Jumat, 24 Mei 2013

Catatan Birding di SM Sermo (FollowUp Gelatik 18-19 Mei 2013)


19 Mei 2013
Udara masih cukup dingin di pagi ini. Cahaya fajar belum beranjak dari ufuk timur. Cahaya emasnya masih terperangkap oleh kabut pagi. Namun, sepagi ini saya dan beberapa teman melangkah meninggalkan rumah penginapan, karena saat masih sepagi ini burung-burung masih belum begitu aktif. Ya, kami sedang melakukan kegiatan pengamatan burung di SM Sermo, Kulonprogo, DIY. Acara pengamatan ini adalah bagian dari acara FollowUp Gelatik dua hari ini yang diadakan oleh Kelompok Pengamat Burung Bionic UNY.

Sebenarnya acara FollowUp Gelatik sudah dimulai dari kemarin. Namun, acara kemarin baru diisi dengan materi tentang identifikasi dan seketsa yang dibawakan oleh Kholil, sesama rekan di Bionic, dan tentang dokumentasi dan publikasi oleh Mas Shaim, senior di Bionic. Acara pengamatan burung di daerah SM Sermo baru diadakan pagi esoknya, dimulai dari saat mentari baru merekah.

Pengamatan pagi ini dimulai dengan kejutan dari Burung Cucak kuning yang ternyata ada banyak sekali di sekitar SM Sermo. Pertama kali saya melihatnya, Cucak Kuning ini masih malas-malasan di atas ranting. Awalnya, karena cuaca yang masih gelap saya mengira kalau burung tersebut hanya burung Cucak Kutilang, namun si Abid salah satu teman seangkatan di Bionic berkata kalau burung tersebut adalah burung Cucak Kuning. Karena penasaran saya langsung melihat burung tersebut menggunakan binoculer. Benar saja, secara umum burung tersebut memang sama dengan cucak kutilang. Kepalanya yang memakai topi hitam berjambul. Ukuran, bentuk paruh dan ekor juga sama dengan cucak kutilang. Yang membedakan cucak kuning dengan cucak kutilang adalah dada hingga ke tunggirnya berwarna kuning. Berbeda dengan burung cucak kutilang yang hanya berwarna kuning di bagian tunggir sedangkan dadanya putih.

Selain terdapat banyak cucak kuning, ternyata di sekitar sermo ini juga terdapat banyak sekali burung madu. Hal ini terjadi karena banyak tersedianya pohon-pohon berbunga sebagai makanan dari burung ini. Sesuai namanya, burung madu menghisap nektar atau madu dari bunga-bunga tersebut menggunakan paruhnya yang panjang, kecil,  dan melengkung. Kami juga sempat melihat burung madu yang sedang mengumpulkan material untuk membangun sarang. Burung madu di daerah sermo terdiri dari dua jenis. Yakni, burung madu Sriganti dan burung madu Kelapa.

Untuk membedakan burung madu Sriganti dan madu Kelapa lebih mudah jika melihat pejantannya. Ya, untuk burung madu Sriganti dan Kelapa, jantan dan betinanya memiliki morfologi yang berbeda. Berbeda dengan manusia, burung pejantan berpenampilan lebih mencolok di banding yang betina. Bahkan saat membangun sarang, si betina lebih banyak mengumpulkan material dari pada si pejantan. Untuk membedakan burung pejantan madu Sriganti dan Kelapa dapat dilihat dari ukuran serta corak kepalanya. Ukuran madu kelapa sedikit lebih besar dari madu Sriganti. Pada pejantan madu Sriganti warna kepalanya adalah biru metalik yang sangat gelap, bahkan terkadang terlihat berwarna hitam jika tidak cermat melihatnya. Sementara itu untuk burung madu Kelapa, warna kepalanya juga biru metalik, namun tidak seluruhnya, karena warna tenggorokannya coklat dan terdapat gradasi warna hijau di samping tenggorokan. Mahkota madu kelapa juga berwarna hijau. Selain itu, iris keduanya juga berbeda. Madu Sriganti berwarna hitam sementara madu Kelapa berwarna merah. Selain perbedaan itu kedua pejantan ini memiliki morfologi yang sama. Dari paruh yang kecil, panjang, dan melengkung berwarna hitang, hingga badan berwarna kuning dan sayap yang hijau.

Akan lebih sulit untuk membedakan betina burung madu Sriganti dan Kelapa. Butuh kejelian untuk membedakan keduanya. Sama seperti pejantan, ukuran kedua betina ini juga berbeda. Madu Kelapa sedikit lebih besar dibanding madu Sriganti. Begitu pula dengan warna irisnya. Madu Kelapa berwarna merah sementara madu Sriganti berwarna hitam. Hal yang membedakan lainnya adalah terdapat alis berwarna putih pada bagian mata madu Kelapa, sedangkan pada madu Sriganti tidak terdapat alis tersebut. Selain perbedaan kecil itu kedua betina ini nyaris sama. Dari paruhnya yang panjang, kecil, dan melengkung berwarna hitam, kepala dan sayap berwarna hijau hingga badan yang berwarna kekuningan.

Pukul setengah tujuh semua peserta FollowUp Gelatik sudah mulai melakukan pengamatan bersama-sama. Mulai dari anggota Bionic angkatan beberapa tahun terakhir hingga yang entah angkatan berapa. Total berjumlah tiga puluhan peserta yang melakukan pengamatan bersama pagi-pagi ini. Peserta yang terlalu banyak yang hanya mengelompok menjadi satu kelompok ini sudah tidak lagi memungkinkan untuk melakukan pengamatan secara tenang. Akhirnya saya, Abid, Panji, Raden, dan Mas Kukuh memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompok besar ini.

Kami berencana melakukan pengamatan di area selatan RPH (penginapan). Di perjalanan lagi-lagi kami menemui burung madu, baik madu Sriganti maupun madu Kelapa, dan juga burung Cucak Kuning. Saat melewati RPH kami bertemu dengan Eki dan Bina yang akhirnya ikut dalam kelompok kecil kami. Mereka berdua adalah panitia dari acara FollowUp Gelatik kali ini sehingga belum sempat melakukan pengamatan bersama pagi tadi. Akhrinya binocular yang cuma dua dalam kelompok kecil kami di pegang oleh Eki dan Bina untuk mengamati burung Madu Sriganti, Madu Kelapa, dan Cucak Kuning.

Pukul 07.00 kami tiba di lokasi di selatan RPH. Sebuah bukit terbuka yang menghadap ke lembah yang berisi hutan jati dan beberapa hutan homogen di tebing seberang. Pemandangan yang sangat indah. Dari bukit ini kami bisa melihat lanscape barisan hijaunya pohon-pohon yang terbentang. Bahkan di bukit seberang yang jauh lebih tinggi dari bukit terbuka tempat kami berdiri berisi pohon-pohon besar. Menurut Mas Kukuh dan Raden, tempat ini sangat cocok untuk raptor swaring untuk mencari makan. Dan bukit ini sangat cocok untuk melakukan pengamatan mengingat areanya yang terbuka, bebas memandang ke hutan di seberang tanpa halangan apapun.

Sama halnya disekitar daerah sermo, di bukit terbuka ini juga terdapat banyak sekali burung madu. Selain itu banyak terdapat juga burung Bondol Jawa. Burung berukuran kecil yang sangat sering sekali di jumpai di daerah jawa. Mungkin hampir disetiap daerah di pulau jawa terdapat burung ini. Selain itu kami juga melihat tiga burung Sepah Kecil yang bergerombol dalam kelompok. Burung sepah kecil memang selalu berkelompok dalam kelompok kecil. Berbeda dengan keluarga sepah-sepah lainnya, burung Sepah Kecil ini memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan keluarga sepah lainnya, yakni berukuran sekitar 15cm. mungkin hal inilah yang mendasari namanya sebagai sepah kecil. Sepah Kecil juga tidak semerah sepah-sepah lainnya seperti Sepah Gunung dan Sepah Hutan. Kepala dan mantel burung ini berwarna abu-abu. Bahkan untuk yang betina lebih buram lagi dengan tubuh bagian atas abu-abu kecoklatan. Iris burung ini berwarna coklat dengan paruh dan kaki berwarna hitam. Namun sayang kami tak sempat mengamati menggunakan binoculer sehingga belum sempat mengidentifikasi mana yang jantan dan mana yang betina. Beberapa waktu setelahnya terlihat burung yang sama terbang melintasi kepala kami dalam kelompok kecil yang berjumlah lima ekor burung.

Pukul 07.40, sudah beranjak siang. Mungkin sudah cukup list burung untuk pagi ini. Saatnya kembali RPH untuk sarapan. Ketika kami sedang bersiap-siap pulang saya dan Abid melihat sekelebat hitam di pohon sebelah utara. Saya dan abid seketika heboh dan penasaran, lalu kami berdua turun sedikit dari bukit untuk memastikan makhluk apakah itu sambil meminta binoculer yang saat itu dibawa Eki dan Panji. Namun ketika kami sudah sedikit berjalan tiba-tiba makhluk tersebut yang ternyata burung terbang ke sisi lain lembah. Rupanya burung tersebut sejenis burung kadalan. Hal ini terlihat dari ekornya yang panjang serta ukurannya yang besar, mungkin sekitar 50cm. burung tersebut hinggap di salah satu pohon dengan jelas. Lalu, Eki yang saat itu tengah memegang binoculer segera saja mengamati burung tersebut. Ia melihat kalau ujung ekor berwarna merah. Namun burung tersebut kembali terbang dan tak terlihat lagi. Saya cukup kecewa karena belum sempat mengamati menggunakan binoculer.

Kami memutuskan untuk menunggu lagi di bukit terbuka ini, siapa tahu kadalan yang belum kami identifikasi secara lengkap muncul kembali. Namun kadalan tersebut belum keluar juga. Akhirnya Raden menggunakan teknik scanning untun mencari posisi kadalan tersebut. Teknik scanning adalah teknik menggunakan binoculer untuk melihat area untuk menemukan burung yang masih belum jelas keberadaannya. Ternyata Raden berhasil menemukan burung ini menggunakan teknik scanning. Burung tersebut berada pada salah satu pohon di seberang lembah, cukup jauh memang. Bina dan Ekki kembali mengamati burung tersebut menggunakan binoculer. Burung tersebut cukup aktif, berkali-kali berpindah-pindah ke dahan lainnya, cukup menyulitkan. Saya pun sudah tidak sabar untuk melihat burung tersebut menggunakan binoculer. Namun sayang, burung tersebut kembali masuk ke balik pohon. Akhirnya saya berkesempatan menggunakan binoculer. Saya dengan sabar kembali menunggu burung tersebut kembali muncul. Akhirnya kesempatan itu datang. Burung itu muncul kembali di ujung pohon. Kepalanya muncul dan dapat saya amati. Bagian tenggorokan hingga dada berwarna merah, pipi hingga tengkuk berwarna abu-abu, kulit sekitar mata berwarna merah, sebagian mahkota berwarna hijau, namun dengan jarak yang sangat jauh saya tak bisa mengamati paruhnya dengan detail. Rupanya burung tersebut sedang mencari sarapan yang berupa serangga-serangga. Burung tersebut kemudian turun ke dalam hutan, dan saya sempat mengamatinya menggunakan binoculer saat burung tersebut mengepakan sayapnya. Sungguh sangat anggun. Setelah diadakan diskusi dengan melihat buku makinnon sebagai panduan akhirnya kami memutuskan bahwa burung tersebut adalah burung Kadalan Birah. Setelah puas mengamati Kadalan Birah akhirnya kami memutuskan untuk berpindah tempat ke utara RPH.

Pukul 08.30, ketika kami berjumpa dengan kelompok besar dan Prajawan selaku ketua Bionic meminta kami untuk kembali ke RPH untuk sarapan terlebih dahulu sebelu melanjutkan pengamatan. setelah perut terisi kemudian sekitar pukul 09.00 kami memutuskan untuk kembali memulai pengamatan. Tapi untuk pengamatan kali ini tidak semua peserta FollowUp gelatik ikut. Kebanyakan anggota angkatan lama memilih untuk tetap di RPH, sedangkan anggota angkatan baru melakukan pengamatan. Saat akan memulai pengamatan terdapat sepasang burung kipasan di dekat RPH. Saya yang waktu itu masih berada di dalam RPH segera berhambur keluar dengan tidak lupa membawa binoculer. Setelah bertanya dimana letak burung tersebut kemudian saya melihat burung kipasan yang ternyata Kipasan Belang sedang aktif di atas pohon. Namun burung ini sangat aktif, saya belum sempat mengamati menggunakan binocular. Namun ternyata burung tersebut malah turun mendekat ke arah kami, jadi saya tidak usah susah-susah menggunakan binocular. Saya juga sempat menjumpai burung ini di lembah UGM, jadi sudah tidak begitu exaited seperti melihat kadalan birah.

Dari RPH kami naik sedikit kemudian berbelok ke barat mengikuti jalan raya. Kami mencoba mengamati burung dihutan sekitar jalan raya. Namun akhirnya kami turun ke dalam hutan karena dari jalan raya burung-burung tidak begitu terlihat. Ada jalan setapak kecil untuk yang bisa jadi jalan untuk memasuki hutan. Memasuki hutan kami menjumpai burung madu. Mas Kir juga sempat melihat burung Sepah Kecil. Namun rupanya pada spot ini burung-burung yang ada tidak begitu beragam. Saya sedikit masuk kedalam hutan bersama Panji saat teman-teman yang lain memanggil karena akan berpindah spot. Namun saat itu saya dan Panji tidak begitu memperhatikan panggilan mereka. Kami berdua sedang mengamati burung layang-layang yang sedang hinggap di salah satu pohon. Secara umum burung layang-layang tersebut sangat mirip dengan burung layang-layang rumah. Dada hingga muka berwarna abu-abu, perut kebawah berwarna putih. Sayap yang panjang dengan warna yang sama dengan punggung, gelap karena siluet. Tapi menurut saya sayap dan punggung berwarna hitam. Tunggingnya berwarna putih. Namun yang membedakannya dengan layang-layang rumah, ekornya panjang seperti layang-layang api. Terlalu asik mengamati burung tersebut saya melupakan kalau saya dan Panji terpisah dengan kelompok.

Kami berdua naik kembali ke jalan raya dan berusaha mencari kelompok. Namun kami tak menemui tanda-tanda kelompok. Kami pun memutuskan untuk kembali ke RPH. Saat dalam perjalanan pulang sayup-sayup saya mendengar suara teman-teman di bawah hutan. Kemudian saya dan Panji memutuskan untuk kembali masuk ke dalam hutan. Saya setengah berlari masuk terlebih dahulu kedalam hutan. Saya mengambil jalur berbeda dari saat masuk hutan pertama kali. Melewati semak-semak dan bagian lain yang memang bukan jalan karena berusaha untuk memotong jalan mendekati suara teman-teman. Namun saya akhirnya sadar kalau suara-suara tersebut berasal dari suara teman-teman di RPH. Ketika saya akan kembali naik tiba-tiba saya dikejutkan dengan seekor ayam yang terbang dari semak-semak di dekat saya. Rupanya ayam tersebut terganggu dengan kedatangan saya. saya terkejut ternyata seekor ayam bisa terbang sebegitu tinggi. Ayam tersebut kembali masuk ke semak-semak. Saya sempat melihat punggungnya yang berwarna hijau dengan corak merah di tengah-tengahnya menggaris ke arah kepala. Ukurannya sebesar pejantan ayam kampung. Rupanya yang saya lihat ini adalah ayam hutan merah. Saya langsung memanggi-manggil Panji yang masih berada di atas.

Setelah Panji turun kemudian kami blusukan untuk mencari kembali ayam hutan tadi. Namun sayang ayam hutan tersebut sudah menghilang entah kemana. Lalu kami kemudian blusukan lebih dalam ke dalam hutan setelah melihat layang-layang yang sama yang tadi kami lihat. Semakin dalam jalannya semakin susah meskipun dengan pohon-pohon yang tidak begitu padat. Namun sepertinya jalan yang kami lewati tidak pernah digunakan. Bahkan kami harus melewati sungai kering dan naik dari batu ke batu untuk naik ke bukit yang lebih terbuka. Namun sayang kami tidak bisa menambah list burung sejak blusukan tadi. Suasana sepi, hanya terdapat banyak suara-suara di dalam hutan namun tidak jelas itu burung apa. Kami menunggu cukup lama di atas bukit terbuka namun sayang hasilnya nihil. Setelah kecewa dengan hasil ini saya dan panji memutuskan untuk kembali ke RPH. Keringat sudah deras bercucuran. Selain karena udara yang panas dan cerah juga karena blusukan tadi cukup menguras Energi.

Saya cukup lama beristirahat di RPH. Minum air segar yang sedari tadi sangat saya rindukan. Di RPH saya ikut bergerombol dengan angkatan-angkatan tua yang tidak ikut pengamatan. Rupanya mereka sedang mendengarkan Jarot bercerita tentang pengalamannya main ke Badui luar dan dalam serta ke Ujung Kulon. Ia bercerita tentang kehidupan orang-orang badui, baik itu badui dalam amupun badui luar. Ia juga bererita tentang keindahan surga ujung kulon beserta sebagian detail-detainya. Keindahan yang ditawarkan surga di ujung barat pulau Jawa. Salah satu destinasi yang sangat ingin saya kunjungi. Mungkin esok saat sudah punya pengahasilan sendiri saya ingin sekali berkunjung ke Taman nasional Ujung Kulon.

Ketika sudah cukup istirahat dan sudah mulai merasa sedikit bosan akhirnya sekitar pukul 11.00 saya dan Panji ikut Arel, Mas Jul, Wahab, Nizar, Mas Shaim, dan Mas Ano hunting foto sekaligus main. Menurut Arel, kami akan main ke kali daerah Waduk Sermo. Jalanan cukup berkelak-kelok naik turun. Kami juga harus membayar retribusi masuk 10rb untuk empat motor.

Pemandangan di kali ini cukup bagus. Sungai kecil khas pegunungan dengan alirannya yang lumayan deras serta batu-batuan yang terlindungi dinding-dinding bukit yang hijau juga dinding dari bendungan waduk Sermo. Namun sayang, bau dari air tersebut cukup kurang nyaman, seperti air pembuangan sampah. Padahal kalau menurut saya airnya cukup jernih, entah berasal dari apa bau ini. Seperti bau berelang.

Teman-teman yang lain sudah mulai masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon yang lumayan rapat dan besar.

Rupanya sungai ini adalah lembah dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya. Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya panjang."

Saya langsung bangkit dari duduk dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah mana?" saya bertanya tidak sabaran.

"Di sana !" kata Panji sambil menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.

Saya pun langsung menggunakan binoculer untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum juga paham dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana nji?" saya kembali bertanya tidak sabaran.

"Di sana! Itu loh di atas semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan" Panji menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap digunakannya. Rupanya ia sedang asik mengamati.

Saya kembali mencari arah yang ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.

Saya pun mencoba mencari sudut pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun memutuskan untuk menyebrang sungai.

Sesampainya di seberang burung tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.

Saya berdiri di atas batu besar untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya benar-benar dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.

Akhirnya saya putuskan untuk kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah untuk bisa naik ke tebing tersebut.

Sebenarnya saya sedikit ragu bisa memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya saya memutuskan untuk memanjat.

Cukup susah memanjat tebing ini, apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat pada semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk naik ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan susah payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.

Sayapun langsung waspada dan mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi. saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi cukup menguras energi.

Saya sudah merasa cukup putus asa karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut, namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang. Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha menaiki tebing.

Saya sudah benar-benar putus asa. Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.

Namun, sama halnya seperti tadi. Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam yang tidak begitu jelas.

Saya pun bergeser berusaha mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk mendapatkan view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai harapan. Burung tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang bergoyang-goyang, seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya sedang serius untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah kembali berpindah turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan kepalang dengan burung ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.

Tebing yang satu ini lebih sulit dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya. Keringat sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi tanah tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.

Setelah perjuangan ekstra akhirnya saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi tebing ini terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menggarap lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian milik penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.

Ketika sedang berkeliling saya mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang woi?" Itu suara Panji.

Saya pun mencari sumber suara itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru sambil melambaikan tangan.

"Heh, kok kamu bisa berada di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.

"Lewat sebelah kanan Nji, jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.

Akhirnya setelah bersusah payah Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya tidak sabaran.

"Tadi terbang ke atas situ, terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil menunjukan tempat burung tadi menghilang.

Tebing di atas kami lumayan tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan penduduk untuk naik ke atas tebing.

Kami memutar cukup jauh. Beberapa kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.

Sesampainya di terasering paling atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah. Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto. Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar eksotis.

Akhirnya panji sampai juga di atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"

Saya menggeleng. "Ngga ada Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."

Ah, setidaknya meskipun tidak berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang dengan sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim menikmati karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan dan bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk Sermo yang mempesona.

Setelah puas memandangi pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun. Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di mana tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya, rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.

"Di sebelah sana, coba aja dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.

"Lho, kan kamu yang tahu tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.

"Benar juga katamu, baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.

Saya pun melempari tempat terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya, rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.

Burung tersebut terbang ke arah seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap, sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa di dalam hati.

Benar saja, burung tersebut kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana. Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat kemerahan.

Dari ketinggian ini saya bisa melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak. Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku mekinnon dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan Birah yang juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan burung-burung pada halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya sama dengan yang sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu burung yang sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.

Sama seperti tadi, burung tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut. Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.

Ah ya, saya jadi ingat akan film "The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan, Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa  menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)". Lalu stu menjawab dengan dingin "it's called 'birding', rick". Ya, birding, atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka menyebut Birding dari pada birdwatching.

Setelah pengamalaman hari ini, saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut. Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya. Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching' sudah harus  diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.
Ah, sudah puas mengamati dan berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi.

Benar saja, ternyata jalan turun memang benar-benar sulit. Kami tak bisa lagi melewati jalan se ekstrim saat naik. Kemi sempat mencoba untuk turun lewat dinding bendungan wafuk sermo. Tapi itu sama saja bununh diri, sanagat ekstrim. Akhirnya saya dan panji memutuskan untuk mengikuti jalan setapak milik penduduk setempat. Setelah menemukan celah untuk turun, akhirnya kami turun. Sesampainya di sungai hujan mulai turun. Segera saja saya berjalan cepat menyeberangi sungai untuk menuju tempat saya memarkir motor.

Akhirnya pukul 12.15 saya dan panji kembali sampai di RPH. Sesampainya di RPH saya langsung istirahatat. Saya juga ngbrol bersama teman-teman lain yang tadi terpisah saat birding di hutan. Sama seperti saya dan panji, mereka juga blusukan lebih jauh ke dalam hutan, dan mereka juga menemukan lebih banyak lagi 'buruan' burung. Salah satu yang membuat Prajawan exited adalah walik kembang, katanya ia baru pertama kali ini menjumpai burung ini. Saya sendiri belum pernah berjumpa dengan burung ini. Sama seperti saya, prajawan juga merasakan nikmatnya birding, berburu. Ia bahkan berkata bahwa saat birding seperti ini ia lebih suka menggunakan binoculler dari pada kamera, sensasi berburunya lebih terasa katanya. Saat obrolan ini saya juga dapat info dari mas Shaim kalu ternyata burung Bubut Jawa yang berhasil saya amati berstatus terancam. Wah, sebuah kehormatan bisa mengamati burung ini.

Akhirnya setelah makan siang, sholan dan foto-foto tentunya, kami kembali ke jogja. Ke kehidupan nyata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar