Jumat, 24 Mei 2013

Birding, Bukan Sekedar Birdwatching!!


Hari ini 19 Mei 2013 adalah hari terakhir FollowUp Gelatik yang bertempat di SM Sermo. Sudah cukup siang, saatnya beristirahat setelah cukup lelah melakukan pengamatan sedari subuh hingga siang ini. Saya pun memutuskan kembali ke RPH (penginapan) untuk beristirahat dan berjumpa dengan air segar yang sudah sangat saya rindukan. Keringat yang bercucuran ini rasanya sudah menguras semua cadangan air di tubuh saya.

Setelah sampai di RPH saya langsung meneguk air segar. Ah, rasanya benar-benar lega. Kemudian saya duduk-duduk di teras depan sambil mendengarkan obrolan mas Kukuh, Wahab, Jarot, dan Adin. Ternyata mereka sedang mengobrolkan Taman Nasional Ujung Kulon dan masyarakat Badui. Sontak obrolan tersebut langsung kembali membangkitkan semangat saya, semangat berpetualang. Rasanya lelah setelah pengamatan dan blusukan di hutan tadi sudah hilang entah kemana.

Setelah obrolan itu selesai rasanya ada sesuatu yang menggantung. Tiba-tiba bosan datang menyergap. Ada semangat yang menuntut pelampiasan. Tepat ketika berada di ujung kebosanan tiba-tiba arel dan mas jul keluar dari RPH. Mereka akan hunting foto di "kali". Wah, momen yang tepat sekali. Segera saja saya menyambar binoculler dan ikut mereka jalan-jalan di "kali".

"kali" yang akan kami tuju rupanya berjarak cukup jauh sehingga untuk menujunya kami menggunakan sepeda motor. Saya bersama panji naik motor bersama tiga motor lainnya yang mengangkut Arel, Mas Jul, Nizar, Wahab, Mas Shaim, dan Mas Ano. Jalanan yang kami lewati ternyata cukup naik turun dan berkelak-kelok. rupanya "kali" yang akan kami tuju letaknya berada di bawah.

Akhirnya kami sampai juga di "kali" yang dimaksud. Ternyata "kali" yang dimaksud adalah belokan sebuah sungai kecil lengkap dengan batu-batuan khas sungai pegunungan yang berbatasan dengan dinding Waduk Sermo. Saat kami datang tercium bau yang kurang enak, seperti bau belerang atau malah bau air pembuangan. Padahal air sungai di depan saya ini cukup jernih.

Teman-teman yang lain sudah mulai masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon yang lumayan rapat dan besar.

Rupanya sungai ini adalah lembah dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya. Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya panjang."

Saya langsung bangkit dari duduk dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah mana?" saya bertanya tidak sabaran.

"Di sana !" kata Panji sambil menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.

Saya pun langsung menggunakan binoculer untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum juga paham dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana nji?" saya kembali bertanya tidak sabaran.

"Di sana! Itu loh di atas semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan" Panji menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap digunakannya. Rupanya ia sedang asik mengamati.

Saya kembali mencari arah yang ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.

Saya pun mencoba mencari sudut pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun memutuskan untuk menyebrang sungai.

Sesampainya di seberang burung tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.

Saya berdiri di atas batu besar untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya benar-benar dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.

Akhirnya saya putuskan untuk kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah untuk bisa naik ke tebing tersebut.

Sebenarnya saya sedikit ragu bisa memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya saya memutuskan untuk memanjat.

Cukup susah memanjat tebing ini, apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat pada semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk naik ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan susah payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.

Sayapun langsung waspada dan mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi. saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi cukup menguras energi.

Saya sudah merasa cukup putus asa karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut, namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang. Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha menaiki tebing.

Saya sudah benar-benar putus asa. Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.

Namun, sama halnya seperti tadi. Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam yang tidak begitu jelas.

Saya pun bergeser berusaha mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk mendapatkan view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai harapan. Burung tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang bergoyang-goyang, seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya sedang serius untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah kembali berpindah turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan kepalang dengan burung ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.

Tebing yang satu ini lebih sulit dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya. Keringat sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi tanah tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.

Setelah perjuangan ekstra akhirnya saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi tebing ini terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menggarap lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian milik penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.

Ketika sedang berkeliling saya mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang woi?" Itu suara Panji.

Saya pun mencari sumber suara itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru sambil melambaikan tangan.

"Heh, kok kamu bisa berada di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.

"Lewat sebelah kanan Nji, jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.

Akhirnya setelah bersusah payah Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya tidak sabaran.

"Tadi terbang ke atas situ, terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil menunjukan tempat burung tadi menghilang.

Tebing di atas kami lumayan tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan penduduk untuk naik ke atas tebing.

Kami memutar cukup jauh. Beberapa kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.

Sesampainya di terasering paling atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah. Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto. Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar eksotis.

Akhirnya panji sampai juga di atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"

Saya menggeleng. "Ngga ada Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."

Ah, setidaknya meskipun tidak berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang dengan sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim menikmati karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan dan bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk Sermo yang mempesona.

Setelah puas memandangi pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun. Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di mana tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya, rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.

"Di sebelah sana, coba aja dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.

"Lho, kan kamu yang tahu tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.

"Benar juga katamu, baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.

Saya pun melempari tempat terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya, rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.

Burung tersebut terbang ke arah seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap, sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa di dalam hati.

Benar saja, burung tersebut kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana. Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat kemerahan.

Dari ketinggian ini saya bisa melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak. Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku mekinnon dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan Birah yang juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan burung-burung pada halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya sama dengan yang sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu burung yang sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.

Sama seperti tadi, burung tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut. Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.

Ah ya, saya jadi ingat akan film "The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan, Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa  menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)". Lalu stu menjawab dengan dingin "it's called 'birding', rick". Ya, birding, atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka menyebut Birding dari pada birdwatching.

Setelah pengamalaman hari ini, saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut. Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya. Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching' sudah harus  diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.

Ah, sudah puas mengamati dan berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar