Jumat, 24 Mei 2013

Tarian Perpisahan


Akhirnya waktu itu pun datang. Dalam sepenggal malam yang begitu sepi. Sepi yang mengalunkan elegi sendu. Yang mengantarkan jari untuk berdansa dengan tuts keyboard. Menarikan tarian perpisahan. Sebuah kecup di dahi mengawali mereka menari, bebas menghentak malam yang semakin kelam.

Malam ini, lemari sudah di kosongkan, rak-rak buku menyisakan ruang. Kardus-kardus besar tertumpuk rapi di salah satu sudut kamar. Namun komputer dengan beragam stiker perjalanan ini masih berada ditempatnya. Untuk malam ini, malam terakhirnya. Biar ia puas meneguk apa-apa yang pernah ia bagi bersamaku. Bersama emosi yang mengendap dalam ujung jari.

Aku mengela nafas pelan. Mengumpulkan banyak energi untuk menyelesaikan tarian perpisahan ini. Mengendapkan imajinasi dan kemudian memecahnya dalam lesatan-lesatan kata yang berpilin membentuk rasa.

Gelembung-gelembung udara terbang disekitarku. Mereka berpendar dalam keremangan. Dan aku bisa melihat ada kisah di dalamnya. Ya, itu kisah-kisahku. Kisah-kisah yang aku bagi bersama komputer ini.

Aku melihatnya. Saat-saat pertama ia datang ke zona nyamanku ini. Berpenampilan sederhana. Malu-malu memanggilku manja. Lalu kami menari bersama, ya itu tarian pertama kami. Dan sepanjang bulan itu kami menari ditemani berbungkus-bungkus mie instan. Ah, itu sudah hampir tiga tahun yang lalu.

Hari berganti hari. Sedikit demi sedikit aku mulai mengupgrade komputer ini. Bukan dengan biaya yang sedikit memang, bahkan beberapa kali aku harus berjuang melewati hari dengan hanya sebungkus mie instan. Tapi, rasanya itu harga yang pantas untuk apa-apa yang komputer ini telah berikan.


Ada terlalu banyak kisah yang kami tarikan bersama. Kisah-kisah yang terkadang aku kutuki. Aku ingat, kadang komputer ini dengan zona nyamannya selalu berhasil mengikatku erat agar tak beranjak dari game-game yang ditawarkannya. Dimana semua inderaku berpusat dalam sebuah layar 14 inci di depanku. Ngegame selalu berhasil membuatku lupa akan waktu yang terus berputar konstan meninggalkan segalanya di belakang. Namun, tentu saja aku tak pernah bisa melupakan tentang lagu-lagu yang dimainkannya. Film-film yang diputarnya. Juga cerita-cerita yang kubagi lewat pijatan di tuts keyboardnya. Berkali-kali komputer ini berhasil menyelamatkanku dari kebosanan yang menderu. Dari kesepian yang terkadang terlalu tega. Atau dari konflik-konflik yang terlalu asik untuk dituangkan dalam sebuah sinetron.

Rasanya semuanya itu baru berlangsung kemarin. Dan kini tarian terakhir itu harus diselesaikan. Tarian perpisahan yang begitu sendu.

Gelembung-gelembung udara yang berisi kisah itu sekarang sudah hilang entah dimana. Menyisakan aku yang duduk mematung mengenang semuanya.

Terimakasih telah mengantarku sejauh ini kawan. Hingga gelar S.Pd yang sedikit menambah panjang namaku. Terimakasih untuk semua kenangan yang telah kita lewati. Kini tiba saatnya untuk berpisah. Tarian perpisahan ini telah sampai di penghujung geraknya. Saatnya aku untuk melangkah jauh dari zona nyaman yang kau tawarkan. Karena dunia di luar sana telah lama menanti kedatanganku.

Untuk hari-hari yang telah lalu. Dan untuk tarian yang telah selesai.

Aku siap melangkah menuju kehidupanku...

Catatan Birding di SM Sermo (FollowUp Gelatik 18-19 Mei 2013)


19 Mei 2013
Udara masih cukup dingin di pagi ini. Cahaya fajar belum beranjak dari ufuk timur. Cahaya emasnya masih terperangkap oleh kabut pagi. Namun, sepagi ini saya dan beberapa teman melangkah meninggalkan rumah penginapan, karena saat masih sepagi ini burung-burung masih belum begitu aktif. Ya, kami sedang melakukan kegiatan pengamatan burung di SM Sermo, Kulonprogo, DIY. Acara pengamatan ini adalah bagian dari acara FollowUp Gelatik dua hari ini yang diadakan oleh Kelompok Pengamat Burung Bionic UNY.

Sebenarnya acara FollowUp Gelatik sudah dimulai dari kemarin. Namun, acara kemarin baru diisi dengan materi tentang identifikasi dan seketsa yang dibawakan oleh Kholil, sesama rekan di Bionic, dan tentang dokumentasi dan publikasi oleh Mas Shaim, senior di Bionic. Acara pengamatan burung di daerah SM Sermo baru diadakan pagi esoknya, dimulai dari saat mentari baru merekah.

Pengamatan pagi ini dimulai dengan kejutan dari Burung Cucak kuning yang ternyata ada banyak sekali di sekitar SM Sermo. Pertama kali saya melihatnya, Cucak Kuning ini masih malas-malasan di atas ranting. Awalnya, karena cuaca yang masih gelap saya mengira kalau burung tersebut hanya burung Cucak Kutilang, namun si Abid salah satu teman seangkatan di Bionic berkata kalau burung tersebut adalah burung Cucak Kuning. Karena penasaran saya langsung melihat burung tersebut menggunakan binoculer. Benar saja, secara umum burung tersebut memang sama dengan cucak kutilang. Kepalanya yang memakai topi hitam berjambul. Ukuran, bentuk paruh dan ekor juga sama dengan cucak kutilang. Yang membedakan cucak kuning dengan cucak kutilang adalah dada hingga ke tunggirnya berwarna kuning. Berbeda dengan burung cucak kutilang yang hanya berwarna kuning di bagian tunggir sedangkan dadanya putih.

Selain terdapat banyak cucak kuning, ternyata di sekitar sermo ini juga terdapat banyak sekali burung madu. Hal ini terjadi karena banyak tersedianya pohon-pohon berbunga sebagai makanan dari burung ini. Sesuai namanya, burung madu menghisap nektar atau madu dari bunga-bunga tersebut menggunakan paruhnya yang panjang, kecil,  dan melengkung. Kami juga sempat melihat burung madu yang sedang mengumpulkan material untuk membangun sarang. Burung madu di daerah sermo terdiri dari dua jenis. Yakni, burung madu Sriganti dan burung madu Kelapa.

Untuk membedakan burung madu Sriganti dan madu Kelapa lebih mudah jika melihat pejantannya. Ya, untuk burung madu Sriganti dan Kelapa, jantan dan betinanya memiliki morfologi yang berbeda. Berbeda dengan manusia, burung pejantan berpenampilan lebih mencolok di banding yang betina. Bahkan saat membangun sarang, si betina lebih banyak mengumpulkan material dari pada si pejantan. Untuk membedakan burung pejantan madu Sriganti dan Kelapa dapat dilihat dari ukuran serta corak kepalanya. Ukuran madu kelapa sedikit lebih besar dari madu Sriganti. Pada pejantan madu Sriganti warna kepalanya adalah biru metalik yang sangat gelap, bahkan terkadang terlihat berwarna hitam jika tidak cermat melihatnya. Sementara itu untuk burung madu Kelapa, warna kepalanya juga biru metalik, namun tidak seluruhnya, karena warna tenggorokannya coklat dan terdapat gradasi warna hijau di samping tenggorokan. Mahkota madu kelapa juga berwarna hijau. Selain itu, iris keduanya juga berbeda. Madu Sriganti berwarna hitam sementara madu Kelapa berwarna merah. Selain perbedaan itu kedua pejantan ini memiliki morfologi yang sama. Dari paruh yang kecil, panjang, dan melengkung berwarna hitang, hingga badan berwarna kuning dan sayap yang hijau.

Akan lebih sulit untuk membedakan betina burung madu Sriganti dan Kelapa. Butuh kejelian untuk membedakan keduanya. Sama seperti pejantan, ukuran kedua betina ini juga berbeda. Madu Kelapa sedikit lebih besar dibanding madu Sriganti. Begitu pula dengan warna irisnya. Madu Kelapa berwarna merah sementara madu Sriganti berwarna hitam. Hal yang membedakan lainnya adalah terdapat alis berwarna putih pada bagian mata madu Kelapa, sedangkan pada madu Sriganti tidak terdapat alis tersebut. Selain perbedaan kecil itu kedua betina ini nyaris sama. Dari paruhnya yang panjang, kecil, dan melengkung berwarna hitam, kepala dan sayap berwarna hijau hingga badan yang berwarna kekuningan.

Pukul setengah tujuh semua peserta FollowUp Gelatik sudah mulai melakukan pengamatan bersama-sama. Mulai dari anggota Bionic angkatan beberapa tahun terakhir hingga yang entah angkatan berapa. Total berjumlah tiga puluhan peserta yang melakukan pengamatan bersama pagi-pagi ini. Peserta yang terlalu banyak yang hanya mengelompok menjadi satu kelompok ini sudah tidak lagi memungkinkan untuk melakukan pengamatan secara tenang. Akhirnya saya, Abid, Panji, Raden, dan Mas Kukuh memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompok besar ini.

Kami berencana melakukan pengamatan di area selatan RPH (penginapan). Di perjalanan lagi-lagi kami menemui burung madu, baik madu Sriganti maupun madu Kelapa, dan juga burung Cucak Kuning. Saat melewati RPH kami bertemu dengan Eki dan Bina yang akhirnya ikut dalam kelompok kecil kami. Mereka berdua adalah panitia dari acara FollowUp Gelatik kali ini sehingga belum sempat melakukan pengamatan bersama pagi tadi. Akhrinya binocular yang cuma dua dalam kelompok kecil kami di pegang oleh Eki dan Bina untuk mengamati burung Madu Sriganti, Madu Kelapa, dan Cucak Kuning.

Pukul 07.00 kami tiba di lokasi di selatan RPH. Sebuah bukit terbuka yang menghadap ke lembah yang berisi hutan jati dan beberapa hutan homogen di tebing seberang. Pemandangan yang sangat indah. Dari bukit ini kami bisa melihat lanscape barisan hijaunya pohon-pohon yang terbentang. Bahkan di bukit seberang yang jauh lebih tinggi dari bukit terbuka tempat kami berdiri berisi pohon-pohon besar. Menurut Mas Kukuh dan Raden, tempat ini sangat cocok untuk raptor swaring untuk mencari makan. Dan bukit ini sangat cocok untuk melakukan pengamatan mengingat areanya yang terbuka, bebas memandang ke hutan di seberang tanpa halangan apapun.

Sama halnya disekitar daerah sermo, di bukit terbuka ini juga terdapat banyak sekali burung madu. Selain itu banyak terdapat juga burung Bondol Jawa. Burung berukuran kecil yang sangat sering sekali di jumpai di daerah jawa. Mungkin hampir disetiap daerah di pulau jawa terdapat burung ini. Selain itu kami juga melihat tiga burung Sepah Kecil yang bergerombol dalam kelompok. Burung sepah kecil memang selalu berkelompok dalam kelompok kecil. Berbeda dengan keluarga sepah-sepah lainnya, burung Sepah Kecil ini memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan keluarga sepah lainnya, yakni berukuran sekitar 15cm. mungkin hal inilah yang mendasari namanya sebagai sepah kecil. Sepah Kecil juga tidak semerah sepah-sepah lainnya seperti Sepah Gunung dan Sepah Hutan. Kepala dan mantel burung ini berwarna abu-abu. Bahkan untuk yang betina lebih buram lagi dengan tubuh bagian atas abu-abu kecoklatan. Iris burung ini berwarna coklat dengan paruh dan kaki berwarna hitam. Namun sayang kami tak sempat mengamati menggunakan binoculer sehingga belum sempat mengidentifikasi mana yang jantan dan mana yang betina. Beberapa waktu setelahnya terlihat burung yang sama terbang melintasi kepala kami dalam kelompok kecil yang berjumlah lima ekor burung.

Pukul 07.40, sudah beranjak siang. Mungkin sudah cukup list burung untuk pagi ini. Saatnya kembali RPH untuk sarapan. Ketika kami sedang bersiap-siap pulang saya dan Abid melihat sekelebat hitam di pohon sebelah utara. Saya dan abid seketika heboh dan penasaran, lalu kami berdua turun sedikit dari bukit untuk memastikan makhluk apakah itu sambil meminta binoculer yang saat itu dibawa Eki dan Panji. Namun ketika kami sudah sedikit berjalan tiba-tiba makhluk tersebut yang ternyata burung terbang ke sisi lain lembah. Rupanya burung tersebut sejenis burung kadalan. Hal ini terlihat dari ekornya yang panjang serta ukurannya yang besar, mungkin sekitar 50cm. burung tersebut hinggap di salah satu pohon dengan jelas. Lalu, Eki yang saat itu tengah memegang binoculer segera saja mengamati burung tersebut. Ia melihat kalau ujung ekor berwarna merah. Namun burung tersebut kembali terbang dan tak terlihat lagi. Saya cukup kecewa karena belum sempat mengamati menggunakan binoculer.

Kami memutuskan untuk menunggu lagi di bukit terbuka ini, siapa tahu kadalan yang belum kami identifikasi secara lengkap muncul kembali. Namun kadalan tersebut belum keluar juga. Akhirnya Raden menggunakan teknik scanning untun mencari posisi kadalan tersebut. Teknik scanning adalah teknik menggunakan binoculer untuk melihat area untuk menemukan burung yang masih belum jelas keberadaannya. Ternyata Raden berhasil menemukan burung ini menggunakan teknik scanning. Burung tersebut berada pada salah satu pohon di seberang lembah, cukup jauh memang. Bina dan Ekki kembali mengamati burung tersebut menggunakan binoculer. Burung tersebut cukup aktif, berkali-kali berpindah-pindah ke dahan lainnya, cukup menyulitkan. Saya pun sudah tidak sabar untuk melihat burung tersebut menggunakan binoculer. Namun sayang, burung tersebut kembali masuk ke balik pohon. Akhirnya saya berkesempatan menggunakan binoculer. Saya dengan sabar kembali menunggu burung tersebut kembali muncul. Akhirnya kesempatan itu datang. Burung itu muncul kembali di ujung pohon. Kepalanya muncul dan dapat saya amati. Bagian tenggorokan hingga dada berwarna merah, pipi hingga tengkuk berwarna abu-abu, kulit sekitar mata berwarna merah, sebagian mahkota berwarna hijau, namun dengan jarak yang sangat jauh saya tak bisa mengamati paruhnya dengan detail. Rupanya burung tersebut sedang mencari sarapan yang berupa serangga-serangga. Burung tersebut kemudian turun ke dalam hutan, dan saya sempat mengamatinya menggunakan binoculer saat burung tersebut mengepakan sayapnya. Sungguh sangat anggun. Setelah diadakan diskusi dengan melihat buku makinnon sebagai panduan akhirnya kami memutuskan bahwa burung tersebut adalah burung Kadalan Birah. Setelah puas mengamati Kadalan Birah akhirnya kami memutuskan untuk berpindah tempat ke utara RPH.

Pukul 08.30, ketika kami berjumpa dengan kelompok besar dan Prajawan selaku ketua Bionic meminta kami untuk kembali ke RPH untuk sarapan terlebih dahulu sebelu melanjutkan pengamatan. setelah perut terisi kemudian sekitar pukul 09.00 kami memutuskan untuk kembali memulai pengamatan. Tapi untuk pengamatan kali ini tidak semua peserta FollowUp gelatik ikut. Kebanyakan anggota angkatan lama memilih untuk tetap di RPH, sedangkan anggota angkatan baru melakukan pengamatan. Saat akan memulai pengamatan terdapat sepasang burung kipasan di dekat RPH. Saya yang waktu itu masih berada di dalam RPH segera berhambur keluar dengan tidak lupa membawa binoculer. Setelah bertanya dimana letak burung tersebut kemudian saya melihat burung kipasan yang ternyata Kipasan Belang sedang aktif di atas pohon. Namun burung ini sangat aktif, saya belum sempat mengamati menggunakan binocular. Namun ternyata burung tersebut malah turun mendekat ke arah kami, jadi saya tidak usah susah-susah menggunakan binocular. Saya juga sempat menjumpai burung ini di lembah UGM, jadi sudah tidak begitu exaited seperti melihat kadalan birah.

Dari RPH kami naik sedikit kemudian berbelok ke barat mengikuti jalan raya. Kami mencoba mengamati burung dihutan sekitar jalan raya. Namun akhirnya kami turun ke dalam hutan karena dari jalan raya burung-burung tidak begitu terlihat. Ada jalan setapak kecil untuk yang bisa jadi jalan untuk memasuki hutan. Memasuki hutan kami menjumpai burung madu. Mas Kir juga sempat melihat burung Sepah Kecil. Namun rupanya pada spot ini burung-burung yang ada tidak begitu beragam. Saya sedikit masuk kedalam hutan bersama Panji saat teman-teman yang lain memanggil karena akan berpindah spot. Namun saat itu saya dan Panji tidak begitu memperhatikan panggilan mereka. Kami berdua sedang mengamati burung layang-layang yang sedang hinggap di salah satu pohon. Secara umum burung layang-layang tersebut sangat mirip dengan burung layang-layang rumah. Dada hingga muka berwarna abu-abu, perut kebawah berwarna putih. Sayap yang panjang dengan warna yang sama dengan punggung, gelap karena siluet. Tapi menurut saya sayap dan punggung berwarna hitam. Tunggingnya berwarna putih. Namun yang membedakannya dengan layang-layang rumah, ekornya panjang seperti layang-layang api. Terlalu asik mengamati burung tersebut saya melupakan kalau saya dan Panji terpisah dengan kelompok.

Kami berdua naik kembali ke jalan raya dan berusaha mencari kelompok. Namun kami tak menemui tanda-tanda kelompok. Kami pun memutuskan untuk kembali ke RPH. Saat dalam perjalanan pulang sayup-sayup saya mendengar suara teman-teman di bawah hutan. Kemudian saya dan Panji memutuskan untuk kembali masuk ke dalam hutan. Saya setengah berlari masuk terlebih dahulu kedalam hutan. Saya mengambil jalur berbeda dari saat masuk hutan pertama kali. Melewati semak-semak dan bagian lain yang memang bukan jalan karena berusaha untuk memotong jalan mendekati suara teman-teman. Namun saya akhirnya sadar kalau suara-suara tersebut berasal dari suara teman-teman di RPH. Ketika saya akan kembali naik tiba-tiba saya dikejutkan dengan seekor ayam yang terbang dari semak-semak di dekat saya. Rupanya ayam tersebut terganggu dengan kedatangan saya. saya terkejut ternyata seekor ayam bisa terbang sebegitu tinggi. Ayam tersebut kembali masuk ke semak-semak. Saya sempat melihat punggungnya yang berwarna hijau dengan corak merah di tengah-tengahnya menggaris ke arah kepala. Ukurannya sebesar pejantan ayam kampung. Rupanya yang saya lihat ini adalah ayam hutan merah. Saya langsung memanggi-manggil Panji yang masih berada di atas.

Setelah Panji turun kemudian kami blusukan untuk mencari kembali ayam hutan tadi. Namun sayang ayam hutan tersebut sudah menghilang entah kemana. Lalu kami kemudian blusukan lebih dalam ke dalam hutan setelah melihat layang-layang yang sama yang tadi kami lihat. Semakin dalam jalannya semakin susah meskipun dengan pohon-pohon yang tidak begitu padat. Namun sepertinya jalan yang kami lewati tidak pernah digunakan. Bahkan kami harus melewati sungai kering dan naik dari batu ke batu untuk naik ke bukit yang lebih terbuka. Namun sayang kami tidak bisa menambah list burung sejak blusukan tadi. Suasana sepi, hanya terdapat banyak suara-suara di dalam hutan namun tidak jelas itu burung apa. Kami menunggu cukup lama di atas bukit terbuka namun sayang hasilnya nihil. Setelah kecewa dengan hasil ini saya dan panji memutuskan untuk kembali ke RPH. Keringat sudah deras bercucuran. Selain karena udara yang panas dan cerah juga karena blusukan tadi cukup menguras Energi.

Saya cukup lama beristirahat di RPH. Minum air segar yang sedari tadi sangat saya rindukan. Di RPH saya ikut bergerombol dengan angkatan-angkatan tua yang tidak ikut pengamatan. Rupanya mereka sedang mendengarkan Jarot bercerita tentang pengalamannya main ke Badui luar dan dalam serta ke Ujung Kulon. Ia bercerita tentang kehidupan orang-orang badui, baik itu badui dalam amupun badui luar. Ia juga bererita tentang keindahan surga ujung kulon beserta sebagian detail-detainya. Keindahan yang ditawarkan surga di ujung barat pulau Jawa. Salah satu destinasi yang sangat ingin saya kunjungi. Mungkin esok saat sudah punya pengahasilan sendiri saya ingin sekali berkunjung ke Taman nasional Ujung Kulon.

Ketika sudah cukup istirahat dan sudah mulai merasa sedikit bosan akhirnya sekitar pukul 11.00 saya dan Panji ikut Arel, Mas Jul, Wahab, Nizar, Mas Shaim, dan Mas Ano hunting foto sekaligus main. Menurut Arel, kami akan main ke kali daerah Waduk Sermo. Jalanan cukup berkelak-kelok naik turun. Kami juga harus membayar retribusi masuk 10rb untuk empat motor.

Pemandangan di kali ini cukup bagus. Sungai kecil khas pegunungan dengan alirannya yang lumayan deras serta batu-batuan yang terlindungi dinding-dinding bukit yang hijau juga dinding dari bendungan waduk Sermo. Namun sayang, bau dari air tersebut cukup kurang nyaman, seperti air pembuangan sampah. Padahal kalau menurut saya airnya cukup jernih, entah berasal dari apa bau ini. Seperti bau berelang.

Teman-teman yang lain sudah mulai masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon yang lumayan rapat dan besar.

Rupanya sungai ini adalah lembah dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya. Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya panjang."

Saya langsung bangkit dari duduk dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah mana?" saya bertanya tidak sabaran.

"Di sana !" kata Panji sambil menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.

Saya pun langsung menggunakan binoculer untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum juga paham dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana nji?" saya kembali bertanya tidak sabaran.

"Di sana! Itu loh di atas semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan" Panji menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap digunakannya. Rupanya ia sedang asik mengamati.

Saya kembali mencari arah yang ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.

Saya pun mencoba mencari sudut pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun memutuskan untuk menyebrang sungai.

Sesampainya di seberang burung tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.

Saya berdiri di atas batu besar untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya benar-benar dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.

Akhirnya saya putuskan untuk kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah untuk bisa naik ke tebing tersebut.

Sebenarnya saya sedikit ragu bisa memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya saya memutuskan untuk memanjat.

Cukup susah memanjat tebing ini, apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat pada semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk naik ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan susah payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.

Sayapun langsung waspada dan mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi. saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi cukup menguras energi.

Saya sudah merasa cukup putus asa karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut, namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang. Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha menaiki tebing.

Saya sudah benar-benar putus asa. Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.

Namun, sama halnya seperti tadi. Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam yang tidak begitu jelas.

Saya pun bergeser berusaha mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk mendapatkan view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai harapan. Burung tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang bergoyang-goyang, seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya sedang serius untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah kembali berpindah turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan kepalang dengan burung ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.

Tebing yang satu ini lebih sulit dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya. Keringat sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi tanah tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.

Setelah perjuangan ekstra akhirnya saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi tebing ini terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menggarap lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian milik penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.

Ketika sedang berkeliling saya mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang woi?" Itu suara Panji.

Saya pun mencari sumber suara itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru sambil melambaikan tangan.

"Heh, kok kamu bisa berada di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.

"Lewat sebelah kanan Nji, jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.

Akhirnya setelah bersusah payah Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya tidak sabaran.

"Tadi terbang ke atas situ, terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil menunjukan tempat burung tadi menghilang.

Tebing di atas kami lumayan tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan penduduk untuk naik ke atas tebing.

Kami memutar cukup jauh. Beberapa kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.

Sesampainya di terasering paling atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah. Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto. Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar eksotis.

Akhirnya panji sampai juga di atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"

Saya menggeleng. "Ngga ada Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."

Ah, setidaknya meskipun tidak berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang dengan sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim menikmati karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan dan bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk Sermo yang mempesona.

Setelah puas memandangi pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun. Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di mana tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya, rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.

"Di sebelah sana, coba aja dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.

"Lho, kan kamu yang tahu tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.

"Benar juga katamu, baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.

Saya pun melempari tempat terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya, rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.

Burung tersebut terbang ke arah seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap, sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa di dalam hati.

Benar saja, burung tersebut kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana. Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat kemerahan.

Dari ketinggian ini saya bisa melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak. Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku mekinnon dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan Birah yang juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan burung-burung pada halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya sama dengan yang sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu burung yang sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.

Sama seperti tadi, burung tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut. Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.

Ah ya, saya jadi ingat akan film "The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan, Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa  menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)". Lalu stu menjawab dengan dingin "it's called 'birding', rick". Ya, birding, atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka menyebut Birding dari pada birdwatching.

Setelah pengamalaman hari ini, saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut. Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya. Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching' sudah harus  diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.
Ah, sudah puas mengamati dan berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi.

Benar saja, ternyata jalan turun memang benar-benar sulit. Kami tak bisa lagi melewati jalan se ekstrim saat naik. Kemi sempat mencoba untuk turun lewat dinding bendungan wafuk sermo. Tapi itu sama saja bununh diri, sanagat ekstrim. Akhirnya saya dan panji memutuskan untuk mengikuti jalan setapak milik penduduk setempat. Setelah menemukan celah untuk turun, akhirnya kami turun. Sesampainya di sungai hujan mulai turun. Segera saja saya berjalan cepat menyeberangi sungai untuk menuju tempat saya memarkir motor.

Akhirnya pukul 12.15 saya dan panji kembali sampai di RPH. Sesampainya di RPH saya langsung istirahatat. Saya juga ngbrol bersama teman-teman lain yang tadi terpisah saat birding di hutan. Sama seperti saya dan panji, mereka juga blusukan lebih jauh ke dalam hutan, dan mereka juga menemukan lebih banyak lagi 'buruan' burung. Salah satu yang membuat Prajawan exited adalah walik kembang, katanya ia baru pertama kali ini menjumpai burung ini. Saya sendiri belum pernah berjumpa dengan burung ini. Sama seperti saya, prajawan juga merasakan nikmatnya birding, berburu. Ia bahkan berkata bahwa saat birding seperti ini ia lebih suka menggunakan binoculler dari pada kamera, sensasi berburunya lebih terasa katanya. Saat obrolan ini saya juga dapat info dari mas Shaim kalu ternyata burung Bubut Jawa yang berhasil saya amati berstatus terancam. Wah, sebuah kehormatan bisa mengamati burung ini.

Akhirnya setelah makan siang, sholan dan foto-foto tentunya, kami kembali ke jogja. Ke kehidupan nyata.


Birding, Bukan Sekedar Birdwatching!!


Hari ini 19 Mei 2013 adalah hari terakhir FollowUp Gelatik yang bertempat di SM Sermo. Sudah cukup siang, saatnya beristirahat setelah cukup lelah melakukan pengamatan sedari subuh hingga siang ini. Saya pun memutuskan kembali ke RPH (penginapan) untuk beristirahat dan berjumpa dengan air segar yang sudah sangat saya rindukan. Keringat yang bercucuran ini rasanya sudah menguras semua cadangan air di tubuh saya.

Setelah sampai di RPH saya langsung meneguk air segar. Ah, rasanya benar-benar lega. Kemudian saya duduk-duduk di teras depan sambil mendengarkan obrolan mas Kukuh, Wahab, Jarot, dan Adin. Ternyata mereka sedang mengobrolkan Taman Nasional Ujung Kulon dan masyarakat Badui. Sontak obrolan tersebut langsung kembali membangkitkan semangat saya, semangat berpetualang. Rasanya lelah setelah pengamatan dan blusukan di hutan tadi sudah hilang entah kemana.

Setelah obrolan itu selesai rasanya ada sesuatu yang menggantung. Tiba-tiba bosan datang menyergap. Ada semangat yang menuntut pelampiasan. Tepat ketika berada di ujung kebosanan tiba-tiba arel dan mas jul keluar dari RPH. Mereka akan hunting foto di "kali". Wah, momen yang tepat sekali. Segera saja saya menyambar binoculler dan ikut mereka jalan-jalan di "kali".

"kali" yang akan kami tuju rupanya berjarak cukup jauh sehingga untuk menujunya kami menggunakan sepeda motor. Saya bersama panji naik motor bersama tiga motor lainnya yang mengangkut Arel, Mas Jul, Nizar, Wahab, Mas Shaim, dan Mas Ano. Jalanan yang kami lewati ternyata cukup naik turun dan berkelak-kelok. rupanya "kali" yang akan kami tuju letaknya berada di bawah.

Akhirnya kami sampai juga di "kali" yang dimaksud. Ternyata "kali" yang dimaksud adalah belokan sebuah sungai kecil lengkap dengan batu-batuan khas sungai pegunungan yang berbatasan dengan dinding Waduk Sermo. Saat kami datang tercium bau yang kurang enak, seperti bau belerang atau malah bau air pembuangan. Padahal air sungai di depan saya ini cukup jernih.

Teman-teman yang lain sudah mulai masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon yang lumayan rapat dan besar.

Rupanya sungai ini adalah lembah dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya. Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya panjang."

Saya langsung bangkit dari duduk dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah mana?" saya bertanya tidak sabaran.

"Di sana !" kata Panji sambil menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.

Saya pun langsung menggunakan binoculer untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum juga paham dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana nji?" saya kembali bertanya tidak sabaran.

"Di sana! Itu loh di atas semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan" Panji menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap digunakannya. Rupanya ia sedang asik mengamati.

Saya kembali mencari arah yang ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.

Saya pun mencoba mencari sudut pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun memutuskan untuk menyebrang sungai.

Sesampainya di seberang burung tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.

Saya berdiri di atas batu besar untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya benar-benar dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.

Akhirnya saya putuskan untuk kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah untuk bisa naik ke tebing tersebut.

Sebenarnya saya sedikit ragu bisa memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya saya memutuskan untuk memanjat.

Cukup susah memanjat tebing ini, apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat pada semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk naik ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan susah payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.

Sayapun langsung waspada dan mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi. saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi cukup menguras energi.

Saya sudah merasa cukup putus asa karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut, namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang. Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha menaiki tebing.

Saya sudah benar-benar putus asa. Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.

Namun, sama halnya seperti tadi. Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam yang tidak begitu jelas.

Saya pun bergeser berusaha mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk mendapatkan view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai harapan. Burung tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang bergoyang-goyang, seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya sedang serius untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah kembali berpindah turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan kepalang dengan burung ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.

Tebing yang satu ini lebih sulit dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya. Keringat sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi tanah tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.

Setelah perjuangan ekstra akhirnya saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi tebing ini terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menggarap lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian milik penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.

Ketika sedang berkeliling saya mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang woi?" Itu suara Panji.

Saya pun mencari sumber suara itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru sambil melambaikan tangan.

"Heh, kok kamu bisa berada di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.

"Lewat sebelah kanan Nji, jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.

Akhirnya setelah bersusah payah Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya tidak sabaran.

"Tadi terbang ke atas situ, terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil menunjukan tempat burung tadi menghilang.

Tebing di atas kami lumayan tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan penduduk untuk naik ke atas tebing.

Kami memutar cukup jauh. Beberapa kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.

Sesampainya di terasering paling atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah. Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto. Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar eksotis.

Akhirnya panji sampai juga di atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"

Saya menggeleng. "Ngga ada Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."

Ah, setidaknya meskipun tidak berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang dengan sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim menikmati karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan dan bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk Sermo yang mempesona.

Setelah puas memandangi pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun. Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di mana tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya, rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.

"Di sebelah sana, coba aja dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.

"Lho, kan kamu yang tahu tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.

"Benar juga katamu, baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.

Saya pun melempari tempat terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya, rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.

Burung tersebut terbang ke arah seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap, sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa di dalam hati.

Benar saja, burung tersebut kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana. Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat kemerahan.

Dari ketinggian ini saya bisa melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak. Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku mekinnon dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan Birah yang juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan burung-burung pada halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya sama dengan yang sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu burung yang sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.

Sama seperti tadi, burung tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut. Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.

Ah ya, saya jadi ingat akan film "The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan, Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa  menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)". Lalu stu menjawab dengan dingin "it's called 'birding', rick". Ya, birding, atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka menyebut Birding dari pada birdwatching.

Setelah pengamalaman hari ini, saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut. Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya. Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching' sudah harus  diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.

Ah, sudah puas mengamati dan berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi...

Kamis, 16 Mei 2013

Mawar Merah

Suatu ketika di negri antah berantah hiduplah seekor burung. Burung kecil dengan sayap putihnya. Terbang membelah birunya langit, mengejar kebebasan dan menantang teriknya mentari. Tiba-tiba pandangannya dialihkan oleh sesuatu yang lebih bercahaya dari matahari. Dialah bunga mawar putih yang begitu anggunnya bergoyang diterpa angin. Lembut mengalun menikmati nyanyian alam.”benar-benar cantik” batin Si Burung dalam hati. Serta merta iapun langsung jatuh hati pada Si Bunga Mawar Putih. Seketika keberadaan mentari tak lagi penting, dan rasanya dia pun tak  lagi butuh keberadaan rembulan dimalam hari, karena sekarang ada Si Mawar Putih yang akan selalu menyinarinya, entah siang ataupun malam.
Secepat kilat ia melesat membelah udara, tak menghiraukan angin yang meneriakinya. Sayapnya terbentang indah memamerkan kegagahannya pada Si mawar Putih, tepat mendarat disampingnya. Mereka pun mulai berkenalan, mengobrol seadanya hingga akhirnya mengalir seperti air semuanya berjalan tanpa terbendung, hingga lengit berubah kemerahan. Indah, namun tak cukup indah untuk menggambarkan keadaan hati si Burung.
Hari-hari seperti itu terus berlanjut, dari langit kemerahan di ufuk timur hingga berpindah di ufuk barat, begitu pula ketika rembulan tersenyum manis mencoba menyaingi kemerlap bintang-bintang di belahan langit sana. Ataupun saat awan mencurah semua miliknya hingga akhirnya tak mampu melawan teriknya mentari. Semuanya terus berulang, namun hanya satu yang jelas, bahwa Si Burung dengan setia selalu menemani, berdiri tegap di samping Si Mawar Putih. Mungkin kini Ia pun sudah mulai lupa artinya kebebasan terbang di angkasa, karena yang ia ingat sekarang bahwa ia hanya terbang berputar-putar di dalam hati Si Mawar putih.
Setelah sekian lama semua cerita berjalan, dan ia hanya memendam saja. Dan sekarang ia tak lagi sanggup menahan sesuatu yang selalu berteriak-teriak di dalam hatinya, sesuatu yang membuat ia lupa akan kebebasannya. Akhirnya, dengan mengumpulkan semua keberanian yang ada, ia pun mengungkapkan semua isi hatinya kepada SI Mawar Putih. Tanpa tersisa satu tetespun, benar-benar tersampaikan secara lugas. Mungkin inilah yang dinamakan kekuatan penjelas dari cinta. Kadang sesuatu yang benar-benar absurb menjadi sangat gamblang dilihat, dan sesuatu yang benar-benar jelas terkadang menjadi kabur.
Namun semuanya tak berjalan seperti keinginan Si Burung, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Benar-benar seperti terbang dengan satu sayapnya, menguras energy, dan akhirnya terjatuh. Entah apa yang menjadi alasan Si Mawar Putih menolak janji cita dari Si Burung, tapi satu yang pasti bahwa Si Burung benar-benar mencintainya. Tak peduli cintanya ditolak oleh Si Mawar Putih, namun ia sudah berjanji pada hatinya bahwa ia akan selalu mencintai Si Mawar Putih, seperti dulu, sekarang, hingga nanti. Dan ia telah memutuskan untuk tetap terbang dengan satu sayapnya itu, tulus hanya untuk Si Mawar Putih. Ia tetap datang untuk menemani Si Mawar putih, tetap setia menemaninya hingga SI Mawar Putih jatuh tertidur. Bener-benar cantik saat Mawar Putih tertidur dibawah cahaya rembulan.
Hari-hari berjalan sama seperti sebelumnya. Angin tetap lembut, menjadi penyebab bergantinya musim. Dan akhirnya hati yang semula kokoh dengan dinding-dinding tebalnya telah runtuh, atau mungkin iba, tak pernah tau mana yang lebih jelas. Si Mawar Putih pun berkata pada Si Burung, bahwa ia akan menerima cintanya jika ia mempu membuktikan seberapa kuatkah cintanya. Mungkin Si Mawar Putih masih belum bisa melihat kesungguhan Si Burung yang selalu ada di sampingnya, terbang mengimbangi gemulai lembut geraknya sertiup angin, meski hanya dengan satu sayap.
Tanpa pikir panjang Si Burung pun segera terbang menjauh mencari sesuatu untuk pembuktian, sebuah pembuktian yang benar-benar jelas. Dan akhirnya, ketika mentari hanya tinggal setengahnya saja, ketika langit sempuna merah. Kepakan sayap itu terdengar lagi, Si Burung terbang begitu pelannya membawa sesuatu di paruhnya. Si Mawar Putih melihatnya dengan seksama, melihat apa yang dibawanya. Ternyata hanya sebuah sayatan kecil bambu, berwarna hijau tua. Si Mawar Putih pun bingung dengan apa yang dibawa, ia pun tak mampu menahan dirinya untuk bertanya, “untuk apa kau bawakan sayatan kecil bambu itu, hei Burung?”. Burung pun menjawab dengan dingin, “bukan tentang apa yang aku bawa, tapi apa yang akan aku lakukan dengan ini untuk membuktikan cintaku.”
Semuanya berhenti, angin pun hingga tak mampu menghembus, langit kian merah saja. Semuanya benar-benar berhenti, mungkin ada seseorang yang dengan jahilnya mematikan waktu. Hingga akhirnya suara tegas Si burung memecah itu semua. “Aku akan memberikan sayapku untukmu, hei bidadari kecilku. Agar kau bisa terbang bebas ke langit sana, menikmati segarnya tanah di ujung sana, menikmati sebuah kebebasan.” Tanpa tunggu komando si burung segera menyayat sayapnya dengan sayatan bambu yang ia pegang, tanpa bisa di cegah oleh Si Mawar Putih. Mawa Putih pun kini tersadar, betapa Buung benar-benar mencintainya dengan setulus hati. Namun itu semua sudah terlambat, si burung sudah berhadapan dengan kematiannya, dengan senyum di wajahnya. Si Burung akhirnya berpisah dengan hingarnya dunia, dengan penatnya hidup, dan dengan sejuknya kecantikan Mawar putih, ia telah kehabisan banyak darah sebelum ia memberikan kedua sayapnya. Mawar Putih pun menyadari kesalahannya, ia terlalu bodoh untuk menyadari ketulusan cinta dari Si Burung, namun itu semua telah terlambat sekarang. Mawar yang tadinya putih kini berubah menjadi merah karena darah dari Si Burung. Mawar Merah, begitulah ia disebut sekarang. Lambang dari kekuatan cinta.
Jadi, apakah kita juga akan begitu bodohnya seperti Mawar Putih, mengabaikan cinta yang beterbaran di sekitar kita, menganggapnya selintas lalu. Padahal begitu besar cinta yang tidak kita sadari. Cinta dari seseorang di ujung sana, dari teman-teman dan sahabat, cinta dari keluarga dan orang tua tentunya, dan cinta dari diri kita sendiri, dan cinta dari Tuhan pastinya. Bukankah itu semua terlalu berharga untuk kita lewatkan? Benar-benar amat sangat berharga.

Catatan Pendakian Merbabu Via Selo

Pendakian gunung merbabu kali ini benar-benar diluar rencana. Berawal dari teman saya, yuda dan diah, yang melihat foto-foto pendakian saya di gunung Slamet 19-21 April kemarin, kemudian mereka tidak sengaja melihat foto-foto pendakian saya di Gunung Merbabu. Mereka merasa tersepona oleh keindahan jalur igir-igir sapi menuju puncak gunung Merbabu. Ya, saat menuju puncak Merbabu dari basecamp wekas kita akan menjumpai jalur igir-igir sapi. Dinamai begitu mungkin memang karena bentuknya yang seperti punggung sapi. Indah memang, kita diajak melewati sebuah jalur pendakian yang naik dan turun dimana di kanan dan kiri jalur pendakian berupa jurang yang ditumbuhi rumput-rumput hijau. Apabila dilihat dari puncak Merbabu, jalur tersebut berbentuk seperti jalur naga yang berkelak kelok dengan warna hijau di kanan dan kirinya, apalagi saat masih musim-musim penghujan, warna hijaunya benar-benar mempesona. Akhirnya, mereka yang juga pernah saya antar ke merapi, meminta saya untuk mengantar mereka ke merbabu. Rupanya keindahan gunung Merbabu telah membuat mereka penasaran.


Jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian merbabu via Wekas

 

Jalur pendakian merbabu sebenarnya tidak hanya lewat wekas (Magelang), tapi bisa juga lewat Selo dan Ampel (Boyolali). Karena memang gunung Merbabu ini terletak di kabupaten Magelang dan Boyolali. Tapi jalur pendakian yang lebih familiar menjadi pilihan pendakian adalah jalur pendakian via wekas dan via selo. Selama ini saya melakukan pendakian Merbabu via Wekas. Sebenarnya ada positif dan negatifnya melakukan pendakian lewat Wekas dan Selo. Dari informasi yang saya dapat dari pendaki yang saya temui ketika berada di puncak Merbabu ketika saya melakukan pendakian lewat wekas Oktober tahun lalu, sisi positif dari pendakian lewat jalur Wekas adalah adanya sumber mata air di pos II dan treknya yang tidak begitu menanjak. Namun jarak pos II ke puncak masih terlalu jauh, lebih dari separuh perjalanan dari basecamp-puncak. Sedangkan jalur pendakian lewat Selo tidak terdapat sumbermata air seperti lewat wekas, namun pemandangan yang disajikan lewat jalur ini berbeda dengan igir-igir sapi seperti pada jalur pendakian via wekas. Apabila saya lihat dari puncak Merbabu, pemandangan jalur pendakian via Selo berupa bukit-bukit hijau yang berupa padang sabana dengan hiasan berupa pohon-pohon edelweis. Seperti bukit-bukit di film Teletubies. Apalagi dengan gunung Merapi menjulang tinggi disebelah Selatan. Sungguh sangat-sangat eksotis. Saya dibuat sangat penasaran oleh pemandangan tersebut. Oleh karena itu, pada pendakian kali ini saya memutuskan untuk melakukan pendakian Merbabu via Selo.


 


 Bukit-bukit Teletubies di jalur pendakian merbabu via Selo

Jadwal pun disusun. Saya memutuskan untuk melakukan pendakian pada tanggal 11-12 Mei, berjarak tingga minggu dari pendakian saya di gunung Slamet. Sepertinya jarak tersebut cukup untuk memulihkan fisik, juga dompet. Undangan pendakian ini pun mulai saya sebar. Saya mengajak teman-teman pendakian Merapi tahun lalu (Ucup, RB, Wahid, Rahmat, Asro, Bara, Ijul, Ida), karena memang saya sudah terlanjur janji untuk mengantar mereka ke gunung Merbabu. Selain itu saya juga mengajak personil pendakian Slamet kemarin Panji, Atut, Arif, dan Annas. Saya juga mengajak beberapa teman lain seperti Hasan, jalu, dan Tarkim. Dari kesemuanya itu, hanya sembilan saja yang ikut dalam pendakian ini, yaitu Yuda, Diah, Atut, Rahmat, Ida, Asro, Hasan, RB, dan Wahid.

Tantangan untuk saya karena tidak seperti pendakian Merapi tahun lalu dimana masih ada ucup yang menghandel pendakian, kali ini saya benar-benar sendiri menghandel pendakian dengan peserta yang masih amatir. Selain itu, saya juga belum pernah melakukan pendakian lewat jalur selo ini yang terkenal banyak terdapat percabangan. Waktu dua minggu saya kira cukup ntuk melakukan persiapan pendakian ini.

Seminggu sebelum dilakukan pendakian, perisapan-persiapan pendakian dimatangkan. Persiapan dalam melakukan pendakian gunung sangat mutlak hukumnya. Terutama untuk para leader. Persiapan tersebut meliputi tujuan, waktu pendakian, anggaran keuangan, peserta, transportasi, perencanaan di lapangan, juga pelaksanaan di lapangan. Tujuan meliputi mencari referensi tentang gunung yang akan dituju lengkap dengan peta gunung dengan jalur pendakiannya, letak geografis juga adat istiadatnya. Waktu pendakian meliputi waktu dilakukannya pendakian serta estimasi waktu. Anggaran keuangan meliputi range-range pengeluaran untuk pendakian, biasanya dibagi untuk kebutuhan individu dan kelompok. Peserta pendakian harus jelas, ini untuk memudahkan menyusun rencana dilapangan dan transportasi. Perencanaan dilapangan meliputi jadwal yang terperinci dari jam ke jam pada jalur pendakian serta menentukan tempat untuk mendirikan tenda. Peralatan dan logistik yang akan dibawa juga perlu diperhatikan.

Akhirnya waktu pendakian yang telah ditetapkan datang juga. Sabtu, 11 Mei 2013. Sesuai dengan waktu yang disepakati, peserta pendakian berkumpul di kost saya pukul 08.00. Atut adalah yang pertama datang, telat beberapa menit. Namun ia hanya mampir sebentar, kemudian pergi lagi untuk mencari sarapan. Setelahnya RB datang, ia marah-marah karena peserta pendakian yang lainnya juga belum datang, padahal ia merasa sudah telat. Ya, beginilah potret negeri kita, tepat waktu merupakan komoditi yang langka, saya sendiri juga mengakui itu. Setelahnya saya tak begitu ingat siapa lagi yang datang, tapi sebelum jam sembilan semua peserta sudah berkumpul.

Setelah itu saya, Hasan, Asro, dan Wahid mencari penyewaan perlengkapan yang belum ada seperti tenda dome, kompor, beberapa SB, tas carrier, dan matras. Kami mulai menemui kendala. Rupa-rupanya libur panjang akhir pekan ini benar-benar dimanfaatkan oleh banyak orang untuk melakukan kegiatan diluar. Hal tersebut berdampak pada laris manisnya penyewaan alat-alat kegiatan outdor. Saat kami mendatangi penyewaan semesta di utara Peternakan UGM semua tenda dome sudah diboking jauh-jauh hari. Setelah berputar-putar akhirnya kami mendapatkan tenda dome di penyewaan merapi, timur perempatan concad.

Kami menyewa tenda dome kapasitas enam dan kapasitas empat. Kendala belum selesai sampai disitu. Tenda dome yang tersisa benar-benar dalam keadaan yang mengenaskan. Untuk yang kapasitas empat masih lumayan ada rain covernya, meskipun dengan frame yang seadanya. Sedangkan untuk kapasitas enam, tidak terdapat rain cover dengan frame yang benar-benar tidak manusiawi. Ditambah lagi dengan resleting pintu yang sudah rusak. Namun, dari pada tidak sama sekali akhirnya kami menyewa tenda dome tersebut.

Setelah packing dan mempersiapkan semuanya, pukul 10.30 kami bersiap-siap berangkat menuju basecamp pendakian merbabu di Selo, Boyolali. Jadwal ini jauh melenceng dari target, yaitu berangkat pukul 09.00. Cuaca sangat panas.  Untuk sampai ke Selo, kami mengambil jalur lewat magelang, kemudian menuju ke ketep pass. Dari ketep pass berbelok ke kanan, menurun menuju Selo. Menurut informasi salah seorang teman (sebut saja Jalu), jalan Blabak-Ketep Pass sedang dalam perbaikan. Hal tersebut pasti mengakibatkan kemacetan. Oleh karena itu kami mengambil jalan alteratif, lewat Muntilan. Tepatnya lewat jalan di samping klenteng muntilan, terus ke utara mengikuti jalan menuju ke arah Ketep Pass.



 Pemberangkatan menuju basecamp

Kami menggunakan teransportasi sepeda motor untuk menuju basecamp merbabu. Ada lima motor yang digunakan. Saya berboncengan dengan hasan, kemudian rahmat dengan atut, yuda dengan diah, asro dengan ida, dan RB dengan wahid. Semua anggota laki-laki membawa tas carrier, kecuali asro. Jadi total kami membawa enam tas carrier dan empat daypack. Lumayan sulit untuk membawa barang-barang tersebut menggunakan sepeda motor. Terpaksa anggota perempuan harus bersusah payah menggendong tas carrier yang tinggi-tinggi tersebut.

Perjalanan dari kost saya menuju jalan magelang lumayan macet. Lagi-lagi kami mengambil jalur alternatif lewat jalan palagan untuk menghindari kemacetan di perempatan jombor. Memasuki kota Muntilan, kemacetan berderet sangat panjang. Terutama dari arah timur, arah kami. Rupanya sebelah ruas jalan sedang diperbaiki. Sepeda motor kami meliuk mencari celah untuk bisa menerobos kemacetan. Cukup susah dengan barang bawaan kami yang banyak. Menjelang masuk jalan searah kota muntilan kami bisa keluar dari kemacetan. Di jalan samping klenteng Muntilan kami berbelok ke utara. Namun rupanya yuda dan diah masih terjebak di kemacetan dan tertinggal di belakang. Setelah di tunggu sekian lama di persimpangan jalan mereka tak kunjung muncul juga. Rupanya mereka sudah lurus melewati persimpangan. Akhirnya lewat telefon saya menyuruh mereka menuju lampu merah jalan searah dari arah magelang, untuk kemudian berbelok ke utara, berkumpul disana. Setelah cukup rusuh akhirnya kami kembali berkumpul lagi. Perjalanan pun kembali dilanjutkan.

Jalanan menuju ketep pass sudah mulai nenanjak, bahkan di beberapa tempat sangat menanjak. Perlu perjuangan keras, karena kami membawa barang yang tidak sedikit dan ringan. Kemudian dari ketep pass, jalanan menurun menuju selo. Namun, jalanan kembali menanjak lagi. Mendekati kota selo jalanan sudah cukup datar, hanya berkelak-kelok lumayan banyak. Kami berkendara di antara gunung merapi dan merbabu, melewati lembah diantara dua gunung ini. Namun sayang, cuaca tidak begitu cerah, berkabut. Padahal jika cerah, pemandangan akan sangat menajubkan. Hawa dingin sudah mulai menusuk kulit.

Setelah melewati kota kecamatan Selo, mengikuti plang ke arah basecamp kami naik melewati jalan yang curam. Jalannya benar-benar ekstrim dengan kemiringan yang amat sanyat. Belum lagi dengan kabut yang menghalangi jarak pandang. Jalanan lumayan bagus, hanya di beberapa titik perlu perjuangan untuk melewatinya. Dengan kabut yang semakin pekat dan tidak tahu arah, kami pun tersasar beberapa kali. Dan beberapa kali juga harus bertanya kepada penduduk setempat. Mendekati basecamp tiba-tiba hujan turun sangat deras. Kebetulan ada ibu-ibu yang sedang bersih-bersih di salah satu rumah. Kami pun memutuskan untuk berteduh sejenak dirumah tersebut. Si ibu, dengan keramahan khas pedesaan mempersilahkan kami masuk. Tanpa malu lagi kami pun masuk, bersepuluh memenuhi rumah tersebut. Hujan yang tak kunjung reda, akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Si ibu sudah lama masuk ke dalam rumah, sebenarnya kami merasa tidak enak hati menjajah rumah orang, tapi apa mau dikata, hujan turun begitu derasnya. Setelah hujan sudah cukup reda, karena sudah terlalu lama menumpang di rumah ibu tersebut, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menggunakanb mantol.

Jalanan sangat menanjak, apalagi dengan gerimis dan kabut yang sangat tebal. Beberapa kali kami sepeda motor yang kami tumpangi tak cukup tenaga untuk menanjak. Sehingga, teman-teman pembonceng harus berjalan mendaki bukit. Udara sudah sangat dingin, apalagi dengan gerimis yang belum juga reda. Setelah perjuangan tersebut, pukul 14.30 tiba di basecamp. Basecamp pendakian merbabu via selo ada dua. Di bawah dan atas. Tempatnya lumayan luas dan bagus. Walaupun tidak bisa dibandingkan dengan basecamp Slamet via Bambangan yang benar-benar kelas VIP tentunya. Saat kami tiba, basecamp sangat ramai, separuh sudah turun dan separuh lagi akan naik. Rupanya efek liburan akhir pekan ini benar-beanr dimanfaatkan dengan baik untuk mendaki gunung merbabu.

Setelah sholat dan mempersiapkan semuanya, pukul 15.40 kami pun bersiap untuk naik. Cuaca tadi sudah mulai cerah, namun tiba-tiba hujan sangat deras lagi. Setelah sudah lumayan reda kembali kami naik. Begituah cuaca di gunung, benar-benar tidak bisa diprediksi. Sangat fluktuatif, dengan segala kemungkinan. Karena itulah, gunung itu bukan tempat untuk main-main, bukan pula untuk para pendaki karbitan. Butuh persiapan entah itu fisik maupun mental dari setiap pendaki. Gunung bukan tempat rekreasi, jadi jangan pernah meremehkan gunung. Oleh karena itulah pendakian gunung merupakan salah satu olahraga yang berbahaya. Gunung adalah tempat orang-orang gila, begitu kata RB. Mengahbiskan uang, tenaga, waktu, hanya untuk mendaki dan turun lagi. Hanya logika gila yang bisa memahaminya. Tapi, sekali saja kalian berkunjung, mencumbu sensasinya, maka dijamin kalian pasti ketagihan. Begitu pula dengan saya. Karena buat saya, gunung mengajarkan saya banyak hal, yang tidak ada di kota, di kampus, atau dimanapun. Dan saya rasa harga itu pantas untuk mendapatkan pengalaman hebat di gunung.

Sebelum pendakian, seperti biasa saya akan meneriakan kode etik pegiat alam. (1) TIDAK MENGAMBIL APAPUN KECIALI GAMBAR (2) TIDAK MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK (3) TIDAK MEMBUNUH APAPUN KECUALI WAKTU (4) TIDAK MEMBAKAR APAPUN KECUALI SEMANGAT. Memang kami ini hanya pendaki amatir, tapi bukan berarti kami pendaki karbitan yang tak bisa menghargai alam yang hanya mendaki untuk wah-wah an saja mengikuti tren. Sebisa mungkin kami berusaha untuk menghargai dan menjaga alam, dimulai dari diri sendiri.


 

 Gapura gerbang pendakian

Berbekal dengan peta dari basecamp dan catatan informasi yang saya kumpulkan jauh-jauh hari kami pun berangkat naik. Berbeda dari jalur pendakian gunung-gunung lainnya di jawa tengah yang harus melewati lahan penduduk sebelum memasuki hutan, pada jalur pendakian gunung Merbabu via selo tidak terdapat lahan penduduk. Setelah melewati gerbang pendakian pendaki langsung diajak memasuki hutan. Di sekitar gerbang terdapat camping ground. Pada jarak 800 meter dari pintu masuk jalur pendakian akan ditemui sebuah persimpangan. Jalur kiri (tanjakan) merupakan jalur pendakian, sedangkan jalur kanan (jalur menurun) adalah jalur menuju daerah jurang warung yang dapat digunakan sebagai lokasi birdwatching.

Jalur pendakian cukup landai, tidak terlalu terjal. Kita dimanjakan dengan keindahan hutan pinus. Namun, hujan yang baru saja reda cukup menyulitkan medan pendakian. Beberapa kali kami mendapatkan bonus, yaitu jalan yang datar, tidak menanjak. Berdasarkan catatan informasi yang saya kumpulkan, terdapat banyak percabangan untuk menuju pos I. namun, menurut saya, percabangan tersebut tak begitu kentara, karena jalur pendakian sudah benar-benar jelas. Jadi kecil kemungkinan percabangan-percabangan tersebut menyesatkan para pendaki.

Tidak begitu jauh dari basecamp, masuk lebih dalam ke hutan pinus, kami dusuguhi pemandangan eksotis. Yaitu segerombolan burung sepah gunung dengan warnanya yang merah menyala. Segerombolan burung sepah gunung tersebut terbang di antara pohon-pohon pinus di dekat jurang, atau di kiri jalur pendakian. Sepertinya mereka tidak merasa malu dengan kami, atau justru malah memberi semangat untuk kami. Beberapa kali juga kami melihat lutung di beberapa pohon, meskipun letaknya jauh kedalam hutan.
Hutan pinus di jalur pendakian merbabu via selo dengan jalur via wekas sangat berbeda. Pada jalur pendakian selo hutan pinusnya lebih rapat dan bagus. Setelah jauh lebih kedalam hutan pendaki juga akan disuguhi hutan heterogen yang sedikit mirip dengan gunung Slamet meskipun dengan vegetasi yang lebih renggang dan tidak terlalu tua. Namun pemandangannya tak kalah indah dengan pemandangan gunung Slamet. Banyak sekali terdengar kicau burung, beberapa kali saya dapat melihat burung tersebut, meskipun tak bisa untuk mengidentifikasinya.

Saat naik gunung, kunci nya adalah pengaturan nafas dan bagaimana kemampuan tubuh beradaptasi dengan keadaan gunung. Sebenarnya sudah saya katakan sebelumnya, bahwa untuk pendakian ini mereka harus mempersiapkan fisik, setidaknya dengan joging. Dengan joging sebenarnya kita bisa berlatih untuk mengatur nafas dan juga mempersiapkan ketahanan tubuh. Namun sayangnya teman-teman pendakian ini tidak melaksanakan nasehat saya ini. Teman-teman anggota pendakian mulai beradaptasi dengan keadaan gunung, karena memang mereka tak terbiasa naik gunung. Ida dan diah mulai kepayahan, montain sicknes mulai menyerang mereka. Pusing dan mual. Asro yang memang hanya membawa daypack kemudian berinisiatif untuk membawa daypack Ida, sungguh perbuatan yang sangat mulia.

Kelompok pendakian terbagi menjadi dua. Kelompok pertama terdiri atas rahmat, RB, hasan, dan Wahid. Sedangkan kelompok dua terdiri dari saya, asro, yuda, atut, diah, dan ida. Seperti biasa saya bertugas sebagai sweeper. Kelompok satu dan dua tidak berjarak terlalu jauh, seperti yang saya wanti-wanti sebelumnya. Karena memang banyak percabangan -meskipun cukup mudah untuk membedakan mana yang jalur penduduk mana yang jalur pendakian- dan juga masih kurangnya pengalaman naik gunung. Jadi sebisa mungkin kelompok masih menjadi satu.
Pukul 17.00 akhirnya kami sampai di pos I, Dok Walang. Cuaca masih cukup cerah sehingga belum begitu membutuhkan penerangan. Kondisi fisik sudah mulai beradaptasi meskipun beberapa teman masih juga kepayahan. Pos yang berupa sebidang tanah ini berada pada ketinggian ± 2190 m dan masih berada pada zona hutan gunung sehingga pemandangannya masih berupa pohon-pohon yang padat. Pos I umumnya digunakan untuk tempat berisitirahat sejenak. Pelataran Pos I cukup luas, bisa mendirikan 3-4 tenda.



 Pos I, Dok Walang
 





Kami istirahat 10 menit di pos I ini. Kelompok I dan II kembali berkumpul. Dari pos I perjalanan kembali dilanjutkan. Dari pos I ini sudah tidak ada jarak antara kelompok satu dan dua, kami berjalan bersama-sama. Hanya saja urutan jalannya masih tetap sama, karena memang jalur hanya bisa dilewati oleh satu orang saja. Dari pos I jalan sangat landai, banyak sekali jalan bonus yang hanya memutari bukit dengan kanan jalur pendakian adalah jurang.

Setengah jam berjalan, jalan mulai menanjak. Sepanjang perjalanan di isi dengan candaan-candaan untuk meringankan lelah yang mulai terasa. Yuda sekarang membawa daypack diah, karena memang diah sudah terlihat sangat lelah. Ya begitulah kalu membawa pacar naik gunung, harus bertanggung jawab. Suasana sudah mulai gelap namun kami sudah mulai keluar dari hutan.

15 menit kemudian kami sampai di tikungan macan, pukul 17.45. Gerimis mulai datang, karena kabut sedang turun sepertinya. Di tikungan macan ini kami sedikit tertipu. Kondisi fisik yang sudah melemah dan konsentrasi yang menurun sehingga kurang jeli dalam melihat plang. Sebenarnya di plang tersebut tertulis pos II masih 1 KM lagi, namun kami mengira tempat ini adalah pos II. Kami istirahat sebentar di pos II ini. Mempersiapkan jas hujan dan senter. Pukul 1755 kami melanjutkan perjalanan.


 
Tikungan Macan


Dari tikungan macan ini jalur pendakian sudah mulai menanjak curam. Teman-teman pendakian terlihat sudah mulai kewalahan menahan lelah yang mendera. Gerimis sudah lama reda, di gantikan pemandangan bintang yang benar-benar aduhai. Bintang di bumi, dan bintang di langit. Bintang di bumi adalah lampu-lampu kota yang sangat padat dengan warna kekuningannya, seperti butiran emas. Benar-benar indah. Bintang di langit adalah bintang yang sebenarnya, jauh lebih indah tentunya. Ada banyak sekali konstelasi yang saling menumpuk membentuk sungai. Benar-benar indah. Cukup untuk mengisi ulang energi kami.

Suasana semakin gelap saja, jalur pendakian juga semakin curam. Beberapa teman pendakian juga sudah mulai mengeluh. Oksigen yang semakin tipis di ketinggian yang semakin tinggi ini, belum lagi saat malam hari kita para manusia berbut oksigen dengan tumbuhan-tumbuhan. Mereka mengeluhkan pendakian malam ini. Padahal menurut saya, lebih baik pendakian malam dari pada pendakian siang untuk gunung-gunung dengan hutan yang tidak terlalu lebat seperti merbabu ini. Walaupun udara tipis tapi entah kenapa saya lebih merasa lebih hemat energi, selain juga saat pendakian malam kita tidak bisa melihat trek yang bisa membuat utus asa.
Pukul 18.40 kami sampai di area kamping di bawah pos II. Di sini kami istirahat cukup lama untuk mengisi perut, karena memang perut sudah berontak sedari tadi. Suasana sudah sangat gelap, bahkan bertambah satu lagi yang drop fisiknya, rahmat. Berbeda dengan rahmat, atut malah masih sehat-sehat saja. Benar-benar supergirl si Atut ini, padahal sebelum memulai pendakian ini dia baru pulang dari bandun. Pantas saja dia bisa mencapai puncak slamet. Di tempat ini terlihat pemandangan yang sangat menajubkan, bintang terlihat jelas, karena memang sudah keluar dari hutan. Asro juga sempat melihat beberapa kunang-kunang.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Kini Ida dan diah sudah membawa tasnya sendiri. Karena jalan yang semakin curam akan sangat sulit kalau harus sambil membawa daypack di depan. Naik ke atas sedikit ternyata kami menemui plang pos II, Pandean. Rupanya ini pos II yang sebenarnya. Saya benar-benar frustasi karena rupanya perjalanan masih sangat jauh sementara jalan semakin curam, ditambah lagi sebagian besar anggota pendakian sudah sangat lelah. Fisik sudah sangat terkuras. Untung saja cuaca sangat cerah dan cukup untuk menghibur jiwa-jiwa lelah ini.

Dalam perjalanan kami berjumpa dengan keluarga pendaki. Yakni terdiri dari dua orang bapak-bapak, seorang ibu-ibu dan dua orang anak kecil satu anak laki-laki yang masih TK dan satu lagi anak perempuan yang mungkin sudah SD kelas 4 atau 5. Keluarga ini berasal dari jakarta, sungguh keluarga yang benar-benar hebat. Esok lusa saya juga ingi punya keluarga seperti itu. Berkeliling dari sati gunung ke gunung lainnya, dari satu taman nasional ke taman nasional lainnya, ngetrip bersama orang-orang tercinta. Esok lusa kawan, jika kalian atau kenalan kalian mendaki sebuah gunung dan bertemu keluarga pendaki, boleh jadi itu keluarga saya kawan.

 

 Keluarga pendaki dari jakarta
Beberapa kali kami harus beristirahat untuk mengambil nafas. Jalan sangat curam. Tanah yang basah sangat menyulitkan pendakian. Bahkan Wahid sedari basecamp tidak menggunakan alas kaki karena sandalnya (swallow) tidak memungkinkan untuk di pakai di jalur ini. Semua anggota sudah sangat lelah, namun perjalanan harus tetap dilanjutkan, karena memang masih sangat jauh. Jalur sangat terjal dan curam, butuh perjuangan ekstra untuk menaklukannya. di sini kami sudah mulai menemui pohon-pohon edelweis di kanan dan kiri jalur pendakian.

Akhirnya sekitar pukul 20.15 kami sampai di pos III, Batu Tulis. Pos III adalah tempat terbuka yang cukup luas, di tengahnya terdapat sebuah batu yang cukup besar. Pos III berada pada ketinggian 2590 mdpl. Pemandangan di pos ini sebenarnya sangat indah, namun sayang suasana sangat gelap dan lelah yang semakin mendekati puncaknya memaksa kami untuk mengabaikannya. Banyak terdapat Edelweiss yang tumbuh tinggi dan besar sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Pemandangan dari pos III cukup lapang dan dengan cuaca yang cerah kami dapat melihat merapi di seberangnya. Setelah pos III ini jalan terlihat sangat menanjak, namun ditumbuhi banyak sekali pohon edelweis. 200 meter dari pos III dapat dijumpai sebuah nisan memoriam alm. Heri Susanto, seorang pendaki asal Surabaya yang mengalami kecelakan pendakian pada tahun 1997.

Dari pos ini perjalanan kembali dilanjutkan. Saya sekarang tidak lagi menjadi sweeper. Saya berjalan di depan sendiri. Selain karena untuk memilih jalur yang lebih nyaman untuk didaki tapi juga karena saya sendiri sudah mulai putus asa dan tidak sabar apabila terus di belakang. Dan saya takut kalau tidak ada yang menyemangati di depan pendakian akan lebih lama lagi. Jalur setelah batu tlis memang benar-benar terjal dan medan yang susah. Untung saja hujan sudah lama berhenti, dan medannya sudah lumayan kering. Sehingga medan terjal dari tanah ini tak begitu becek.

Jalur pendakian sangat terbuka, bisa saya bayangkan apabila mendaki siang hari. Pasti sangat panas dan menguras energi. Hawa dingin sudah sangat menggigit kulit, belum lagi bercampur dengan keringat yang begitu lembab. Keadaan yang gelap membuat kami tak begitu memperhatikan trek sehingga tak begitu membuat putus asa. Jalanan yang sangat terjal ini memaksa kami merangkak dan sering sekali berhenti.

Saya selalu menjaga jarak agar tidak terlalu jauh dari teman-teman di belakang. Sejak batu tulis saya juga mengalah untuk membawa tenda dome yang dari bawah tadi bergantian di bawa RB dan Hasan. Saya yakin mereka akan sangat kesusahan membawa tenda dome ini dengan medan yang amat susah ini. Saya sendiri juga merasa kesusahan, belum ditambah tas carrier yang saya bawa terasa semakin berat saja. Saya sendiri juga sudah amat lelah, namun pendakian harus terus dilanjutkan menuju tempat yang nyaman untuk membuat tenda dome.

Setelah melewati bukit yang sangat terjal dengan jarak yang lumayan jauh akhirnya kami sampai di pos IV, Sabana I. saya lupa jam berapa yang pasti sudah sangat malam. Sabana I berada pada ketinggian ±2770 mdpl. Saban Vegetasi di sabana I ini berupa padang rumput yang sangat luas dengan beberapa pohon edelweis yang menjulang tinggi. Bukit-bukit hijau seperti bukit teletubies akan sangat indah apabila siang cerah datang.


Awalnya saya berniat untuk membangun tenda dome disini, mengingat kondisi teman-teman yang sudah saangat kepayahan dan putus asa. Namun, ketika saya berputar-putar mencari lokasi untuk membuat dome saya tidak menemukan tempat yang cocok. Beberapa tempat yang cocok sudah ramai dipakai oleh pendaki lainnya. Tempat yang tersisa adalah padang luas yang tak terlindung apapun dengan tanah yang tidak begitu rata. Hal ini sangat riskan untuk membangun dome. Karena apabila badai datang, tidak ada yang bisa melindungi dome, belum lagi tanah yang miring akan sangat mengganggu kenyamanan dan sangat mungkin menjadi jalan air ketika badai atau hujan datang.

Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pos V, Sabana II. Sabana I dan Sabana II terpisah oleh sebuah bukit yang lumayan tinggi. Apalagi dengan kondisi fisik yang sudah sangat lemah. Namun saya terus memaksa semangat teman-teman. Meskipun dengan amat sangat pelan dan sabar saya terus menyemangati mereka. Saya menunggu dan menjaga jarak dengan teman-teman dibelakang saya. Ketika sudah terlalu jauh saya berhenti sambil terus meneriaki mereka. Menyemangati mereka tentunya. Stelah break sebentar, sebelum mereka kembali berjalan saya berjalan terlebih dahulu untuk mencari jalan.
Bukit yang harus dilewati sangat terjal dan curam dengan medan tanah yang apabila hujan pasti sangat licin. Hanya beberapa langkah sudah break lagi. Berkali-kali saya meneriaki teman-teman agar tetap semangat dan tidak salah jalur, karena memang ada banyak jalur, meskipun berujung pada jalur yang sama namun memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Saya selalu berusaha untuk mencari jalan dengan tingkat kesulitan yang lebih mudah dibanding yang lainnya.

Perjuangan yang ekstra keras. Berkali-kali break. Berkali-kali menghela nafas. Berkali-kali memandang langit mengais-ngais semangat. Bermodalkan cahaya senter yang kian meredup, semeredupnya kondisi fisik yang semakin kelelahan. Akhirnya saya berada di atas bukit, tinggal turun untuk menuju pos V, sabana II. Di sini saya duduk menatap ke belakang, menikmati dinginnya malam sambil berteriak-teriak menyemangati teman-teman yang masih dibelakang. Mengabarkan kalau sabana II sudah tidak jauh lagi. Sebatang coklat terasa begitu nikmatnya sambil menunggu teman-teman.

Akhirnya senter dari RB sudah terlihat, ia yang pertama tiba setelah saya, kemudian diikuti oleh atut. Kami bertiga pun membuka perbekalan makanan ringan untuk menahan perut yang sudah sangat kelaparan. Kemudian hasan, rahmat, asro, dan ida datang. Setelah mereka istirahat sebentar kemudian saya mengajak RB dan Asro menuju Sabana II untuk membangun dome sambil yang lain menunggu wahid, serta pasangan Yuda dan Diah yang sudah sangat kepayahan.

Kami bertiga pun turun terlebih dahulu ke Sabana II. Di sabana II sudah terdapat banyak pendaki. Pukul 10.30 kami sampai di sabana II. Sama seperti sabana I di sabana II juga merupakan padang rumput yang sangat luas dengan pohon edelweiss yang menjulang tinggi. sabana II terletak pada ketinggian ±2860 mdpl. Di sini saya menemukan tempat kosong untuk membangun tenda dome yang kami bawa. Cukup untuk dua tenda dome dengan kapasitas 4 dan 6, tepat di samping sekumpulan pohon edelweiss. Sebenarnya saya berniat untuk membangun tenda dome di jemplongan, seratus meter dari sabana II, tempatnya lebih terlindung. Namun daya pikir, teman-teman lain sudah sangat kelelahan dan tidak kuat melanjutkan perjalanan. Saya kemudian meminta RB dan Asro untuk mempersiapkan tenda dome, karena saya harus naik kembali menjemput teman-teman lain untuk membawakan tas diah dan ida yang memang sudah sangat kelelahan. Setengah berlari saya menuju teman-teman yang saya tinggal tadi.

Akhirnya kami semua sudah berkumpul di Sabana II. Saya mempersiapkan alat-alat untuk membangun tenda dome dan alat memasak. Sejujurnya saya merasa sangat kerepotan, karena disini hanya saya sendiri yang sudah terbiasa untuk membangun tenda dome dan memasak dengan peralatan gunung. Tahun lalu ketika mendaki gunung merapi bersama mereka ada ucup yang juga sudah berpengalaman dalam hal pendakian gunung, sehingga saya tidak sendiri menghandel semuanya. Apalagi pendakian Slamet kemarin, sebagian peserta sudah cukup berpengalaman.

Namun, namanya juga belajar dan mencari pengalaman. Mungki lewat pengalaman ini akan menambah pengalaman temanteman pendakian ini dalam mendaki gunung. Sambil menyiapkan peralatan, saya juga sambil mengajari mereka sedikit demi sedikit bagaimana menggunakan alat-alat memasak dan membangun tenda dome. Perempuan-perempuan memasak dan laki-laki membangun tenda dome.

Akhirnya tenda dome berkapasitas 4 untuk para perempuan sudah jadi. Saya masih cukup repot bolak-balik membantu memasak dan membangun tenda dome kapasitas 6. Si RB marah-marah karena Rahmat malah istirahat di tenda dome kapasitas 4 yang sudah jadi, bukannya membantunya membangun tenda dome kapasitas 6. Mungkin rahmat sudah merasa sangat kelelahan. Saya sendiri sudah merasa sangat kedinginan. Celana pendek tanpa jaket dan embel-embel kehangatan lainnya. Beberapa kali saya bergetar menahan dingin yang sangat menusuk. Tapi, tenda dome kapasitas 6 ini harus segera dirampungkan.

Dalam kegiatan pendakian gunung memang benar-benar mengajari kita untuk bekerja di dalam tim. Menekan ego masing-masing. Bagaimanapun tim adalah satu. Harus saling membantu satu sama lain. Susah senang bersama. Di gunung sifat dasar manusia, egoisme, benar-benar diuji. Saya mengatakan sifat dasar karena memang begitulah yang namanya sifat egoisme. Manusia terlahir berasal dari egoisme, sampai kapanpun sifat itu akan terus melekat, tinggal bagaimana kita mengelolanya saja. Dan di gunung kita dipaksa belajar untuk mengelola sifat yang satu ini.

Setelah bersusah payah akhirnya kedua tenda dome telah berhasil di dirikan -terutama tenda dome kapasitas 6 yang berbentuk absurb-. Saya kemudian melanjutkan untuk membantu kegiatan masak memasak. Malam ini kami memasak sup dan nasi goreng. Di gunung juga kita di ajari untuk bertahan hidup, meskipun dengan kemampuan memasak yang pas-pasan. Urusan masak-memasak ini, meskipun kadang rasanya aneh tapi tetap saja nikmat ketika di atas gunung bersuhu ekstrim dengan tingkat kelelahan maksimal, bersama teman-teman pula. Dan yang paling romantis adalah gemintang yang setia menunggui kami di atas sana, cuaca sangat cerah kawan.

Setelah puas memasak dan RB berhenti mengomel kami bersiap untuk istirahat. Bintang masih bertabur memenuhi langit kami. Tenda dome kapasitas empat diperuntukan untuk para perempuan karena memang tenda ini jauh lebih nyaman dibanding yang kapasitas 6. Saya dan yuda juga ikut bersama mereka. Sedangkan yang lain (RB, Wahid, Hasan, Asro, dan Rahmat) harus mau mengalah berada di tenda dome kapasitas 6 dengan penutup pintu yang macet. Udara masih sangat dingin.

12 Mei 2013

Pukul 01.30 dinihari saya terbangun karena hujan badai yang tiba-tiba datang. Begitulah memang yang namanya gunung. Cuaca bisa berubah dengan sangat cepat. Tak pernah bisa diprediksi. Dari cerah seketika menjadi badai. Namun, tenda dome kapasitas 4 ini masih cukup kuat dan ampuh menahan hujan badai ini. Yang saya khawatirkan adalah tenda dome kapasitas 6 tempat teman laki-laki dengan pinti yang tidak bisa ditutup.

Benar saja, RB sudah berteriak mengomel. Meminta saya membantu, namun apa daya saya. Mantol sudah saya gunakan untuk menutupi tenda dome kapasitas 4 ini, dan rasanya saya juga sudah terlalu nyaman di tenda dome ini. Saya benar-benar merasa bersalah ketika tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya keegoisan saya ini telah membatu dan memaksa saya untuk tidak melakukan apa-apa. RB semakin keras mengomel di seberang sana.

Pukul 02.30 tenda dome kapasitas 6 ini sudah mulai basah, namun hanya bagian ujungnya saja. Terutama di bagian yang saya tempati. Saya kemudian duduk untuk menanyakan kondisi penghuni dome kapasitas 4 ini. Rupanya mereka semua masih baik-baik saja, hanya bagian yang saya tempati yang sudah basah. Tenda dome sebelah saya sudah tidak bisa membayangkan lagi. Saya dengar Asro keluar untuk menutup pintu menggunakan mantol sementara RB masih saja mengomel.

Waktu rasanya berjalan begitu lambat. SB yang saya gunakan sudah mulai basah dan tembus ke jaket. Namun rasanya teman ayng lain masih baik-baik saja (Tenda dome kap 4). Hanya saja Yuda juga seudah mengeluh kebasahan karena terkena pinggiran dome yang sudah basay, karena ia juga tidur di pojokan. Sementara itu diah merasa sangat kedinginan. Begitupun dengan Ida. Yang paling tenang dan tidur begitu pulas adalah Atut yang tidur di tengah-tengah. Ia begitu lelap tertidu. Saya sendiri sudah tidak bisa lagi tidur dengan semua kebasahan ini. RB masih belum berhenti berteriak-teriak.

Seluruh SB saya sudah basah, ditambah lagi dengan kaki yang tiba-tiba kram karena tak kuat menahan dingin. Puku 04.30, hujan badai sudah mulai reda. RB masih mengomel pelan. Dan saya tidak bisa membantu apa-apa.

Pukul 05.30 akhirnya saya keluar dome. Menjenguk tenda dome sebelah. Rupanya kondisinya memang sudah sangat memprihatinkan. RB dan Wahid sudah tidak lagi memakai SB, hanya menggunakan kaos. RB bahkan berkata kalau ia sangat takut sekali akan mati karena rasa dingin. Kejadian ini persis seperti pendakian merapi tahun lalu dimana salah satu tenda dome kebanjiran dan memaksa penghuninya tidak tidur semalaman. Berbeda dengan RB dan Wahid, hasan, asro dan rahmat masih bisa tidur. Bahkan rahmat tidur begitu tenangnya, hal ini yang memancing RB terus mengomel. Saya benar-bena merasa bersalah. Sebagai leader saya tak bisa melakukan apa-apa.

Namun tetap saja dalam setiap kejadian, semenyakitkannya apapun itu, tetap saja ada hal-hal yang biasa kita tertawakan. Sebelum beranjak tidur RB dan Wahid bergurau bagaimana asiknya tidur sambil memandang bintang-bintang yang saat itu memang masih cerah. Namun cuaca berubah sangat cerah, dan hujan badai pun datang. Dan mereka menjadi korban yang paling menderita.

Seperti yang sudah saya katakan, dalam pendakian gunung kerja sama tim adalah hal yang paling penting. Dalam pendakian ini mungkin Tuhan berbaik hati untuk mengajari mereka, dan saya tentunya untuk bekerja sama dengan orang-orang dengan tingkat keegoisan masing-masing. Untuk menekan ego diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu juga kami di ajari untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Bukan hanay mengomel terus mengomel atau membiarkan sifat egoisme menguasai diri. Dan pengalaman ini seharusnya bukan untuk dikutuki, tapi sebagai pengalaman pembelajaran yang harus disyukuri dan ditertawakan bersama-sama. Menjadi cerita untuk esok lusa.

Cuaca sudah cukup cerah dan tidak terlalu dingin. Kami semua keluar tenda dan membahas kesengsaraan malam tai. Saling mengomel, saling tertawa. Puncak Merbabu sudah terlihat, walaupun saya tidak tahu kalu ternyata bagian atas bukit merupakan puncak merbabu. Kondisi fisik teman-teman sudah sangat drop oleh pendakian malam tadi juga oleh badai yang tiba-tiba datang membuat kami tak tidur semalaman. Gunung merapi begitu anggun disebelah selatan. Matahari sudah semakin naik.


 

 Puncak merbabu dilihat dari sabana II

Dalam pendakian gunung puncak bukanlah segalanya. Melainkan proses menuju puncak. Hal ini kadang terlupakan, terutama oleh pendaki-pendaki karbitan yang hanya mengikuti tren. Dalam proses menuju puncak inilah sebnarnya gunung mengajari kita banyak hal. Seperti kerjasama dan egoisme yang sudah saya katakan tadi. Dalam proses itu para pendaki juga belajar bagaimana mengenali keadaan diri sendiri. Untuk mengukur kemampuar diri sendiri. Karena itulah dalam pendakian gunung dikenal istilah STOP. STOP ini jika kita urai menjadi Stop-Thingking-Observe-Planning. Stop berarti berhenti. Thinking berarti berfikir. Observe berarti mengamati. Planning berarti merencanakan. Dalam keadaan darurat seorang pendaki harus mengamalkan istilah STOP ini. Karena yang namanya nekat dan berani itu berbeda. Nekat itu bertindak tanpa memperhitungkan keadaan, sementara berani itu selalu memperhitungkan keadaan sekitar dan dirinya sendiri. Keyakinan adalah bahan bakar sebuah keberanian. Seorang pendaki yang bijak tahu kapan harus STOP dan kpan harus terus. Sama halnya dengan kehidupan. Seseorang boleh bermimpi setinggi langit, namun ia harus tahu mana yang cita-cita dan mana yang hanya khayalan semata. Hal tersebut hanya bisa ia lakukan ketika ia benar-benar mengenal dirinya sendiri. Karena manusia itu bukan makhluk sempurna yang tak memiliki batasan. Berpasrah bukannya menyerah, berhenti bukannya tak berani. Gunung memang selalu mengajari kita banyak hal. Karena itulah, mengingat kondisi fisik teman-teman yang sudah sangat drop saya menawarkan dapakah tetap lanjut ke puncak atau tidak. Mereka harus berfikir baik-baik dalam mengambil keputusan, mengenali kondisi masing-masing.

Setelah berfikir sejenak, membandingkan keadaan fisik dengan medan yang akan dilalui, teman-teman memutuskan untuk tidak naik kepuncak. Kecuali atut dan hasan. Atut terlihat sangat bugar dan yakin, benar-benar supergirl dia itu. Terang saja, ia tidur semalaman. Hasan juga begitu, meskipun terlihat tidak sebugar atut tapi ia sama yakinnya dengan atut. Ini akan menjadi puncak pertamanya, dan ia benar-benar menggebu. RB sebenarnya ingin mendaki ke puncak. Namun ia terlihat masih sangat ragu antara iya atau tidak, dan saya kemudian melarangnya karena keraguannya itu. Akhirnya pukuk 05.55 saya mengantar Atut dan Hasan menuju puncak merbabu.

 

 Saya, hasan dan atut naik menuju puncak Merbabu

Saya mengantar atut dan Hasan ke puncak dengan membawa daypack yang berisi air minum dan roti. Cukup untuk sarapan kami nanti selama perjalanan. Sebelum mendaki bukit jalanan datar, bahkan sempat menurun ketika mendekati bukit. Tepat dibawah tanjakan menuju puncak terdapat tempat yang bernama jemblongan yang tadinya akan kami gunakan sebagai tempat kemping. Jemblongan ini dilindungi oleh pohon-pohon edelweiss yang menjulang tinggi. Dari sini kami harus mendaki sebuah bukit untuk selanjutnya menuju puncak merbabu yang masih berjarak 1,1, KM lagi.


 
Puncak masih 1,1 KM lagi bung !!


Pemandangan yang sangat indah di depan mata, sekaligus pemandangan yang mencengangkan, karena kita memandang jalur medan terjal yang harus kita tempuh untuk menggapai puncak gunung Merbabu. Berbalik arah pemandangan ke arah Gunung Merapi juga sangat indah sekali. Cuaca sangat cerah dan panas. Bila kita berjalan dengan cermat sekitar sekitar 25 meter di sebelah kanan jalur akan kita temukan sebuah batu berlobang yang keramat.

 

 Pemandangan gunung Merapi dari tanjakan menuju puncak Merbabu
Jurang-jurang dengan taman edelweis dan padang sabana yang hijau menemani kami sepanjang perjalanan naik. Benar-benar pemandangan yang sangat menajubkan. Cukup untuk sarapan semangat sepagi ini. Jalanan terjal yang bermaterial tanah sangat menyulitkan. Beberapa kali kami mengambil nafas dan istirahat untuk melemaskan otot-otot kaki dan memompa semangat.


 

 Padang Edelweis dan bukit hijau
Setengah jam berjalan kami istirahat sejenak untuk mengisi perut sambil menikmati pemandangan yang disajikan dibawah sana. Kami baru saja berhasil mendaki bukit pertama dan dari sini puncak sudah terlihat. Tinggal sedikit lagi !!

Akhirnya, pukul 06.50, setelah perjuangan yang melelahkan kami sampai di puncak triangulasi. Puncak triangulasi merupakan puncak tertinggi gunung merbabu, sama halnya dengan puncak kenteng songo. Ketinggian puncak merapi adalah 3142 mdpl. Puncak triangulasi merupakan lahan yang cukup luas, tapi manurut saya tak ada yang berani untuk membangun di sini karena letaknya yang sangat terbuka. Sedikit kebawah dari puncak teriangulasi ada sedikit ruang untuk kemping, sedikit terlindung puhon dan puncak triangulasi. Dari sini pendaki bisa melihat gunung sindoro dan sumbung menjulang tinggi di sebelah barat. Dari sini gunung merapi juga terlihat sangat megah. Pemandangan dari puncak triangulasi ini benar-benar keren. Selain dapat melihat jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian wekas kita juga bisa melihat bukit teletubies hijau pada jalur pendakian lewat selo. Dari sini seaya bisa melihat cukup jelas sabana II tempat kami membuat tenda dome.




Pemandangan gunung merapi, sindoro, dan sumbing dari puncak triangulasi
 

Setelah menikmati puncak triangulasi kemudian hasan dan atut menuju puncak kenteng songo. Saya sendiri menunggu di puncak triangulasi. Puncak kenteng songo berada 10 menit di sebelah timur. Letaknya sejajar dengan puncak triangulasi. Hanya tinggal turaun kemudian naik sedikit. Puncak kenteng songo adalah lahan luas sama seperti puncak triangulasi. Di puncak kenteng songo terdapat kenteng atao batu berlubang. Menurut cerita dinamakan kenteng songo karena batu berlobang yang ada di puncak kenteng songo terdapat sembilan buah, atau songo dalam bahasa jawa. Namun yang bisa di pandang dengan mata telanjang hanya empat buah, selebihnya hanay bisa dipandang dengan mata batin. Entah benar atau tidak cerita ini bisa kalian buktikan sendiri. Yang punya mata batin tentunya.


 

 Puncak kenteng songo

Sambil menunggu hasan dan atut di puncak triangulasi saya berjumpa dengan dua orang pendaki dari jogja juga, dari godean. Mereka juga naik dari jalur selo. Kami pun bercerita tentang badai semalam. Saya bercerita tentang kondisi dome yang mengenaskan sehingga teman-teman yang lain tidak bisa naik ke puncak. Sementara itu mereka bercerita tentang sesuatu yang sangat mengejutlan. Rupanya mereka tidak membawa tenda dome. Para survival ini hanya menggunakan mantol, SB, dan matras. Mencari tempat berlindung di jemblongan. Dari cerita mereka saya mendapat pengalaman baru saat menghadapi badai. Seharusnya saat mendaki kita membawa raincoat (setidaknya mantel individu) dan mantel yang lebar (mantel batman). Sebelum masuk kedalam SB terlebih dahulu kita menggunakan mantol individu atau raincoat. Sedangkan mantel batman kita gunakan untuk membungkus tubuh yang sudah memakai SB. Cara ini bisa menanggulangi tenda dome yang mengenaskan seperti malam tadi dalam menahan badai, bahkan saat tak ada tenda dome sama sekali. Hal ini seharusnya saya lakukan semalam. Setidaknya ini menjadi pengalaman tambahan untuk kedepannya. Memang selalu saja menyenangkan berbagi kisah dengan para pegiat alam bebas. Banyak hal-hal menarik yang bisa dibagi dan dipelajari.

Beberapa menit setelah para survival tersebut turun akhirnya atut dan hasan tiba kembali di puncak triangulasi. Cuaca sudah cukup panas dan kabut sudah mulai naik menutupi jalan turun. Pukul 08.10 kami memutuskan untuk turun kembali ke sabana II. Ternyata pemandangan jalur wekas ini benar-benar hebat. Tadi saat naik saya tidak begitu memperhatikannya. Bukit-bukit hijau dengan edelweiss di lembah-lembahnya. Kabut tipis menyelimutinya sesekali, mengaburkan keindahannya namun justru menambah keromantisannya. Saat turun ini kami berjumpa banyak sekali pendaki yang akan naik ke puncak. Sapa dan senyum menjadi pengikat di antara pendaki. Saat turun saya berlari terlebih dahulu sambil tetap memperhatikan jarak dengan atut. Sungguh menyenangkan berlari turun dari puncak gunung dengan semua pemandangan nya yang indah ini. Rasanya benar-benar menyenangkan.












Pemandangan saat turun dari puncak

Pukul 08.50 kami sampai kembali di Sabana II. Tadi saat turun saya sempat melihat burung anis gunung di jemblongan sedag memakan cacing. Awalnya saya kira burung jalak karena morfologinya yang mirip sekali dengan jalak, namun ketika sudah sampai dijogja saya berdiskusi dengan salah satu teman dan ia berkata bahwa itu burung anis gunung. Burung yang juga banyak terdapat di gunung Lawu.

Saat saya, atut, dan hasan naik ke puncak merbabu ternyata teman-teman yang lain naik ke bukit di sabana II untuk melihat pemandangan. Ternyata dari sabana II ini emandangannya juga sudah cukup bagus. Bukit teletubies yang hijau enjadi primadonanya. Ditambah pula dengan kemegahan gunung Merapi diseberang sana, pemandangan yang benar-benar indah. Sambil menunggu kami pulang tadi rupanya mereka sudah bersiap-siap untuk packing dan makan. Saya yang belum sarapan akhirnya memasak sayur-sayuran yang belum dimasak oleh teman-teman. Sayur kacang dan jamur, sarden kaleng, serta mie sebagai sumber karbohidratnya. Benar-benar sarapan yang bergizi.

Hasil masakan saya rupanya tidak begitu buruk. Cukup lezat, apalagi tumis kacang dan jamurnya, mungkin perut yang sudah kosong menjadikan makanan apa saja yang masuk menjadi lezat. Asro bahkan mengemiks semua makanan tersebut dalam dua potongan roti tawar plus selai kacang, sendwich katanya. Benar-benar eksperiman yang tidak patut di contoh. Hehe

Setelah puas mengisi perut dan packing akhirnya pukul 10.15 kami turun menuju basecamp. Setelah berdoa bersama kami pun meluncur turun. Saat proses turun ini kami menikmati pemandangan yang semalam kami abaikan karena gelap dan lelah. Pemandangan di sabana I dan II memang benar-benar indah. Kami berjalan di antara bukit-bukit teletubies yang hijau dengan rumput-rumputnya yang khas. Sambil memandangi merapi yang megah di seberang sana. Kabut yang sesekali naik juga menambah sisi romantisme tersendiri. Menyelimuti pohon-pohon edelweis yang sayang sekali belum berbunga. Akan sangat indah jika ditambah dengan taman edelweis yang sedang bermekaran. Cuaca cukup cerah dengan langit yang benar-benar biru dan awan yang menggumpal di bawah sana layaknya kapas yang begitu lembut.











 


 Pemandangan di sabana I dan II
Kami istirahat sebentar di sabana I untuk menghela nafas dan menikmati pemandangan yang sangat indah ini. Perjalanan turun kembali dilanjutkan menuju pos III, Batu tulis. Sebelum turun saya sempat melihat seekor burung opior jawa. Kabut sudah mulai naik, mengurangi jarak pandang. Saat turun ini kami juga dapat melihat jalur yang kami lewati semalam. Jalan turun sangat ekstrim. Jadi seperti inilah jalan yang kami lewati saat naik semalam. Pantas saja sangat menguras energi. Namun harga itu cukup untuk membayar pemandangan yang sungguh eksotis ini. Curam-curam bukit dengan taman edelweiss yang terselimuti kabut tipis putih.





 


 Pemandangan saat turun menuju batu tulis
Dari batu tulis perjalanan kembali dilanjutkan menuju basecamp. Atut dan asro berjalan dengan sangat cepat di depan sendiri sementara saya menemani pasangan emas, Yuda dan Diah di belakang (hehehehe). Saat turun ini adalah proses yang paling susah dalam pendakian gunung. Energi yang sudah drop ditambah passion yang sudah melemah. Berbeda seperti saat naik yang menggunakan puncak sebagai passion yang mempompa semangat. Saat turun passion tersebut sedikit menurun.

Saat turun sebenarnya kondisi fisik tidak begitu penting. Yang terpenting adalah kondisi kaki. Kondisi kaki yang sudah terekspos saat naik akan sangat lemah ketika digunakan untuk turun. Meskipun saat turun membutuhkan waktu yang paling hanya separuh naik, tetapi energi yang di gunakan membutuhkan jauh lebih banyak, terutama ketahanan kaki. Saat turun lebih baik terus berjalan meskipun tidak terlalu cepat. Jalan dengan kecepatan yang konstan. Karena apabila terlalu sering berhenti maka justru akan semakin menguras kemamampuan kaki. Hal inilah yang diterapkan oleh Atut dan asro sehingga mereka berdua terus berjalan cepat di depan, hanya sesekali berhenti.

Akhirnya pukul 13.30 saya sebagai kelompok terakhir merangkap sweeper sampai kembali di basecamp pendakian. Saat turun tadi saya sempat melihat dua buah raptor yang sedang swaring di dalam hutan. Saat mendekati basecamp saya juga ditemani segerombolan burung sepah dengan warna merahnya yang mempesona.

Untuk sahabat-sahabat saya di pendakian gunung Merbabu 11-12 Mei kemarin. Pendakian kemarin benar-benar mengesankan buat saya. Meskipun di beberapa bagian cerita tidak begitu menyenangkan, kedinginan, lelah yang mendera, hujan badai, bahkan berujung pada tidak naik ke puncak merbabu. Tapi, pengalaman itu mengajarkan saya banyak hal, dari semua kesusahan itu ada banyak hal untuk bisa dipelajari. Seperti hidup, ada banyak kejadian buruk yang kadang menyakitkan, kalau kita mau memaknainya dengan pemahaman-pemahaman baik pasti hal-hal itu bisa  mengajari kita menjadi jauh lebih baik. Esok lusa mungkin kenangan-kenangan di gunung merbabu kemarin akan kita kenang bersawa, kita tertawakan bersama. Dan esok lusa kalau Tuhan berkenan, bersama kita menikmati keindahan edelweis yang sedang mekar di merbabu, dan menyelesaikan pendakian puncak yang belum selesai.