Malam
kian larut, bercampur dalam pekat yang gelap. Jiwa-jiwa lelah telah lama
membaringkan diri dalam sebuah peristirahatan yeng mengantarkannya kepada alam
mimpi. Berselimut dalam kehangatan yang melindunginya dari malam yang kian
dingin saja. Begitu pula denganku, sudah saatnya aku menuju zona nyamanku,
ruang 2x3 tempatku pulang dari kepenatan hidup. Tempatku untuk merenungi
apa-apa yang sudah terjadi dan melelahkanku. Disini aku membagi cerita lewat
rumah 14 inci ini...
Malam
ini, entah kenapa tiba-tiba aku ingin kembali meneguk pahitnya kopi, merasakan
sensasi rasa yang mncabik-cabik pangkal lidahku. Pahit dan kental. Dan
memadukan rasa itu dalam gelap malam, kemudian mengaduknya dalam putaran makna.
Panas dan dingin, bercampur menentramkan jiwa...
Aku
menikmatinya, sebuah rasa yang terkadang diremehkan, bahkan lebih sering
dibenci. Lewat bergelas-gelas ini aku mencoba menikmati rasa pahit. Aku
memaknainya lewat kopi. Aneh memang, tapi begitulah aku, dan aku menikmatinya.
Sampai-sampai ada beberapa teman kost yang hilir mudik keluar masuk kost
mengomentari aku yang duduk di depan kost sendiri hanya dengan secangkir kopi.
Seperti orang gila kata mereka, dan aku hanya tertawa menimpalinya. Memang
mungkin begitulah pandangan orang-orang tentangku, tapi mau bagaimana lagi, aku
menikmatinya. Karena aku sedang merindukan pahitnya secangkir kopi. Dan aku
sedang ingin menikmatinya bersama malam, bukan karena galau atau sedih, aku
hanya ingin menikmati secangkir kopi pahit. Itu saja. Sama halnya orang yang sedang
ingin merokok atau ingin minuman alkohol, aku hanya sedang ingin menikmati kopi
di antara malam ini.
Tandas
sudah segelas kopi yang pekat ini menari-nari di atas lidahku. dan aku
benar-benar puas. Aku bersiap menuju ruang 2x3 ku ketika teman kostku, si pria
galau pulang. Ahhhh, alamat mulai menggalau ini kalu sudah duduk berdua begini
di depan kost. Benar saja, berbagai topik cerita dan kisah tuntas dibahas dalam
sesi malam ini.
Teman
kost ku ini, aku menyebutnya si pria galau, karena terlalu seringnya kita
membicarakan banyak hal tentang kegalauan masing-masing, lebih banyak dia
tentunya...hehe. tapi, dia, pria galau ini satu frekuensi denganku, jadi apapun
itu yang dibicarakan, walau kadang terlalu sok dewasa dan munafik tetap
nyambung saja. Dan sebenarnya aku bisa berdiskusi dengan diriku sendiri lewat
cerita-cerita yang kita bagi, meskipun hanya tersirat.
Secangkir
kopi pahit yang telah habis tadi cukup untuk mengantarkanku pada diskusi galau
dan idealis dengan si pria galau, teman kostku ini. Tema malam ini masih sama
tentang perempuan yang sama yang membuatku menyematkan nama pria galau untuk
temanku yang satu ini.
Malam
ini kami membicarakan bagaimana tentang norak dan kampungan nya seorang pecinta
yang sedang PDKT. Masa lalunya, juga masa laluku dulu. Malam ini, kita berdua
menertawakan masa-masa itu...
Ia,
si pria galau ini bercerita panjang lebar tentang kepecundangannya dia.
Bagaimana ia hanya berani menyapa perempuannya lewat dunia maya, bukan dunia
nyata. Saat-saat dimana ia merasa galau tingkat dewa ketika tidak bisa
mengutarakan perasaannya. Dan masih banyak hal lagi yang menunjukan bagaimana
norak dan kampungannya ia.
Sama
halnya denganku, bukankah sudah kukatakan kalau aku dan pria galau ini satu
frekuensi, jadi apa-apa yang ia critakan akan mempengaruhi ku juga, hingga
akhirnya aku pun bercerita tentang kisahku dulu. Bagaimana noraknya aku dulu
saat mealkukan PDKT.
Ya,
dulu aku pernah berusaha untuk mendekati salah seorang perempuan. Ia memang
manis, dan cantik. Itulah alasan utama yang membuatku tertarik untuk
mendekatinya. Ia seorang mahasiswi kimia yang ikut dalam praktikum fisika
dimana aku menjadi asistennya. Cerita konyol dan norak tentang seorang yang
ingin PDKT pun dimulai dari sini...
Pertama
aku menanyakan no telfonnya pada teman-teman dekatnya. Kemudian aku searcing
jejaring sosialnya, dan proses norak itupun dimualilah. Entah apa yang
memotifasiku untuk melakukan ini, yang pasti bukan cinta. Mungkin karena rasa
iriku akan pasangan-pasangan kekasih disekitarku, dan aku ingin pula merasakan
hal yang sama setelah begitu lamanya aku menjomblo. Ceritapun dimulai disini.
Aku
mulai intens untuk mendekatinya, dari mulai sms, hingga chating dengannya di
dunia maya. Berkirim pesan tiap pagi, membangunkannya ketika azan subuh. Terkadang
aku heboh sendiri ketika mendapat balasan darinya, harap-harap cemas memikirkan
ribuan kisah yang aku susun sendiri dalam dunia khayalku. Selalu bersikap
berlebihan menanggapi hal-hal yang sebenarnya biasa. Bercerita kepada semua
teman betapa bahagianya aku yang sedang jatuh
cinta ini. Ah aku kadang tertawa sendiri ketika mengingat itu semua. Namun
itu semua hanya di didunia maya, kerena kenyataan di dunia nyata, aku sama
sekali tak pernah punya keberanian untuk menyapa nya. Pecundang, begitu aku
menyebutnya.
Ya
begitulah seorang pecinta ketika sedang mengalami proses itu. Terlihat
kekanak-kanakan dan sungguh kalau boleh aku bilang, NORAK. Aku juga pernah
mengalami itu semua, begitu pula dengan si pria galau tadi, dan boleh jadi para
pecita di muka bumi ini. Namun tidak semuanya sebenarnya, karena masih banyak
jiwa-jiwa idealis di luar sana yang berbeda dari pecinta kebanyakan. Ialah
orang-orang yang mencintai bukan karena iri melihat orang lain memiliki pacar,
atau karena olok-olok status jomblo. Ialah jiwa-jiwa yang tau apa-apa yang baik
buat dirinya, bukan karena orang-orang disekitarnya, bahkan orang-orang yang
tak dikenalnya. Aku sungguh mengagumi jiwa-jiwa seperti itu.
Malam
ini, aku dan pria galau sedang menertawakan kisah kita masing-masing. Masa lalu
itu memang sungguh memalukan, tapi aku tak pernah menyesalinya. Karena tanpa
masa-masa itu aku takkan pernah bisa melangkah dalam tingkatan kedewasaan yang
seperti sekarang ini. Belum dewasa memang, masih jauh dari kata itu. Tapi
setidaknya aku bisa menertawakan masa yang sudah lewat itu, itu sebagai
pertanda bahwa aku sudah naik ketingkatan yang lebih tinggi dari aku yang dulu.
Banyak hal yang bisa aku pelajari dari kisah-kisah yang sudah lalu, itu lah
yang terus menempaku dalam putaran waktu.
Dan
yang aku sendari sekarang, mungkin memang masih terlalu banyak kekurangan yang
aku punya, tapi setidaknya ada beberapa hal yang berubah jauh lebih baik dari
dulu di dalam diriku ini. Seorang pecundang ini mungkin masih belum menjadi
seorang pemenang, tapi setidaknya pecundang ini sedang berjuang menata hidupnya
lewat idealisme-idealismnya. Setidaknya sekarang aku sudah bisa menertawakan
kisahku dulu, bahkan kisah-kisah teman yang sedang dalam proses itu. Ada yang
sedang galau jatuh cinta dan sedang proses PDKT, ada yang galau tentang status
jomblonya dan iri melihat pasangan-pasangan kekasih disekitarnya, dan masih
banyak hal-hal norak untuk ku tertawakan sekarang ini.
Dan
sekarang, ketika aku jatuh cinta dengan seseorang, setidaknya aku tak se
impulsif dan se drama dulu. Sebuah perasaan cinta adalah urusannya dengan
dirinya sendiri. Tak harus diumbar dan diceritakan kepada semua orang, cukup
dibagi dengan dirinya sendiri. Rasa itu berbunga dengan indah dari dalam, bukan
karena melihat lingkungan sekitarnya, atau karena kebosanannya akan
kesendirian. Rasa cinta itu sesuatu yang misterius yang harusnya bisa ia jaga
dan kendalikan. Dan cinta itu kata kerja, bukan kata sifat, jadi tak seharusnya
cinta membuatnya galau dan terpuruk, karena cinta itu seharusnya berupa
kerja-kerja yang akan membahagiakannya dan mengisinya dengan energi positif
yang meletupkannya menuju tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi dari sekarang.
Tetnang
perasaanku yang satu ini, aku tak berniat untuk membagikannya dengan
siapa-siapa, bahkan dengannya, si pria galau. Aku hanya ingin menikmatinya
sendiri, memaknainya hingga mengantarkanku pada tingkatan selanjutnya. Dan aku
sedang berusaha mengontrolnya karena aku yang sekarang ini benar-benar tidak
siap untuk menjalani apa yang orang sebut dengan pacaran (walaupun aku kemarin
dengan nekatnya -ceroboh- menyatakan perasaan itu kepadamu gadis kecil). Dan
aku benar-benar bersyukur karena kau tak membalasnya, karena aku memang
benar-benar belum siap untuk itu. Aku hanya bisa naik sedikit dari
kepecundanganku dulu. Ada masih banyak hal yang harus aku perbaiki sekarang.
Mungkin
terdengar idealis, tapi memang begitulah aku sedang berusaha sekarang, menjadi
seorang idealis. Persetan dengan olok-olok mereka akan kesendirianku saat ini,
karena aku memang jauh dari siap sekarang ini. Hidupku ya hidupku ini, aku jauh
lebih mengerti akan hidupku ini dari pada orang-orang yang mengolok-olokku itu,
kuanggap mereka sebagai angin lalu dan lelucon yang harusnya aku tertawakan.
Pria
idealis ini sudah punya caranya sendiri untuk hidup. Dan ia sedang berusaha
untuk menjadi dirinya sendiri hingga mencapai apa yang disebut dengan aku.
Berusaha merealisasikan idealismenya. Ada bnyak hal yang harus diperbaiki dalam
dirinya, dan ketika saatnya nanti tiba, ketika ia benar-benar siap takdir akan
membimbingnya kedalam cerita yang mungkin sama sekali tak pernah ia duga. Dalam
sebuah cerita yang berjudul aku. Cerita yang mengantarkan aku kedalam kisah
tentang cinta bersama perempuan yang membawa sebagian tulang rusukku. Aku
benar-benar percaya akan hal itu. Sekarang, aku hanya berusaha untuk melakukan
apa yang terbaik yang bisa aku lakukan.
Apakah kau percaya bahwa
kau bisa mengubah takdir? Jawabanku tidak, aku hanya bisa melakukan yang
terbaik yang bisa aku lakukan, hingga kemudian takdir itu yang akan datang
dengan sendirinya kedalam kehidupanku.
Untuk
secangkir kopi hitam yang telah mengantarkan sebuah rasa yang berhasil mencabik-cabik
pangkal lidahku. Kerinduan yang tertuntaskan.
Untuk
si pria galau yang telah berhasil naik tingkat.
Dan
untuk semua pecinta-pecinta yang sedang menjalani proses yang benar-benar
norak. Esok hari kalian akan menertawakan kisah-kisah kalian hari ini, begitu
pula aku yang mungkin entah kapan nanti akan menertawakan kisahku hari ini.
Waktu akan membimbing kita semua dalam tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi
dari sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar