Jumat, 25 Mei 2012

Surat untuk Bulan


Bulan, sinarmu redup, menggantung di ujung malam. Beberapa mencemoohmu, membanding-bandingkanmu dengan mentari. Tentang kau yang selalu bergantung dengan sinar mentari, karena kau tak bisa berpendar sendiri. Tentang sinar redupmu yang pucat menandakan keputusasaan. Tentang kemunafikanmu yang selalu terlihat cantik padahal kau tak lebih dari batu yang melayang di angkasa.
Namun kau tetap saja berputar mengeliling bumi, melindungi bumi hinggga separuh sisimu bopeng oleh hantaman meteor. Kau tetap berputar, dengan cara yang sama, dengan sisi yang sama, juga dengan waktu yang sama, tanpa mengharapkan pujian dari kami. Itulah ketulusan.
Sekuat hati kau tetap tersenyum. Pada kami yang selalu mencemoohmu. Lewat separuh sisimu yang bersih, yang bersinar terang kala purnama menggantung di atas langit dan bersinar redup kala sabitmu menghias langit. Menghibur kami, akan penatnya hari yang ditinggalkan siang, juga kesepian yang ditiupkan angin malam.
Kau, separuh sisimu bopeng, namun separuh sisimu yang lain tetap tersenyum manis. Ketulusan.
Tak peduli pada kenyataan bahwa kau tak mampu berpendar sendiri. Bahwa kau tak bisa mengalahkan mentari. Tapi hidup ini memang bukan tentang kalah dan menang. Bukankah itu yang selalu kau bisikan lewat malam? Kau selalu hadir, ketika mentari beranjak pergi. Berusaha mengais-ngais cahaya yang masih bisa kau raih, cahaya yang juga dicampakan oleh mentari. Dan selalu saja kau berbagi dengan kami, orang-orang yang selalu mencemoohmu.. untuk sekedar menghangatkan juga menemani saat-saat gelap menggenggam erat kenyataan. Karena malam menyandingkan kenyataan dan mimpi begitu jelas hingga kami bingung untuk memilih, juga terlalu kenyang untuk melahap semuanya. Tapi kau selalu disana. Menggenggam erat tangan kami, dan kau selalu berbisik "hidup ini sederhana, sesederhana aku dan malam".
Bulan, kau memang sederhana. Kau tak pernah punya keinginan lebih untuk berpendar terang seperti mentari, karena kau takut membutakan mata kami. Kau hanya ingin melihat senyum kami, ketika malam datang, atau ketika kesedihan ditiup badai selatan. Dan kau, selalu setia mengantar kami berlayar dikala laut pasang. Menjemput mimpi-mimpi di ujung samudra. Kau tau kau akan dilupakan, juga dicemooh seperti apa yang selalu kami lakukan. Tapi kau tetap disana, membawa segenggam harapan, untuk ditanam esok pagi, ketika mentari benar-benar datang, kau ada untuk dilupakan.
Bulan, pernah ketika kau tertutup bayangan, saat gerhana datang. Tapi bukankah itu kau apa adanya, saat kau tak mampu lagi meraih sinar mentari. Karena kau memang tak mampu berpendar sendiri. Dan untuk putaran waktu kala itu, kau benar-benar menjadi dirimu apa adanya. Dan saat itu kau berbisik pelan "beginilah hidup, waktu selalu berputar, dan ada satu waktu dimana kita menjadi diri sendiri. Namun terkadang kita tak pernah menyadari itu, mungkin kita terlalu naif untuk mengakui itu. Atau kita sudah dibutakan oleh penggambaran siapa diri kita. Karena memang, kita tak pernah tau siapa kita ini, bahkan hingga akhir hayat kita"
Bulan, aku tau kau kuat, terlihat lewat senyum ceriamu kala purnama. Tapi aku juga tau kalau kau rapuh. Kau selalu tersenyum manis, tapi sebenarnya kau terluka, kau selalu kesepian, lebih sepi dari siapapun yang mencemoohmu. Karena kau tak bisa berpendar sendiri, begitulah kenyataannya. Kau selalu berusaha terlihat tegar, dengan purnamamu yang indah. Namun aku tau bahwa kau sebenarnya sedang menangisi kenyataan, bahwa sinar indahmu bukan berasal dari reaksi fusi di intimu. Kau selalu terlihat ceria, demi kami yang selalu mencemoohmu.
Bulan, aku berjanji tak kan lagi mencemoohmu. Berkurang satu orang yang mencemoohmu.
Bulan, Tuhan tak menciptakan kita dengan kesempurnaan. Hingga kadang kita tak mampu mengartikan penjelasan-penjelasan hidup. Itu wajar, dan memang pasti terjadi. Suatu saat kita pasti pernah berada di titik terendah. Jadi berhentilah berpura-pura tegar dengan senyum manismu itu. Aku sudah berbagi kesedihanku di tiap malam kau hadir di langit sana, maka bagilah kesedihanmu itu. Mungkin bukan sekarang, karena terkadang ada beberapa potongan hidup yang lebih baik untuk disimpan sendiri. Jadi aku akan menunggu hingga suatu hari kelak kau bercerita tentang semua kesedihanmu. Hingga hari itu tiba, aku akan berusaha untuk tidak menanyakan apapun, aku hanya kan mendengarkan.
Bulan, aku ada disini dan akan ku genggam erat sinarmu. Menjadi temanmu. Dan kau tak lagi sendiri menghadapi kenyataan pahitmu. Mungkin kehadiranku tak cukup untuk mengurangi kesedihanmu, tapi aku aku akan selalu menemani kesedihanmu itu, menggenggam erat tanganmu, untuk berjalan beriringan melewati kepahitan hidup. Lihatlah, awan-awan kelabu itu juga berharap untuk menjadi temanmu, membiaskan sinar indah mu. Percayalah, kau tak pernah sendirian melawati ini semua. Tetaplah bersinar seperti kemarin, menghangatkan dinginnya malam, membawa sedikit cahaya untuk orang-orang sepertiku yang berusaha melewati gelap malam. Lewat jalan setapak yang tak tau dimana ujungnya. Jalan kehidupan.Terimakasih Bulan…………………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar