Hidup indonesia...
Hidup indonesia...
Hidup indonesia...
Teriakan-teriakan yang mendukung timnas Indonesia berlaga
di ajang piala AFF, sebuah turnamen sepak bola antar negara-negara asia
tenggara.
Peluit tanda berakhirnya pertandingan akhirnya terdengar.
Menandai berakhirnya pertandingan timnas di laga pertama di turnamen ini.
Sebuah hari besar untuk timnas Indonesia. Hari besar,
karena hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, berbeda dengan
sejarah-sejarah di masa lalu. Heri besar, hari pembeda. Tapi, pembeda di sini
bukan berkonotasi positif, melainkan sebaliknya. Ya, timnas Indonesia berhasil
ditahan imbang oleh timnas Laos setelah di empat pertemuan sebelumnya selalu
berhasil menang dengan skor telak. Timnas Laos yang notabennya adalah salah
satu tim lemah di kawasan asia tenggara berhasil menahan imbang timnas
indonesia yang merupakan empat kali finalis di turnamen ini. Bahkan terakhir
kali timnas indonesia tampil di partai final adalah di turnamen sebelum ini,
dua tahun lalu. Tapi, memang dua tahun bukan waktu yang lama untuk merubah
sejarah. Dan timnas laos berhasil melakukannya.
Kalo boleh saya katakan, bukan timnas laos yang menahan
timnas indonesia, tapi sebaliknya. Tahu maksud saya? Ya, disepanjang
pertandingan justru timnas laos yang memegang kendali permainan. Timnas
indonesia? Ah saya jijik melihatnya,
sebuah keberuntungan akhirnya mereka bisa menyamakan kedudukan di menit-menit
akhir.
Saya berdoa timnas indonesia TIDAK lolos dari putaran
grup di turnamen ini. Bukan karena rasa nasionalisme saya sudah mati. Bukan,
bukan karena itu. Tapi justru karena kecintaan saya pada bangsa ini. Jujur saya
juga berharap akan kejayaan timnas indonesia pada turnamen ini. Tapi untuk saat
ini akan lebih baik jika timnas indonesia terpuruk. Biar semua pihak ditampar
oleh keadaan yang seperti itu. Sudah terlalu carut marut keadaan sepak bola
kita sekarang ini. Bukankah terkadang keadaan pahit lebih bisa mengena dari
pada keadaan yang membuai. Sejarah-sejarah pahit telah lama membuat perubahan
di muka bumi ini.
Dengan sebuah keterpurukan timnas saya berharap semua
pihak menjadi lebih dewasa lagi, entah itu masyarakat secara umum atau para
pembesar-pembesar yang duduk di atas kekuasaan tertinggi sepak bola indonesia.
Namun tidak menutup kemungkinan akan bangkitnya sifat kekanak-kanakan para
sporter bola yang melakukan anarkisme dimana-mana. Tapi setidaknya dengan hal
semacam itu (walaupun saya tidak setuju) bisa merubah arah petinggi sepak bola
kita. Reformasi harus segera terjadi di dalam dunia persepakbolaan kita ini.
Namun, kembali lagi ke individu masing-masing. Ada yang
bisa kembali berdiri dari sebuah keterpurukan, ada pula yang semakin jatuh
dalam keterpurukan itu. Saya berharap individu-individu yang mampu bangkit
lebih banyak dan bisa membawa perubahan.
Yang saya lihat dalam perkembangan sepak bola indonesia
dewasa ini, semua pergerakan mengatasnamakan golongan masing-masing. Sungguh
sangat ironi bahwa dunia sepak bola kita tercinta ini terdapat dua golongan
besar. IPL dan ISP. Di tahun sebelumnya ISL lah yang memegang kendali, tapi
sekarang IPL lah yang memegang kendali arah. Sebuah ironi memang, bukannya
perubahan yang terjadi, justru hanya berganti nahkoda saja sepertinya dunia
sepak bola indonesia. Perpindahan kekuasaan dari ISL ke IPL. Hasilnya?
Payah.....
Saya ingat kata-kata soe hok gie, tokoh perubahan yang
mati muda di puncak Mahameru. Seorang tokoh yang saya kagumi akan
idealisme-idealismenya, meskipun terlalu skeptis dan pesimis, serta seorang
ateis kalau boleh saya berkomentar akan hal nigatif dari tokoh ini. Ia pernah
berkata bahwa ia sangat merindukan individu-individu yang berjuang untuk
indonesia bukan mengatasnamakan golongan mereka masing-masing. Tapi perjuangan
yang berasal dari jiwa nasionalisme yang terbakar di dalam diri masing-masing.
Saya sangat setuju dengan pendapat hok gie. Yang saya lihat (bukan dari
petinggi-petinggi negri ini, karena saya terlalu muak melihat tingkah mereka)
dari kehidupan dikampus (meskipun saya bukan seorang aktivis) banyak beberapa
teman mahasiswa yang mengatas namakan golongan mereka masing-masing dalam
mengutarakan perdapat.
Ada salah satu teman saya yang mengaku seorang pluralis,
dia mengatakan hal-hal yang berbau politik (meskipun masih sederhana)
menjelek-jelekan golongan lain (golongan beragama). Begitu juga sebaliknya, ada
golongan agamis yang mengatas namakan golongan mereka bahwa sistem indonesia
harusnya benilah, begitulah. Ahhh, aku muak...
Teman pluralis saya itu pernah berkata, bahwa seharusnya
golongan-golongan agamis itu tak menggunakan agama sebagai kedok mencari
kekuasaan. Mungkin benar adanya, tapi karena dikemukakan oleh individu yang
menganggap golongannya yang paling benar dan golongan lain selalu salah, saya
tidak setuju. Agama dalah batas-batas kebebasan seseorang, dan agama tidak
hanya mencakup hubangan manusia dengan tuhannya, tapi juga dengan sesamanya.
Teman agamis saya berkata, golongan-golongan pluralis itu
seharusnya mengerti batas-batas agama, tidak seenaknya sendiri. Saya juga
sebenarnya setuju, bahwa agama menjadi pedoman dalam melakukan segala sesuatu.
Tapi sekali lagi, karena dikemukakan oleh individu yang menganggap golongannya
yang paling benar dan golongan lain selalu salah, saya tidak setuju. Indonesia
adalah negara besar, bukan hanya milik agama tertentu saja, seharusnya semua perbedaan
itu disatukan, bukannya terpecah belah. Saya juga seorang muslim, dan menurut
saya islam itu sebuah agama yang menjunjung tinggi toleransi.
Bukannya saya plin pan atau apa, berganti-ganti pendapat.
Saya yakin, tiap-tiap golongan mempunyi tujuan yang mulia, tapi
individu-individu yang mengangkatnya terlalu silau akan bendera masing-masing.
Lalu tujuan mulia tadi berganti arah sesuai individu-individu yang
mengusungnya. Lalu apa bedanya hal ini dengan rasis?? Aku muak...
Alangkah indahnya ketika masing-masing individu tadi tak
mengatasnamakan golongan masing-masing dalam mengemukakan sebuah pemikiran.
Rasa nasionalisme yang tebakar di dalam jiwa mereka masing-masinglah yang
akhirnya saling bahu membahu mengangkat harkat dan martabat bangsa. Saya sungguh
merindukan datangnya masa itu...
Saya lebih suka individu-individu yang lebih berkarya
atas nama dirinya sendiri dari pada individu yang lebih suka bercuap-cuap atas
nama golongan mereka sementara lingkungan, masyarakat disekitar tak penah tau
apa yang sedang mereka diskusikan. Jangan tanya soal perubahan? Nol besar...
Saya kira, seharusnya semua hal baik itu dimulai dari
diri sendiri. Baru kemudian merambat pada lingkungan sekitar, dalam hal ini
golongan. Lha, kalau sendirinya saja tak mampu membuat perubahan meskipun
sedikit, melakukan hal baik, meskipun cuma secuil, berani bicara panjang lebar
mengenai perubahan. Terlalu muluk...
Saya sungguh salut pada komunitas-komunitas dari
almamater sebelah yang lebih banyak berkarya dari pada berpendapat. Jika dibandingkan
dengan almamaterku ini, ah terlalu jauh. Sungguh lucu, sampai-sampai BEM nya
saja harus dibekukan. Tidak berbeda jauh sebenarnya dengan politik negri kita
sekarang. Tiap-tiap golongan salig adu pendapat menganggap golongan mereka yang
paling benar. Sebuah pencerminan yang sangat tepat...
Kembali pada sepak bola indonesia, saya kira yang sedang
berlaga pada turnamen AFF kali ini adalah sebuah tim yang mewakili sebuah
golongan. Bukan indonesia secara utuh. Kepentingan-kepentinga telah membutakan
mata para petinggi persepakbolaan kita...
Saya lebih suka melihat anak-anak kecil yang bermain
sepak bola dari pada mereka yang mengaku timnas. Lihat lah, para pemain
naturalisasi itu, tau apa mereka soal rasa nasionalisme? Yang mereka tau adalah
soal popularitas...
Bisa dilihat bagaimana prestasi timnas U11 atau U15 yang
begitu cemerlang dibanding timnas senior kita. Karena yang menjadi bahan bakar
garuda-garuda muda ini adalah rasa nasionalisme yang dibakar oleh kecintaan
mereka akan sepak bola. Bagaimana mimpi-mimpi mereka membimbing mereka terus
berlari mengejar bola. Hingga kemudian kepentingan-kepentingan menghapus semua
itu. Alangkah busuknya dunia orang dewasa itu. Anak-anak ini, dengan kesenangan
yang lepas, berlari membawa nama negaranya, sedangkan orang-orang tua itu
mengatasnamakan kepentingan golongannya. Bisa apa mereka?
Saya sungguh sangat berharap akan kondisi sekarang ini,
akan adanya sebuah perubahan. Ketika kepentingan golongan terhapus oleh rasa
nasionalisme. Dan semua pihak mau belajar untuk menjadi individu-individu yang jauh
lebih baik dari sekarang. Dan semua pihak melupakan bendera golongan
masing-masing, karena yang mereka pegang sekarang adalah sang saka merah putih.
Untuk jiwa-jiwa idealis yang tetap bertahan dengan tujuan
mulianya. Tetaplah bertahan meski kalian terhimpit oleh dunia yang semakin
kacau saja. Golongan semakin berkoar akan kepentingannya mengacuhkan kalian.
Janganlah berhenti berkarya, meskipun hanya secuil. Marilah bersama kita
tunjukan idealisme kita masing-masing mampu membawa perubahan di atas bumi
permai kita ini. Kita tunjukan pada semua golongan itu tentang karya-karya
kita, dan menjadi contoh untuk individu lainnya.
Kita adalah agen perubahan kawan, meskipun datang dengan
idealisme-idealisme yang mungkin berbeda dan berlawanan. Tapi kita tau
bagaimana untuk berkarya dari pada bertutur.
Mari berjuang kawan !!!