Kamis, 16 Mei 2013

Catatan Pendakian Merbabu Via Selo

Pendakian gunung merbabu kali ini benar-benar diluar rencana. Berawal dari teman saya, yuda dan diah, yang melihat foto-foto pendakian saya di gunung Slamet 19-21 April kemarin, kemudian mereka tidak sengaja melihat foto-foto pendakian saya di Gunung Merbabu. Mereka merasa tersepona oleh keindahan jalur igir-igir sapi menuju puncak gunung Merbabu. Ya, saat menuju puncak Merbabu dari basecamp wekas kita akan menjumpai jalur igir-igir sapi. Dinamai begitu mungkin memang karena bentuknya yang seperti punggung sapi. Indah memang, kita diajak melewati sebuah jalur pendakian yang naik dan turun dimana di kanan dan kiri jalur pendakian berupa jurang yang ditumbuhi rumput-rumput hijau. Apabila dilihat dari puncak Merbabu, jalur tersebut berbentuk seperti jalur naga yang berkelak kelok dengan warna hijau di kanan dan kirinya, apalagi saat masih musim-musim penghujan, warna hijaunya benar-benar mempesona. Akhirnya, mereka yang juga pernah saya antar ke merapi, meminta saya untuk mengantar mereka ke merbabu. Rupanya keindahan gunung Merbabu telah membuat mereka penasaran.


Jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian merbabu via Wekas

 

Jalur pendakian merbabu sebenarnya tidak hanya lewat wekas (Magelang), tapi bisa juga lewat Selo dan Ampel (Boyolali). Karena memang gunung Merbabu ini terletak di kabupaten Magelang dan Boyolali. Tapi jalur pendakian yang lebih familiar menjadi pilihan pendakian adalah jalur pendakian via wekas dan via selo. Selama ini saya melakukan pendakian Merbabu via Wekas. Sebenarnya ada positif dan negatifnya melakukan pendakian lewat Wekas dan Selo. Dari informasi yang saya dapat dari pendaki yang saya temui ketika berada di puncak Merbabu ketika saya melakukan pendakian lewat wekas Oktober tahun lalu, sisi positif dari pendakian lewat jalur Wekas adalah adanya sumber mata air di pos II dan treknya yang tidak begitu menanjak. Namun jarak pos II ke puncak masih terlalu jauh, lebih dari separuh perjalanan dari basecamp-puncak. Sedangkan jalur pendakian lewat Selo tidak terdapat sumbermata air seperti lewat wekas, namun pemandangan yang disajikan lewat jalur ini berbeda dengan igir-igir sapi seperti pada jalur pendakian via wekas. Apabila saya lihat dari puncak Merbabu, pemandangan jalur pendakian via Selo berupa bukit-bukit hijau yang berupa padang sabana dengan hiasan berupa pohon-pohon edelweis. Seperti bukit-bukit di film Teletubies. Apalagi dengan gunung Merapi menjulang tinggi disebelah Selatan. Sungguh sangat-sangat eksotis. Saya dibuat sangat penasaran oleh pemandangan tersebut. Oleh karena itu, pada pendakian kali ini saya memutuskan untuk melakukan pendakian Merbabu via Selo.


 


 Bukit-bukit Teletubies di jalur pendakian merbabu via Selo

Jadwal pun disusun. Saya memutuskan untuk melakukan pendakian pada tanggal 11-12 Mei, berjarak tingga minggu dari pendakian saya di gunung Slamet. Sepertinya jarak tersebut cukup untuk memulihkan fisik, juga dompet. Undangan pendakian ini pun mulai saya sebar. Saya mengajak teman-teman pendakian Merapi tahun lalu (Ucup, RB, Wahid, Rahmat, Asro, Bara, Ijul, Ida), karena memang saya sudah terlanjur janji untuk mengantar mereka ke gunung Merbabu. Selain itu saya juga mengajak personil pendakian Slamet kemarin Panji, Atut, Arif, dan Annas. Saya juga mengajak beberapa teman lain seperti Hasan, jalu, dan Tarkim. Dari kesemuanya itu, hanya sembilan saja yang ikut dalam pendakian ini, yaitu Yuda, Diah, Atut, Rahmat, Ida, Asro, Hasan, RB, dan Wahid.

Tantangan untuk saya karena tidak seperti pendakian Merapi tahun lalu dimana masih ada ucup yang menghandel pendakian, kali ini saya benar-benar sendiri menghandel pendakian dengan peserta yang masih amatir. Selain itu, saya juga belum pernah melakukan pendakian lewat jalur selo ini yang terkenal banyak terdapat percabangan. Waktu dua minggu saya kira cukup ntuk melakukan persiapan pendakian ini.

Seminggu sebelum dilakukan pendakian, perisapan-persiapan pendakian dimatangkan. Persiapan dalam melakukan pendakian gunung sangat mutlak hukumnya. Terutama untuk para leader. Persiapan tersebut meliputi tujuan, waktu pendakian, anggaran keuangan, peserta, transportasi, perencanaan di lapangan, juga pelaksanaan di lapangan. Tujuan meliputi mencari referensi tentang gunung yang akan dituju lengkap dengan peta gunung dengan jalur pendakiannya, letak geografis juga adat istiadatnya. Waktu pendakian meliputi waktu dilakukannya pendakian serta estimasi waktu. Anggaran keuangan meliputi range-range pengeluaran untuk pendakian, biasanya dibagi untuk kebutuhan individu dan kelompok. Peserta pendakian harus jelas, ini untuk memudahkan menyusun rencana dilapangan dan transportasi. Perencanaan dilapangan meliputi jadwal yang terperinci dari jam ke jam pada jalur pendakian serta menentukan tempat untuk mendirikan tenda. Peralatan dan logistik yang akan dibawa juga perlu diperhatikan.

Akhirnya waktu pendakian yang telah ditetapkan datang juga. Sabtu, 11 Mei 2013. Sesuai dengan waktu yang disepakati, peserta pendakian berkumpul di kost saya pukul 08.00. Atut adalah yang pertama datang, telat beberapa menit. Namun ia hanya mampir sebentar, kemudian pergi lagi untuk mencari sarapan. Setelahnya RB datang, ia marah-marah karena peserta pendakian yang lainnya juga belum datang, padahal ia merasa sudah telat. Ya, beginilah potret negeri kita, tepat waktu merupakan komoditi yang langka, saya sendiri juga mengakui itu. Setelahnya saya tak begitu ingat siapa lagi yang datang, tapi sebelum jam sembilan semua peserta sudah berkumpul.

Setelah itu saya, Hasan, Asro, dan Wahid mencari penyewaan perlengkapan yang belum ada seperti tenda dome, kompor, beberapa SB, tas carrier, dan matras. Kami mulai menemui kendala. Rupa-rupanya libur panjang akhir pekan ini benar-benar dimanfaatkan oleh banyak orang untuk melakukan kegiatan diluar. Hal tersebut berdampak pada laris manisnya penyewaan alat-alat kegiatan outdor. Saat kami mendatangi penyewaan semesta di utara Peternakan UGM semua tenda dome sudah diboking jauh-jauh hari. Setelah berputar-putar akhirnya kami mendapatkan tenda dome di penyewaan merapi, timur perempatan concad.

Kami menyewa tenda dome kapasitas enam dan kapasitas empat. Kendala belum selesai sampai disitu. Tenda dome yang tersisa benar-benar dalam keadaan yang mengenaskan. Untuk yang kapasitas empat masih lumayan ada rain covernya, meskipun dengan frame yang seadanya. Sedangkan untuk kapasitas enam, tidak terdapat rain cover dengan frame yang benar-benar tidak manusiawi. Ditambah lagi dengan resleting pintu yang sudah rusak. Namun, dari pada tidak sama sekali akhirnya kami menyewa tenda dome tersebut.

Setelah packing dan mempersiapkan semuanya, pukul 10.30 kami bersiap-siap berangkat menuju basecamp pendakian merbabu di Selo, Boyolali. Jadwal ini jauh melenceng dari target, yaitu berangkat pukul 09.00. Cuaca sangat panas.  Untuk sampai ke Selo, kami mengambil jalur lewat magelang, kemudian menuju ke ketep pass. Dari ketep pass berbelok ke kanan, menurun menuju Selo. Menurut informasi salah seorang teman (sebut saja Jalu), jalan Blabak-Ketep Pass sedang dalam perbaikan. Hal tersebut pasti mengakibatkan kemacetan. Oleh karena itu kami mengambil jalan alteratif, lewat Muntilan. Tepatnya lewat jalan di samping klenteng muntilan, terus ke utara mengikuti jalan menuju ke arah Ketep Pass.



 Pemberangkatan menuju basecamp

Kami menggunakan teransportasi sepeda motor untuk menuju basecamp merbabu. Ada lima motor yang digunakan. Saya berboncengan dengan hasan, kemudian rahmat dengan atut, yuda dengan diah, asro dengan ida, dan RB dengan wahid. Semua anggota laki-laki membawa tas carrier, kecuali asro. Jadi total kami membawa enam tas carrier dan empat daypack. Lumayan sulit untuk membawa barang-barang tersebut menggunakan sepeda motor. Terpaksa anggota perempuan harus bersusah payah menggendong tas carrier yang tinggi-tinggi tersebut.

Perjalanan dari kost saya menuju jalan magelang lumayan macet. Lagi-lagi kami mengambil jalur alternatif lewat jalan palagan untuk menghindari kemacetan di perempatan jombor. Memasuki kota Muntilan, kemacetan berderet sangat panjang. Terutama dari arah timur, arah kami. Rupanya sebelah ruas jalan sedang diperbaiki. Sepeda motor kami meliuk mencari celah untuk bisa menerobos kemacetan. Cukup susah dengan barang bawaan kami yang banyak. Menjelang masuk jalan searah kota muntilan kami bisa keluar dari kemacetan. Di jalan samping klenteng Muntilan kami berbelok ke utara. Namun rupanya yuda dan diah masih terjebak di kemacetan dan tertinggal di belakang. Setelah di tunggu sekian lama di persimpangan jalan mereka tak kunjung muncul juga. Rupanya mereka sudah lurus melewati persimpangan. Akhirnya lewat telefon saya menyuruh mereka menuju lampu merah jalan searah dari arah magelang, untuk kemudian berbelok ke utara, berkumpul disana. Setelah cukup rusuh akhirnya kami kembali berkumpul lagi. Perjalanan pun kembali dilanjutkan.

Jalanan menuju ketep pass sudah mulai nenanjak, bahkan di beberapa tempat sangat menanjak. Perlu perjuangan keras, karena kami membawa barang yang tidak sedikit dan ringan. Kemudian dari ketep pass, jalanan menurun menuju selo. Namun, jalanan kembali menanjak lagi. Mendekati kota selo jalanan sudah cukup datar, hanya berkelak-kelok lumayan banyak. Kami berkendara di antara gunung merapi dan merbabu, melewati lembah diantara dua gunung ini. Namun sayang, cuaca tidak begitu cerah, berkabut. Padahal jika cerah, pemandangan akan sangat menajubkan. Hawa dingin sudah mulai menusuk kulit.

Setelah melewati kota kecamatan Selo, mengikuti plang ke arah basecamp kami naik melewati jalan yang curam. Jalannya benar-benar ekstrim dengan kemiringan yang amat sanyat. Belum lagi dengan kabut yang menghalangi jarak pandang. Jalanan lumayan bagus, hanya di beberapa titik perlu perjuangan untuk melewatinya. Dengan kabut yang semakin pekat dan tidak tahu arah, kami pun tersasar beberapa kali. Dan beberapa kali juga harus bertanya kepada penduduk setempat. Mendekati basecamp tiba-tiba hujan turun sangat deras. Kebetulan ada ibu-ibu yang sedang bersih-bersih di salah satu rumah. Kami pun memutuskan untuk berteduh sejenak dirumah tersebut. Si ibu, dengan keramahan khas pedesaan mempersilahkan kami masuk. Tanpa malu lagi kami pun masuk, bersepuluh memenuhi rumah tersebut. Hujan yang tak kunjung reda, akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Si ibu sudah lama masuk ke dalam rumah, sebenarnya kami merasa tidak enak hati menjajah rumah orang, tapi apa mau dikata, hujan turun begitu derasnya. Setelah hujan sudah cukup reda, karena sudah terlalu lama menumpang di rumah ibu tersebut, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menggunakanb mantol.

Jalanan sangat menanjak, apalagi dengan gerimis dan kabut yang sangat tebal. Beberapa kali kami sepeda motor yang kami tumpangi tak cukup tenaga untuk menanjak. Sehingga, teman-teman pembonceng harus berjalan mendaki bukit. Udara sudah sangat dingin, apalagi dengan gerimis yang belum juga reda. Setelah perjuangan tersebut, pukul 14.30 tiba di basecamp. Basecamp pendakian merbabu via selo ada dua. Di bawah dan atas. Tempatnya lumayan luas dan bagus. Walaupun tidak bisa dibandingkan dengan basecamp Slamet via Bambangan yang benar-benar kelas VIP tentunya. Saat kami tiba, basecamp sangat ramai, separuh sudah turun dan separuh lagi akan naik. Rupanya efek liburan akhir pekan ini benar-beanr dimanfaatkan dengan baik untuk mendaki gunung merbabu.

Setelah sholat dan mempersiapkan semuanya, pukul 15.40 kami pun bersiap untuk naik. Cuaca tadi sudah mulai cerah, namun tiba-tiba hujan sangat deras lagi. Setelah sudah lumayan reda kembali kami naik. Begituah cuaca di gunung, benar-benar tidak bisa diprediksi. Sangat fluktuatif, dengan segala kemungkinan. Karena itulah, gunung itu bukan tempat untuk main-main, bukan pula untuk para pendaki karbitan. Butuh persiapan entah itu fisik maupun mental dari setiap pendaki. Gunung bukan tempat rekreasi, jadi jangan pernah meremehkan gunung. Oleh karena itulah pendakian gunung merupakan salah satu olahraga yang berbahaya. Gunung adalah tempat orang-orang gila, begitu kata RB. Mengahbiskan uang, tenaga, waktu, hanya untuk mendaki dan turun lagi. Hanya logika gila yang bisa memahaminya. Tapi, sekali saja kalian berkunjung, mencumbu sensasinya, maka dijamin kalian pasti ketagihan. Begitu pula dengan saya. Karena buat saya, gunung mengajarkan saya banyak hal, yang tidak ada di kota, di kampus, atau dimanapun. Dan saya rasa harga itu pantas untuk mendapatkan pengalaman hebat di gunung.

Sebelum pendakian, seperti biasa saya akan meneriakan kode etik pegiat alam. (1) TIDAK MENGAMBIL APAPUN KECIALI GAMBAR (2) TIDAK MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK (3) TIDAK MEMBUNUH APAPUN KECUALI WAKTU (4) TIDAK MEMBAKAR APAPUN KECUALI SEMANGAT. Memang kami ini hanya pendaki amatir, tapi bukan berarti kami pendaki karbitan yang tak bisa menghargai alam yang hanya mendaki untuk wah-wah an saja mengikuti tren. Sebisa mungkin kami berusaha untuk menghargai dan menjaga alam, dimulai dari diri sendiri.


 

 Gapura gerbang pendakian

Berbekal dengan peta dari basecamp dan catatan informasi yang saya kumpulkan jauh-jauh hari kami pun berangkat naik. Berbeda dari jalur pendakian gunung-gunung lainnya di jawa tengah yang harus melewati lahan penduduk sebelum memasuki hutan, pada jalur pendakian gunung Merbabu via selo tidak terdapat lahan penduduk. Setelah melewati gerbang pendakian pendaki langsung diajak memasuki hutan. Di sekitar gerbang terdapat camping ground. Pada jarak 800 meter dari pintu masuk jalur pendakian akan ditemui sebuah persimpangan. Jalur kiri (tanjakan) merupakan jalur pendakian, sedangkan jalur kanan (jalur menurun) adalah jalur menuju daerah jurang warung yang dapat digunakan sebagai lokasi birdwatching.

Jalur pendakian cukup landai, tidak terlalu terjal. Kita dimanjakan dengan keindahan hutan pinus. Namun, hujan yang baru saja reda cukup menyulitkan medan pendakian. Beberapa kali kami mendapatkan bonus, yaitu jalan yang datar, tidak menanjak. Berdasarkan catatan informasi yang saya kumpulkan, terdapat banyak percabangan untuk menuju pos I. namun, menurut saya, percabangan tersebut tak begitu kentara, karena jalur pendakian sudah benar-benar jelas. Jadi kecil kemungkinan percabangan-percabangan tersebut menyesatkan para pendaki.

Tidak begitu jauh dari basecamp, masuk lebih dalam ke hutan pinus, kami dusuguhi pemandangan eksotis. Yaitu segerombolan burung sepah gunung dengan warnanya yang merah menyala. Segerombolan burung sepah gunung tersebut terbang di antara pohon-pohon pinus di dekat jurang, atau di kiri jalur pendakian. Sepertinya mereka tidak merasa malu dengan kami, atau justru malah memberi semangat untuk kami. Beberapa kali juga kami melihat lutung di beberapa pohon, meskipun letaknya jauh kedalam hutan.
Hutan pinus di jalur pendakian merbabu via selo dengan jalur via wekas sangat berbeda. Pada jalur pendakian selo hutan pinusnya lebih rapat dan bagus. Setelah jauh lebih kedalam hutan pendaki juga akan disuguhi hutan heterogen yang sedikit mirip dengan gunung Slamet meskipun dengan vegetasi yang lebih renggang dan tidak terlalu tua. Namun pemandangannya tak kalah indah dengan pemandangan gunung Slamet. Banyak sekali terdengar kicau burung, beberapa kali saya dapat melihat burung tersebut, meskipun tak bisa untuk mengidentifikasinya.

Saat naik gunung, kunci nya adalah pengaturan nafas dan bagaimana kemampuan tubuh beradaptasi dengan keadaan gunung. Sebenarnya sudah saya katakan sebelumnya, bahwa untuk pendakian ini mereka harus mempersiapkan fisik, setidaknya dengan joging. Dengan joging sebenarnya kita bisa berlatih untuk mengatur nafas dan juga mempersiapkan ketahanan tubuh. Namun sayangnya teman-teman pendakian ini tidak melaksanakan nasehat saya ini. Teman-teman anggota pendakian mulai beradaptasi dengan keadaan gunung, karena memang mereka tak terbiasa naik gunung. Ida dan diah mulai kepayahan, montain sicknes mulai menyerang mereka. Pusing dan mual. Asro yang memang hanya membawa daypack kemudian berinisiatif untuk membawa daypack Ida, sungguh perbuatan yang sangat mulia.

Kelompok pendakian terbagi menjadi dua. Kelompok pertama terdiri atas rahmat, RB, hasan, dan Wahid. Sedangkan kelompok dua terdiri dari saya, asro, yuda, atut, diah, dan ida. Seperti biasa saya bertugas sebagai sweeper. Kelompok satu dan dua tidak berjarak terlalu jauh, seperti yang saya wanti-wanti sebelumnya. Karena memang banyak percabangan -meskipun cukup mudah untuk membedakan mana yang jalur penduduk mana yang jalur pendakian- dan juga masih kurangnya pengalaman naik gunung. Jadi sebisa mungkin kelompok masih menjadi satu.
Pukul 17.00 akhirnya kami sampai di pos I, Dok Walang. Cuaca masih cukup cerah sehingga belum begitu membutuhkan penerangan. Kondisi fisik sudah mulai beradaptasi meskipun beberapa teman masih juga kepayahan. Pos yang berupa sebidang tanah ini berada pada ketinggian ± 2190 m dan masih berada pada zona hutan gunung sehingga pemandangannya masih berupa pohon-pohon yang padat. Pos I umumnya digunakan untuk tempat berisitirahat sejenak. Pelataran Pos I cukup luas, bisa mendirikan 3-4 tenda.



 Pos I, Dok Walang
 





Kami istirahat 10 menit di pos I ini. Kelompok I dan II kembali berkumpul. Dari pos I perjalanan kembali dilanjutkan. Dari pos I ini sudah tidak ada jarak antara kelompok satu dan dua, kami berjalan bersama-sama. Hanya saja urutan jalannya masih tetap sama, karena memang jalur hanya bisa dilewati oleh satu orang saja. Dari pos I jalan sangat landai, banyak sekali jalan bonus yang hanya memutari bukit dengan kanan jalur pendakian adalah jurang.

Setengah jam berjalan, jalan mulai menanjak. Sepanjang perjalanan di isi dengan candaan-candaan untuk meringankan lelah yang mulai terasa. Yuda sekarang membawa daypack diah, karena memang diah sudah terlihat sangat lelah. Ya begitulah kalu membawa pacar naik gunung, harus bertanggung jawab. Suasana sudah mulai gelap namun kami sudah mulai keluar dari hutan.

15 menit kemudian kami sampai di tikungan macan, pukul 17.45. Gerimis mulai datang, karena kabut sedang turun sepertinya. Di tikungan macan ini kami sedikit tertipu. Kondisi fisik yang sudah melemah dan konsentrasi yang menurun sehingga kurang jeli dalam melihat plang. Sebenarnya di plang tersebut tertulis pos II masih 1 KM lagi, namun kami mengira tempat ini adalah pos II. Kami istirahat sebentar di pos II ini. Mempersiapkan jas hujan dan senter. Pukul 1755 kami melanjutkan perjalanan.


 
Tikungan Macan


Dari tikungan macan ini jalur pendakian sudah mulai menanjak curam. Teman-teman pendakian terlihat sudah mulai kewalahan menahan lelah yang mendera. Gerimis sudah lama reda, di gantikan pemandangan bintang yang benar-benar aduhai. Bintang di bumi, dan bintang di langit. Bintang di bumi adalah lampu-lampu kota yang sangat padat dengan warna kekuningannya, seperti butiran emas. Benar-benar indah. Bintang di langit adalah bintang yang sebenarnya, jauh lebih indah tentunya. Ada banyak sekali konstelasi yang saling menumpuk membentuk sungai. Benar-benar indah. Cukup untuk mengisi ulang energi kami.

Suasana semakin gelap saja, jalur pendakian juga semakin curam. Beberapa teman pendakian juga sudah mulai mengeluh. Oksigen yang semakin tipis di ketinggian yang semakin tinggi ini, belum lagi saat malam hari kita para manusia berbut oksigen dengan tumbuhan-tumbuhan. Mereka mengeluhkan pendakian malam ini. Padahal menurut saya, lebih baik pendakian malam dari pada pendakian siang untuk gunung-gunung dengan hutan yang tidak terlalu lebat seperti merbabu ini. Walaupun udara tipis tapi entah kenapa saya lebih merasa lebih hemat energi, selain juga saat pendakian malam kita tidak bisa melihat trek yang bisa membuat utus asa.
Pukul 18.40 kami sampai di area kamping di bawah pos II. Di sini kami istirahat cukup lama untuk mengisi perut, karena memang perut sudah berontak sedari tadi. Suasana sudah sangat gelap, bahkan bertambah satu lagi yang drop fisiknya, rahmat. Berbeda dengan rahmat, atut malah masih sehat-sehat saja. Benar-benar supergirl si Atut ini, padahal sebelum memulai pendakian ini dia baru pulang dari bandun. Pantas saja dia bisa mencapai puncak slamet. Di tempat ini terlihat pemandangan yang sangat menajubkan, bintang terlihat jelas, karena memang sudah keluar dari hutan. Asro juga sempat melihat beberapa kunang-kunang.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Kini Ida dan diah sudah membawa tasnya sendiri. Karena jalan yang semakin curam akan sangat sulit kalau harus sambil membawa daypack di depan. Naik ke atas sedikit ternyata kami menemui plang pos II, Pandean. Rupanya ini pos II yang sebenarnya. Saya benar-benar frustasi karena rupanya perjalanan masih sangat jauh sementara jalan semakin curam, ditambah lagi sebagian besar anggota pendakian sudah sangat lelah. Fisik sudah sangat terkuras. Untung saja cuaca sangat cerah dan cukup untuk menghibur jiwa-jiwa lelah ini.

Dalam perjalanan kami berjumpa dengan keluarga pendaki. Yakni terdiri dari dua orang bapak-bapak, seorang ibu-ibu dan dua orang anak kecil satu anak laki-laki yang masih TK dan satu lagi anak perempuan yang mungkin sudah SD kelas 4 atau 5. Keluarga ini berasal dari jakarta, sungguh keluarga yang benar-benar hebat. Esok lusa saya juga ingi punya keluarga seperti itu. Berkeliling dari sati gunung ke gunung lainnya, dari satu taman nasional ke taman nasional lainnya, ngetrip bersama orang-orang tercinta. Esok lusa kawan, jika kalian atau kenalan kalian mendaki sebuah gunung dan bertemu keluarga pendaki, boleh jadi itu keluarga saya kawan.

 

 Keluarga pendaki dari jakarta
Beberapa kali kami harus beristirahat untuk mengambil nafas. Jalan sangat curam. Tanah yang basah sangat menyulitkan pendakian. Bahkan Wahid sedari basecamp tidak menggunakan alas kaki karena sandalnya (swallow) tidak memungkinkan untuk di pakai di jalur ini. Semua anggota sudah sangat lelah, namun perjalanan harus tetap dilanjutkan, karena memang masih sangat jauh. Jalur sangat terjal dan curam, butuh perjuangan ekstra untuk menaklukannya. di sini kami sudah mulai menemui pohon-pohon edelweis di kanan dan kiri jalur pendakian.

Akhirnya sekitar pukul 20.15 kami sampai di pos III, Batu Tulis. Pos III adalah tempat terbuka yang cukup luas, di tengahnya terdapat sebuah batu yang cukup besar. Pos III berada pada ketinggian 2590 mdpl. Pemandangan di pos ini sebenarnya sangat indah, namun sayang suasana sangat gelap dan lelah yang semakin mendekati puncaknya memaksa kami untuk mengabaikannya. Banyak terdapat Edelweiss yang tumbuh tinggi dan besar sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Pemandangan dari pos III cukup lapang dan dengan cuaca yang cerah kami dapat melihat merapi di seberangnya. Setelah pos III ini jalan terlihat sangat menanjak, namun ditumbuhi banyak sekali pohon edelweis. 200 meter dari pos III dapat dijumpai sebuah nisan memoriam alm. Heri Susanto, seorang pendaki asal Surabaya yang mengalami kecelakan pendakian pada tahun 1997.

Dari pos ini perjalanan kembali dilanjutkan. Saya sekarang tidak lagi menjadi sweeper. Saya berjalan di depan sendiri. Selain karena untuk memilih jalur yang lebih nyaman untuk didaki tapi juga karena saya sendiri sudah mulai putus asa dan tidak sabar apabila terus di belakang. Dan saya takut kalau tidak ada yang menyemangati di depan pendakian akan lebih lama lagi. Jalur setelah batu tlis memang benar-benar terjal dan medan yang susah. Untung saja hujan sudah lama berhenti, dan medannya sudah lumayan kering. Sehingga medan terjal dari tanah ini tak begitu becek.

Jalur pendakian sangat terbuka, bisa saya bayangkan apabila mendaki siang hari. Pasti sangat panas dan menguras energi. Hawa dingin sudah sangat menggigit kulit, belum lagi bercampur dengan keringat yang begitu lembab. Keadaan yang gelap membuat kami tak begitu memperhatikan trek sehingga tak begitu membuat putus asa. Jalanan yang sangat terjal ini memaksa kami merangkak dan sering sekali berhenti.

Saya selalu menjaga jarak agar tidak terlalu jauh dari teman-teman di belakang. Sejak batu tulis saya juga mengalah untuk membawa tenda dome yang dari bawah tadi bergantian di bawa RB dan Hasan. Saya yakin mereka akan sangat kesusahan membawa tenda dome ini dengan medan yang amat susah ini. Saya sendiri juga merasa kesusahan, belum ditambah tas carrier yang saya bawa terasa semakin berat saja. Saya sendiri juga sudah amat lelah, namun pendakian harus terus dilanjutkan menuju tempat yang nyaman untuk membuat tenda dome.

Setelah melewati bukit yang sangat terjal dengan jarak yang lumayan jauh akhirnya kami sampai di pos IV, Sabana I. saya lupa jam berapa yang pasti sudah sangat malam. Sabana I berada pada ketinggian ±2770 mdpl. Saban Vegetasi di sabana I ini berupa padang rumput yang sangat luas dengan beberapa pohon edelweis yang menjulang tinggi. Bukit-bukit hijau seperti bukit teletubies akan sangat indah apabila siang cerah datang.


Awalnya saya berniat untuk membangun tenda dome disini, mengingat kondisi teman-teman yang sudah saangat kepayahan dan putus asa. Namun, ketika saya berputar-putar mencari lokasi untuk membuat dome saya tidak menemukan tempat yang cocok. Beberapa tempat yang cocok sudah ramai dipakai oleh pendaki lainnya. Tempat yang tersisa adalah padang luas yang tak terlindung apapun dengan tanah yang tidak begitu rata. Hal ini sangat riskan untuk membangun dome. Karena apabila badai datang, tidak ada yang bisa melindungi dome, belum lagi tanah yang miring akan sangat mengganggu kenyamanan dan sangat mungkin menjadi jalan air ketika badai atau hujan datang.

Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pos V, Sabana II. Sabana I dan Sabana II terpisah oleh sebuah bukit yang lumayan tinggi. Apalagi dengan kondisi fisik yang sudah sangat lemah. Namun saya terus memaksa semangat teman-teman. Meskipun dengan amat sangat pelan dan sabar saya terus menyemangati mereka. Saya menunggu dan menjaga jarak dengan teman-teman dibelakang saya. Ketika sudah terlalu jauh saya berhenti sambil terus meneriaki mereka. Menyemangati mereka tentunya. Stelah break sebentar, sebelum mereka kembali berjalan saya berjalan terlebih dahulu untuk mencari jalan.
Bukit yang harus dilewati sangat terjal dan curam dengan medan tanah yang apabila hujan pasti sangat licin. Hanya beberapa langkah sudah break lagi. Berkali-kali saya meneriaki teman-teman agar tetap semangat dan tidak salah jalur, karena memang ada banyak jalur, meskipun berujung pada jalur yang sama namun memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Saya selalu berusaha untuk mencari jalan dengan tingkat kesulitan yang lebih mudah dibanding yang lainnya.

Perjuangan yang ekstra keras. Berkali-kali break. Berkali-kali menghela nafas. Berkali-kali memandang langit mengais-ngais semangat. Bermodalkan cahaya senter yang kian meredup, semeredupnya kondisi fisik yang semakin kelelahan. Akhirnya saya berada di atas bukit, tinggal turun untuk menuju pos V, sabana II. Di sini saya duduk menatap ke belakang, menikmati dinginnya malam sambil berteriak-teriak menyemangati teman-teman yang masih dibelakang. Mengabarkan kalau sabana II sudah tidak jauh lagi. Sebatang coklat terasa begitu nikmatnya sambil menunggu teman-teman.

Akhirnya senter dari RB sudah terlihat, ia yang pertama tiba setelah saya, kemudian diikuti oleh atut. Kami bertiga pun membuka perbekalan makanan ringan untuk menahan perut yang sudah sangat kelaparan. Kemudian hasan, rahmat, asro, dan ida datang. Setelah mereka istirahat sebentar kemudian saya mengajak RB dan Asro menuju Sabana II untuk membangun dome sambil yang lain menunggu wahid, serta pasangan Yuda dan Diah yang sudah sangat kepayahan.

Kami bertiga pun turun terlebih dahulu ke Sabana II. Di sabana II sudah terdapat banyak pendaki. Pukul 10.30 kami sampai di sabana II. Sama seperti sabana I di sabana II juga merupakan padang rumput yang sangat luas dengan pohon edelweiss yang menjulang tinggi. sabana II terletak pada ketinggian ±2860 mdpl. Di sini saya menemukan tempat kosong untuk membangun tenda dome yang kami bawa. Cukup untuk dua tenda dome dengan kapasitas 4 dan 6, tepat di samping sekumpulan pohon edelweiss. Sebenarnya saya berniat untuk membangun tenda dome di jemplongan, seratus meter dari sabana II, tempatnya lebih terlindung. Namun daya pikir, teman-teman lain sudah sangat kelelahan dan tidak kuat melanjutkan perjalanan. Saya kemudian meminta RB dan Asro untuk mempersiapkan tenda dome, karena saya harus naik kembali menjemput teman-teman lain untuk membawakan tas diah dan ida yang memang sudah sangat kelelahan. Setengah berlari saya menuju teman-teman yang saya tinggal tadi.

Akhirnya kami semua sudah berkumpul di Sabana II. Saya mempersiapkan alat-alat untuk membangun tenda dome dan alat memasak. Sejujurnya saya merasa sangat kerepotan, karena disini hanya saya sendiri yang sudah terbiasa untuk membangun tenda dome dan memasak dengan peralatan gunung. Tahun lalu ketika mendaki gunung merapi bersama mereka ada ucup yang juga sudah berpengalaman dalam hal pendakian gunung, sehingga saya tidak sendiri menghandel semuanya. Apalagi pendakian Slamet kemarin, sebagian peserta sudah cukup berpengalaman.

Namun, namanya juga belajar dan mencari pengalaman. Mungki lewat pengalaman ini akan menambah pengalaman temanteman pendakian ini dalam mendaki gunung. Sambil menyiapkan peralatan, saya juga sambil mengajari mereka sedikit demi sedikit bagaimana menggunakan alat-alat memasak dan membangun tenda dome. Perempuan-perempuan memasak dan laki-laki membangun tenda dome.

Akhirnya tenda dome berkapasitas 4 untuk para perempuan sudah jadi. Saya masih cukup repot bolak-balik membantu memasak dan membangun tenda dome kapasitas 6. Si RB marah-marah karena Rahmat malah istirahat di tenda dome kapasitas 4 yang sudah jadi, bukannya membantunya membangun tenda dome kapasitas 6. Mungkin rahmat sudah merasa sangat kelelahan. Saya sendiri sudah merasa sangat kedinginan. Celana pendek tanpa jaket dan embel-embel kehangatan lainnya. Beberapa kali saya bergetar menahan dingin yang sangat menusuk. Tapi, tenda dome kapasitas 6 ini harus segera dirampungkan.

Dalam kegiatan pendakian gunung memang benar-benar mengajari kita untuk bekerja di dalam tim. Menekan ego masing-masing. Bagaimanapun tim adalah satu. Harus saling membantu satu sama lain. Susah senang bersama. Di gunung sifat dasar manusia, egoisme, benar-benar diuji. Saya mengatakan sifat dasar karena memang begitulah yang namanya sifat egoisme. Manusia terlahir berasal dari egoisme, sampai kapanpun sifat itu akan terus melekat, tinggal bagaimana kita mengelolanya saja. Dan di gunung kita dipaksa belajar untuk mengelola sifat yang satu ini.

Setelah bersusah payah akhirnya kedua tenda dome telah berhasil di dirikan -terutama tenda dome kapasitas 6 yang berbentuk absurb-. Saya kemudian melanjutkan untuk membantu kegiatan masak memasak. Malam ini kami memasak sup dan nasi goreng. Di gunung juga kita di ajari untuk bertahan hidup, meskipun dengan kemampuan memasak yang pas-pasan. Urusan masak-memasak ini, meskipun kadang rasanya aneh tapi tetap saja nikmat ketika di atas gunung bersuhu ekstrim dengan tingkat kelelahan maksimal, bersama teman-teman pula. Dan yang paling romantis adalah gemintang yang setia menunggui kami di atas sana, cuaca sangat cerah kawan.

Setelah puas memasak dan RB berhenti mengomel kami bersiap untuk istirahat. Bintang masih bertabur memenuhi langit kami. Tenda dome kapasitas empat diperuntukan untuk para perempuan karena memang tenda ini jauh lebih nyaman dibanding yang kapasitas 6. Saya dan yuda juga ikut bersama mereka. Sedangkan yang lain (RB, Wahid, Hasan, Asro, dan Rahmat) harus mau mengalah berada di tenda dome kapasitas 6 dengan penutup pintu yang macet. Udara masih sangat dingin.

12 Mei 2013

Pukul 01.30 dinihari saya terbangun karena hujan badai yang tiba-tiba datang. Begitulah memang yang namanya gunung. Cuaca bisa berubah dengan sangat cepat. Tak pernah bisa diprediksi. Dari cerah seketika menjadi badai. Namun, tenda dome kapasitas 4 ini masih cukup kuat dan ampuh menahan hujan badai ini. Yang saya khawatirkan adalah tenda dome kapasitas 6 tempat teman laki-laki dengan pinti yang tidak bisa ditutup.

Benar saja, RB sudah berteriak mengomel. Meminta saya membantu, namun apa daya saya. Mantol sudah saya gunakan untuk menutupi tenda dome kapasitas 4 ini, dan rasanya saya juga sudah terlalu nyaman di tenda dome ini. Saya benar-benar merasa bersalah ketika tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya keegoisan saya ini telah membatu dan memaksa saya untuk tidak melakukan apa-apa. RB semakin keras mengomel di seberang sana.

Pukul 02.30 tenda dome kapasitas 6 ini sudah mulai basah, namun hanya bagian ujungnya saja. Terutama di bagian yang saya tempati. Saya kemudian duduk untuk menanyakan kondisi penghuni dome kapasitas 4 ini. Rupanya mereka semua masih baik-baik saja, hanya bagian yang saya tempati yang sudah basah. Tenda dome sebelah saya sudah tidak bisa membayangkan lagi. Saya dengar Asro keluar untuk menutup pintu menggunakan mantol sementara RB masih saja mengomel.

Waktu rasanya berjalan begitu lambat. SB yang saya gunakan sudah mulai basah dan tembus ke jaket. Namun rasanya teman ayng lain masih baik-baik saja (Tenda dome kap 4). Hanya saja Yuda juga seudah mengeluh kebasahan karena terkena pinggiran dome yang sudah basay, karena ia juga tidur di pojokan. Sementara itu diah merasa sangat kedinginan. Begitupun dengan Ida. Yang paling tenang dan tidur begitu pulas adalah Atut yang tidur di tengah-tengah. Ia begitu lelap tertidu. Saya sendiri sudah tidak bisa lagi tidur dengan semua kebasahan ini. RB masih belum berhenti berteriak-teriak.

Seluruh SB saya sudah basah, ditambah lagi dengan kaki yang tiba-tiba kram karena tak kuat menahan dingin. Puku 04.30, hujan badai sudah mulai reda. RB masih mengomel pelan. Dan saya tidak bisa membantu apa-apa.

Pukul 05.30 akhirnya saya keluar dome. Menjenguk tenda dome sebelah. Rupanya kondisinya memang sudah sangat memprihatinkan. RB dan Wahid sudah tidak lagi memakai SB, hanya menggunakan kaos. RB bahkan berkata kalau ia sangat takut sekali akan mati karena rasa dingin. Kejadian ini persis seperti pendakian merapi tahun lalu dimana salah satu tenda dome kebanjiran dan memaksa penghuninya tidak tidur semalaman. Berbeda dengan RB dan Wahid, hasan, asro dan rahmat masih bisa tidur. Bahkan rahmat tidur begitu tenangnya, hal ini yang memancing RB terus mengomel. Saya benar-bena merasa bersalah. Sebagai leader saya tak bisa melakukan apa-apa.

Namun tetap saja dalam setiap kejadian, semenyakitkannya apapun itu, tetap saja ada hal-hal yang biasa kita tertawakan. Sebelum beranjak tidur RB dan Wahid bergurau bagaimana asiknya tidur sambil memandang bintang-bintang yang saat itu memang masih cerah. Namun cuaca berubah sangat cerah, dan hujan badai pun datang. Dan mereka menjadi korban yang paling menderita.

Seperti yang sudah saya katakan, dalam pendakian gunung kerja sama tim adalah hal yang paling penting. Dalam pendakian ini mungkin Tuhan berbaik hati untuk mengajari mereka, dan saya tentunya untuk bekerja sama dengan orang-orang dengan tingkat keegoisan masing-masing. Untuk menekan ego diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu juga kami di ajari untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Bukan hanay mengomel terus mengomel atau membiarkan sifat egoisme menguasai diri. Dan pengalaman ini seharusnya bukan untuk dikutuki, tapi sebagai pengalaman pembelajaran yang harus disyukuri dan ditertawakan bersama-sama. Menjadi cerita untuk esok lusa.

Cuaca sudah cukup cerah dan tidak terlalu dingin. Kami semua keluar tenda dan membahas kesengsaraan malam tai. Saling mengomel, saling tertawa. Puncak Merbabu sudah terlihat, walaupun saya tidak tahu kalu ternyata bagian atas bukit merupakan puncak merbabu. Kondisi fisik teman-teman sudah sangat drop oleh pendakian malam tadi juga oleh badai yang tiba-tiba datang membuat kami tak tidur semalaman. Gunung merapi begitu anggun disebelah selatan. Matahari sudah semakin naik.


 

 Puncak merbabu dilihat dari sabana II

Dalam pendakian gunung puncak bukanlah segalanya. Melainkan proses menuju puncak. Hal ini kadang terlupakan, terutama oleh pendaki-pendaki karbitan yang hanya mengikuti tren. Dalam proses menuju puncak inilah sebnarnya gunung mengajari kita banyak hal. Seperti kerjasama dan egoisme yang sudah saya katakan tadi. Dalam proses itu para pendaki juga belajar bagaimana mengenali keadaan diri sendiri. Untuk mengukur kemampuar diri sendiri. Karena itulah dalam pendakian gunung dikenal istilah STOP. STOP ini jika kita urai menjadi Stop-Thingking-Observe-Planning. Stop berarti berhenti. Thinking berarti berfikir. Observe berarti mengamati. Planning berarti merencanakan. Dalam keadaan darurat seorang pendaki harus mengamalkan istilah STOP ini. Karena yang namanya nekat dan berani itu berbeda. Nekat itu bertindak tanpa memperhitungkan keadaan, sementara berani itu selalu memperhitungkan keadaan sekitar dan dirinya sendiri. Keyakinan adalah bahan bakar sebuah keberanian. Seorang pendaki yang bijak tahu kapan harus STOP dan kpan harus terus. Sama halnya dengan kehidupan. Seseorang boleh bermimpi setinggi langit, namun ia harus tahu mana yang cita-cita dan mana yang hanya khayalan semata. Hal tersebut hanya bisa ia lakukan ketika ia benar-benar mengenal dirinya sendiri. Karena manusia itu bukan makhluk sempurna yang tak memiliki batasan. Berpasrah bukannya menyerah, berhenti bukannya tak berani. Gunung memang selalu mengajari kita banyak hal. Karena itulah, mengingat kondisi fisik teman-teman yang sudah sangat drop saya menawarkan dapakah tetap lanjut ke puncak atau tidak. Mereka harus berfikir baik-baik dalam mengambil keputusan, mengenali kondisi masing-masing.

Setelah berfikir sejenak, membandingkan keadaan fisik dengan medan yang akan dilalui, teman-teman memutuskan untuk tidak naik kepuncak. Kecuali atut dan hasan. Atut terlihat sangat bugar dan yakin, benar-benar supergirl dia itu. Terang saja, ia tidur semalaman. Hasan juga begitu, meskipun terlihat tidak sebugar atut tapi ia sama yakinnya dengan atut. Ini akan menjadi puncak pertamanya, dan ia benar-benar menggebu. RB sebenarnya ingin mendaki ke puncak. Namun ia terlihat masih sangat ragu antara iya atau tidak, dan saya kemudian melarangnya karena keraguannya itu. Akhirnya pukuk 05.55 saya mengantar Atut dan Hasan menuju puncak merbabu.

 

 Saya, hasan dan atut naik menuju puncak Merbabu

Saya mengantar atut dan Hasan ke puncak dengan membawa daypack yang berisi air minum dan roti. Cukup untuk sarapan kami nanti selama perjalanan. Sebelum mendaki bukit jalanan datar, bahkan sempat menurun ketika mendekati bukit. Tepat dibawah tanjakan menuju puncak terdapat tempat yang bernama jemblongan yang tadinya akan kami gunakan sebagai tempat kemping. Jemblongan ini dilindungi oleh pohon-pohon edelweiss yang menjulang tinggi. Dari sini kami harus mendaki sebuah bukit untuk selanjutnya menuju puncak merbabu yang masih berjarak 1,1, KM lagi.


 
Puncak masih 1,1 KM lagi bung !!


Pemandangan yang sangat indah di depan mata, sekaligus pemandangan yang mencengangkan, karena kita memandang jalur medan terjal yang harus kita tempuh untuk menggapai puncak gunung Merbabu. Berbalik arah pemandangan ke arah Gunung Merapi juga sangat indah sekali. Cuaca sangat cerah dan panas. Bila kita berjalan dengan cermat sekitar sekitar 25 meter di sebelah kanan jalur akan kita temukan sebuah batu berlobang yang keramat.

 

 Pemandangan gunung Merapi dari tanjakan menuju puncak Merbabu
Jurang-jurang dengan taman edelweis dan padang sabana yang hijau menemani kami sepanjang perjalanan naik. Benar-benar pemandangan yang sangat menajubkan. Cukup untuk sarapan semangat sepagi ini. Jalanan terjal yang bermaterial tanah sangat menyulitkan. Beberapa kali kami mengambil nafas dan istirahat untuk melemaskan otot-otot kaki dan memompa semangat.


 

 Padang Edelweis dan bukit hijau
Setengah jam berjalan kami istirahat sejenak untuk mengisi perut sambil menikmati pemandangan yang disajikan dibawah sana. Kami baru saja berhasil mendaki bukit pertama dan dari sini puncak sudah terlihat. Tinggal sedikit lagi !!

Akhirnya, pukul 06.50, setelah perjuangan yang melelahkan kami sampai di puncak triangulasi. Puncak triangulasi merupakan puncak tertinggi gunung merbabu, sama halnya dengan puncak kenteng songo. Ketinggian puncak merapi adalah 3142 mdpl. Puncak triangulasi merupakan lahan yang cukup luas, tapi manurut saya tak ada yang berani untuk membangun di sini karena letaknya yang sangat terbuka. Sedikit kebawah dari puncak teriangulasi ada sedikit ruang untuk kemping, sedikit terlindung puhon dan puncak triangulasi. Dari sini pendaki bisa melihat gunung sindoro dan sumbung menjulang tinggi di sebelah barat. Dari sini gunung merapi juga terlihat sangat megah. Pemandangan dari puncak triangulasi ini benar-benar keren. Selain dapat melihat jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian wekas kita juga bisa melihat bukit teletubies hijau pada jalur pendakian lewat selo. Dari sini seaya bisa melihat cukup jelas sabana II tempat kami membuat tenda dome.




Pemandangan gunung merapi, sindoro, dan sumbing dari puncak triangulasi
 

Setelah menikmati puncak triangulasi kemudian hasan dan atut menuju puncak kenteng songo. Saya sendiri menunggu di puncak triangulasi. Puncak kenteng songo berada 10 menit di sebelah timur. Letaknya sejajar dengan puncak triangulasi. Hanya tinggal turaun kemudian naik sedikit. Puncak kenteng songo adalah lahan luas sama seperti puncak triangulasi. Di puncak kenteng songo terdapat kenteng atao batu berlubang. Menurut cerita dinamakan kenteng songo karena batu berlobang yang ada di puncak kenteng songo terdapat sembilan buah, atau songo dalam bahasa jawa. Namun yang bisa di pandang dengan mata telanjang hanya empat buah, selebihnya hanay bisa dipandang dengan mata batin. Entah benar atau tidak cerita ini bisa kalian buktikan sendiri. Yang punya mata batin tentunya.


 

 Puncak kenteng songo

Sambil menunggu hasan dan atut di puncak triangulasi saya berjumpa dengan dua orang pendaki dari jogja juga, dari godean. Mereka juga naik dari jalur selo. Kami pun bercerita tentang badai semalam. Saya bercerita tentang kondisi dome yang mengenaskan sehingga teman-teman yang lain tidak bisa naik ke puncak. Sementara itu mereka bercerita tentang sesuatu yang sangat mengejutlan. Rupanya mereka tidak membawa tenda dome. Para survival ini hanya menggunakan mantol, SB, dan matras. Mencari tempat berlindung di jemblongan. Dari cerita mereka saya mendapat pengalaman baru saat menghadapi badai. Seharusnya saat mendaki kita membawa raincoat (setidaknya mantel individu) dan mantel yang lebar (mantel batman). Sebelum masuk kedalam SB terlebih dahulu kita menggunakan mantol individu atau raincoat. Sedangkan mantel batman kita gunakan untuk membungkus tubuh yang sudah memakai SB. Cara ini bisa menanggulangi tenda dome yang mengenaskan seperti malam tadi dalam menahan badai, bahkan saat tak ada tenda dome sama sekali. Hal ini seharusnya saya lakukan semalam. Setidaknya ini menjadi pengalaman tambahan untuk kedepannya. Memang selalu saja menyenangkan berbagi kisah dengan para pegiat alam bebas. Banyak hal-hal menarik yang bisa dibagi dan dipelajari.

Beberapa menit setelah para survival tersebut turun akhirnya atut dan hasan tiba kembali di puncak triangulasi. Cuaca sudah cukup panas dan kabut sudah mulai naik menutupi jalan turun. Pukul 08.10 kami memutuskan untuk turun kembali ke sabana II. Ternyata pemandangan jalur wekas ini benar-benar hebat. Tadi saat naik saya tidak begitu memperhatikannya. Bukit-bukit hijau dengan edelweiss di lembah-lembahnya. Kabut tipis menyelimutinya sesekali, mengaburkan keindahannya namun justru menambah keromantisannya. Saat turun ini kami berjumpa banyak sekali pendaki yang akan naik ke puncak. Sapa dan senyum menjadi pengikat di antara pendaki. Saat turun saya berlari terlebih dahulu sambil tetap memperhatikan jarak dengan atut. Sungguh menyenangkan berlari turun dari puncak gunung dengan semua pemandangan nya yang indah ini. Rasanya benar-benar menyenangkan.












Pemandangan saat turun dari puncak

Pukul 08.50 kami sampai kembali di Sabana II. Tadi saat turun saya sempat melihat burung anis gunung di jemblongan sedag memakan cacing. Awalnya saya kira burung jalak karena morfologinya yang mirip sekali dengan jalak, namun ketika sudah sampai dijogja saya berdiskusi dengan salah satu teman dan ia berkata bahwa itu burung anis gunung. Burung yang juga banyak terdapat di gunung Lawu.

Saat saya, atut, dan hasan naik ke puncak merbabu ternyata teman-teman yang lain naik ke bukit di sabana II untuk melihat pemandangan. Ternyata dari sabana II ini emandangannya juga sudah cukup bagus. Bukit teletubies yang hijau enjadi primadonanya. Ditambah pula dengan kemegahan gunung Merapi diseberang sana, pemandangan yang benar-benar indah. Sambil menunggu kami pulang tadi rupanya mereka sudah bersiap-siap untuk packing dan makan. Saya yang belum sarapan akhirnya memasak sayur-sayuran yang belum dimasak oleh teman-teman. Sayur kacang dan jamur, sarden kaleng, serta mie sebagai sumber karbohidratnya. Benar-benar sarapan yang bergizi.

Hasil masakan saya rupanya tidak begitu buruk. Cukup lezat, apalagi tumis kacang dan jamurnya, mungkin perut yang sudah kosong menjadikan makanan apa saja yang masuk menjadi lezat. Asro bahkan mengemiks semua makanan tersebut dalam dua potongan roti tawar plus selai kacang, sendwich katanya. Benar-benar eksperiman yang tidak patut di contoh. Hehe

Setelah puas mengisi perut dan packing akhirnya pukul 10.15 kami turun menuju basecamp. Setelah berdoa bersama kami pun meluncur turun. Saat proses turun ini kami menikmati pemandangan yang semalam kami abaikan karena gelap dan lelah. Pemandangan di sabana I dan II memang benar-benar indah. Kami berjalan di antara bukit-bukit teletubies yang hijau dengan rumput-rumputnya yang khas. Sambil memandangi merapi yang megah di seberang sana. Kabut yang sesekali naik juga menambah sisi romantisme tersendiri. Menyelimuti pohon-pohon edelweis yang sayang sekali belum berbunga. Akan sangat indah jika ditambah dengan taman edelweis yang sedang bermekaran. Cuaca cukup cerah dengan langit yang benar-benar biru dan awan yang menggumpal di bawah sana layaknya kapas yang begitu lembut.











 


 Pemandangan di sabana I dan II
Kami istirahat sebentar di sabana I untuk menghela nafas dan menikmati pemandangan yang sangat indah ini. Perjalanan turun kembali dilanjutkan menuju pos III, Batu tulis. Sebelum turun saya sempat melihat seekor burung opior jawa. Kabut sudah mulai naik, mengurangi jarak pandang. Saat turun ini kami juga dapat melihat jalur yang kami lewati semalam. Jalan turun sangat ekstrim. Jadi seperti inilah jalan yang kami lewati saat naik semalam. Pantas saja sangat menguras energi. Namun harga itu cukup untuk membayar pemandangan yang sungguh eksotis ini. Curam-curam bukit dengan taman edelweiss yang terselimuti kabut tipis putih.





 


 Pemandangan saat turun menuju batu tulis
Dari batu tulis perjalanan kembali dilanjutkan menuju basecamp. Atut dan asro berjalan dengan sangat cepat di depan sendiri sementara saya menemani pasangan emas, Yuda dan Diah di belakang (hehehehe). Saat turun ini adalah proses yang paling susah dalam pendakian gunung. Energi yang sudah drop ditambah passion yang sudah melemah. Berbeda seperti saat naik yang menggunakan puncak sebagai passion yang mempompa semangat. Saat turun passion tersebut sedikit menurun.

Saat turun sebenarnya kondisi fisik tidak begitu penting. Yang terpenting adalah kondisi kaki. Kondisi kaki yang sudah terekspos saat naik akan sangat lemah ketika digunakan untuk turun. Meskipun saat turun membutuhkan waktu yang paling hanya separuh naik, tetapi energi yang di gunakan membutuhkan jauh lebih banyak, terutama ketahanan kaki. Saat turun lebih baik terus berjalan meskipun tidak terlalu cepat. Jalan dengan kecepatan yang konstan. Karena apabila terlalu sering berhenti maka justru akan semakin menguras kemamampuan kaki. Hal inilah yang diterapkan oleh Atut dan asro sehingga mereka berdua terus berjalan cepat di depan, hanya sesekali berhenti.

Akhirnya pukul 13.30 saya sebagai kelompok terakhir merangkap sweeper sampai kembali di basecamp pendakian. Saat turun tadi saya sempat melihat dua buah raptor yang sedang swaring di dalam hutan. Saat mendekati basecamp saya juga ditemani segerombolan burung sepah dengan warna merahnya yang mempesona.

Untuk sahabat-sahabat saya di pendakian gunung Merbabu 11-12 Mei kemarin. Pendakian kemarin benar-benar mengesankan buat saya. Meskipun di beberapa bagian cerita tidak begitu menyenangkan, kedinginan, lelah yang mendera, hujan badai, bahkan berujung pada tidak naik ke puncak merbabu. Tapi, pengalaman itu mengajarkan saya banyak hal, dari semua kesusahan itu ada banyak hal untuk bisa dipelajari. Seperti hidup, ada banyak kejadian buruk yang kadang menyakitkan, kalau kita mau memaknainya dengan pemahaman-pemahaman baik pasti hal-hal itu bisa  mengajari kita menjadi jauh lebih baik. Esok lusa mungkin kenangan-kenangan di gunung merbabu kemarin akan kita kenang bersawa, kita tertawakan bersama. Dan esok lusa kalau Tuhan berkenan, bersama kita menikmati keindahan edelweis yang sedang mekar di merbabu, dan menyelesaikan pendakian puncak yang belum selesai.

8 komentar:

  1. sebuah kepuasan tersendiri bila bisa sampe ke puncak gunung

    BalasHapus
  2. mendengar kabar kalau terjadi kebakaran di merbabu yang menghanguskan hampir 1/4 bagiannya, termasuk edelweis-edelweis yang sedang mekar di sabana 2

    BalasHapus
  3. KAPAN BISA SAMPAI KE SANA YA??????????

    BalasHapus
  4. Mantaaaabbb... 31 desember siap kesana :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga gan,,,,,,,, salam lestari,,,,, kayaknya bakal adapendakian gede-gedean ni buat nyambut tahun baru,,,,,

      Hapus