Jumat, 15 Maret 2013

lelucon tentang cinta


Senyap dan sepi, malam ini bergelas-gelas kopi kembali memenuhi dahaga pangkal lidahku akan rasa pahit. Rasa yang mengantarkanku pada imajinasi bebas yang melesat mamancar ke segala arah. Hingga akhirnya imaji itu meninggalkan goresan-goresan untuk kumaknai. Di sini, dalam keheningan malam. Seperti kopi yang masih meninggalkan rasa pahit di pangkal lidahku.

Seorang teman mengunjungiku malam ini, seseorang yang membawa banyak cerita untuk dibagi dalam keheningan malam. Dan aku menyediakan kopi untuk membebaskan dirinya malam ini. Kopi dengan rasa yang mencabik pangkal lidah hingga lidahnya lemas. Rasa itu membawanya terbang seperti burung, menatap semesta dengan caranya sendiri, setiap sudut tanpa terlewat. Seperti apa yang rasa itu selalu lakukan padaku.

Cerita-ceritanya malam ini berpangkal pada satu lelucon tentang cinta. Sebenarnya aku tak benar-benar mengerti apa itu cinta, dan mengapa pula aku menyebutkannya sebagai sebuah lelucon. Aku hanya ingin menertawakannya tanpa tau sisi mana yang lucu dari cinta. Kisah temanku ini, kisahku -yang ngga aku bagi-, dan mungkin kisah pecinta-pecinta lainnya di bumi ini. Mungkin letak kelucuan dari cinta adalah ketidakmengertianku tentang cinta, tapi aku begitu sok tahunya, dan bahkan berlagak menjadi orang yang paling mengerti tentang cinta. Padahal aku sama sekali tak mengerti apa itu cinta.

Temanku ini berkisah tentang hubungan-hubungannya yang terdahulu dengan perempuan-perempuan yang pernah mengisi cerita hidupnya dengan cinta. Rasa bahagia yang dibawanya, rasa sakit yang menyertainya, rasa bimbang yang bertaburan dimalamnya, dan ada banyak rasa lagi yang mengalir bersama aliran cinta. Satu hal yang aku mengerti akan cinta, ternyata cinta itu berbeda dengan kopi. Kopi hanya menyediakan rasa yang sama pada tiap teguknya, tapi cinta memiliki banyak rasa pada masing-masing tegukan. Dan kesemua rasa itu bersifat acak tanpa kita bisa memilihnya.

Seperti itukah cinta? Tak adakah rasa yang mampu menggambarkannya secara jelas?

Selanjutnya temanku ini bercerita tentang kisah percintaan yang sedang ia alami sekarang. Bagaimana ia berjumpa dengan seorang perempuan. Sebenarnya bukan pertama kali itu berjumpa dengan perempuan ini. Ia sudah lama mengenalnya. Namun hanya perkenalan yang hanya sebatas tahu, dan dulu ia hanya menganggap perempuan ini sebagai kenalan biasa. Hingga suatu hari, pada sebuah perjalanan yang tidak terduga, jalan takdir memperkenalkan mereka lebih dalam lagi. Dan sesaat setelah massa itu, temanku ini merasa ia telah jatuh cinta pada perempuan ini.

Saat ku tanya kenapa ia mencintainya, temanku ini hanya menjawab bahwa ia mencintai perempuan ini karena ia merasa nyaman saat bebincang dengan perempuan ini. Ia juga merasa kagum akan sifat-sifat perempuan ini yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Ia benar-benar menikmati rasa yang ia rasakan sekarang, rasa bahagia para pecinta yang sedang dimabuk asmara. Lalu, ketika datang sebuah massa ketika rasa nyaman itu menguap bersama putaran waktu dan perempuannya berubah mengikuti aturan jalan takdir yang tak pernah terduga, akankah masih ia mencintainya?

Hingga saat ini temanku ini masih belum menyatakan perasaanya, baik dalam bentuk pertanyaan, maupun dalam bentuk pernyataan. Saat ini, ia masih terlalu asik untuk menikmati rasa yang dibawa olehnya. Rasa yang terkadang justru membuatnya terjaga lebih lama dalam kegalauan. Menatap langit-langit kamar dalam keremangan malam, menahan rindu yang belum juga tersampaikan, mengutuk bibir yang belum mmengucap apa yang hatinya ingin ucapkan. Ia masih terlalu sibuk untuk merenda-renda khayalan, merangkainya menjadi harapan-harapan yang menguncup indah. Berbau semerbak harum.

Seperti itukah cinta? Lalu apa bedanya ia dengan obat-obatan terlarang yang membuat syaraf-syarafnya tetap terjaga sepanjang malam?

Ia bercerita padaku tentang bagaimana perempuan ini selalu bersikap spesial padanya. Pernah suatu hari perempuan ini meminjam pundaknya untuk bersandar dikala lelah. Temanku ini, senang bukan kepalang. Hingga malam ini, ia masih dengan semangatnya menceritakan kisah ini dengan detail sedetail-detailnya. Pernah suatu hari dalam sebuah perjalanan bersama perempuan ini -yang juga dengan teman-temannya-, ia meminjamkan kain sarungnya untuk melindungi tubuh perempuan ini dari terpaan angin. Hingga saat ini, mungkin sudah berminggu-minggu, ia berjanji untuk tidak mencuci kain sarungnya tersebut. Padahal menurut logikaku, logika orang waras tentunya, bau perempuannya itu sudah pasti akan tergantikan oleh bau apek yang umum muncul dari sebuah kain yang tak pernah dicuci. Ada banyak kejadian-kejadian antara temanku ini dengan perempuannya yang boleh jadi dianggap biasa saja olehku, mungkin juga oleh kalian, tapi entah pasal apa temanku ini bercerita dengan sangat semangatnya bahwa kejadian-kejadian itu adalah pertanda yang selalu membuat cintanya tumbuh semakin mekar. Dan lebih banyak lagi kata-kata yang terucap dari bibir perempuan ini yang selalu ditanggapi dengan impulsif oleh temanku ini yang menjadikanku  berpikir bahwa temanku ini lebih mirip sebagai mesin perekam suara.

Ia lupa bahwa orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu hari ia tak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.

Begitukah yang namanya cinta? Ia seperti sebuah fatamorgana yang menyesatkan para penjelajahnya yang sedang berusaha untuk memaknainya?

Saat ini aku bisa menertawakan itu semua sebagai sebuah lelucon yang memang pantas untuk ditertawakan. Pertanyaan-pertanyan yang hanya digunakan sebagai pemantas untuk olok-olokku akan kisah temanku yang sedang jatuh cinta ini. Pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan lagi jawaban. Aku lupa bahwa aku pernah berada pada suatu massa seperti itu. Keadaan yang sama dengan temanku yang sedang jatuh cinta ini. Mencari banyak alasan untuk membenarkan perasaanku. Menatap langit-langit kamar sepanjang malam dengan tatapan kegalauan. Membiarkan hati menjebakku dalam sebuah kebahagian yang palsu. Aku pernah mengalami itu semua dulu. Jauh sebelum pemahaman baik itu datang.

Aku bisa menertawakan kisah itu karena sekarang aku berada pada sisi yang berbeda dengan temanku ini. Aku tidak lagi berada dalam keadaan yang sama seperti temanku ini. Aku telah berhasil keluar dari pemahaman tentang cinta yang mengotak-kotakannya pada rasa tertentu. Karena menurutku cinta itu tidak berasa. Tapi ia ada. Dan ia tak perlu alasan untuk menunjukan keberadaannya. Cinta hanya meninggalkan jejak-jejak untuk dimaknai keberadaannya. Jejak-jejak yang berupa kata kerja, bukan kata sifat.

Cinta itu ibarat mata air segar yang keluar dari dalam tanah, kita hanya perlu sesuatu yang cukup kuat untuk mengendalikannya. Menutupnya ketika dirasa cukup, atau mengalirkannya ketika kehausan. Seperti itulah cinta, ia hanya butuh hati yang kuat untuk mengendalikannya. Hingga ia tahu kapan waktunya merasa cukup, karena cinta itu tentang harga diri. Dan cinta yang tak sesuai takarannya hanya akan menariknya dari dunia logika. Cinta yang terkendali kemudian akan bisa dikonfersi menjadi sebuah energi positif yang akan membawanya naik tingkat pada tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi lagi. Dan cinta yang seperti itu akan mendorongnya menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Cinta, cinta, cinta.... sampai sekarangpun aku belum benar-benar mengerti apa itu cinta. Tapi yang jelas, sekarang aku bisa menertawakan lelucon tentang pemahaman cinta orang-orang yang sedang mabuk asmara. Orang-orang yang tidak mampu mengendalikan perasaan cinta di dalam hatinya. Sekarang aku bisa menertawakannya, namun esok lusa mungkin aku akan kembali terjebak pada pemahaman seperti itu lagi. Apa yang aku fikirkan sekarang mungkin nantinya hanya akan menjadi sebuah omong kosong besar tentnag kemunafikan. Tapi esok biarlah takdir yang akan menjawabnya, aku hanya sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan sekarang. Aku akan berusaha untuk sekuat tenaga menjaga idealisme seperti ini. Dan aku sungguh-sungguh berdoa dari hatiku yang paling dalam agar temanku ini bisa mengerti akan makna yang bisa ia peroleh dari jalan takdir yang dipersiapkan padanya hingga ia mendapat pemahaman baru tentang cinta. Mungkin tak sama dengan pemahamku, tapi setidaknya suatu hari nanti ia bisa menertawakan pemahamannya tentang cinta di hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar