Kamis, 29 November 2012

Agen Perubahan


Hidup indonesia...

Hidup indonesia...

Hidup indonesia...

Teriakan-teriakan yang mendukung timnas Indonesia berlaga di ajang piala AFF, sebuah turnamen sepak bola antar negara-negara asia tenggara.

Peluit tanda berakhirnya pertandingan akhirnya terdengar. Menandai berakhirnya pertandingan timnas di laga pertama di turnamen ini.

Sebuah hari besar untuk timnas Indonesia. Hari besar, karena hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya, berbeda dengan sejarah-sejarah di masa lalu. Heri besar, hari pembeda. Tapi, pembeda di sini bukan berkonotasi positif, melainkan sebaliknya. Ya, timnas Indonesia berhasil ditahan imbang oleh timnas Laos setelah di empat pertemuan sebelumnya selalu berhasil menang dengan skor telak. Timnas Laos yang notabennya adalah salah satu tim lemah di kawasan asia tenggara berhasil menahan imbang timnas indonesia yang merupakan empat kali finalis di turnamen ini. Bahkan terakhir kali timnas indonesia tampil di partai final adalah di turnamen sebelum ini, dua tahun lalu. Tapi, memang dua tahun bukan waktu yang lama untuk merubah sejarah. Dan timnas laos berhasil melakukannya.

Kalo boleh saya katakan, bukan timnas laos yang menahan timnas indonesia, tapi sebaliknya. Tahu maksud saya? Ya, disepanjang pertandingan justru timnas laos yang memegang kendali permainan. Timnas indonesia? Ah  saya jijik melihatnya, sebuah keberuntungan akhirnya mereka bisa menyamakan kedudukan di menit-menit akhir.

Saya berdoa timnas indonesia TIDAK lolos dari putaran grup di turnamen ini. Bukan karena rasa nasionalisme saya sudah mati. Bukan, bukan karena itu. Tapi justru karena kecintaan saya pada bangsa ini. Jujur saya juga berharap akan kejayaan timnas indonesia pada turnamen ini. Tapi untuk saat ini akan lebih baik jika timnas indonesia terpuruk. Biar semua pihak ditampar oleh keadaan yang seperti itu. Sudah terlalu carut marut keadaan sepak bola kita sekarang ini. Bukankah terkadang keadaan pahit lebih bisa mengena dari pada keadaan yang membuai. Sejarah-sejarah pahit telah lama membuat perubahan di muka bumi ini.
Dengan sebuah keterpurukan timnas saya berharap semua pihak menjadi lebih dewasa lagi, entah itu masyarakat secara umum atau para pembesar-pembesar yang duduk di atas kekuasaan tertinggi sepak bola indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan akan bangkitnya sifat kekanak-kanakan para sporter bola yang melakukan anarkisme dimana-mana. Tapi setidaknya dengan hal semacam itu (walaupun saya tidak setuju) bisa merubah arah petinggi sepak bola kita. Reformasi harus segera terjadi di dalam dunia persepakbolaan kita ini.

Namun, kembali lagi ke individu masing-masing. Ada yang bisa kembali berdiri dari sebuah keterpurukan, ada pula yang semakin jatuh dalam keterpurukan itu. Saya berharap individu-individu yang mampu bangkit lebih banyak dan bisa membawa perubahan.

Yang saya lihat dalam perkembangan sepak bola indonesia dewasa ini, semua pergerakan mengatasnamakan golongan masing-masing. Sungguh sangat ironi bahwa dunia sepak bola kita tercinta ini terdapat dua golongan besar. IPL dan ISP. Di tahun sebelumnya ISL lah yang memegang kendali, tapi sekarang IPL lah yang memegang kendali arah. Sebuah ironi memang, bukannya perubahan yang terjadi, justru hanya berganti nahkoda saja sepertinya dunia sepak bola indonesia. Perpindahan kekuasaan dari ISL ke IPL. Hasilnya? Payah.....

Saya ingat kata-kata soe hok gie, tokoh perubahan yang mati muda di puncak Mahameru. Seorang tokoh yang saya kagumi akan idealisme-idealismenya, meskipun terlalu skeptis dan pesimis, serta seorang ateis kalau boleh saya berkomentar akan hal nigatif dari tokoh ini. Ia pernah berkata bahwa ia sangat merindukan individu-individu yang berjuang untuk indonesia bukan mengatasnamakan golongan mereka masing-masing. Tapi perjuangan yang berasal dari jiwa nasionalisme yang terbakar di dalam diri masing-masing. Saya sangat setuju dengan pendapat hok gie. Yang saya lihat (bukan dari petinggi-petinggi negri ini, karena saya terlalu muak melihat tingkah mereka) dari kehidupan dikampus (meskipun saya bukan seorang aktivis) banyak beberapa teman mahasiswa yang mengatas namakan golongan mereka masing-masing dalam mengutarakan perdapat.

Ada salah satu teman saya yang mengaku seorang pluralis, dia mengatakan hal-hal yang berbau politik (meskipun masih sederhana) menjelek-jelekan golongan lain (golongan beragama). Begitu juga sebaliknya, ada golongan agamis yang mengatas namakan golongan mereka bahwa sistem indonesia harusnya benilah, begitulah. Ahhh, aku muak...
Teman pluralis saya itu pernah berkata, bahwa seharusnya golongan-golongan agamis itu tak menggunakan agama sebagai kedok mencari kekuasaan. Mungkin benar adanya, tapi karena dikemukakan oleh individu yang menganggap golongannya yang paling benar dan golongan lain selalu salah, saya tidak setuju. Agama dalah batas-batas kebebasan seseorang, dan agama tidak hanya mencakup hubangan manusia dengan tuhannya, tapi juga dengan sesamanya.

Teman agamis saya berkata, golongan-golongan pluralis itu seharusnya mengerti batas-batas agama, tidak seenaknya sendiri. Saya juga sebenarnya setuju, bahwa agama menjadi pedoman dalam melakukan segala sesuatu. Tapi sekali lagi, karena dikemukakan oleh individu yang menganggap golongannya yang paling benar dan golongan lain selalu salah, saya tidak setuju. Indonesia adalah negara besar, bukan hanya milik agama tertentu saja, seharusnya semua perbedaan itu disatukan, bukannya terpecah belah. Saya juga seorang muslim, dan menurut saya islam itu sebuah agama yang menjunjung tinggi toleransi.
Bukannya saya plin pan atau apa, berganti-ganti pendapat. Saya yakin, tiap-tiap golongan mempunyi tujuan yang mulia, tapi individu-individu yang mengangkatnya terlalu silau akan bendera masing-masing. Lalu tujuan mulia tadi berganti arah sesuai individu-individu yang mengusungnya. Lalu apa bedanya hal ini dengan rasis?? Aku muak...

Alangkah indahnya ketika masing-masing individu tadi tak mengatasnamakan golongan masing-masing dalam mengemukakan sebuah pemikiran. Rasa nasionalisme yang tebakar di dalam jiwa mereka masing-masinglah yang akhirnya saling bahu membahu mengangkat harkat dan martabat bangsa. Saya sungguh merindukan datangnya masa itu...

Saya lebih suka individu-individu yang lebih berkarya atas nama dirinya sendiri dari pada individu yang lebih suka bercuap-cuap atas nama golongan mereka sementara lingkungan, masyarakat disekitar tak penah tau apa yang sedang mereka diskusikan. Jangan tanya soal perubahan? Nol besar...

Saya kira, seharusnya semua hal baik itu dimulai dari diri sendiri. Baru kemudian merambat pada lingkungan sekitar, dalam hal ini golongan. Lha, kalau sendirinya saja tak mampu membuat perubahan meskipun sedikit, melakukan hal baik, meskipun cuma secuil, berani bicara panjang lebar mengenai perubahan. Terlalu muluk...

Saya sungguh salut pada komunitas-komunitas dari almamater sebelah yang lebih banyak berkarya dari pada berpendapat. Jika dibandingkan dengan almamaterku ini, ah terlalu jauh. Sungguh lucu, sampai-sampai BEM nya saja harus dibekukan. Tidak berbeda jauh sebenarnya dengan politik negri kita sekarang. Tiap-tiap golongan salig adu pendapat menganggap golongan mereka yang paling benar. Sebuah pencerminan yang sangat tepat...

Kembali pada sepak bola indonesia, saya kira yang sedang berlaga pada turnamen AFF kali ini adalah sebuah tim yang mewakili sebuah golongan. Bukan indonesia secara utuh. Kepentingan-kepentinga telah membutakan mata para petinggi persepakbolaan kita...

Saya lebih suka melihat anak-anak kecil yang bermain sepak bola dari pada mereka yang mengaku timnas. Lihat lah, para pemain naturalisasi itu, tau apa mereka soal rasa nasionalisme? Yang mereka tau adalah soal popularitas...

Bisa dilihat bagaimana prestasi timnas U11 atau U15 yang begitu cemerlang dibanding timnas senior kita. Karena yang menjadi bahan bakar garuda-garuda muda ini adalah rasa nasionalisme yang dibakar oleh kecintaan mereka akan sepak bola. Bagaimana mimpi-mimpi mereka membimbing mereka terus berlari mengejar bola. Hingga kemudian kepentingan-kepentingan menghapus semua itu. Alangkah busuknya dunia orang dewasa itu. Anak-anak ini, dengan kesenangan yang lepas, berlari membawa nama negaranya, sedangkan orang-orang tua itu mengatasnamakan kepentingan golongannya. Bisa apa mereka?
Saya sungguh sangat berharap akan kondisi sekarang ini, akan adanya sebuah perubahan. Ketika kepentingan golongan terhapus oleh rasa nasionalisme. Dan semua pihak mau belajar untuk menjadi individu-individu yang jauh lebih baik dari sekarang. Dan semua pihak melupakan bendera golongan masing-masing, karena yang mereka pegang sekarang adalah sang saka merah putih.

Untuk jiwa-jiwa idealis yang tetap bertahan dengan tujuan mulianya. Tetaplah bertahan meski kalian terhimpit oleh dunia yang semakin kacau saja. Golongan semakin berkoar akan kepentingannya mengacuhkan kalian. Janganlah berhenti berkarya, meskipun hanya secuil. Marilah bersama kita tunjukan idealisme kita masing-masing mampu membawa perubahan di atas bumi permai kita ini. Kita tunjukan pada semua golongan itu tentang karya-karya kita, dan menjadi contoh untuk individu lainnya.

Kita adalah agen perubahan kawan, meskipun datang dengan idealisme-idealisme yang mungkin berbeda dan berlawanan. Tapi kita tau bagaimana untuk berkarya dari pada bertutur.

Mari berjuang kawan !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar