Suatu ketika di negri antah
berantah hiduplah seekor burung. Burung kecil dengan sayap putihnya. Terbang
membelah birunya langit, mengejar kebebasan dan menantang teriknya mentari.
Tiba-tiba pandangannya dialihkan oleh sesuatu yang lebih bercahaya dari
matahari. Dialah bunga mawar putih yang begitu anggunnya bergoyang diterpa
angin. Lembut mengalun menikmati nyanyian alam.”benar-benar cantik” batin Si
Burung dalam hati. Serta merta iapun langsung jatuh hati pada Si Bunga Mawar
Putih. Seketika keberadaan mentari tak lagi penting, dan rasanya dia pun
tak lagi butuh keberadaan rembulan
dimalam hari, karena sekarang ada Si Mawar Putih yang akan selalu menyinarinya,
entah siang ataupun malam.
Secepat kilat ia melesat membelah
udara, tak menghiraukan angin yang meneriakinya. Sayapnya terbentang indah
memamerkan kegagahannya pada Si mawar Putih, tepat mendarat disampingnya.
Mereka pun mulai berkenalan, mengobrol seadanya hingga akhirnya mengalir
seperti air semuanya berjalan tanpa terbendung, hingga lengit berubah
kemerahan. Indah, namun tak cukup indah untuk menggambarkan keadaan hati si
Burung.
Hari-hari seperti itu terus
berlanjut, dari langit kemerahan di ufuk timur hingga berpindah di ufuk barat,
begitu pula ketika rembulan tersenyum manis mencoba menyaingi kemerlap
bintang-bintang di belahan langit sana. Ataupun saat awan mencurah semua
miliknya hingga akhirnya tak mampu melawan teriknya mentari. Semuanya terus
berulang, namun hanya satu yang jelas, bahwa Si Burung dengan setia selalu
menemani, berdiri tegap di samping Si Mawar Putih. Mungkin kini Ia pun sudah
mulai lupa artinya kebebasan terbang di angkasa, karena yang ia ingat sekarang
bahwa ia hanya terbang berputar-putar di dalam hati Si Mawar putih.
Setelah sekian lama semua cerita
berjalan, dan ia hanya memendam saja. Dan sekarang ia tak lagi sanggup menahan
sesuatu yang selalu berteriak-teriak di dalam hatinya, sesuatu yang membuat ia
lupa akan kebebasannya. Akhirnya, dengan mengumpulkan semua keberanian yang
ada, ia pun mengungkapkan semua isi hatinya kepada SI Mawar Putih. Tanpa
tersisa satu tetespun, benar-benar tersampaikan secara lugas. Mungkin inilah
yang dinamakan kekuatan penjelas dari cinta. Kadang sesuatu yang benar-benar
absurb menjadi sangat gamblang dilihat, dan sesuatu yang benar-benar jelas
terkadang menjadi kabur.
Namun semuanya tak berjalan
seperti keinginan Si Burung, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Benar-benar seperti terbang dengan satu sayapnya, menguras energy, dan akhirnya
terjatuh. Entah apa yang menjadi alasan Si Mawar Putih menolak janji cita dari
Si Burung, tapi satu yang pasti bahwa Si Burung benar-benar mencintainya. Tak
peduli cintanya ditolak oleh Si Mawar Putih, namun ia sudah berjanji pada
hatinya bahwa ia akan selalu mencintai Si Mawar Putih, seperti dulu, sekarang,
hingga nanti. Dan ia telah memutuskan untuk tetap terbang dengan satu sayapnya
itu, tulus hanya untuk Si Mawar Putih. Ia tetap datang untuk menemani Si Mawar
putih, tetap setia menemaninya hingga SI Mawar Putih jatuh tertidur. Bener-benar
cantik saat Mawar Putih tertidur dibawah cahaya rembulan.
Hari-hari berjalan sama seperti
sebelumnya. Angin tetap lembut, menjadi penyebab bergantinya musim. Dan
akhirnya hati yang semula kokoh dengan dinding-dinding tebalnya telah runtuh,
atau mungkin iba, tak pernah tau mana yang lebih jelas. Si Mawar Putih pun
berkata pada Si Burung, bahwa ia akan menerima cintanya jika ia mempu
membuktikan seberapa kuatkah cintanya. Mungkin Si Mawar Putih masih belum bisa
melihat kesungguhan Si Burung yang selalu ada di sampingnya, terbang
mengimbangi gemulai lembut geraknya sertiup angin, meski hanya dengan satu
sayap.
Tanpa pikir panjang Si Burung pun
segera terbang menjauh mencari sesuatu untuk pembuktian, sebuah pembuktian yang
benar-benar jelas. Dan akhirnya, ketika mentari hanya tinggal setengahnya saja,
ketika langit sempuna merah. Kepakan sayap itu terdengar lagi, Si Burung
terbang begitu pelannya membawa sesuatu di paruhnya. Si Mawar Putih melihatnya
dengan seksama, melihat apa yang dibawanya. Ternyata hanya sebuah sayatan kecil
bambu, berwarna hijau tua. Si Mawar Putih pun bingung dengan apa yang dibawa,
ia pun tak mampu menahan dirinya untuk bertanya, “untuk apa kau bawakan sayatan
kecil bambu itu, hei Burung?”. Burung pun menjawab dengan dingin, “bukan
tentang apa yang aku bawa, tapi apa yang akan aku lakukan dengan ini untuk
membuktikan cintaku.”
Semuanya berhenti, angin pun
hingga tak mampu menghembus, langit kian merah saja. Semuanya benar-benar
berhenti, mungkin ada seseorang yang dengan jahilnya mematikan waktu. Hingga
akhirnya suara tegas Si burung memecah itu semua. “Aku akan memberikan sayapku
untukmu, hei bidadari kecilku. Agar kau bisa terbang bebas ke langit sana,
menikmati segarnya tanah di ujung sana, menikmati sebuah kebebasan.” Tanpa
tunggu komando si burung segera menyayat sayapnya dengan sayatan bambu yang ia
pegang, tanpa bisa di cegah oleh Si Mawar Putih. Mawa Putih pun kini tersadar,
betapa Buung benar-benar mencintainya dengan setulus hati. Namun itu semua
sudah terlambat, si burung sudah berhadapan dengan kematiannya, dengan senyum
di wajahnya. Si Burung akhirnya berpisah dengan hingarnya dunia, dengan
penatnya hidup, dan dengan sejuknya kecantikan Mawar putih, ia telah kehabisan
banyak darah sebelum ia memberikan kedua sayapnya. Mawar Putih pun menyadari
kesalahannya, ia terlalu bodoh untuk menyadari ketulusan cinta dari Si Burung,
namun itu semua telah terlambat sekarang. Mawar yang tadinya putih kini berubah
menjadi merah karena darah dari Si Burung. Mawar Merah, begitulah ia disebut
sekarang. Lambang dari kekuatan cinta.
Jadi, apakah kita juga akan begitu
bodohnya seperti Mawar Putih, mengabaikan cinta yang beterbaran di sekitar
kita, menganggapnya selintas lalu. Padahal begitu besar cinta yang tidak kita
sadari. Cinta dari seseorang di ujung sana, dari teman-teman dan sahabat, cinta
dari keluarga dan orang tua tentunya, dan cinta dari diri kita sendiri, dan
cinta dari Tuhan pastinya. Bukankah itu semua terlalu berharga untuk kita
lewatkan? Benar-benar amat sangat berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar