19 Mei 2013
Udara masih cukup dingin di pagi
ini. Cahaya fajar belum beranjak dari ufuk timur. Cahaya emasnya masih
terperangkap oleh kabut pagi. Namun, sepagi ini saya dan beberapa teman melangkah
meninggalkan rumah penginapan, karena saat masih sepagi ini burung-burung masih
belum begitu aktif. Ya, kami sedang melakukan kegiatan pengamatan burung di SM
Sermo, Kulonprogo, DIY. Acara pengamatan ini adalah bagian dari acara FollowUp
Gelatik dua hari ini yang diadakan oleh Kelompok Pengamat Burung Bionic UNY.
Sebenarnya acara FollowUp Gelatik
sudah dimulai dari kemarin. Namun, acara kemarin baru diisi dengan materi
tentang identifikasi dan seketsa yang dibawakan oleh Kholil, sesama rekan di Bionic,
dan tentang dokumentasi dan publikasi oleh Mas Shaim, senior di Bionic. Acara
pengamatan burung di daerah SM Sermo baru diadakan pagi esoknya, dimulai dari
saat mentari baru merekah.
Pengamatan pagi ini dimulai
dengan kejutan dari Burung Cucak kuning yang ternyata ada banyak sekali di
sekitar SM Sermo. Pertama kali saya melihatnya, Cucak Kuning ini masih
malas-malasan di atas ranting. Awalnya, karena cuaca yang masih gelap saya
mengira kalau burung tersebut hanya burung Cucak Kutilang, namun si Abid salah
satu teman seangkatan di Bionic berkata kalau burung tersebut adalah burung Cucak
Kuning. Karena penasaran saya langsung melihat burung tersebut menggunakan
binoculer. Benar saja, secara umum burung tersebut memang sama dengan cucak
kutilang. Kepalanya yang memakai topi hitam berjambul. Ukuran, bentuk paruh dan
ekor juga sama dengan cucak kutilang. Yang membedakan cucak kuning dengan cucak
kutilang adalah dada hingga ke tunggirnya berwarna kuning. Berbeda dengan
burung cucak kutilang yang hanya berwarna kuning di bagian tunggir sedangkan
dadanya putih.
Selain terdapat banyak cucak
kuning, ternyata di sekitar sermo ini juga terdapat banyak sekali burung madu.
Hal ini terjadi karena banyak tersedianya pohon-pohon berbunga sebagai makanan
dari burung ini. Sesuai namanya, burung madu menghisap nektar atau madu dari
bunga-bunga tersebut menggunakan paruhnya yang panjang, kecil, dan melengkung. Kami juga sempat melihat
burung madu yang sedang mengumpulkan material untuk membangun sarang. Burung
madu di daerah sermo terdiri dari dua jenis. Yakni, burung madu Sriganti dan
burung madu Kelapa.
Untuk membedakan burung madu Sriganti
dan madu Kelapa lebih mudah jika melihat pejantannya. Ya, untuk burung madu Sriganti
dan Kelapa, jantan dan betinanya memiliki morfologi yang berbeda. Berbeda
dengan manusia, burung pejantan berpenampilan lebih mencolok di banding yang
betina. Bahkan saat membangun sarang, si betina lebih banyak mengumpulkan
material dari pada si pejantan. Untuk membedakan burung pejantan madu Sriganti dan
Kelapa dapat dilihat dari ukuran serta corak kepalanya. Ukuran madu kelapa
sedikit lebih besar dari madu Sriganti. Pada pejantan madu Sriganti warna
kepalanya adalah biru metalik yang sangat gelap, bahkan terkadang terlihat
berwarna hitam jika tidak cermat melihatnya. Sementara itu untuk burung madu Kelapa,
warna kepalanya juga biru metalik, namun tidak seluruhnya, karena warna
tenggorokannya coklat dan terdapat gradasi warna hijau di samping tenggorokan.
Mahkota madu kelapa juga berwarna hijau. Selain itu, iris keduanya juga
berbeda. Madu Sriganti berwarna hitam sementara madu Kelapa berwarna merah.
Selain perbedaan itu kedua pejantan ini memiliki morfologi yang sama. Dari
paruh yang kecil, panjang, dan melengkung berwarna hitang, hingga badan
berwarna kuning dan sayap yang hijau.
Akan lebih sulit untuk membedakan
betina burung madu Sriganti dan Kelapa. Butuh kejelian untuk membedakan
keduanya. Sama seperti pejantan, ukuran kedua betina ini juga berbeda. Madu Kelapa
sedikit lebih besar dibanding madu Sriganti. Begitu pula dengan warna irisnya.
Madu Kelapa berwarna merah sementara madu Sriganti berwarna hitam. Hal yang
membedakan lainnya adalah terdapat alis berwarna putih pada bagian mata madu Kelapa,
sedangkan pada madu Sriganti tidak terdapat alis tersebut. Selain perbedaan
kecil itu kedua betina ini nyaris sama. Dari paruhnya yang panjang, kecil, dan
melengkung berwarna hitam, kepala dan sayap berwarna hijau hingga badan yang
berwarna kekuningan.
Pukul setengah tujuh semua
peserta FollowUp Gelatik sudah mulai melakukan pengamatan bersama-sama. Mulai
dari anggota Bionic angkatan beberapa tahun terakhir hingga yang entah angkatan
berapa. Total berjumlah tiga puluhan peserta yang melakukan pengamatan bersama
pagi-pagi ini. Peserta yang terlalu banyak yang hanya mengelompok menjadi satu
kelompok ini sudah tidak lagi memungkinkan untuk melakukan pengamatan secara
tenang. Akhirnya saya, Abid, Panji, Raden, dan Mas Kukuh memutuskan untuk
memisahkan diri dari kelompok besar ini.
Kami berencana melakukan
pengamatan di area selatan RPH (penginapan). Di perjalanan lagi-lagi kami
menemui burung madu, baik madu Sriganti maupun madu Kelapa, dan juga burung Cucak
Kuning. Saat melewati RPH kami bertemu dengan Eki dan Bina yang akhirnya ikut
dalam kelompok kecil kami. Mereka berdua adalah panitia dari acara FollowUp Gelatik
kali ini sehingga belum sempat melakukan pengamatan bersama pagi tadi. Akhrinya
binocular yang cuma dua dalam kelompok kecil kami di pegang oleh Eki dan Bina
untuk mengamati burung Madu Sriganti, Madu Kelapa, dan Cucak Kuning.
Pukul 07.00 kami tiba di lokasi
di selatan RPH. Sebuah bukit terbuka yang menghadap ke lembah yang berisi hutan
jati dan beberapa hutan homogen di tebing seberang. Pemandangan yang sangat
indah. Dari bukit ini kami bisa melihat lanscape barisan hijaunya pohon-pohon
yang terbentang. Bahkan di bukit seberang yang jauh lebih tinggi dari bukit
terbuka tempat kami berdiri berisi pohon-pohon besar. Menurut Mas Kukuh dan
Raden, tempat ini sangat cocok untuk raptor swaring untuk mencari makan. Dan
bukit ini sangat cocok untuk melakukan pengamatan mengingat areanya yang
terbuka, bebas memandang ke hutan di seberang tanpa halangan apapun.
Sama halnya disekitar daerah
sermo, di bukit terbuka ini juga terdapat banyak sekali burung madu. Selain itu
banyak terdapat juga burung Bondol Jawa. Burung berukuran kecil yang sangat
sering sekali di jumpai di daerah jawa. Mungkin hampir disetiap daerah di pulau
jawa terdapat burung ini. Selain itu kami juga melihat tiga burung Sepah Kecil yang
bergerombol dalam kelompok. Burung sepah kecil memang selalu berkelompok dalam
kelompok kecil. Berbeda dengan keluarga sepah-sepah lainnya, burung Sepah Kecil
ini memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan keluarga sepah lainnya, yakni
berukuran sekitar 15cm. mungkin hal inilah yang mendasari namanya sebagai sepah
kecil. Sepah Kecil juga tidak semerah sepah-sepah lainnya seperti Sepah Gunung dan
Sepah Hutan. Kepala dan mantel burung ini berwarna abu-abu. Bahkan untuk yang
betina lebih buram lagi dengan tubuh bagian atas abu-abu kecoklatan. Iris
burung ini berwarna coklat dengan paruh dan kaki berwarna hitam. Namun sayang
kami tak sempat mengamati menggunakan binoculer sehingga belum sempat
mengidentifikasi mana yang jantan dan mana yang betina. Beberapa waktu setelahnya
terlihat burung yang sama terbang melintasi kepala kami dalam kelompok kecil
yang berjumlah lima ekor burung.
Pukul 07.40, sudah beranjak
siang. Mungkin sudah cukup list burung untuk pagi ini. Saatnya kembali RPH
untuk sarapan. Ketika kami sedang bersiap-siap pulang saya dan Abid melihat
sekelebat hitam di pohon sebelah utara. Saya dan abid seketika heboh dan
penasaran, lalu kami berdua turun sedikit dari bukit untuk memastikan makhluk
apakah itu sambil meminta binoculer yang saat itu dibawa Eki dan Panji. Namun
ketika kami sudah sedikit berjalan tiba-tiba makhluk tersebut yang ternyata
burung terbang ke sisi lain lembah. Rupanya burung tersebut sejenis burung
kadalan. Hal ini terlihat dari ekornya yang panjang serta ukurannya yang besar,
mungkin sekitar 50cm. burung tersebut hinggap di salah satu pohon dengan jelas.
Lalu, Eki yang saat itu tengah memegang binoculer segera saja mengamati burung
tersebut. Ia melihat kalau ujung ekor berwarna merah. Namun burung tersebut
kembali terbang dan tak terlihat lagi. Saya cukup kecewa karena belum sempat
mengamati menggunakan binoculer.
Kami memutuskan untuk menunggu
lagi di bukit terbuka ini, siapa tahu kadalan yang belum kami identifikasi
secara lengkap muncul kembali. Namun kadalan tersebut belum keluar juga.
Akhirnya Raden menggunakan teknik scanning untun mencari posisi kadalan
tersebut. Teknik scanning adalah teknik menggunakan binoculer untuk melihat
area untuk menemukan burung yang masih belum jelas keberadaannya. Ternyata Raden
berhasil menemukan burung ini menggunakan teknik scanning. Burung tersebut
berada pada salah satu pohon di seberang lembah, cukup jauh memang. Bina dan
Ekki kembali mengamati burung tersebut menggunakan binoculer. Burung tersebut
cukup aktif, berkali-kali berpindah-pindah ke dahan lainnya, cukup menyulitkan.
Saya pun sudah tidak sabar untuk melihat burung tersebut menggunakan binoculer.
Namun sayang, burung tersebut kembali masuk ke balik pohon. Akhirnya saya
berkesempatan menggunakan binoculer. Saya dengan sabar kembali menunggu burung
tersebut kembali muncul. Akhirnya kesempatan itu datang. Burung itu muncul
kembali di ujung pohon. Kepalanya muncul dan dapat saya amati. Bagian
tenggorokan hingga dada berwarna merah, pipi hingga tengkuk berwarna abu-abu,
kulit sekitar mata berwarna merah, sebagian mahkota berwarna hijau, namun dengan
jarak yang sangat jauh saya tak bisa mengamati paruhnya dengan detail. Rupanya
burung tersebut sedang mencari sarapan yang berupa serangga-serangga. Burung
tersebut kemudian turun ke dalam hutan, dan saya sempat mengamatinya
menggunakan binoculer saat burung tersebut mengepakan sayapnya. Sungguh sangat
anggun. Setelah diadakan diskusi dengan melihat buku makinnon sebagai panduan
akhirnya kami memutuskan bahwa burung tersebut adalah burung Kadalan Birah. Setelah
puas mengamati Kadalan Birah akhirnya kami memutuskan untuk berpindah tempat ke
utara RPH.
Pukul 08.30, ketika kami berjumpa
dengan kelompok besar dan Prajawan selaku ketua Bionic meminta kami untuk
kembali ke RPH untuk sarapan terlebih dahulu sebelu melanjutkan pengamatan.
setelah perut terisi kemudian sekitar pukul 09.00 kami memutuskan untuk kembali
memulai pengamatan. Tapi untuk pengamatan kali ini tidak semua peserta FollowUp
gelatik ikut. Kebanyakan anggota angkatan lama memilih untuk tetap di RPH,
sedangkan anggota angkatan baru melakukan pengamatan. Saat akan memulai
pengamatan terdapat sepasang burung kipasan di dekat RPH. Saya yang waktu itu
masih berada di dalam RPH segera berhambur keluar dengan tidak lupa membawa
binoculer. Setelah bertanya dimana letak burung tersebut kemudian saya melihat
burung kipasan yang ternyata Kipasan Belang sedang aktif di atas pohon. Namun
burung ini sangat aktif, saya belum sempat mengamati menggunakan binocular.
Namun ternyata burung tersebut malah turun mendekat ke arah kami, jadi saya
tidak usah susah-susah menggunakan binocular. Saya juga sempat menjumpai burung
ini di lembah UGM, jadi sudah tidak begitu exaited seperti melihat kadalan
birah.
Dari RPH kami naik sedikit
kemudian berbelok ke barat mengikuti jalan raya. Kami mencoba mengamati burung
dihutan sekitar jalan raya. Namun akhirnya kami turun ke dalam hutan karena
dari jalan raya burung-burung tidak begitu terlihat. Ada jalan setapak kecil
untuk yang bisa jadi jalan untuk memasuki hutan. Memasuki hutan kami menjumpai
burung madu. Mas Kir juga sempat melihat burung Sepah Kecil. Namun rupanya pada
spot ini burung-burung yang ada tidak begitu beragam. Saya sedikit masuk
kedalam hutan bersama Panji saat teman-teman yang lain memanggil karena akan
berpindah spot. Namun saat itu saya dan Panji tidak begitu memperhatikan
panggilan mereka. Kami berdua sedang mengamati burung layang-layang yang sedang
hinggap di salah satu pohon. Secara umum burung layang-layang tersebut sangat
mirip dengan burung layang-layang rumah. Dada hingga muka berwarna abu-abu,
perut kebawah berwarna putih. Sayap yang panjang dengan warna yang sama dengan
punggung, gelap karena siluet. Tapi menurut saya sayap dan punggung berwarna
hitam. Tunggingnya berwarna putih. Namun yang membedakannya dengan
layang-layang rumah, ekornya panjang seperti layang-layang api. Terlalu asik
mengamati burung tersebut saya melupakan kalau saya dan Panji terpisah dengan
kelompok.
Kami berdua naik kembali ke jalan
raya dan berusaha mencari kelompok. Namun kami tak menemui tanda-tanda
kelompok. Kami pun memutuskan untuk kembali ke RPH. Saat dalam perjalanan
pulang sayup-sayup saya mendengar suara teman-teman di bawah hutan. Kemudian
saya dan Panji memutuskan untuk kembali masuk ke dalam hutan. Saya setengah
berlari masuk terlebih dahulu kedalam hutan. Saya mengambil jalur berbeda dari
saat masuk hutan pertama kali. Melewati semak-semak dan bagian lain yang memang
bukan jalan karena berusaha untuk memotong jalan mendekati suara teman-teman.
Namun saya akhirnya sadar kalau suara-suara tersebut berasal dari suara
teman-teman di RPH. Ketika saya akan kembali naik tiba-tiba saya dikejutkan
dengan seekor ayam yang terbang dari semak-semak di dekat saya. Rupanya ayam
tersebut terganggu dengan kedatangan saya. saya terkejut ternyata seekor ayam
bisa terbang sebegitu tinggi. Ayam tersebut kembali masuk ke semak-semak. Saya
sempat melihat punggungnya yang berwarna hijau dengan corak merah di
tengah-tengahnya menggaris ke arah kepala. Ukurannya sebesar pejantan ayam
kampung. Rupanya yang saya lihat ini adalah ayam hutan merah. Saya langsung
memanggi-manggil Panji yang masih berada di atas.
Setelah Panji turun kemudian kami
blusukan untuk mencari kembali ayam hutan tadi. Namun sayang ayam hutan
tersebut sudah menghilang entah kemana. Lalu kami kemudian blusukan lebih dalam
ke dalam hutan setelah melihat layang-layang yang sama yang tadi kami lihat.
Semakin dalam jalannya semakin susah meskipun dengan pohon-pohon yang tidak
begitu padat. Namun sepertinya jalan yang kami lewati tidak pernah digunakan.
Bahkan kami harus melewati sungai kering dan naik dari batu ke batu untuk naik
ke bukit yang lebih terbuka. Namun sayang kami tidak bisa menambah list burung
sejak blusukan tadi. Suasana sepi, hanya terdapat banyak suara-suara di dalam
hutan namun tidak jelas itu burung apa. Kami menunggu cukup lama di atas bukit
terbuka namun sayang hasilnya nihil. Setelah kecewa dengan hasil ini saya dan
panji memutuskan untuk kembali ke RPH. Keringat sudah deras bercucuran. Selain
karena udara yang panas dan cerah juga karena blusukan tadi cukup menguras
Energi.
Saya cukup lama beristirahat di
RPH. Minum air segar yang sedari tadi sangat saya rindukan. Di RPH saya ikut
bergerombol dengan angkatan-angkatan tua yang tidak ikut pengamatan. Rupanya
mereka sedang mendengarkan Jarot bercerita tentang pengalamannya main ke Badui
luar dan dalam serta ke Ujung Kulon. Ia bercerita tentang kehidupan orang-orang
badui, baik itu badui dalam amupun badui luar. Ia juga bererita tentang
keindahan surga ujung kulon beserta sebagian detail-detainya. Keindahan yang
ditawarkan surga di ujung barat pulau Jawa. Salah satu destinasi yang sangat
ingin saya kunjungi. Mungkin esok saat sudah punya pengahasilan sendiri saya
ingin sekali berkunjung ke Taman nasional Ujung Kulon.
Ketika sudah cukup istirahat dan
sudah mulai merasa sedikit bosan akhirnya sekitar pukul 11.00 saya dan Panji ikut
Arel, Mas Jul, Wahab, Nizar, Mas Shaim, dan Mas Ano hunting foto sekaligus
main. Menurut Arel, kami akan main ke kali daerah Waduk Sermo. Jalanan cukup
berkelak-kelok naik turun. Kami juga harus membayar retribusi masuk 10rb untuk
empat motor.
Pemandangan di kali ini cukup
bagus. Sungai kecil khas pegunungan dengan alirannya yang lumayan deras serta
batu-batuan yang terlindungi dinding-dinding bukit yang hijau juga dinding dari
bendungan waduk Sermo. Namun sayang, bau dari air tersebut cukup kurang nyaman,
seperti air pembuangan sampah. Padahal kalau menurut saya airnya cukup jernih,
entah berasal dari apa bau ini. Seperti bau berelang.
Teman-teman yang lain sudah mulai
masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga
memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk
masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke
sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup
curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat
terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan
pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon
yang lumayan rapat dan besar.
Rupanya sungai ini adalah lembah
dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya.
Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini
tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya
memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya
panjang."
Saya langsung bangkit dari duduk
dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah
mana?" saya bertanya tidak sabaran.
"Di sana !" kata Panji
sambil menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.
Saya pun langsung menggunakan
binoculer untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum
juga paham dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana
nji?" saya kembali bertanya tidak sabaran.
"Di sana! Itu loh di atas
semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan"
Panji menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap
digunakannya. Rupanya ia sedang asik mengamati.
Saya kembali mencari arah yang
ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya
saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah
cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan
berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung
tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali
tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.
Saya pun mencoba mencari sudut
pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke
dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan
bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan
dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat
sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali
saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun
memutuskan untuk menyebrang sungai.
Sesampainya di seberang burung
tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung
tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang
tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali
berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.
Saya berdiri di atas batu besar
untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi
area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak
menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya
benar-benar dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.
Akhirnya saya putuskan untuk
kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk
mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya
sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah
untuk bisa naik ke tebing tersebut.
Sebenarnya saya sedikit ragu bisa
memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung
misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir
tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat
bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya
saya memutuskan untuk memanjat.
Cukup susah memanjat tebing ini,
apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat
pada semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk
naik ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan
susah payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.
Sayapun langsung waspada dan
mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi.
saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan
mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah
sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi
cukup menguras energi.
Saya sudah merasa cukup putus asa
karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi
berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut,
namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang.
Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha
menaiki tebing.
Saya sudah benar-benar putus asa.
Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk
mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya
mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung
tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya
berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.
Namun, sama halnya seperti tadi.
Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya
tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun
masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam
yang tidak begitu jelas.
Saya pun bergeser berusaha
mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit
lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk mendapatkan
view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai harapan. Burung
tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang bergoyang-goyang,
seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya sedang serius
untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah kembali berpindah
turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan kepalang dengan burung
ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.
Tebing yang satu ini lebih sulit
dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih
sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya
harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya
tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya.
Keringat sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi
tanah tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk
berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.
Setelah perjuangan ekstra akhirnya
saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi tebing ini
terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menggarap
lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian milik
penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah
berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing
yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya
pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari
celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.
Ketika sedang berkeliling saya
mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang
woi?" Itu suara Panji.
Saya pun mencari sumber suara
itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat
saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru
sambil melambaikan tangan.
"Heh, kok kamu bisa berada
di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga
mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.
"Lewat sebelah kanan Nji,
jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati
tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.
Akhirnya setelah bersusah payah
Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana
sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya
tidak sabaran.
"Tadi terbang ke atas situ,
terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil
menunjukan tempat burung tadi menghilang.
Tebing di atas kami lumayan
tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa
dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai
setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan
penduduk untuk naik ke atas tebing.
Kami memutar cukup jauh. Beberapa
kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan
hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan
kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari
saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.
Sesampainya di terasering paling
atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah.
Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung
tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak
bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh
mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat
denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa
melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto.
Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar
eksotis.
Akhirnya panji sampai juga di
atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"
Saya menggeleng. "Ngga ada
Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil
menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya
sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."
Ah, setidaknya meskipun tidak
berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang
terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang
dengan sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim
menikmati karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan
dan bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk
Sermo yang mempesona.
Setelah puas memandangi
pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun.
Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di
mana tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya,
rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.
"Di sebelah sana, coba aja
dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.
"Lho, kan kamu yang tahu
tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.
"Benar juga katamu,
baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.
Saya pun melempari tempat
terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung
tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun
mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua
ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi
untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan
sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya,
rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang
saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu
saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.
Burung tersebut terbang ke arah
seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin
panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung
kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap,
sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa
di dalam hati.
Benar saja, burung tersebut
kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana.
Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung
tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat
kemerahan.
Dari ketinggian ini saya bisa
melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat
melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya
yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu
kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang
sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini
saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak.
Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil
berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip
kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku
mekinnon dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan
Birah yang juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan
burung-burung pada halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya
sama dengan yang sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu
burung yang sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.
Sama seperti tadi, burung
tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak
sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut.
Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang
benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap
menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki
terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati
kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar
dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.
Ah ya, saya jadi ingat akan film
"The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis
tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di
Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan,
Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari
kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya
sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)".
Lalu stu menjawab dengan dingin "it's
called 'birding', rick". Ya, birding,
atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka
menyebut Birding dari pada birdwatching.
Setelah pengamalaman hari ini,
saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus
semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya
hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut
berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut.
Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk
mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya.
Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target
buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching'
sudah harus diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan
untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.
Ah, sudah puas mengamati dan
berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah
sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal
makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan
turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi.
Benar saja, ternyata jalan turun
memang benar-benar sulit. Kami tak bisa lagi melewati jalan se ekstrim saat
naik. Kemi sempat mencoba untuk turun lewat dinding bendungan wafuk sermo. Tapi
itu sama saja bununh diri, sanagat ekstrim. Akhirnya saya dan panji memutuskan
untuk mengikuti jalan setapak milik penduduk setempat. Setelah menemukan celah
untuk turun, akhirnya kami turun. Sesampainya di sungai hujan mulai turun.
Segera saja saya berjalan cepat menyeberangi sungai untuk menuju tempat saya
memarkir motor.
Akhirnya pukul 12.15 saya dan
panji kembali sampai di RPH. Sesampainya di RPH saya langsung istirahatat. Saya
juga ngbrol bersama teman-teman lain yang tadi terpisah saat birding di hutan.
Sama seperti saya dan panji, mereka juga blusukan lebih jauh ke dalam hutan,
dan mereka juga menemukan lebih banyak lagi 'buruan' burung. Salah satu yang
membuat Prajawan exited adalah walik kembang, katanya ia baru pertama kali ini
menjumpai burung ini. Saya sendiri belum pernah berjumpa dengan burung ini.
Sama seperti saya, prajawan juga merasakan nikmatnya birding, berburu. Ia bahkan
berkata bahwa saat birding seperti ini ia lebih suka menggunakan binoculler
dari pada kamera, sensasi berburunya lebih terasa katanya. Saat obrolan ini
saya juga dapat info dari mas Shaim kalu ternyata burung Bubut Jawa yang
berhasil saya amati berstatus terancam. Wah, sebuah kehormatan bisa mengamati
burung ini.
Akhirnya setelah makan siang,
sholan dan foto-foto tentunya, kami kembali ke jogja. Ke kehidupan nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar