terjal dan hanya terdiri dari batu-batuan merah yang
beberapa diantaranya labil. Untung cuaca saat itu cerah, tak bisa saya bayangkan
kalau terjadi badai.
Hari yang masih gelap dan hanya mendapat penerangan dari
senter sedikit menyulitkan proses mendaki batu merah ini. Puncak gunung slamet
masih belum terlihat. Dari pelawangan ini, kita harus pintar-pintar mencari
jalur sendiri. Patokannya adalah kita berjalan diantara jurang, jadi kanan dan
kiri kita jurang. Jika terlalu kanan maupun terlalu kiri akan berakibat vatal.
Di sebelah kanan di atas pelawangan terdapat in memoriam, mungkin milik pendaki
yang meninggal di gunung slamet.
Beberapa kali kabut turut sedikit mengurangi jarak pandang
juga membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Suara gemuruh petir juga beberapa
kali saya dengar dari sebelah timur. Sekarang kami sudah-benar-benar di atas
awan. Beberapa kali batu labil yang terinjak longsor kebawah. Selain harus
berhati-hati dan waspada, jarak antar pendaki juga jangan terlalu dekat. Harus
bisa menjaga jarak. Saya dan ucup berada di belakang sendiri, menjadi sweeper.
Pukul 04.30, setelah sempat meliat sebuah meteor menggores
langit akhirnya kami sampai di puncak gunung slamet. Di tanah tertimggi jawa
tengah. Masih terlalu pagi saat kami datang kesini. Mentari sama sekali belum
terlihat, bahkan kami masih bisa mencari-cari beberapa konstelasi bintang.
Jangan tanya suhu di puncak, sangat dingin kawan. Bahkan kami masih belum
berani ke atas puncak. Kami masih menunggu di punggung puncak, berlindung pada
bebatuan dari angin yang benar-benar dingin.
Setelah rasa lelah mencapai puncak cukup mereda, kami
sholat subuh berjamaah dalam dingin. Sungguh tak ada yang bisa mengalahkan
sensasi sholat subuh di puncak gunung. Dengan badan yang bergetar menahan
dingin, kami berdiri menghadap Tuhan dari tanah tertinggi. Beberapa kali bahkan
saya tak bisa mengucapkan lafal sholat dengan fasih karena sambil bergetar
menahan dingin. Kalian harus mencobanya kawan.
Setelah selesai sholat kami duduk berkumpul menunggu
mentari terbit di ufuk barat. Masih di punggung puncak, karena rupanya suhu di
puncak dengan anginnya masih terlalu ekstrim. Sambil mengigil kedinginan
-bahkan beberapa saling berpelukan- kami bercanda dan menunggu semburat merah
yang melukis langit.
Gambar 13. Sedang berjuang menahan dingin di puncak slamet
Akhirnya momen yang ditunggu-tunggu pun datang juga.
Semburat jingga mulai menggaris langit sebelah timur. Beberapa bukit dan gunung
mulai nampak. Dibawah, terlihat lautan membentang luas, indah seperti gumpalan
kapas. Dan kami sedang berada di bawahnya. Rumah-rumah terlihat pada lautan
awan. Bukit-bukit hijau yang tersamarkan kabut tipis yang membiaskan cahaya
mentari pagi benar-benar istimewa. Ucap syukur karena kami berkesempatan
menikmati momen yang sungguh luar biasa ini. Maha suci Allah SWT dengan segala
ciptaannya ini. Keindahan yang tak kan pernah bisa di rangkum dalam kata,
digambarkan dalam kanfas, dan di abadikan oleh kamera. Hanya mata dan ingatan
yang sanggup merekamnya, anugrah dari Tuhan yang maha Esa. Di ujung timur, di
balik lautan awan, samar-samar saya bisa melihat gunung sindoro, sumbing,
merapi, dan merbabu. Indah berlatarkan jingga. Di sisi utara saya bisa melihat
gunung ceremai berdiri kokoh. Cuaca benar-benar cerah.
Gambar 14. Suasana menunggu pagi di puncak slamet
Pagi semakit hangat, mentari terlihat semakin tinggi. Baru
saja saya matahari yang baru merekah merah sudah terlihat penuh. Saatnya untuk
naik kepuncak gunung slamet yang sebenarnya. Udara sudah tak sedingin tadi
pagi. Teman-teman yang lain juga sudah mulai ribut berfoto ria. Saya masih
tertegun takjub dengan pemandangan di sebelah timur. Lembah dan bukit yang
tertutup kabut tipis. Seperti lembah sicuan pada film-film cina, kata ucup.
Saya sadar, bahwa saya sedang berada di tanah tertinggi jawa tengah, berada di
atas awan. Sungguh pemandangan yang amat mengagumkan. Saya meresapi semua itu
dengan seluruh jiwa saya.
Puncak gunung slamet sangat luas. Terdapat kawah
ditengahnya. Sebenarnya turun sedikit kita akan menjumpai puncak triangulasi,
namun puncak triangulasi terlalu dekat dengan bibir kawah. Letaknya juga
lumayan jauh dari tempat saya berdiri sekarang. Udara semakin hangat, menambah
romantis suasana dipuncak. Saatnya untuk enikmati semua kedamaian ini hingga
tuntas, sambil mengisi perut dengan makanan ringan yang tadi kami bawa. Dengan
makanan di tangan, suasana semakin riang.
Gambar 15. Suasana puncak yang riang
Pukul 06.30, setelah puas menikmati suasana puncak gunung
slamet kami memutuskan untuk turun. Menuju kembali pos VII, tempat kami
meninggalkan panji dan semua barang-barang pendakian. Suasana semakin cerah dan
panas. Jika turun dari puncak terlalu siang saya takut kalau-kalau kabut sudah
mulai turun dan menghalangi jarak pandang, padahal seperti yang sudah saya
katakan, trek dari pelawangan ke puncak begitu curam dan medan berupa batu yang
beberapa labil. Akan sangat susah jika kabut turun.
Naik dan turun dari puncak slamet sama susahnya. Seperti
saat naik, saat turunpun membutuhkan kehati-hatian dan konsentrasi. Kita harus
pintar-pintar memilih jalur. Jangan sampai terperosok ataupun salah jalur.
Sebab, di kiri dan kanan adalah jurang, jangan sampai tersasar dan keluar dari
jalur.
Saat turun, kami berpapasan dengan banyak sekali pendaki
yang baru akan muncak. Rupanya tadi sepi karena kamilah kelompok pertama yang
mencapai puncak. Di gunung, semua orang menjadi saudara dan kawan lama. Setiap
orang yang bertemu pasti saling menyapa dan bertukar semangat. Sungguh
pemandangan yang mengasyikan. Saat saya sudah mencapai pelawangan, masih saya
dengar teriakan-teriakan semangat dari kelompok-kelompok yang sedang berjuang
menuju puncak. Salah satu hal yang selalu membuat saya rindu naik gunung.
Akhirnya pukul 07.30 kami kembali sampai di pos VII.
Setelah packing, pukul 09.00 kami turun dari pos VII. Saya
memutuskan untuk memasak (sarapan) di pos V, karena kami sudah kehabisan air
bersih. Jarak dari pos VII ke pos V tidak terlalu jauh, apalagi saat turun
waktu tempuh bisa lebih cepat dua kali lipat.
Gambar 16. Bersiap-siap turun dari pos VII
Kelompok mulai terbagi dua lagi. Seperti biasa, saya
tergabung dalam kelompok dua yang berjalan santai dibelakang. Pukul 09.45 kami
sampai kembali di pos V, pos mata air. Kami memutuskan untuk memasak disini.
Namun, annas, galih, sirin, dan yanto memutuskan untuk turun terlebih dahulu.
Karena mereka ada urusan, dan tidak ikut kembali ke jogja. Akhirnya hanya tersisa
saya, ucup, atut, panji, arif, dan bara di pos V. kami akan masak dan sarapan
dulu di pos V sebelum turun ke basecamp.
Persediaan logistik yang tersisa kembali dikeluarkan,
bersama dengan alat-alat memasak seperti kompor mini, nasting, dan botol gas kecil.
Menu kali ini adalah tumis kacang panjang, tumis labu, sarden, dan mie instan
sebagai sumber karbohidrat. Dalam mendaki gunung logistik adalah barang yang
sangat penting, terutama untuk menambah energi. Jadi, kalau bisa jangan hanya
membawa mie instan.
Gambar 17. Memasak dan makan-makan di pos V, sebelum turun.
Pukul 10. 45, setelah packing dan perut terisi kami bersiap
untuk turun ke basecamp. Jangan lupa buat semua sampah kembali dibawa turun.
Leave nothing but trace, setidaknya kode etik tersebut kita terapkan mulai dari
diri kita sendiri, karena kode etik bukan hanya slogan semata. Butuh sebuah
tindakan nyata sebagai perwujudannya. Dari rangkaian pendakian gunung, bagian
tersulit adalah turun gunung. Selain karena kondisi fisik dan konsentrasi yang
sudah sangat menurun, tidak adanya passion atau tujuan puncak seperti saat naik
merupakan faktor yang membuat bagian turun terasa berat. Waktu tempuh turun
memang jauh lebih cepat dari pada saat naik, namun rasanya -menurut saya-
terasa jauh lebih berat saat turun gunung. Walaupun barang bawaan lebih ringan
dari pada saat naik, tapi beban di kaki rasanya jauh lebih berat. Mungkin
karena kaki harus menumpu dan mengerem saat turun. Kemampuan kaki dan lutut
benar-benar dieksploitasi. Oleh karena itu, buat kalian yang berencana naik
gunung, jangan lupa menyisakan separuh energi untuk bagian turun gunung. Jangan
semua energi dihabiskan untuk menuju puncak kawan. Beberapa kali kami de
kelompok dua harus jatuh dan duduk mengeluh merasakan kaki yang kian lemas dan
mati rasa saja. Pukul 15.00 akhirnya saya mencampai basecamp kembali. Rasanya
benar-benar lega bisa melihat basecamp lagi.
Gambar 17. Keriangan saat turun ke basecamp
Pukul 17.00, setelah istirahat sejenak akhirnya kami memutuskan
untuk langsung pulang kejogja. Keputusan yang sangat berani menurut saya,
mengingat kondisi fisik yang sudah sangat menurut dan lelah luar biasa,
sebenarnya tidak memungkinkan untuk berkendara jarak jauh. Setelah melewati
perjalanan pulang penuh keceriaan, membawa bahagia dari puncak slamet, serta
panji dan atut yang sempat jatuh dari motor di banjarnegara, akhirnya pukul
24.00 kami sampai kembali di Jogja. Bersiap untuk kembali menghadapi kenyataan.
Tiga hari kemarin, saya sudah cukup mengecharge ulang energi positif di puncak
gunung dengan semua kisahnya. Saatnya kembali pada rutinitas nyata di kehidpan
nyata. Gunung bukan tempat untuk lari dari masalah, tapi tempat untuk
mengumpulkan kembali semangat untuk menghadapi masalah di dunia nyata. Esok,
pasti saya akan sangat merindukan momen-momen yang sangat berkesan di gunung
slamet. Saya akan sangat merindukan rimbamu, juga kabut tipis di
jurang-jurangmu, gunung slamet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar