Jumat, 25 Mei 2012

RUMAH SEDERHANAKU


Kita mulai dari pengertian rumah, mungkin pengertian rumah menurutku akan berbeda dengan pendapat kalian. Ah, hidup memang tentang perbedaan, namun terkadang kita dengan sombongnya tak mau mencoba untuk mengenal perbedaan itu. Rumah menurutku bukan sebuah kata benda, bukan sebuah obyek ataupun subyek, tapi rumah menurutku adalah sebuah predikat. Rumah menurutku bukan hanya sebuah benda yang beratap genteng, berdinding batu bata, memiliki pintu di depan atu jendela di samping. Tapi rumah menurutku hanya butuh sebuah ruang keluarga, bukan ruang secara konkrit, tapi ruang abstrak untuk menempatkan berbagai cerita, berbagai kisah. Rumah adalah tempat untuk pulang, hadiah bagi mereka yang mengarungi jauhnya jarak, dan lamanya waktu.
Dulu aku tak begitu mengenal apa itu rumah. Bagiku dulu, rumah hanyalah tempat untuk tidur, tempat untuk kembali dari sekolah, dari dunia luar, rumah hanyalah sebuah penjara dengan jadwal tetap, jadwal makan, jadwal tidur, jadwal pulang, ah, terlalu banyak jadwal…
Bagiku dulu, rumah hanyalah sebuah tempat yang konkrit untuk bersembunyi dari semua dunia luar, dari semua ketakutanku untuk hari esok. Aku selalu merasa rumah selalu menahan gerakku, selalu menahanku ketika ingin berlari. Rumah membelenggu semua keberanianku…
Tapi sbenarnya aku juga banyak ditolong oleh rumah, karena aku bisa lebih banyak mengenal kesepian, tapi sebenarnya justru aku tak mengenal apa itu rumah…
Mungkin memang benar adanya, kita akan lebih mengenal sesuatu ketika kita mencoba untuk melupakan. Bukan melupakan, tapi berdamai lebih tepatnya. Kalian pasti pernah kehilangan sebuah barang, kalian sibuk mencari-cari kemanapun, setiap sudut, tapi tak ada. Hilang entah kemana, seolah-olah bumi menalannya, menyimpannya pada sebuah ruang rahasia di bawah tanah. Tapi, ketika kalian sudah melupakannya, sudah berdamai, menganggapnya hilang entah kemana,ringan melanjutkan hari tanpa sibuk memikirkan barang itu, tiba-tiba barang itu sudah ada di depan mata, entah siapa yang menemukannya, atau mungkin memang benda itu tak pernah kemana-mana. Ah, indahnya berdamai…
Ketika aku mencoba untuk menjauh dari rumah, mencoba untuk lari, mencoba berdamai dan melupakan, justru rumah menarikku jauh kedalamnya. Tapi bukan rumah seperti yang dulu, pengertian rumah yang baru. Hidup memang selalu banyak hal-hal baru, bahkan dari hal-hal yang lama…
Semakin aku jauh melangkah, semakin lama aku pergi, rumah semakin jelas ada dikepala kecilku, semakin manis tersenyum. Dan aku bisa seikit mengenal rumah, samar-samar kudengar di telinga…
Awal aku pergi melangkah, mencoba menemukan banyak hal-hal baru, justru hal-hal lama, tentang rumah, menyadarkanku bahwa aku belum mengenal apa-apa, bahkan tentang rumah. Saat aku pulang ke rumah, ada perasaan lain yang kurasa, seperti bukan rumah yang dulu, ada sesuatu yang berbeda. Semakin lama, semakin jelas. Ah, aku ternyata memang belum mengenal rumah, bahkan sekarang pun hanya mampu kuartikan sedikit saja…
Sudah dua hari aku dirumah ini, rasanya semakin berbeda dari terakhir kali aku pulang. Aku merasa lebih bayak hal tentang rumah yang belum ku kenal…
Dua hari di rumah ini, memberiku banyak penjelasan…
Bahwa rumah bukan subjek atau pun objek, rumah bukan kata benda, tapi rumah adalah predikat, kata kerja. Akulah objeknya, akulah subjeknya, akulah kata bendanya…
Rumah adalah cinta, tentang keceriaan, berbagi, pengorbanan, kasih saying. Ah, terlalu banyak hal tentang rumah, kadang indah, kadang juga tak indah…
Tapi yang aku tau tentang rumahku adalah kesederhanaan...
Rumah sederhanaku ini terletak diperbatasan provinsi, ah kadang orang dari kabupatenku saja tak tau ada daerah tempat rumahku berada, ada desa di ujung barat. Mereka tak sadar kalau tanpa desaku ini maka tak akan jelas batas wilayah kabupaten mereka, tapi mereka memang selalu saja melupakan desa kami yang permai ini. Kebusukan pemerintah, tentang kesenjangan perhatian untuk kami orang-orang yang ada dibatas wiayah. Aku selalu benci membicarakan ini…
Tentang perbatasan ini, jika kau berteriak keras dari pinggir sungai besar samping rumah, maka jika ada orang yang menyahut di seberang sungai, maka itu adalah suara dari penduduk provinsi sebelah. Kami biasa menyebut mereka sebagai penduduk sabrang. Pelesetan dari kata seberang sebenarnya. Dulu aku sering memancing disitu, menangkap ikan, dan kalau sedang beruntung akan mendapat tangkapan yang paling berharga, udang. Sering juga aku bermain di pinggiran sungai, mencari jangkrik, serangga kecil untuk diadu kelahi atau adu bunyinya, semakin keras dan nyaring suaranya maka semakin bagus jangkriknya, jangkrik sungon. Autau kadang bermain sepak bola di penggiran sungai, berlari riang ketika ada peduduk pemilik lahan ketika tau lahan tempatnya bercocok tnam digunakan sebagai lapangan sepak bola. Pernah suatu hari kami riang bermain bola, tiba-tiba ada yang meneriaki kami dengan embawa parang panjang, pemilik lahan, dan kami pun lari terbirit-birit dengan riangnya, dan akulah tersangka utamanya. Kalau sedang kesal dengan pemilik lahan, maka kami meminta sediki hasil taninya, jagung, tapi tak pernah kami meminta secara langsung, mungkin kalian bisa menyebutnya seba pencurian kecil. Dan asal kalian tahu, jagung hasil curian itu lebih enak dari apapun, apalagi letika kalian memanggangnya bersama teman-teman. Kenakalan masa kanak-kanak. Dan yang lebih menggairahkan adalah ketika dengan bangganya memegang senapan angin, mengincar burung-burung kecil yang hinggap di pohon besar di pinggir sungai, saying dari sekotak peluru enhasilkan satu tangkapanpun. Oiya, sebelummengenal senapan angin, kami biasa menggunakan ketapel, hebat bukan. Dan rahasia kecil dari sungi kecil kami dulu adalah, ketika satu hari dalam satu tahun, entah pasal apa ikan-ikan seperti mabok, tabi bukan karena racun, tapi entah karena apa, biar menjadi rahasia kecil. Dan kami warga lembah sungai langsung mengadakan pesta penangkapan ikan secara besar-besaran, keceriaan dipinggiran sungai kami. Namun aku hanya berdiri di pinggir sungai, takut akan sungai besar dengan arusnya, karena memang biarpun anak sungai aku tak pernah bisa berenang, omelan bapakku selalu menghantui. Tapi ritual itu kini hanya tinggal cerita pengantar tidur saja, misteri itu entah hilang dimakan apa. Rahasia kecil tentang ritual bernama woro. Dan sekarang kecriaan tentng sungai itu telah tertinggal di belakang, menjadi bagian kecil dari potongan hidupku, bagian kecil dari pengertian rumah yang aku tau sekarang. Dan sungai itu hingga kini masih menjadi tumpuan hidup dari sebagian kami yang bertambang pasir di dasarnya.
Tiga rumah dari tanggul tinggi yang menahan air ketika banjir dari sungai itu, adalah rumahku yang sederhana…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar