Kamis, 29 November 2012

Agen Perubahan


Hidup indonesia...

Hidup indonesia...

Hidup indonesia...

Teriakan-teriakan yang mendukung timnas Indonesia berlaga di ajang piala AFF, sebuah turnamen sepak bola antar negara-negara asia tenggara.

Peluit tanda berakhirnya pertandingan akhirnya terdengar. Menandai berakhirnya pertandingan timnas di laga pertama di turnamen ini.

Sebuah hari besar untuk timnas Indonesia. Hari besar, karena hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, berbeda dengan sejarah-sejarah di masa lalu. Heri besar, hari pembeda. Tapi, pembeda di sini bukan berkonotasi positif, melainkan sebaliknya. Ya, timnas Indonesia berhasil ditahan imbang oleh timnas Laos setelah di empat pertemuan sebelumnya selalu berhasil menang dengan skor telak. Timnas Laos yang notabennya adalah salah satu tim lemah di kawasan asia tenggara berhasil menahan imbang timnas indonesia yang merupakan empat kali finalis di turnamen ini. Bahkan terakhir kali timnas indonesia tampil di partai final adalah di turnamen sebelum ini, dua tahun lalu. Tapi, memang dua tahun bukan waktu yang lama untuk merubah sejarah. Dan timnas laos berhasil melakukannya.

Kalo boleh saya katakan, bukan timnas laos yang menahan timnas indonesia, tapi sebaliknya. Tahu maksud saya? Ya, disepanjang pertandingan justru timnas laos yang memegang kendali permainan. Timnas indonesia? Ah  saya jijik melihatnya, sebuah keberuntungan akhirnya mereka bisa menyamakan kedudukan di menit-menit akhir.

Saya berdoa timnas indonesia TIDAK lolos dari putaran grup di turnamen ini. Bukan karena rasa nasionalisme saya sudah mati. Bukan, bukan karena itu. Tapi justru karena kecintaan saya pada bangsa ini. Jujur saya juga berharap akan kejayaan timnas indonesia pada turnamen ini. Tapi untuk saat ini akan lebih baik jika timnas indonesia terpuruk. Biar semua pihak ditampar oleh keadaan yang seperti itu. Sudah terlalu carut marut keadaan sepak bola kita sekarang ini. Bukankah terkadang keadaan pahit lebih bisa mengena dari pada keadaan yang membuai. Sejarah-sejarah pahit telah lama membuat perubahan di muka bumi ini.
Dengan sebuah keterpurukan timnas saya berharap semua pihak menjadi lebih dewasa lagi, entah itu masyarakat secara umum atau para pembesar-pembesar yang duduk di atas kekuasaan tertinggi sepak bola indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan akan bangkitnya sifat kekanak-kanakan para sporter bola yang melakukan anarkisme dimana-mana. Tapi setidaknya dengan hal semacam itu (walaupun saya tidak setuju) bisa merubah arah petinggi sepak bola kita. Reformasi harus segera terjadi di dalam dunia persepakbolaan kita ini.

Namun, kembali lagi ke individu masing-masing. Ada yang bisa kembali berdiri dari sebuah keterpurukan, ada pula yang semakin jatuh dalam keterpurukan itu. Saya berharap individu-individu yang mampu bangkit lebih banyak dan bisa membawa perubahan.

Yang saya lihat dalam perkembangan sepak bola indonesia dewasa ini, semua pergerakan mengatasnamakan golongan masing-masing. Sungguh sangat ironi bahwa dunia sepak bola kita tercinta ini terdapat dua golongan besar. IPL dan ISP. Di tahun sebelumnya ISL lah yang memegang kendali, tapi sekarang IPL lah yang memegang kendali arah. Sebuah ironi memang, bukannya perubahan yang terjadi, justru hanya berganti nahkoda saja sepertinya dunia sepak bola indonesia. Perpindahan kekuasaan dari ISL ke IPL. Hasilnya? Payah.....

Saya ingat kata-kata soe hok gie, tokoh perubahan yang mati muda di puncak Mahameru. Seorang tokoh yang saya kagumi akan idealisme-idealismenya, meskipun terlalu skeptis dan pesimis, serta seorang ateis kalau boleh saya berkomentar akan hal nigatif dari tokoh ini. Ia pernah berkata bahwa ia sangat merindukan individu-individu yang berjuang untuk indonesia bukan mengatasnamakan golongan mereka masing-masing. Tapi perjuangan yang berasal dari jiwa nasionalisme yang terbakar di dalam diri masing-masing. Saya sangat setuju dengan pendapat hok gie. Yang saya lihat (bukan dari petinggi-petinggi negri ini, karena saya terlalu muak melihat tingkah mereka) dari kehidupan dikampus (meskipun saya bukan seorang aktivis) banyak beberapa teman mahasiswa yang mengatas namakan golongan mereka masing-masing dalam mengutarakan perdapat.

Ada salah satu teman saya yang mengaku seorang pluralis, dia mengatakan hal-hal yang berbau politik (meskipun masih sederhana) menjelek-jelekan golongan lain (golongan beragama). Begitu juga sebaliknya, ada golongan agamis yang mengatas namakan golongan mereka bahwa sistem indonesia harusnya benilah, begitulah. Ahhh, aku muak...
Teman pluralis saya itu pernah berkata, bahwa seharusnya golongan-golongan agamis itu tak menggunakan agama sebagai kedok mencari kekuasaan. Mungkin benar adanya, tapi karena dikemukakan oleh individu yang menganggap golongannya yang paling benar dan golongan lain selalu salah, saya tidak setuju. Agama dalah batas-batas kebebasan seseorang, dan agama tidak hanya mencakup hubangan manusia dengan tuhannya, tapi juga dengan sesamanya.

Teman agamis saya berkata, golongan-golongan pluralis itu seharusnya mengerti batas-batas agama, tidak seenaknya sendiri. Saya juga sebenarnya setuju, bahwa agama menjadi pedoman dalam melakukan segala sesuatu. Tapi sekali lagi, karena dikemukakan oleh individu yang menganggap golongannya yang paling benar dan golongan lain selalu salah, saya tidak setuju. Indonesia adalah negara besar, bukan hanya milik agama tertentu saja, seharusnya semua perbedaan itu disatukan, bukannya terpecah belah. Saya juga seorang muslim, dan menurut saya islam itu sebuah agama yang menjunjung tinggi toleransi.
Bukannya saya plin pan atau apa, berganti-ganti pendapat. Saya yakin, tiap-tiap golongan mempunyi tujuan yang mulia, tapi individu-individu yang mengangkatnya terlalu silau akan bendera masing-masing. Lalu tujuan mulia tadi berganti arah sesuai individu-individu yang mengusungnya. Lalu apa bedanya hal ini dengan rasis?? Aku muak...

Alangkah indahnya ketika masing-masing individu tadi tak mengatasnamakan golongan masing-masing dalam mengemukakan sebuah pemikiran. Rasa nasionalisme yang tebakar di dalam jiwa mereka masing-masinglah yang akhirnya saling bahu membahu mengangkat harkat dan martabat bangsa. Saya sungguh merindukan datangnya masa itu...

Saya lebih suka individu-individu yang lebih berkarya atas nama dirinya sendiri dari pada individu yang lebih suka bercuap-cuap atas nama golongan mereka sementara lingkungan, masyarakat disekitar tak penah tau apa yang sedang mereka diskusikan. Jangan tanya soal perubahan? Nol besar...

Saya kira, seharusnya semua hal baik itu dimulai dari diri sendiri. Baru kemudian merambat pada lingkungan sekitar, dalam hal ini golongan. Lha, kalau sendirinya saja tak mampu membuat perubahan meskipun sedikit, melakukan hal baik, meskipun cuma secuil, berani bicara panjang lebar mengenai perubahan. Terlalu muluk...

Saya sungguh salut pada komunitas-komunitas dari almamater sebelah yang lebih banyak berkarya dari pada berpendapat. Jika dibandingkan dengan almamaterku ini, ah terlalu jauh. Sungguh lucu, sampai-sampai BEM nya saja harus dibekukan. Tidak berbeda jauh sebenarnya dengan politik negri kita sekarang. Tiap-tiap golongan salig adu pendapat menganggap golongan mereka yang paling benar. Sebuah pencerminan yang sangat tepat...

Kembali pada sepak bola indonesia, saya kira yang sedang berlaga pada turnamen AFF kali ini adalah sebuah tim yang mewakili sebuah golongan. Bukan indonesia secara utuh. Kepentingan-kepentinga telah membutakan mata para petinggi persepakbolaan kita...

Saya lebih suka melihat anak-anak kecil yang bermain sepak bola dari pada mereka yang mengaku timnas. Lihat lah, para pemain naturalisasi itu, tau apa mereka soal rasa nasionalisme? Yang mereka tau adalah soal popularitas...

Bisa dilihat bagaimana prestasi timnas U11 atau U15 yang begitu cemerlang dibanding timnas senior kita. Karena yang menjadi bahan bakar garuda-garuda muda ini adalah rasa nasionalisme yang dibakar oleh kecintaan mereka akan sepak bola. Bagaimana mimpi-mimpi mereka membimbing mereka terus berlari mengejar bola. Hingga kemudian kepentingan-kepentingan menghapus semua itu. Alangkah busuknya dunia orang dewasa itu. Anak-anak ini, dengan kesenangan yang lepas, berlari membawa nama negaranya, sedangkan orang-orang tua itu mengatasnamakan kepentingan golongannya. Bisa apa mereka?
Saya sungguh sangat berharap akan kondisi sekarang ini, akan adanya sebuah perubahan. Ketika kepentingan golongan terhapus oleh rasa nasionalisme. Dan semua pihak mau belajar untuk menjadi individu-individu yang jauh lebih baik dari sekarang. Dan semua pihak melupakan bendera golongan masing-masing, karena yang mereka pegang sekarang adalah sang saka merah putih.

Untuk jiwa-jiwa idealis yang tetap bertahan dengan tujuan mulianya. Tetaplah bertahan meski kalian terhimpit oleh dunia yang semakin kacau saja. Golongan semakin berkoar akan kepentingannya mengacuhkan kalian. Janganlah berhenti berkarya, meskipun hanya secuil. Marilah bersama kita tunjukan idealisme kita masing-masing mampu membawa perubahan di atas bumi permai kita ini. Kita tunjukan pada semua golongan itu tentang karya-karya kita, dan menjadi contoh untuk individu lainnya.

Kita adalah agen perubahan kawan, meskipun datang dengan idealisme-idealisme yang mungkin berbeda dan berlawanan. Tapi kita tau bagaimana untuk berkarya dari pada bertutur.

Mari berjuang kawan !!!

Jumat, 23 November 2012

dengan senyum !


Sekali lagi kegagalan menahanku disini. Memaksaku untuk kembali mengambil data untuk kolokium sementara instrumen penelitian skripsi saja belum selesai dibuat. Padahal deadline tinggal satu minggu lagi....

Penat !!!!!!

Tapi bukan waktunya untuk mengeluh, sama halnya tak mengeluhkan cuaca dua hari ini yang amat jauh dari cerah.

Aku tak mau mengeluh dengan semua keadaan ini. Aku hanya mencoba untuk bisa belajar dalam gelap ini.

Pernah terlintas di pikiranku, aku pasti akan merindukan saat-saat seperti ini. Skripsi dan kolokium, serta semua kesibukan ini. Bila nanti semua ini selesai, pasti akan ada sebagian yang hilang dalam jiwaku ini. Kebiasaan dan kesibukan yang tiba-tiba lenyap begitu saja seperti hujan yang hilang di awal musim panas. Dan aku kembali harus beradaptasi dengan kesibukan baruku.

Jadi, kenapa tak coba kunikmati saja semua ini? Dengan seulas senyum, semangat itu pasti akan terbakar lagi. Dan semua pasti akan berjalan baik-baik saja.

Jadi percuma saja mengeluh, karena semua kedaan dan kekacauan tak akan mau mengerti keluhan ini, aku seharusnya bisa menikmati semua keadaan ini dan berusaha untuk mengerti dan belajar dari kegagalan ini...

Dengan seulas senyum yang tulus dari hati, semua pasti akan baik-baik saja. Dan aku pasti akan bisa menikmati semua ini...

Penat ....


Penat, penat, dan amat penat...

Lagi, lagi, dan sekali lagi...

Bulan ini benar-benar penat, terulang dan terulang lagi. Skripsi dan kolokium ini benar-benar menyita waktuku, menghabiskan tiap energi jiwaku. Deadline dan target yang selalu menghantui kadang tak pernah mau mengerti. Hei, mana mungkin mereka mau mengerti, AKULAH YANG SEHARUSNYA MENGERTI MEREKA !!!

Yaa, sudah seharusnya aku yang mengalah, karena disini aku lah yang menjalani kehidupan ini, bukan tumpukan kertas itu. Akulah yang punya jiwa dan hati, jadi aku sendiri yang menentukan bagaimana jalan ceritanya.

Disaat-saat seperti ini, rasanya jiwa benar-benar amat rapuh. Tersentuh sedikit saja bisa pecah seketika. Tanpa pegangan dan tanpa pengikat.
Heii, tapi aku masih punya rumah. Benar, sudah hampir tiga bulan ini aku tak pulang, dan aku benar-benar merindukan rumah. Merindukan saat-saat menunggui mamah memasak di dapur, merindukan sosok bapak yang pendiam dan kaku, merindukan kecerian adik kecilku yang 
amat manja. Tapi semua kepenatan ini mengikatku disini.

Aku mengeluh?? Menyerah??

Belum, aku akan bertahan menyelesaikan ini semua. Dan kerinduan ini biar kukonversi menjadi energi positif untuk membantuku berpijak menhadapi semua kepenatan ini. Aku akan berusaha untuk mengerti kalian hei kawan-kawanku, skripsi dan kolokium. Karena esok aku pasti akan merindukan kalian....

Menembus rintik-rintik hujan demi sebuah pencapaian !!


Hujan mengungkung langit kota kecil kami dua hari ini. Menyelimuti kami dengan gelap sepanjang hari, dengan hujan yang hanya akan berhenti ketika malam telah cukup gelap dibanding langit. Hujan yang tak kunjung berhenti itu memaksa tubuh-tubuh kecil kami meringkuk dibalik selimut, malas beranjak dari zona nyaman masing-masing. Hujan yang reda meninggalkan hawa dingin yang memaksa sepasang laki dan perempuan membatalkan janji bertemu malam tadi. Cuaca dua hari ini benar-benar tidak produktif.

Tapi tentu saja ada pengecualian untuk beberapa individu. Mereka ini individu-individu yang mencoba untuk keluar dari zona nyaman mereka masing-masing. Buktinya kota kecil kami ini tak benar-benar mati. Masih ada beberapa orang yang lalu lalang di jalanan, menembus rintik hujan demi sebuah kesempatan yang ingin mereka kejar. Tak sedikit pula pelajar-pelajar yang memenuhi perpustakaan dan ruang kuliah demi mengejar ilmu, atau presensi? Ahh, setidaknya mereka berani keluar dari zona nyaman demi sebuah tujuan. Dan di malam tadi, tetap ada insan-insan yang tetap berusaha menyalakan api cinta mereka meski tau dingin dengan tak kenal alasan berusaha memadamkannya. Dan untuk mereka yang belum berkesempatan merasakan hangat apinya, sebagian dari mereka memilih menikmati dingin. Karena mereka percaya, dengan menikmati dingin mereka akan lebih peka terhadap hangat. Yaa, mereka-mereka ini, dengan tujuan masing-masing berani untuk keluar dari zona nyamannya.

Dan aku di sini, dengan sepeda tua yang sudah hampir sekarat berusaha untuk menembus rintik-rintik hujan. Menikmati tiap tetes yang dicurahkan langit. Berusaha meresapi pesan yang dibawa tiap tetesnya. Aku berusaha menjadi sebagian dari mereka yang berani keluar dari zona nyaman, dengan tujuan ku sendiri tentunya.

Yaa, aku punya sebuah pencapaian yang harus bisa ku raih di akhir desember. Mungkin terlalu sederhana dan kekanak-kanakan, tapi ini lah yang tetap membantuku bertahan dalam derasnya hujan ini. Di akhir desember ini aku punya target untuk membeli tas carrier, jadi mau tak mau, entah hujan badai atau apa pun aku harus tetap membakar semangat untuk tetap mencari uang sendiri. Bukan mengandalkan sumbangan dari orang tua, apa lagi memanfaatkan kebaikan mereka. Aku mungkin belum memiliki cinta untuk menghangatkanku di tengah derasnya hujan ini, tapi aku punya kekuatan hati yang bisa lebih membakar dari pada cinta dari seorang perempuan. Walaupun jujur aku juga mengharapkannya, tapi sementara ini aku harus berusaha bertahan sendiri. Dengan api yang kunyalakan sendiri.

Menembus rintik-rintik hujan demi sebuah pencapaian !!

Selasa, 13 November 2012

Pesan Senja ini


Aku hanya perlu menCINTAimu dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh dunia, bahkan oleh diriku sendiri...

Aku akan berjuang untuk itu !!

#Cinta itu mengambil kesempatan, yang ini keberanian. Cinta itu melepaskan, yang ini pengorbanan.

Untuk Sahabat !!


Untuk sahabat-sahabat terbaikku. Aku sangat merindukan saat-saat kita tertawa lepas tanpa beban di samping jalan di kota kecil kita. Bercengkrama dari satu cerita ke cerita, berkelana dari satu kisah ke kisah lainnya, hingga satu persatu dari kita mulai berkisah tentang perjalanan masing-masing dengan lepasnya...

Rasanya sekarang sudah tidak seperti dulu lagi, ada yang berubah. Mungkin hanya aku yang merasa, ah, aku sudah berjanji untuk menjadi kuat!!

Tapi memang begitu adanya, ada sesuatu yang mengganjal, antara aku dan dia. Jarak yang terlanjur dibentang, olehku tentunya. Dan dia pun begitu. Juga ada banyak hal yang sudah berubah keadaannya. Karena bumi terus berputar, membawa kisah baru, perubahan. Dan aku yakin perubahan itu membawa kebaikan untuk kita masing-masing, meskipun itu semua akhirnya memecah kita...

Maaf, kalu rasaku ini merubah arah perjalanan kita, karena aku juga tak pernah tau kenapa rasa seperti ini bisa hadir. Tapi aku tak pernah berusaha untuk menyalahkannya, karena CINTA itu tak pernah salah, hanya kita sendiri yang salah dalam mendevinisikannya.

Sekali lagi maaf, karena aku telah mengacaukan semuanya...

Aku berjanji, untuk kalian sahabat-sahabat terbaikku, juga untuk diriku sendiri, bahwa aku akan menjadi lebih kuat lagi. Untuk tetap menjadi pria idealis yang mencoba realistis. Untuk meralistiskan semua idealismenya. Aku akan berusaha untuk menjadi diri sendiri... begini apa adanya...

Dan aku akan berusaha sekuat yang aku bisa dengan caraku sendiri, yang mungkin tak pernah bisa kalian pahami...

Soal jodoh??



entah kebetulan atau apa, tapi ada dua orang penanya yang menanyakan hal yang sama padaku. Yang pertama di tanyakan oleh seseorang yang memang aku akui tentang kekanak-kanakannya, dan yang kedua ditanyakan oleh seorang teman yang memang sama-sama dewasa membicarakan masa depan...
mereka berdua ini bertanya :
"Eh, kalau perempuan didunia ini sudah habis berpasang-pasangan dengan lelaki lain, dan hanya dirimu yang masih sendiri. Terus kau mau gimana?"
Berpikir sejenak...............
Buatku, yang namanya jodoh itu sudah ditentukan masing-masing. Entah nanti akhirnya dipertemukan atau tidak, biarlah nanti waktu yang akan menjawabnya.
Soal kenapa aku tak mencari?? Mungkin itu pertanyaan mereka juga. Aku memang tidak akan mencari karena perasaan cinta itu menurutku sesuatu yang sangat misterius. Cinta bisa datang kapan dan kepada siapa saja sesuka hatinya, ini jika cinta dipandang sebagai perasaan, tapi jika cinta dipandang sebagai kerja adalah tentang apa yang kita lakukan untuk menjadikan seseorang yang kita cintai dalam keadaan terbaik. Tapi menurutku, cinta itu datang dari perasaan, barulah melangkah ke kerjanya. Jadi aku tak berniat mencari dimana cinta itu, aku hanya akan menunggunya dengan sabar ketika akhirnya perasaan itu mulai berbunga indah, aku akan berjuang untuk melakukan kerjanya.
Tapi, dalam masa menungguku ini bukannya aku tak melakukan apa-apa, aku akan bergaul dan berteman dengan siapa saja dengan terbuka. Entah yang cantik atau tidak cantik sekalipun. Cuma, aku tak mau memaksa perasaan atau dengan kekanak-kanakan dengan intens mendekati seorang perempuan. Aku hanya ingin berteman dengan wajar, dan ketika saatnya rasa itu tiba, aku akan memperjuangkannya, walaupun dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh dunia...
Aku akan mempersiapkan diriku hingga saat itu tiba. Menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari aku yang sekarang ini. Entah itu materiil maupun sikap. Fisik dan mental akan aku usahakan untuk menjemput hari itu. Karena aku yakin, hari itu akan tiba pada waktunya, ketika Dia sudah memutuskan...
Lalu bagaimana jika benar-benar aku tak dipertemukan dengan jodohku?? Maka sebenarnya ada seorang perempuan yang jauh lebih cantik dan baik sedang menungguku di surga sana... Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, berkarya untuk merubah dunia, bertindak lebih banyak dari pada berkata-kata. Dan akan aku perjuangkan semua mimpi-mimpiku...
Untuk perempuan yang entah siapa disana, di ujung jalan itu, tunggulah, aku akan mempersiapkan diriku untuk menjadi lebih baik lagi dari sekarang ini. Dan akan kuhampiri mu untuk kemudian menggenggam erat tanganmu...

Bocah Pemimpi


Obrolan para mahasiswa semester atas yang udah tahun terakhir di kampus tak pernah jauh dari "eh habis lulus pada mau kemana nih?"
Eng ing eng........
Pernah aku membahas ini hingga pukul 2 dinihari bersama salah satu teman kost yang juga sedang menikmati tahun terakhirnya di kampus. Selain juga membahas topik utama tentang kisah cintanya yang sedikit rumit, ah kalau yang ini lebih baik kita bahas lain kali saja ya...
Kembali ke topik awal, habis lulus mau kemana?? Pertanyaan yang cukup membuat galau buat mahasiswa tingkat atas seperti ane...
Sebenarnya aku sih sudah punya rencana, tapi kalau rencana itu gagal pye?? Belum terpikirkan rencana B, C bahkan D.
Rencana awal sih penginnya 3 tahun setelah lulus pengin berkelana ke barat mencari kitab suci, lho.. ga deng, selama tiga tahun sehabis lulus penginnya menimba pengalaman sebanyak-banyaknya, pengin ikutan Indonesia mengajar, SM3T, trus kuliah PPG. Tapi untuk bisa masuk di indonesia mengajar sepertinya butuh perjuangan yang ga akan mudah,karena saingannya itu lho... Ngeri lek...
Trus setelah 3 tahun berkelana (penginnya sih keluar pulau), baru deh mulai serius menetap di suatu tempat yang entah dimana kehendak Tuhan nanti. Sementara sih penginnya di jawa barat aja, biar dapet lingkungan baru, biar bisa backback ke jogja, kota tercinta. Aneh kan, masa mau backpackeran ke jogja kalu sendirinya aja tinggalnya di jogja...hahahaha
Nah, di tempat menetap nantinya penginnya sih jadi PNS, tapi ga cuma ngajar secara formal, tapi pengin juga berbagi ilmu dengan anak-anak yang kurang mampu. Pengin bisa mengajak mereka untuk melihat dunia yang lebih luas, yang tak pernah mereka bayangkan. Aku pengin mengajak mereka bermimpi setinggi-tingginya. Dan untuk anak-anak yang mampu, penginnya sih mengajak mereka lebih bisa menghargai alam, alam indonesia khususnya serta rakyatnya secara langsung. Aku sih berharap dari mereka yang mempunyai kesempatan lebih besar meraih mimpinya agar bisa berbagi dengan yang lain untuk mengejar mimpi. Pokoknya intinya pengin memperbaiki generasi bangsa ini dengan mimpi-mimpi...
Ah, mungkin memang terdengar agak muluk dan idealis, tapi aku akan berusaha sekuat yang aku bisa untuk mewujudkannya....
Oiya, aku juga pengin buka toko peralatan naik gunung dan penyewaannya sekalian sih kalau bisa... mudah-mudahan bisa terwujud.. aminnnn
Itulah rencana kedepan setelah lulus hingga umur 29 tahun akhirnya aku menemukan jodoh, bagian rusuk yang hilang entah kemana. Menikah di umur 29 atau 30 kemudian hidup bahagia...hahaha
Tapi, itu semua hanya rencana seorang bocah yang selalu sibuk dengan khayalan-khayalannya, mimpi-mimpinya. Tuhan lah yang menentukan mana yang baik dan tidak, dan Dia lah yang akhirnya memutuskan mana rencana yang terbaik untukku...
Dan kalau pun rencana diatas tidak berjalan sebagaimana rencanaku semula, aku hanya ingin melakukan sesuatu entah itu di kampung halaman, atau dimanapun, melakukan sesuatu apapun itu yang setidaknya meskipunn sedikit dunia ini berubah ke arah yang lebih baik. Aku ingin berkarya, dan kehadiranku di dunia ini sedikit bermanfaat untuk lingkunganku...
Aku memang seorag pemimpi, tapi aku bukan pembual.... biar kutunjukan itu!!

Ini Caraku !


Cukup menjadi diri sendiri, dan semua akan baik-baik saja !! sederhana saja...
Terserah orang lain mau berpendapat seperti apa, mau berargumen dengan dasar apapun, karena aku sudah punya teoriku sendiri, hipotesis-hipotesis sendiri tentang bagai mana menjalani hidupku ini. Hidupku yana begini ini, sudah pasti berbeda dengan hidupmu atau hidup orang lain.
Mungkin kau bisa bilang kalau aku ini terlalu teoritis dan idealis, atau bahkan egois mungkin, tapi aku hanyalah seorang bocah rapuh yang sedang mencoba untuk menerapkan semua teorina di kehidupan nyata. Mungkin ada beberapa teorinya yang berlainan dengan kondisi di lapangan, maka aku akan menggunakan hasil itu untuk sedikit merevisi teori awalku. aku hanya sedang berusaha untuk merealistiskan semua idealismeku. Bukankah sebuah hipotesis harus berusaha untuk dibuktikan kebenarannya lewat percobaan-percobaan?

Dan aku hanya sedang berusaha untuk membuktikan teori cintaku, terkadang ada keraguan memang, tapi semakin lama semakin sedikit lebih bertambah pengertianku tentang cinta. Bukan kekanak-kanakan seperti salah satu temanku yang sibuk mencari 'pacar', karena yang ku cari ini cinta, entah cinta itu berbalas atau tidak. Entah cinta itu berbentuk seperti apa, aku hanya ingin membuktikan kalau cinta itu selalu indah, selalu menyembuhkan. Bukan gila atau menyakitkan seperti yang kerap di alami beberapa pesakitan.

Tapi jujur, terkadang selalu ada keraguan yang menghampiriku dalam sepi, dalam gelap yang selalu mnggayut saat malam datang, dan seketika itu aku kembali tersungkur jatuh. Tapi aku masih berusaha bertahan, keras kepala mempertahankan apa yang baik menurut isi kepalaku yang sedikit rumit ini.

Dan aku masih tetap berpijak disini, berusaha untuk tetap mencintaimu. Dan aku sedang berusaha mencari cara terbaik untuk mencintaimu, karena aku tau aku tak pernah bisa menggenggam cintamu. aku sedang berusaha untuk melepaskanmu, bukan melupakan. karena bagaimanapun juga kau tetaplah sahabat terbaik yang pernah kumiliki, maka aku akan berusaha untuk berkorban sedikit lagi untuk mengubah devinisi cintaku ini agar aku bisa tetap memastikan kau dalam bahagia disana, meski entah tangan siapa yang sedang kau genggam.

Aku hanya butuh sedikit waktu lagi untuk belajar dan membiasakan hati mengartikan cinta seperti teori dan idealisme yang sudah aku susun rapi. Dan seiring berjalannya waktu ini, aku mencoba menikmati semuanya.

Sahabat, biar kubuktikan padamu kalau aku ini bukan seorang pembual, biar kau mengerti bahwa cinta yang bertepuk sebelah tangan itu bukan tak seindah cinta yang berbalas, tapi bisa lebih dari itu. Karena dengan sebelah sayap aku mengerti bagaimana proses untuk terbang. biar kutunjukan bagaimana cara untuk terbang menggunakan satu sayap rapuh ini.
Sahabat, tetaplah kuat seperti perempuan yang aku kenal dan aku kagumi. Aku belajar banyak dari mu, dan janganlah menjadi rapuh meski seseorang lain yang sedang kau cintai dengan tulus itu entah berada dimana.

Dan aku masih berada disini, dengan semua tori-teoriku. Semoga kau berbahagia dengan hidupmu disana, sahabat !!

Sabtu, 04 Agustus 2012

Sebuah Jarak

Semalam acara bareng anak-anak kelas, seru dan ngangenin...

Lama tak berjumpa mereka, kawan-kawan seperjuangan mencapai titel sarjana. Membagi kisah beberapa minggu ini, kisah tentang perjalanan seorang guru, karena memang kita dididik untu mejadi guru bukan?

Ada cerita senang, lelah, indah, sedih, semuanya bercampur dalam tawa renyah.

Dan diantara kawan-kawan itu, ada kau disana. Gadis kecil berwajah sendu....

Kau bercerita banyak hal, tentang tugas-tugas berat selama ppl, tentang indahnya menjadi guru, bahkan tentang kunang-kunang di pematang sawah.

Tapi entah mengapa aku merasa berbeda, memang tawa ini sangat menghiburku, atau malah cuma pelarianku? tempat bersembunyi ku dari tatapan matamu? Seperti aku bersembunyi dibalik sendunya purnama malam tadi...

Aku merasa sepi dalam keramaian ini... Urusan perasaan ini, memang tak semudah yang aku bayangan...

Seakan ada jarak diantara aku dan kamu, aku melihatanya, jarak saat kau menatapku, juga jarak saat ku menatapmu.. Jarak yang jauh untuk diselami dan tak dapat di ukur dengan angka...

Aku dengan jelas dapat meihat jarak itu, saat bermain gelembung, bermain kembang api, semuanya, seakan aku coba menghindari jangkauanku, pun dengan aku yan menghindarimu...

Jarak ini, akan kucoba tebas dengan pedang waktu, semoga kali ini waktu memihakku...

Bersahabat dengan sang waktu.....

Gadis kecil berwajah sayu, maaf, bukannya aku mencoba melupakanmu, aku hanya mencoba untuk berdamai dengan perasaan ini... Tak pernah terlintas sekalipun dalam benakku untuk melupakanmu. Beri aku waktu untuk melewati semua ini, aku hanya mencoba untuk mengembalikan semuanya seperti dulu lagi. Ah, mungkin tak akan seperti dulu lagi, tapi setidaknya lebih baik dari saat ini...

Waktu, Bantulah aku....

Sabtu, 21 Juli 2012

Patah Hati??

Ah... Sudah lama rasanya aku tak menuangkan kisahku dilayar 14 inci ini...

Banyak hal yang terjadi, terlalu banyak malah... Proses yang memberiku pelajaran banyak hal, yang semoga saja mampu membimbingku menuju kedewasaan...

Mungkin sedikit melankolis, kisah yang ingin kuceritakan ini tentang persahabatan, cinta, dan hati yang terluka...

Bahagia, sedih, sayang, suka, patah hati, cinta. Itu semua adalah rasa, sebuah kelebihan yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Rasa inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan hewan, ataupun tumbuhan. Sesuatu yang menjadikan manusia hidup dalam artian yang sebenarnya, karena manusia bukanlah robot yang hidup tanpa menggunakan hati. Ya, semua rasa itu memang berpusat di dalam hati manusia.

Dua minggu lalu, ketika kau berucap bahwa rasa sayangmu untukku tak cukup seperti yang orang sebut dengan pacar. Rasa sayangmu tak seperti rasa sayangku padamu, kau hanya menganggapku sebagai sahabat, itu saja, tak lebih. Patah hati, begitu mungkin yang orang bilang tentang keadaanku waktu itu. Sebuah rasa yang menurut orang-orang sangat menyakitkan. Karena memang begitu pula menutku. Kau mengucapkannya ketika tepat pukul 12 malam, dan hingga pagi menjelang, aku tak juga sanggup terlelap. Mungkin rasa sakit itu membuatku lupa devinisi dari kata tidur.

Tapi itu dua minggu lalu. sekarang sudah berbeda, walaupun hanya sdikit saja, setidaknya itu menandakan adanya perkembangan dari pemahamanku tentang apa tiu patah hati. Bukankah memang  sudah seharusnya kita belajar dari proses, dari hidup yang kita jalani.

Hingga sekarang, rasa sayang itu sebenarnya belum berkurang sedikitpun, aku belum juga bisa berdamai dengan perasaan ini. Dua minggu bukan waktu yang panjang untuk berdamai dengan perasaan cinta, perasaan sayang. Tapi dengan belajar dari perasaan ini, esok lusa pasti aku mampu berdamai dengan perasaan ini, esok lusa pasti bisa !

Sekarang, setidaknya aku tau bagamana harus memposisikan kau di hidupku. Bukan untuk melupakanmu, tapi melupakan perasaan cinta ini, berdamai dengan perasaan ini. Aku akan sekuat tenaga mengontrol perasaanku padamu ini, agar tak lagi membiarkannya bebas membuat ilusi-ilusi masa depan tentang aku dan kamu yang dapat menghanyutkanku pada kehancuran, pada pesakitan. Dan aku akan tetap memposisikanmu sebagai sahabatku, sama seperti 6 bulan lalu ketika kita dipertamukan di ABU-ABU bersama si gadis polos dan lelaki berkacamata. Saat kita tertawa  bersama dalam kebersamaan. Walaupun mungkit tak akan sama seperti 6 bulan lalu, tapi akau akan berusaha !

Maaf, untuk kamu, gadis polos, dan lelaki berkacamata, karena mungkin rasa cintaku ini telah menghancurkan prsahabatan kita. Keindahan dari kebersamaan. Tapi jalan takdir memang begini adanya, dan aku tak akan pernah mempersalahkannya.

Lalu bagai mana dengan lukaku? tentang patah hati ku?

Yang jelas sudah tak sesakit 2 minggu lalu. Bukankah patah hati itu indah? jika kita mampu melihat dari sudut yang berbeda. Sekarang ini aku sedang berusaha untuk mencari sudut pandang mana yang menyatakan patah hati itu indah. Setidaknya aku bisa merasa hidup dengan adanya rasa ini, aku bisa melihat senja yang lebih jingga, aku bisa melihat banyak hal dengan mata hati yang terbuka. Karena mata hati kadang terbuka oleh hal-hal yang menyakitkan, oleh hati yang sedang terluka.

Sekarang, biarlah sejenak aku menikmati rasa sayang ini, rasa cinta ini. Biarkan aku menikmati harum bunga cinta yang menyejukan ini, biarpun aku tau kau tak pernah menyambut bunga cinta ini, tapi cukuplah ketika aku memilikinya untuk sekejap ini. Esok lusa, ketika bunga cinta ini telah layu, maka saat itulah aku telah berdamai dengan persaan cinta ini.

Bunga cinta ini lah yang akan menemaniku dalam kesepianku, membantuku terbang dengan sebelah sayapnya, karena kau memang tak melengkapi sebelah sayapnya llagi. Tapi dengan sebelah sayap ini, cukup untukku tertatih terbang, melihat bnyak hal dari atas, meskipun hanya sekejap.

Aku mencoba bersyukur akan jalan takdir ini. Setidaknya aku sudah berani untuk jujur akan perasaanku, bukan lagi pecundang yang selalu berbohong akan perasaannya. Dan dengan kekuatan ini aku akan belajar untuk berdamai !!

Aku bersyukur pernah mengenalmu.
Aku bersyukur pernah mencintaimu.

Gadis kecil bermata sayu, terimakasih karena kau meluangkan waktu untuk menjadi salah satu tokoh dalam kisahku ini.....

Tuhan, terimakasih untuk Takdir yang telah kau susun....

Gadis kecil berwajah sayu, semoga kau juga tak melupakanmu. Setidaknya saat kau memandang bunga krisan ungu itu kau akan teringat, bahwa ada aku yang dulu memberikan bunga itu padamu disuatu malam yang dingin. Menyatakan CINTA....

Kamis, 31 Mei 2012

Rumah yang Belum Jadi

Sebuah celah kecil,
tersembunyi dibalik batu-batu besar yang tersusun rapi.
Lupa untuk diperhatikan satu pasang mata yang selalu terjaga,
yang selalu sibuk mencari hal-hal besar di depan rumah yang sedang ia bangun.
Apakah ia lupa kalau hal besar ada karena hal kecil?
Seperti celah kecil di rumah besar yang belum jadi.

Mentari bersinar terang.
Sinarnya sibuk mencari-cari jalan.
mengejar kesana kemari celah-celah kecil yang bertambah satu setiap kali malam datang.
Saat mentari bersembunyi di balik bukit.
Apakah ia belum juga memperhatikannya?

Celah-celah kecil saling tertawa.
Manja digelitik sinar mentari pagi ini.
Tawanya saling menyahut, bergema disana sini.
Riang sekali ditingkahi burung gereja yang terbang bergerombol.
di depan rumah yang belum jadi.

Ah....
Ia, akhirnya tersadar, terbangun dari mimpi-mimpi dikala pagi.
Mimpi yang hadir saat ia terjaga,
saat mencoba melihat banyak hal di depan rumah yang belum jadi,
burung gereja yang terbang kesana kemari.
Bukankah tawa mereka memang keras?
mengagetkannya dari mimpi di pagi ini.

Sebelum kaki kembali melangkah...
Sebelum angin pagi kembali berhembus...
Sebelum detik kembali menunjuk angka lainnya...
Sebelum sinar mentari kembali berlari riang...
Sebelum pagi kembali menjemput siang...
Sebelum sepasang mata selesai menerka,
menyampaikan informasi ke otak yang kecil di kepala yang juga kecil.
Tawa riang celah-celah kecil itu terlalu keras.
Batu yang sudah tersusun rapi akhirnya jatuh berguguran.
Rumah yang belum jadi akhirnya roboh terbawa aliran waktu.

Kaki kembali melangkah...
Angin pagi kembali berhembus...
Detik kembali bergerak menunjuk angka lainnya...
Sinar mentari kembali riang berlari...
Burung-burung gereja kembali terbang...
Pagi kembali menjemput siang...
Sepasang mata akhirnya selesai menerka,
menyampaikan informasi ke otak yang kecil di kepala yang juga kecil.
Bahwa  rumah yang belum jadi, telah runtuh
roboh oleh celah-celah kecil yang selalu ia lupakan.

Apakah ia akan tetap diam?
Sibuk dengan mimpi-mimpi dikala pagi.
Menyaksikan reruntuhan rumahnya,
seperti seorang turis yang terkagum-kagum akan peninggalan kejayaan dulu
Hingga kemudian angin membawanya pergi,
jauh berlari meninggalkan reruntuhan rumah yang belum jadi

Ataukah ia akan memungut batu-batu besar yang berserakan dimana-mana?
menyusunnya kembali satu-persatu.
Bertahap membangun rumahnya yang belum jadi dulu.
Tapi pastilah ia sudah belajar tentang celah?
Rumah yang sekarang ia bangun pastilah berbeda dengan rumahnya dulu?

"Proses pastinya memberikan banyak hal untuk dipelajari. Bukan hanya tentang kesakitan, tapi juga tentang kesenangan. Proses belajar yang akan menuntun manusia ketahap selanjutnya. Membangun satu tingkat rumahnya secara bertahap"

Kaki-kaki...
Angin pagi...
Detik-detik...
Sinar mentari...
Burung gereja...
Pagi dan siang...
Putaran waktu kembali membimbingnya berjalan.
"hidup memang soal pilihan"

Jumat, 25 Mei 2012

Tentang kebebasan

Hari ini, TV kembali disuguhi oleh sinetron-sinetron yang berkisah tentang mimpi, tentang imajinasi tanpa batas. Si pemeran utama yang selalu saja disakiti, kemudian mampu bangkit lagi, hingga suatu hari kemudian disakiti lagi. Mimpi tanpa batas, adalah khayalan yang tak pernah dapat tergenggam.

Kenyataan adalah batas dari setiap mimpi-mimpi.

Televisi, dulu adalah hiburan rakyat yang dapat mempersatukan semua lapisan, semua kasta. Aku pun masih ingat bagaimana indahnya menonton satria baja hitam sambil berdesak-desakan dengan anak kampung sebelah, atau ketika bersorak bersama ketika Solkjaer menceploskan gol kemenangan untuk timnya. Lalu untuk apakah sekarang televisi?

Tiap rumah pasti punya, dan di tiap rumah itulah bocah-bocah dicekoki dengan cerita khayal yang tak pernah berani memandang kenyataan, juga tentang kehidupan orang lain yang mereka tau, tapi sekalipun tak pernah mengenal mereka. kehidupan semu, kenyataan pun dianak tirikan, dan televisi mengatasnamakan kebebasan untuk melakukan itu semua.

Demokrasi akan kebebasan selalu menjadi nyanian mereka, bahwa bebas berkarya adalah jurus ampuh mereka untuk meninju kenyataan.

Mereka membuai bocah-bocah itu dengan dongeng khayalan, mencadi candu, dan akhirnya bocah-bocah ini lupa akan kenyataan. bahwa malam ini belum makan, juga esok entah masih bisa sekolah atau tidak, bahkan lupa akan mimpi-mimpi mereka masing-masing.

Kebebasankah yang membantu khayal mengalahkan mimpi??

buatku itu bukanlah kebebasan, itu hanyalah cara mereka untuk mengelabui kenyataan. Mnecoba berlari jauh, berlindung pada dunia mereka masing-masing. dan lebih menjijikan lagi mengajak bocah-bocah yang apa adanya kedalam dunia mereka..

Kebebasan menurutku adalah seperti layang-layang...

Tanpa benang yang kokoh, layang-layang akan jatuh ketanah. Tanpa pegangan, prinsip, kebebasan akan jatuh. Dan akhirnya hanya menyisakan kemunafikan...

bebas berkarya, bebas bermimpi. namun hati lah yang sebenarnya menjadi benangnya, hingga kita bisa leluasa untuk menerbangkannya...

Terbanglah jauh, melihat banyak hal. Belajar banyak hal...
Mengejar mimpi-mimpi, di balik gerombolan awan...

Esok lusa, ketika angin tak lagi berhembus, ketika semuanya terasa cukup.
Kembali lah ke tanah basah ini...

Bebas...

Tentang Pertentangan


Hari masih pagi, kabut tipis belum beranjak pergi.
Menyelimuti dingin wajah-wajah yang berbasuh air.
Tiga hari ini, rekor baru telah kutorehkan, tiga hari bangun lebih pagi dari penghuni kost lainnya, berlomba dengan kabut pagi, mencoba mengais-ngais dingin lewat tetes-tetes air kran, dan melangkahkan pagi melewati kesunyian yang ditinggalkan malam…
Tiga hari ini aku bisa bangun untuk sholat shubuh di surau ujung gang, berangkat sebelum adzan selesai, sebelum setan berbisik mengajak kembali tidur, berselimut hangat..
Sisa-sisa energi ini, energi dari pemahaman baru tentang rumah, selalu berhasil mengusikku dari tidur, mengajakku melangkah menyusuri dinginnya pagi...
Hari-hari kemarin, tentang rumah, mengajariku banyak hal. Tentang indahnya rumah, tentang kesederhanaan, dan tentang indahnya penerimaan..
Energi ini sedikit memperluas ruang kecil di pusat hati. Memberi ruang untuk memikirkan banyak hal, tentang hidup, tentang goresan-goresan kisah yang mencoba untuk diartikan…
Juga tentang pertentangan. Tentang dia, gadis kecil berwajah sayu...
Terkadang, energi ini juga cukup untuk menenangkan hati, cukup untuk membelenggu goresan wajahnya. Meyakinkanku bahwa sekarang lebih baik begini. Tapi terkadang energi ini malah berbalik menikam. Mengajak berdiskusi, dan lagi-lagi keraguan itu muncul…
Energi ini, terkadang justru merapuhkanku…
Ah, ketika pagi datang, adzan subuh berkumandang, ada begitu banyak rasa tenang. Tapi bukankah ketika sepi kita akan lebih bisa mendengar sesuatu, apapun itu. Dan disetiap pagi, aku bisa lebih mendengar suara hatiku, ketika hati berteriak. Tentang pertentangan…
Dan Tuhan, mohon dengarlah teriakan hati ini…
Apakah ini doa? Entahlah, apa aku percaya dengan doa-doa.
Kemarin, ada teman yang tiba-tiba bertanya, "ngga, kamu rajin banget ke masjid akhir-akhir ini, pasti lagi ada maunya ya?"
Pertanyaan yang aku pun tak yakin akan jawabannya. Karena aku memang tak tau apa mauku. Aku hanya ingin menenangkan pikiran, mencoba melerai pertentangan. Dan energi dari rumah ini, selalu berhasil mengajakku untuk menepi sejenak ke surau ujung gang. Aku ingin Tuhan mendengarkan teriakan hatiku, bukankah Dia maha mendengar. Dan kemudian Dia bersedia untuk membisikan apa yang hatiku ucapkan, karena aku tak benar-benar mendengar teriakannya…
Mungkin yang temanku aneh dengan kerajinanku ini. Mungkin ia mengira aku rajin akhir-akhir ini karena sedang meminta sesuatu, lewat doa-doa..
Ah, aku hanya ingin menenangkan pikiran, agar aku bisa labih mendengar apa yang diteriakan hatiku…
Bukan untuk memanjatkan doa yang panjang-panjang. Karena sejujurnya aku tak begitu percaya akan doa-doa...
Bagiku, doa-doa hanyalah sebuah ritual untuk meyakinkan diri sendiri akan menjadi seperti apa hari esok. Karena takdir bukankah sesuatu yang sangat misterius dan rahasia. Tapi, bagiku doa-doa pun tak sanggup untuk mengubah takdir-takdir yang sudah ditulis jauh-jauh hari. Doa bagiku adalah bentuk lain dari optimisme akan hari esok, meyakinkan diri sendiri…
Takdir sudah ditentukan, kita hanya perlu menerima dan menjalaninya tanpa tau esok akan menjadi seperti apa takdir membimbing kita…
Dan aku yakin takdirku juga sudah tertulis, aku hanya perlu menerimanya…
Tapi aku terlalu takut, takut akan hari esok akan menjadi seperti apa. Ketakutan inilah yang melilit kakiku hingga sulit untukku melangkah. Apakah ini juga bagian dari takdirku?
Karena hidup adalah soal keberanian menghadapi takdir, juga soal penerimaan akan takdir. Hari kemarin, hari sekarang, dan hari esok…
Aku tak tau akan menjadi seperti apa takdirku dan takdirnya, dan aku terlalu takut, bahkan hanya untuk memikirkannya. Dan aku begitu takut untuk melangkahkan hari kaki, hingga aku terjebak pada pertentangan ini…
Apakah menjadi sahabat itu yang terbaik, ataukah hatiku mengingkinkan lebih dari ini…
Gadis kecil bermata sayu…
Tuhan, beri aku sedikit keberanian untuk melangkah, untuk menuju takdirku. Dan berilah ketulusan untuk menerima semua takdirku…
Untuk pertentangan hati, dan untuk adzan subuh yang telah lewat…

RUMAH SEDERHANAKU


Kita mulai dari pengertian rumah, mungkin pengertian rumah menurutku akan berbeda dengan pendapat kalian. Ah, hidup memang tentang perbedaan, namun terkadang kita dengan sombongnya tak mau mencoba untuk mengenal perbedaan itu. Rumah menurutku bukan sebuah kata benda, bukan sebuah obyek ataupun subyek, tapi rumah menurutku adalah sebuah predikat. Rumah menurutku bukan hanya sebuah benda yang beratap genteng, berdinding batu bata, memiliki pintu di depan atu jendela di samping. Tapi rumah menurutku hanya butuh sebuah ruang keluarga, bukan ruang secara konkrit, tapi ruang abstrak untuk menempatkan berbagai cerita, berbagai kisah. Rumah adalah tempat untuk pulang, hadiah bagi mereka yang mengarungi jauhnya jarak, dan lamanya waktu.
Dulu aku tak begitu mengenal apa itu rumah. Bagiku dulu, rumah hanyalah tempat untuk tidur, tempat untuk kembali dari sekolah, dari dunia luar, rumah hanyalah sebuah penjara dengan jadwal tetap, jadwal makan, jadwal tidur, jadwal pulang, ah, terlalu banyak jadwal…
Bagiku dulu, rumah hanyalah sebuah tempat yang konkrit untuk bersembunyi dari semua dunia luar, dari semua ketakutanku untuk hari esok. Aku selalu merasa rumah selalu menahan gerakku, selalu menahanku ketika ingin berlari. Rumah membelenggu semua keberanianku…
Tapi sbenarnya aku juga banyak ditolong oleh rumah, karena aku bisa lebih banyak mengenal kesepian, tapi sebenarnya justru aku tak mengenal apa itu rumah…
Mungkin memang benar adanya, kita akan lebih mengenal sesuatu ketika kita mencoba untuk melupakan. Bukan melupakan, tapi berdamai lebih tepatnya. Kalian pasti pernah kehilangan sebuah barang, kalian sibuk mencari-cari kemanapun, setiap sudut, tapi tak ada. Hilang entah kemana, seolah-olah bumi menalannya, menyimpannya pada sebuah ruang rahasia di bawah tanah. Tapi, ketika kalian sudah melupakannya, sudah berdamai, menganggapnya hilang entah kemana,ringan melanjutkan hari tanpa sibuk memikirkan barang itu, tiba-tiba barang itu sudah ada di depan mata, entah siapa yang menemukannya, atau mungkin memang benda itu tak pernah kemana-mana. Ah, indahnya berdamai…
Ketika aku mencoba untuk menjauh dari rumah, mencoba untuk lari, mencoba berdamai dan melupakan, justru rumah menarikku jauh kedalamnya. Tapi bukan rumah seperti yang dulu, pengertian rumah yang baru. Hidup memang selalu banyak hal-hal baru, bahkan dari hal-hal yang lama…
Semakin aku jauh melangkah, semakin lama aku pergi, rumah semakin jelas ada dikepala kecilku, semakin manis tersenyum. Dan aku bisa seikit mengenal rumah, samar-samar kudengar di telinga…
Awal aku pergi melangkah, mencoba menemukan banyak hal-hal baru, justru hal-hal lama, tentang rumah, menyadarkanku bahwa aku belum mengenal apa-apa, bahkan tentang rumah. Saat aku pulang ke rumah, ada perasaan lain yang kurasa, seperti bukan rumah yang dulu, ada sesuatu yang berbeda. Semakin lama, semakin jelas. Ah, aku ternyata memang belum mengenal rumah, bahkan sekarang pun hanya mampu kuartikan sedikit saja…
Sudah dua hari aku dirumah ini, rasanya semakin berbeda dari terakhir kali aku pulang. Aku merasa lebih bayak hal tentang rumah yang belum ku kenal…
Dua hari di rumah ini, memberiku banyak penjelasan…
Bahwa rumah bukan subjek atau pun objek, rumah bukan kata benda, tapi rumah adalah predikat, kata kerja. Akulah objeknya, akulah subjeknya, akulah kata bendanya…
Rumah adalah cinta, tentang keceriaan, berbagi, pengorbanan, kasih saying. Ah, terlalu banyak hal tentang rumah, kadang indah, kadang juga tak indah…
Tapi yang aku tau tentang rumahku adalah kesederhanaan...
Rumah sederhanaku ini terletak diperbatasan provinsi, ah kadang orang dari kabupatenku saja tak tau ada daerah tempat rumahku berada, ada desa di ujung barat. Mereka tak sadar kalau tanpa desaku ini maka tak akan jelas batas wilayah kabupaten mereka, tapi mereka memang selalu saja melupakan desa kami yang permai ini. Kebusukan pemerintah, tentang kesenjangan perhatian untuk kami orang-orang yang ada dibatas wiayah. Aku selalu benci membicarakan ini…
Tentang perbatasan ini, jika kau berteriak keras dari pinggir sungai besar samping rumah, maka jika ada orang yang menyahut di seberang sungai, maka itu adalah suara dari penduduk provinsi sebelah. Kami biasa menyebut mereka sebagai penduduk sabrang. Pelesetan dari kata seberang sebenarnya. Dulu aku sering memancing disitu, menangkap ikan, dan kalau sedang beruntung akan mendapat tangkapan yang paling berharga, udang. Sering juga aku bermain di pinggiran sungai, mencari jangkrik, serangga kecil untuk diadu kelahi atau adu bunyinya, semakin keras dan nyaring suaranya maka semakin bagus jangkriknya, jangkrik sungon. Autau kadang bermain sepak bola di penggiran sungai, berlari riang ketika ada peduduk pemilik lahan ketika tau lahan tempatnya bercocok tnam digunakan sebagai lapangan sepak bola. Pernah suatu hari kami riang bermain bola, tiba-tiba ada yang meneriaki kami dengan embawa parang panjang, pemilik lahan, dan kami pun lari terbirit-birit dengan riangnya, dan akulah tersangka utamanya. Kalau sedang kesal dengan pemilik lahan, maka kami meminta sediki hasil taninya, jagung, tapi tak pernah kami meminta secara langsung, mungkin kalian bisa menyebutnya seba pencurian kecil. Dan asal kalian tahu, jagung hasil curian itu lebih enak dari apapun, apalagi letika kalian memanggangnya bersama teman-teman. Kenakalan masa kanak-kanak. Dan yang lebih menggairahkan adalah ketika dengan bangganya memegang senapan angin, mengincar burung-burung kecil yang hinggap di pohon besar di pinggir sungai, saying dari sekotak peluru enhasilkan satu tangkapanpun. Oiya, sebelummengenal senapan angin, kami biasa menggunakan ketapel, hebat bukan. Dan rahasia kecil dari sungi kecil kami dulu adalah, ketika satu hari dalam satu tahun, entah pasal apa ikan-ikan seperti mabok, tabi bukan karena racun, tapi entah karena apa, biar menjadi rahasia kecil. Dan kami warga lembah sungai langsung mengadakan pesta penangkapan ikan secara besar-besaran, keceriaan dipinggiran sungai kami. Namun aku hanya berdiri di pinggir sungai, takut akan sungai besar dengan arusnya, karena memang biarpun anak sungai aku tak pernah bisa berenang, omelan bapakku selalu menghantui. Tapi ritual itu kini hanya tinggal cerita pengantar tidur saja, misteri itu entah hilang dimakan apa. Rahasia kecil tentang ritual bernama woro. Dan sekarang kecriaan tentng sungai itu telah tertinggal di belakang, menjadi bagian kecil dari potongan hidupku, bagian kecil dari pengertian rumah yang aku tau sekarang. Dan sungai itu hingga kini masih menjadi tumpuan hidup dari sebagian kami yang bertambang pasir di dasarnya.
Tiga rumah dari tanggul tinggi yang menahan air ketika banjir dari sungai itu, adalah rumahku yang sederhana…

Rumah


Kabut tipis menggantung, adzan subuh saling menyahut, kokok ayam saling berlomba. Ah, di jogja tak kan ada yang seperti ini, dan pasti aku saat ini masih asik dengan mimp-mimpi malam, dengan selimut kuning yang selama 3 tahun terakhir belum dicuci.
Dua hari lalu aku memutuskan untuk pulang kerumah. Dan itu menjadi kabar yang mengejutkan untuk semua kawan-kawanku di jogja yang merasa mengenalku. Ya, aku memang terkenal jarang sekali pulang, bahkan ada salah satu kawanku yang asal bertanya,' hei ngga, kamu sebenarnya punya rumah atau tidak? Jangan-jangan kamu sudah tak di anggap oleh orang tuamu?' Sambil tertawa memang, ah itu semua kan hanya candaan..
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku jelaskan pada kawanku itu, tapi aku teringat akan diskusiku dengan gadis bermata sayu, bahwa pengertian rumah menurut kita berbeda, ah, aku memang selalu berbeda dengan dia, itu juga yang selalu dia katakan..
Salah besar jika menyebut aku tak punya rumah, salah besar jika menyebut aku tak dianggap oleh orang tuaku. Karena asal kalian tau kawan, orang tuaku adalah orang tua terhebat yang ada di dunia ini. mamah adalah perempuan tercantik dan terkuat yang pernah ku tau, sedangkan bapak adalah pria yang paling bertanggung jawab yang pernah kutemui. Kasih sayang mereka benar-benar membuat iri siapapun, aku bak seorang raja kalau di rumah, benar rumah impian siapa saja..
Tapi pengertian rumah menurut kita berbeda. Menurutku,rumah adalah hadiah bagi siapa saja yang mengarungi jarak dan waktu, tempat yang paling sesuai untuk pulang. Semakin jauh menempuh jarak, semakin lama mengarungi waktu, rumah akan semakin terasa keberadaannya, dan ketika menapakan kaki di teras rumah, akan selalu ada rasa yang berbeda, rasa yang tak pernah terbayangkan
 Rumahku adalah rumah yang penuh cinta. Ada banyak keceriaan disini. Ketika beban hidup terlalu berat untuk dilewati, maka rumah akan menjadi obat yang sempurna. Duduk diteras rumah, bercengkrama dengan keluarga, bersalaman dengan tetangga, menjaga warung, adzan dan sholat di surau samping rumah, atau di masjid baru di depan rumah yang baru jadi, menikmati ribuan gemintang di atas langit malam, meresapi belaian angin malam, cengkrama anak-anak SD yang pulang sekolah, berlarian dan berkejaran, berdiskusi apa yang akan mereka lakukan setelah ini, mendengarkan dengan gemas rajutan adik kecilku yang minta di antar kemana lah, beli apalah, atau menikmati butiran air yang tumpah ruah dari atas langit, mengagum kekuatan langit yang bersinar terang, menunjukan akar-akar bercahaya di atas langit, kemudian di ikuti dentuman keras, menalahkan gemericik merdu air hujan. Ah, ada banyak hal di sini yang terlalu indah. Dan keindahan ini, benar-benar aku mengerti setelah jauh aku menempuh jarak, lama aku mengerungi waktu.. hadiah yang teramat indah..
Dulu aku tak peduli dengan semua itu…
Tapi aku juga tak akan lama di rumah, esok lusa aku akan kembali pergi. Bertemu dengan wajah-wajah baru, menapaki jalan yang baru, mengukir kisahku. Rumah memang dipenuhi banyak cinta, tapi aku hanya akan mengambil secukupnya saja, melahapnya hingga cukup kenyang. Aku tak akan mapu untuk menampung semua cinta yang ada jika aku terlalu lama di sini. Rumah itu seperti makanan ter enak yang pernah kalian cicipi, tapi jika makanan itu terlalu banyak kalian makan, apa rasanya masih akan sama enaknya? Mungkin malah kalian justru akan memutahkannya. Kerena itulah, ketika energy yang kudapat dari sini terasa cukup, maka aku akan kembali pergi, mengarungi cerita baru. Melihat banyak hal, mempelajari banyak penjelasan-penjelasan Tuhan..
Esok lusa, ketika hati ini kembali tenang, ketika aku benar-benar pantas untuk menentukan pilihan, ketika energy terasa cukup untuk kembali menggores cerita, aku akan kembali pergi, bertualang mengarungi hidup…
Menenangkan hati, menentramkan pikiran, semoga kelak apa yang aku pilih tak kan pernah aku sesali…
Secangkir kopi pagi ini…