Kita mulai dari pengertian rumah,
mungkin pengertian rumah menurutku akan berbeda dengan pendapat kalian. Ah,
hidup memang tentang perbedaan, namun terkadang kita dengan sombongnya tak mau
mencoba untuk mengenal perbedaan itu. Rumah menurutku bukan sebuah kata benda,
bukan sebuah obyek ataupun subyek, tapi rumah menurutku adalah sebuah predikat.
Rumah menurutku bukan hanya sebuah benda yang beratap genteng, berdinding batu
bata, memiliki pintu di depan atu jendela di samping. Tapi rumah menurutku
hanya butuh sebuah ruang keluarga, bukan ruang secara konkrit, tapi ruang
abstrak untuk menempatkan berbagai cerita, berbagai kisah. Rumah adalah tempat
untuk pulang, hadiah bagi mereka yang mengarungi jauhnya jarak, dan lamanya
waktu.
Dulu aku tak begitu mengenal apa
itu rumah. Bagiku dulu, rumah hanyalah tempat untuk tidur, tempat untuk kembali
dari sekolah, dari dunia luar, rumah hanyalah sebuah penjara dengan jadwal
tetap, jadwal makan, jadwal tidur, jadwal pulang, ah, terlalu banyak jadwal…
Bagiku dulu, rumah hanyalah
sebuah tempat yang konkrit untuk bersembunyi dari semua dunia luar, dari semua
ketakutanku untuk hari esok. Aku selalu merasa rumah selalu menahan gerakku,
selalu menahanku ketika ingin berlari. Rumah membelenggu semua keberanianku…
Tapi sbenarnya aku juga banyak
ditolong oleh rumah, karena aku bisa lebih banyak mengenal kesepian, tapi
sebenarnya justru aku tak mengenal apa itu rumah…
Mungkin memang benar adanya, kita
akan lebih mengenal sesuatu ketika kita mencoba untuk melupakan. Bukan
melupakan, tapi berdamai lebih tepatnya. Kalian pasti pernah kehilangan sebuah
barang, kalian sibuk mencari-cari kemanapun, setiap sudut, tapi tak ada. Hilang
entah kemana, seolah-olah bumi menalannya, menyimpannya pada sebuah ruang
rahasia di bawah tanah. Tapi, ketika kalian sudah melupakannya, sudah berdamai,
menganggapnya hilang entah kemana,ringan melanjutkan hari tanpa sibuk
memikirkan barang itu, tiba-tiba barang itu sudah ada di depan mata, entah
siapa yang menemukannya, atau mungkin memang benda itu tak pernah kemana-mana.
Ah, indahnya berdamai…
Ketika aku
mencoba untuk menjauh dari rumah, mencoba untuk lari, mencoba berdamai dan
melupakan, justru rumah menarikku jauh kedalamnya. Tapi bukan rumah seperti
yang dulu, pengertian rumah yang baru. Hidup memang selalu banyak hal-hal baru,
bahkan dari hal-hal yang lama…
Semakin aku
jauh melangkah, semakin lama aku pergi, rumah semakin jelas ada dikepala
kecilku, semakin manis tersenyum. Dan aku bisa seikit mengenal rumah,
samar-samar kudengar di telinga…
Awal aku pergi
melangkah, mencoba menemukan banyak hal-hal baru, justru hal-hal lama, tentang
rumah, menyadarkanku bahwa aku belum mengenal apa-apa, bahkan tentang rumah.
Saat aku pulang ke rumah, ada perasaan lain yang kurasa, seperti bukan rumah yang
dulu, ada sesuatu yang berbeda. Semakin lama, semakin jelas. Ah, aku ternyata
memang belum mengenal rumah, bahkan sekarang pun hanya mampu kuartikan sedikit
saja…
Sudah dua hari
aku dirumah ini, rasanya semakin berbeda dari terakhir kali aku pulang. Aku
merasa lebih bayak hal tentang rumah yang belum ku kenal…
Dua hari di
rumah ini, memberiku banyak penjelasan…
Bahwa rumah
bukan subjek atau pun objek, rumah bukan kata benda, tapi rumah adalah
predikat, kata kerja. Akulah objeknya, akulah subjeknya, akulah kata bendanya…
Rumah adalah
cinta, tentang keceriaan, berbagi, pengorbanan, kasih saying. Ah, terlalu
banyak hal tentang rumah, kadang indah, kadang juga tak indah…
Tapi yang aku
tau tentang rumahku adalah kesederhanaan...
Rumah
sederhanaku ini terletak diperbatasan provinsi, ah kadang orang dari
kabupatenku saja tak tau ada daerah tempat rumahku berada, ada desa di ujung
barat. Mereka tak sadar kalau tanpa desaku ini maka tak akan jelas batas
wilayah kabupaten mereka, tapi mereka memang selalu saja melupakan desa kami
yang permai ini. Kebusukan pemerintah, tentang kesenjangan perhatian untuk kami
orang-orang yang ada dibatas wiayah. Aku selalu benci membicarakan ini…
Tentang
perbatasan ini, jika kau berteriak keras dari pinggir sungai besar samping rumah,
maka jika ada orang yang menyahut di seberang sungai, maka itu adalah suara
dari penduduk provinsi sebelah. Kami biasa menyebut mereka sebagai penduduk
sabrang. Pelesetan dari kata seberang sebenarnya. Dulu aku sering memancing
disitu, menangkap ikan, dan kalau sedang beruntung akan mendapat tangkapan yang
paling berharga, udang. Sering juga aku bermain di pinggiran sungai, mencari
jangkrik, serangga kecil untuk diadu kelahi atau adu bunyinya, semakin keras
dan nyaring suaranya maka semakin bagus jangkriknya, jangkrik sungon. Autau
kadang bermain sepak bola di penggiran sungai, berlari riang ketika ada peduduk
pemilik lahan ketika tau lahan tempatnya bercocok tnam digunakan sebagai
lapangan sepak bola. Pernah suatu hari kami riang bermain bola, tiba-tiba ada
yang meneriaki kami dengan embawa parang panjang, pemilik lahan, dan kami pun
lari terbirit-birit dengan riangnya, dan akulah tersangka utamanya. Kalau
sedang kesal dengan pemilik lahan, maka kami meminta sediki hasil taninya,
jagung, tapi tak pernah kami meminta secara langsung, mungkin kalian bisa
menyebutnya seba pencurian kecil. Dan asal kalian tahu, jagung hasil curian itu
lebih enak dari apapun, apalagi letika kalian memanggangnya bersama
teman-teman. Kenakalan masa kanak-kanak. Dan yang lebih menggairahkan adalah
ketika dengan bangganya memegang senapan angin, mengincar burung-burung kecil
yang hinggap di pohon besar di pinggir sungai, saying dari sekotak peluru
enhasilkan satu tangkapanpun. Oiya, sebelummengenal senapan angin, kami biasa
menggunakan ketapel, hebat bukan. Dan rahasia kecil dari sungi kecil kami dulu
adalah, ketika satu hari dalam satu tahun, entah pasal apa ikan-ikan seperti
mabok, tabi bukan karena racun, tapi entah karena apa, biar menjadi rahasia
kecil. Dan kami warga lembah sungai langsung mengadakan pesta penangkapan ikan
secara besar-besaran, keceriaan dipinggiran sungai kami. Namun aku hanya
berdiri di pinggir sungai, takut akan sungai besar dengan arusnya, karena
memang biarpun anak sungai aku tak pernah bisa berenang, omelan bapakku selalu
menghantui. Tapi ritual itu kini hanya tinggal cerita pengantar tidur saja,
misteri itu entah hilang dimakan apa. Rahasia kecil tentang ritual bernama woro. Dan sekarang kecriaan tentng
sungai itu telah tertinggal di belakang, menjadi bagian kecil dari potongan
hidupku, bagian kecil dari pengertian rumah yang aku tau sekarang. Dan sungai
itu hingga kini masih menjadi tumpuan hidup dari sebagian kami yang bertambang
pasir di dasarnya.
Tiga rumah dari
tanggul tinggi yang menahan air ketika banjir dari sungai itu, adalah rumahku
yang sederhana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar