Dulu
sekali, aku pun tak ingat kapan. Aku pernah memiliki benih pohon melon. Benih
yanhg aku dapat dari liburan di madiun, di rumah paman. Sebenarnya aku tak
begitu suka melon, tapi aku sangat bersemangat untuk menanam benihnya.
Setelah
sampai di rumah kembali, aku tak menunggu lama untuk menanam benih tersebut di
depan halaman rumah. Membayangkan bisa menikmati melon dari pohon melon yang di
tanam sendiri sungguh sangat membuatku bersemangat.
Benih
itu aku tanam di daerah yang rindang, yang terlindung dari cahaya matahari
langsung, seperti saran dari paman. Tiap sore aku menyiraminya, merawatnya.
Bahkan memberinya sedikit pupuk, untuk menambah nutrisinya.
Waktu
berlalu, dan benih itu telah tumbuh menjadi pohon melon yang bagus. Aku sungguh
senang saat melihatnya. Aku sungguh sudah tidak sabar lagi untuk menikmati buah
melon dari pohonnya langsung.
Waktu
kembali berlalu, mulai tumbuh bunga, kemudian lama kelamaan bunga tersebut
berubah menjadi buah yang masih kecil. Ah, menatapnya saja membuatku kembali
bersemangat. Aku sunggguh bahagia ketika melihatnya. Aku bersemangat, dan aku
kembali merawat pohonnya sebaik yang bisa kulakukan.
Namun,
ternyata kenyataan berkata lain. Memang kadang kenyataan itu dengan teganya
menghianati harapan yang sudah disusun matang-matang. Kenyataaan itu
menjatuhkan mimpi yang sudah disusun sedemikian rupa. Pohon melon yang aku
rawat setiap hari dengan sangat baik tiba-tiba layu, kemudian mati.
Aku
melapor kepada ayah dengan sesenggukan, bahwa pohon melon yang aku rawat setiap
hari itu telah mati. Dan ayah berkata sambil tersenyum, membelai rambutku,
bahwa sudah seharusnya pohon itu mati. Karena pohon melon hanya bisa tumbuh
dengan baik di daerah dataran tinggi, sementara daerahku merupakan dataran
rendah dengan udara panasnya. Ayah memberi pengertian padaku bahwa sebaik
apapun aku merawat pohon melon itu, akhirnya pohon melon itu akan tetap mati.
Ia hanya menunggu waktu saja untuk mati, ia tak akan berbuah seperti di rumah
paman yang notabennya adalah dataran tinggi. Dan untuk menghiburku kemudian
ayah membelikanku buah melon. Tentu saja aku yang masih kecil waktu itu
langsung lupa perihal pohon melon yang mati.
Sekarang,
ketika aku mengenang kejadian itu, ada sebuah pemahaman yang terbawa bersama
berlalunya waktu dan kejadian. Bahwa pohon melon itu seperti sebuah perasaan.
Ya,
sebuah perasaan yang kita tanam di dalam hati kita. Perasaaan suka, cinta, atau
sayang sekalipun. Kalau memang ia bukan jodoh kita, sebaik apapun kita
merawatnya ia tak akan pernah berbuah. Ia hanya menunggu waktu untuk layu,
kemudian mati. Kita tak bisa memaksakan perasaaan, yang bukan jodoh kita untuk
berbuah.
Mungkin
perasaan itu bisa membahagiakan kita, ketika melihatnya tumbuh inci demi inci.
Namun kalau memang bukan jodohnya, suatu hari pasti perasaan itu akan layu
dengan sendirinya, kemudian mati. Hanya bekas layunya yang tersisa di dalam
lahan hati kita, bahkan terkadang meninggalkan luka di sana.
Namun,
apabila sudah jodohnya. Entah benih itu terbang oleh angin atau terbawa musim
dan dengan tidak sengaja jatuh kedalam lahan hati kita. Atau ada orang lain
yang membawakan benih itu kepada kita. Benih itu akan tumbuh dengan sendirinya,
meskipun tak pernah kita menyiraminya, merawatnya. Tapi ia akan tetap tumbuh,
dan ketika kita menyadarinya pohon itu telah berbuah. Karena pohon itu cocok
dengan lahan di hati kita. Itulah yang namanya jodoh.
Perasaan
itu memang seperti itu. Perasaan tetaplah perasaan. Suatu waktu kita memang
pernah suka dengan seseorang, tapi kita tak bisa memaksakan perasaan itu. Kalau
memang berjodoh, perasaaan itu akan menemukan jalannya sendiri, dan ketika kita
sadar perasaaan itu telah berbuah lebat membawa kebahagiaan.
Maka
itu, tak usahlah sibuk mencari cintalah, mencari pacarlah. Karena ketika memang
jodohnya, ia akan menemukan jalannya sendiri dengan cara yang tak pernah
dibayangkan dunia. Karena itulah, alangkah baiknya jika kita seharusnya
menyiapkan diri kita, menyiapkan lahan dihati kita untuk suatu hari itu.
Melihat luasnya dunia, meraup pelajaran hidup sebanyak-banyaknya agar lahan di
hati kita menjadi lahan yang subur, dan apa bila tiba suatu hari itu, benih itu
akan tumbuh dengan subur tanpa kita sadari.
Dan
aku benar-benar menunggu akan saat-saat itu, menungguku bukannya tanpa usaha.
Usahaku adalah bagaimana memperiapkan diri untuk hari itu. Menjadi pribadi yang
jauh lebih baik dari sekarang. Kalupun ada pohon yang tumbuh di dalam hati ini,
biarlah ia tumbuh dengan sendirinya. Ketika aku sudah siap, kita lihat esok
akan menjadi apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar