Hari ini 19 Mei 2013 adalah hari
terakhir FollowUp Gelatik yang bertempat di SM Sermo. Sudah cukup siang,
saatnya beristirahat setelah cukup lelah melakukan pengamatan sedari subuh
hingga siang ini. Saya pun memutuskan kembali ke RPH (penginapan) untuk
beristirahat dan berjumpa dengan air segar yang sudah sangat saya rindukan.
Keringat yang bercucuran ini rasanya sudah menguras semua cadangan air di tubuh
saya.
Setelah sampai di RPH saya
langsung meneguk air segar. Ah, rasanya benar-benar lega. Kemudian saya
duduk-duduk di teras depan sambil mendengarkan obrolan mas Kukuh, Wahab, Jarot,
dan Adin. Ternyata mereka sedang mengobrolkan Taman Nasional Ujung Kulon dan
masyarakat Badui. Sontak obrolan tersebut langsung kembali membangkitkan
semangat saya, semangat berpetualang. Rasanya lelah setelah pengamatan dan
blusukan di hutan tadi sudah hilang entah kemana.
Setelah obrolan itu selesai
rasanya ada sesuatu yang menggantung. Tiba-tiba bosan datang menyergap. Ada
semangat yang menuntut pelampiasan. Tepat ketika berada di ujung kebosanan
tiba-tiba arel dan mas jul keluar dari RPH. Mereka akan hunting foto di
"kali". Wah, momen yang tepat sekali. Segera saja saya menyambar
binoculler dan ikut mereka jalan-jalan di "kali".
"kali" yang akan kami
tuju rupanya berjarak cukup jauh sehingga untuk menujunya kami menggunakan
sepeda motor. Saya bersama panji naik motor bersama tiga motor lainnya yang
mengangkut Arel, Mas Jul, Nizar, Wahab, Mas Shaim, dan Mas Ano. Jalanan yang
kami lewati ternyata cukup naik turun dan berkelak-kelok. rupanya
"kali" yang akan kami tuju letaknya berada di bawah.
Akhirnya kami sampai juga di
"kali" yang dimaksud. Ternyata "kali" yang dimaksud adalah
belokan sebuah sungai kecil lengkap dengan batu-batuan khas sungai pegunungan
yang berbatasan dengan dinding Waduk Sermo. Saat kami datang tercium bau yang
kurang enak, seperti bau belerang atau malah bau air pembuangan. Padahal air
sungai di depan saya ini cukup jernih.
Teman-teman yang lain sudah mulai
masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga
memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk
masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke
sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup
curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat
terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan
pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon
yang lumayan rapat dan besar.
Rupanya sungai ini adalah lembah
dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya.
Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini
tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya
memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya
panjang."
Saya langsung bangkit dari duduk
dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah
mana?" saya bertanya tidak sabaran.
"Di sana !" kata Panji sambil
menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.
Saya pun langsung menggunakan binoculer
untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum juga paham
dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana nji?" saya
kembali bertanya tidak sabaran.
"Di sana! Itu loh di atas
semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan" Panji
menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap digunakannya.
Rupanya ia sedang asik mengamati.
Saya kembali mencari arah yang
ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya
saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah
cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan
berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung
tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali
tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.
Saya pun mencoba mencari sudut
pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke
dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan
bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan
dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat
sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali
saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun
memutuskan untuk menyebrang sungai.
Sesampainya di seberang burung
tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung
tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang
tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali
berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.
Saya berdiri di atas batu besar
untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi
area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak
menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya benar-benar
dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.
Akhirnya saya putuskan untuk
kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk
mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya
sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah
untuk bisa naik ke tebing tersebut.
Sebenarnya saya sedikit ragu bisa
memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung
misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir
tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat
bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya
saya memutuskan untuk memanjat.
Cukup susah memanjat tebing ini,
apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat pada
semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk naik
ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan susah
payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.
Sayapun langsung waspada dan
mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi.
saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan
mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah
sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi cukup
menguras energi.
Saya sudah merasa cukup putus asa
karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi
berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut,
namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang.
Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha
menaiki tebing.
Saya sudah benar-benar putus asa.
Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk
mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya
mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung
tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya
berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.
Namun, sama halnya seperti tadi.
Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya
tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun
masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam
yang tidak begitu jelas.
Saya pun bergeser berusaha
mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit
lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk
mendapatkan view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai
harapan. Burung tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang
bergoyang-goyang, seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya
sedang serius untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah
kembali berpindah turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan
kepalang dengan burung ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.
Tebing yang satu ini lebih sulit
dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih
sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya
harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya
tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya. Keringat
sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi tanah
tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk
berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.
Setelah perjuangan ekstra
akhirnya saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi
tebing ini terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk
menggarap lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian
milik penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah
berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing
yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya
pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari
celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.
Ketika sedang berkeliling saya
mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang
woi?" Itu suara Panji.
Saya pun mencari sumber suara
itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat
saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru
sambil melambaikan tangan.
"Heh, kok kamu bisa berada
di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga
mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.
"Lewat sebelah kanan Nji,
jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati
tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.
Akhirnya setelah bersusah payah
Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana
sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya
tidak sabaran.
"Tadi terbang ke atas situ,
terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil
menunjukan tempat burung tadi menghilang.
Tebing di atas kami lumayan
tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa
dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai
setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan
penduduk untuk naik ke atas tebing.
Kami memutar cukup jauh. Beberapa
kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan
hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan
kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari
saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.
Sesampainya di terasering paling
atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah.
Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung
tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak
bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh
mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat
denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa
melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto.
Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar
eksotis.
Akhirnya panji sampai juga di
atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"
Saya menggeleng. "Ngga ada
Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil
menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya
sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."
Ah, setidaknya meskipun tidak
berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang
terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang dengan
sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim menikmati
karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan dan
bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk Sermo
yang mempesona.
Setelah puas memandangi
pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun.
Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di mana
tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya,
rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.
"Di sebelah sana, coba aja
dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.
"Lho, kan kamu yang tahu
tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.
"Benar juga katamu,
baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.
Saya pun melempari tempat
terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung
tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun
mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua
ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi
untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan
sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya,
rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang
saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu
saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.
Burung tersebut terbang ke arah
seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin
panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung
kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap,
sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa
di dalam hati.
Benar saja, burung tersebut
kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana.
Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung
tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat
kemerahan.
Dari ketinggian ini saya bisa
melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat
melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya
yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu
kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang
sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini
saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak.
Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil
berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip
kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku mekinnon
dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan Birah yang
juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan burung-burung pada
halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya sama dengan yang
sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu burung yang
sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.
Sama seperti tadi, burung
tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak
sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut.
Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang
benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap
menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki
terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati
kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar
dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.
Ah ya, saya jadi ingat akan film
"The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis
tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di
Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan,
Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari
kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya
sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)".
Lalu stu menjawab dengan dingin "it's
called 'birding', rick". Ya, birding,
atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka
menyebut Birding dari pada birdwatching.
Setelah pengamalaman hari ini,
saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus
semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya
hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut
berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut.
Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk
mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya.
Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target
buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching'
sudah harus diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan
untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.
Ah, sudah puas mengamati dan
berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah
sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal
makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan
turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar