Hari masih pagi, kabut tipis
belum beranjak pergi.
Menyelimuti dingin wajah-wajah
yang berbasuh air.
Tiga hari ini, rekor baru telah
kutorehkan, tiga hari bangun lebih pagi dari penghuni kost lainnya, berlomba
dengan kabut pagi, mencoba mengais-ngais dingin lewat tetes-tetes air kran, dan
melangkahkan pagi melewati kesunyian yang ditinggalkan malam…
Tiga hari ini aku bisa bangun
untuk sholat shubuh di surau ujung gang, berangkat sebelum adzan selesai,
sebelum setan berbisik mengajak kembali tidur, berselimut hangat..
Sisa-sisa energi ini, energi dari
pemahaman baru tentang rumah, selalu berhasil mengusikku dari tidur, mengajakku
melangkah menyusuri dinginnya pagi...
Hari-hari kemarin, tentang rumah,
mengajariku banyak hal. Tentang indahnya rumah, tentang kesederhanaan, dan
tentang indahnya penerimaan..
Energi ini sedikit memperluas
ruang kecil di pusat hati. Memberi ruang untuk memikirkan banyak hal, tentang
hidup, tentang goresan-goresan kisah yang mencoba untuk diartikan…
Juga tentang pertentangan. Tentang
dia, gadis kecil berwajah sayu...
Terkadang, energi ini juga cukup
untuk menenangkan hati, cukup untuk membelenggu goresan wajahnya. Meyakinkanku
bahwa sekarang lebih baik begini. Tapi terkadang energi ini malah berbalik
menikam. Mengajak berdiskusi, dan lagi-lagi keraguan itu muncul…
Energi ini, terkadang justru
merapuhkanku…
Ah, ketika pagi datang, adzan
subuh berkumandang, ada begitu banyak rasa tenang. Tapi bukankah ketika sepi
kita akan lebih bisa mendengar sesuatu, apapun itu. Dan disetiap pagi, aku bisa
lebih mendengar suara hatiku, ketika hati berteriak. Tentang pertentangan…
Dan Tuhan, mohon dengarlah
teriakan hati ini…
Apakah ini doa? Entahlah, apa aku
percaya dengan doa-doa.
Kemarin, ada teman yang tiba-tiba
bertanya, "ngga, kamu rajin banget ke masjid akhir-akhir ini, pasti lagi
ada maunya ya?"
Pertanyaan yang aku pun tak yakin
akan jawabannya. Karena aku memang tak tau apa mauku. Aku hanya ingin
menenangkan pikiran, mencoba melerai pertentangan. Dan energi dari rumah ini,
selalu berhasil mengajakku untuk menepi sejenak ke surau ujung gang. Aku ingin
Tuhan mendengarkan teriakan hatiku, bukankah Dia maha mendengar. Dan kemudian
Dia bersedia untuk membisikan apa yang hatiku ucapkan, karena aku tak
benar-benar mendengar teriakannya…
Mungkin yang temanku aneh dengan
kerajinanku ini. Mungkin ia mengira aku rajin akhir-akhir ini karena sedang
meminta sesuatu, lewat doa-doa..
Ah, aku hanya ingin menenangkan
pikiran, agar aku bisa labih mendengar apa yang diteriakan hatiku…
Bukan untuk memanjatkan doa yang
panjang-panjang. Karena sejujurnya aku tak begitu percaya akan doa-doa...
Bagiku, doa-doa hanyalah sebuah
ritual untuk meyakinkan diri sendiri akan menjadi seperti apa hari esok. Karena
takdir bukankah sesuatu yang sangat misterius dan rahasia. Tapi, bagiku doa-doa
pun tak sanggup untuk mengubah takdir-takdir yang sudah ditulis jauh-jauh hari.
Doa bagiku adalah bentuk lain dari optimisme akan hari esok, meyakinkan diri
sendiri…
Takdir sudah ditentukan, kita
hanya perlu menerima dan menjalaninya tanpa tau esok akan menjadi seperti apa
takdir membimbing kita…
Dan aku yakin takdirku juga sudah
tertulis, aku hanya perlu menerimanya…
Tapi aku terlalu takut, takut
akan hari esok akan menjadi seperti apa. Ketakutan inilah yang melilit kakiku
hingga sulit untukku melangkah. Apakah ini juga bagian dari takdirku?
Karena hidup adalah soal
keberanian menghadapi takdir, juga soal penerimaan akan takdir. Hari kemarin,
hari sekarang, dan hari esok…
Aku tak tau akan menjadi seperti
apa takdirku dan takdirnya, dan aku terlalu takut, bahkan hanya untuk
memikirkannya. Dan aku begitu takut untuk melangkahkan hari kaki, hingga aku
terjebak pada pertentangan ini…
Apakah menjadi sahabat itu yang
terbaik, ataukah hatiku mengingkinkan lebih dari ini…
Gadis kecil bermata sayu…
Tuhan, beri aku sedikit
keberanian untuk melangkah, untuk menuju takdirku. Dan berilah ketulusan untuk
menerima semua takdirku…
Untuk pertentangan hati, dan
untuk adzan subuh yang telah lewat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar