Rabu, 13 Maret 2013

Sebuah Lelucon Kehidupan


Malam kian larut, bercampur dalam pekat yang gelap. Jiwa-jiwa lelah telah lama membaringkan diri dalam sebuah peristirahatan yeng mengantarkannya kepada alam mimpi. Berselimut dalam kehangatan yang melindunginya dari malam yang kian dingin saja. Begitu pula denganku, sudah saatnya aku menuju zona nyamanku, ruang 2x3 tempatku pulang dari kepenatan hidup. Tempatku untuk merenungi apa-apa yang sudah terjadi dan melelahkanku. Disini aku membagi cerita lewat rumah 14 inci ini...

Malam ini, entah kenapa tiba-tiba aku ingin kembali meneguk pahitnya kopi, merasakan sensasi rasa yang mncabik-cabik pangkal lidahku. Pahit dan kental. Dan memadukan rasa itu dalam gelap malam, kemudian mengaduknya dalam putaran makna. Panas dan dingin, bercampur menentramkan jiwa...

Aku menikmatinya, sebuah rasa yang terkadang diremehkan, bahkan lebih sering dibenci. Lewat bergelas-gelas ini aku mencoba menikmati rasa pahit. Aku memaknainya lewat kopi. Aneh memang, tapi begitulah aku, dan aku menikmatinya. Sampai-sampai ada beberapa teman kost yang hilir mudik keluar masuk kost mengomentari aku yang duduk di depan kost sendiri hanya dengan secangkir kopi. Seperti orang gila kata mereka, dan aku hanya tertawa menimpalinya. Memang mungkin begitulah pandangan orang-orang tentangku, tapi mau bagaimana lagi, aku menikmatinya. Karena aku sedang merindukan pahitnya secangkir kopi. Dan aku sedang ingin menikmatinya bersama malam, bukan karena galau atau sedih, aku hanya ingin menikmati secangkir kopi pahit. Itu saja. Sama halnya orang yang sedang ingin merokok atau ingin minuman alkohol, aku hanya sedang ingin menikmati kopi di antara malam ini.

Tandas sudah segelas kopi yang pekat ini menari-nari di atas lidahku. dan aku benar-benar puas. Aku bersiap menuju ruang 2x3 ku ketika teman kostku, si pria galau pulang. Ahhhh, alamat mulai menggalau ini kalu sudah duduk berdua begini di depan kost. Benar saja, berbagai topik cerita dan kisah tuntas dibahas dalam sesi malam ini.

Teman kost ku ini, aku menyebutnya si pria galau, karena terlalu seringnya kita membicarakan banyak hal tentang kegalauan masing-masing, lebih banyak dia tentunya...hehe. tapi, dia, pria galau ini satu frekuensi denganku, jadi apapun itu yang dibicarakan, walau kadang terlalu sok dewasa dan munafik tetap nyambung saja. Dan sebenarnya aku bisa berdiskusi dengan diriku sendiri lewat cerita-cerita yang kita bagi, meskipun hanya tersirat.

Secangkir kopi pahit yang telah habis tadi cukup untuk mengantarkanku pada diskusi galau dan idealis dengan si pria galau, teman kostku ini. Tema malam ini masih sama tentang perempuan yang sama yang membuatku menyematkan nama pria galau untuk temanku yang satu ini.

Malam ini kami membicarakan bagaimana tentang norak dan kampungan nya seorang pecinta yang sedang PDKT. Masa lalunya, juga masa laluku dulu. Malam ini, kita berdua menertawakan masa-masa itu...

Ia, si pria galau ini bercerita panjang lebar tentang kepecundangannya dia. Bagaimana ia hanya berani menyapa perempuannya lewat dunia maya, bukan dunia nyata. Saat-saat dimana ia merasa galau tingkat dewa ketika tidak bisa mengutarakan perasaannya. Dan masih banyak hal lagi yang menunjukan bagaimana norak dan kampungannya ia.

Sama halnya denganku, bukankah sudah kukatakan kalau aku dan pria galau ini satu frekuensi, jadi apa-apa yang ia critakan akan mempengaruhi ku juga, hingga akhirnya aku pun bercerita tentang kisahku dulu. Bagaimana noraknya aku dulu saat mealkukan PDKT.

Ya, dulu aku pernah berusaha untuk mendekati salah seorang perempuan. Ia memang manis, dan cantik. Itulah alasan utama yang membuatku tertarik untuk mendekatinya. Ia seorang mahasiswi kimia yang ikut dalam praktikum fisika dimana aku menjadi asistennya. Cerita konyol dan norak tentang seorang yang ingin PDKT pun dimulai dari sini...

Pertama aku menanyakan no telfonnya pada teman-teman dekatnya. Kemudian aku searcing jejaring sosialnya, dan proses norak itupun dimualilah. Entah apa yang memotifasiku untuk melakukan ini, yang pasti bukan cinta. Mungkin karena rasa iriku akan pasangan-pasangan kekasih disekitarku, dan aku ingin pula merasakan hal yang sama setelah begitu lamanya aku menjomblo. Ceritapun dimulai disini.

Aku mulai intens untuk mendekatinya, dari mulai sms, hingga chating dengannya di dunia maya. Berkirim pesan tiap pagi, membangunkannya ketika azan subuh. Terkadang aku heboh sendiri ketika mendapat balasan darinya, harap-harap cemas memikirkan ribuan kisah yang aku susun sendiri dalam dunia khayalku. Selalu bersikap berlebihan menanggapi hal-hal yang sebenarnya biasa. Bercerita kepada semua teman betapa bahagianya aku yang sedang jatuh cinta ini. Ah aku kadang tertawa sendiri ketika mengingat itu semua. Namun itu semua hanya di didunia maya, kerena kenyataan di dunia nyata, aku sama sekali tak pernah punya keberanian untuk menyapa nya. Pecundang, begitu aku menyebutnya.
Ya begitulah seorang pecinta ketika sedang mengalami proses itu. Terlihat kekanak-kanakan dan sungguh kalau boleh aku bilang, NORAK. Aku juga pernah mengalami itu semua, begitu pula dengan si pria galau tadi, dan boleh jadi para pecita di muka bumi ini. Namun tidak semuanya sebenarnya, karena masih banyak jiwa-jiwa idealis di luar sana yang berbeda dari pecinta kebanyakan. Ialah orang-orang yang mencintai bukan karena iri melihat orang lain memiliki pacar, atau karena olok-olok status jomblo. Ialah jiwa-jiwa yang tau apa-apa yang baik buat dirinya, bukan karena orang-orang disekitarnya, bahkan orang-orang yang tak dikenalnya. Aku sungguh mengagumi jiwa-jiwa seperti itu.

Malam ini, aku dan pria galau sedang menertawakan kisah kita masing-masing. Masa lalu itu memang sungguh memalukan, tapi aku tak pernah menyesalinya. Karena tanpa masa-masa itu aku takkan pernah bisa melangkah dalam tingkatan kedewasaan yang seperti sekarang ini. Belum dewasa memang, masih jauh dari kata itu. Tapi setidaknya aku bisa menertawakan masa yang sudah lewat itu, itu sebagai pertanda bahwa aku sudah naik ketingkatan yang lebih tinggi dari aku yang dulu. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari kisah-kisah yang sudah lalu, itu lah yang terus menempaku dalam putaran waktu.

Dan yang aku sendari sekarang, mungkin memang masih terlalu banyak kekurangan yang aku punya, tapi setidaknya ada beberapa hal yang berubah jauh lebih baik dari dulu di dalam diriku ini. Seorang pecundang ini mungkin masih belum menjadi seorang pemenang, tapi setidaknya pecundang ini sedang berjuang menata hidupnya lewat idealisme-idealismnya. Setidaknya sekarang aku sudah bisa menertawakan kisahku dulu, bahkan kisah-kisah teman yang sedang dalam proses itu. Ada yang sedang galau jatuh cinta dan sedang proses PDKT, ada yang galau tentang status jomblonya dan iri melihat pasangan-pasangan kekasih disekitarnya, dan masih banyak hal-hal norak untuk ku tertawakan sekarang ini.

Dan sekarang, ketika aku jatuh cinta dengan seseorang, setidaknya aku tak se impulsif dan se drama dulu. Sebuah perasaan cinta adalah urusannya dengan dirinya sendiri. Tak harus diumbar dan diceritakan kepada semua orang, cukup dibagi dengan dirinya sendiri. Rasa itu berbunga dengan indah dari dalam, bukan karena melihat lingkungan sekitarnya, atau karena kebosanannya akan kesendirian. Rasa cinta itu sesuatu yang misterius yang harusnya bisa ia jaga dan kendalikan. Dan cinta itu kata kerja, bukan kata sifat, jadi tak seharusnya cinta membuatnya galau dan terpuruk, karena cinta itu seharusnya berupa kerja-kerja yang akan membahagiakannya dan mengisinya dengan energi positif yang meletupkannya menuju tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi dari sekarang.

Tetnang perasaanku yang satu ini, aku tak berniat untuk membagikannya dengan siapa-siapa, bahkan dengannya, si pria galau. Aku hanya ingin menikmatinya sendiri, memaknainya hingga mengantarkanku pada tingkatan selanjutnya. Dan aku sedang berusaha mengontrolnya karena aku yang sekarang ini benar-benar tidak siap untuk menjalani apa yang orang sebut dengan pacaran (walaupun aku kemarin dengan nekatnya -ceroboh- menyatakan perasaan itu kepadamu gadis kecil). Dan aku benar-benar bersyukur karena kau tak membalasnya, karena aku memang benar-benar belum siap untuk itu. Aku hanya bisa naik sedikit dari kepecundanganku dulu. Ada masih banyak hal yang harus aku perbaiki sekarang.

Mungkin terdengar idealis, tapi memang begitulah aku sedang berusaha sekarang, menjadi seorang idealis. Persetan dengan olok-olok mereka akan kesendirianku saat ini, karena aku memang jauh dari siap sekarang ini. Hidupku ya hidupku ini, aku jauh lebih mengerti akan hidupku ini dari pada orang-orang yang mengolok-olokku itu, kuanggap mereka sebagai angin lalu dan lelucon yang harusnya aku tertawakan.

Pria idealis ini sudah punya caranya sendiri untuk hidup. Dan ia sedang berusaha untuk menjadi dirinya sendiri hingga mencapai apa yang disebut dengan aku. Berusaha merealisasikan idealismenya. Ada bnyak hal yang harus diperbaiki dalam dirinya, dan ketika saatnya nanti tiba, ketika ia benar-benar siap takdir akan membimbingnya kedalam cerita yang mungkin sama sekali tak pernah ia duga. Dalam sebuah cerita yang berjudul aku. Cerita yang mengantarkan aku kedalam kisah tentang cinta bersama perempuan yang membawa sebagian tulang rusukku. Aku benar-benar percaya akan hal itu. Sekarang, aku hanya berusaha untuk melakukan apa yang terbaik yang bisa aku lakukan.

Apakah kau percaya bahwa kau bisa mengubah takdir? Jawabanku tidak, aku hanya bisa melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan, hingga kemudian takdir itu yang akan datang dengan sendirinya kedalam kehidupanku.

Untuk secangkir kopi hitam yang telah mengantarkan sebuah rasa yang berhasil mencabik-cabik pangkal lidahku. Kerinduan yang tertuntaskan.
Untuk si pria galau yang telah berhasil naik tingkat.
Dan untuk semua pecinta-pecinta yang sedang menjalani proses yang benar-benar norak. Esok hari kalian akan menertawakan kisah-kisah kalian hari ini, begitu pula aku yang mungkin entah kapan nanti akan menertawakan kisahku hari ini. Waktu akan membimbing kita semua dalam tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi dari sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar