Pendakian gunung merbabu kali ini
benar-benar diluar rencana. Berawal dari teman saya, yuda dan diah, yang
melihat foto-foto pendakian saya di gunung Slamet 19-21 April kemarin, kemudian
mereka tidak sengaja melihat foto-foto pendakian saya di Gunung Merbabu. Mereka
merasa tersepona oleh keindahan jalur igir-igir sapi menuju puncak gunung
Merbabu. Ya, saat menuju puncak Merbabu dari basecamp wekas kita akan menjumpai
jalur igir-igir sapi. Dinamai begitu mungkin memang karena bentuknya yang
seperti punggung sapi. Indah memang, kita diajak melewati sebuah jalur pendakian
yang naik dan turun dimana di kanan dan kiri jalur pendakian berupa jurang yang
ditumbuhi rumput-rumput hijau. Apabila dilihat dari puncak Merbabu, jalur
tersebut berbentuk seperti jalur naga yang berkelak kelok dengan warna hijau di
kanan dan kirinya, apalagi saat masih musim-musim penghujan, warna hijaunya
benar-benar mempesona. Akhirnya, mereka yang juga pernah saya antar ke merapi,
meminta saya untuk mengantar mereka ke merbabu. Rupanya keindahan gunung
Merbabu telah membuat mereka penasaran.

Jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian merbabu via Wekas
Jalur pendakian merbabu sebenarnya
tidak hanya lewat wekas (Magelang), tapi bisa juga lewat Selo dan Ampel
(Boyolali). Karena memang gunung Merbabu ini terletak di kabupaten Magelang dan
Boyolali. Tapi jalur pendakian yang lebih familiar menjadi pilihan pendakian
adalah jalur pendakian via wekas dan via selo. Selama ini saya melakukan
pendakian Merbabu via Wekas. Sebenarnya ada positif dan negatifnya melakukan
pendakian lewat Wekas dan Selo. Dari informasi yang saya dapat dari pendaki
yang saya temui ketika berada di puncak Merbabu ketika saya melakukan pendakian
lewat wekas Oktober tahun lalu, sisi positif dari pendakian lewat jalur Wekas
adalah adanya sumber mata air di pos II dan treknya yang tidak begitu menanjak.
Namun jarak pos II ke puncak masih terlalu jauh, lebih dari separuh perjalanan
dari basecamp-puncak. Sedangkan jalur pendakian lewat Selo tidak terdapat
sumbermata air seperti lewat wekas, namun pemandangan yang disajikan lewat
jalur ini berbeda dengan igir-igir sapi seperti pada jalur pendakian via wekas.
Apabila saya lihat dari puncak Merbabu, pemandangan jalur pendakian via Selo
berupa bukit-bukit hijau yang berupa padang sabana dengan hiasan berupa
pohon-pohon edelweis. Seperti bukit-bukit di film Teletubies. Apalagi dengan
gunung Merapi menjulang tinggi disebelah Selatan. Sungguh sangat-sangat
eksotis. Saya dibuat sangat penasaran oleh pemandangan tersebut. Oleh karena
itu, pada pendakian kali ini saya memutuskan untuk melakukan pendakian Merbabu
via Selo.

Bukit-bukit Teletubies di jalur pendakian merbabu via Selo
Jadwal pun disusun. Saya memutuskan
untuk melakukan pendakian pada tanggal 11-12 Mei, berjarak tingga minggu dari
pendakian saya di gunung Slamet. Sepertinya jarak tersebut cukup untuk
memulihkan fisik, juga dompet. Undangan pendakian ini pun mulai saya sebar.
Saya mengajak teman-teman pendakian Merapi tahun lalu (Ucup, RB, Wahid, Rahmat,
Asro, Bara, Ijul, Ida), karena memang saya sudah terlanjur janji untuk
mengantar mereka ke gunung Merbabu. Selain itu saya juga mengajak personil
pendakian Slamet kemarin Panji, Atut, Arif, dan Annas. Saya juga mengajak
beberapa teman lain seperti Hasan, jalu, dan Tarkim. Dari kesemuanya itu, hanya
sembilan saja yang ikut dalam pendakian ini, yaitu Yuda, Diah, Atut, Rahmat,
Ida, Asro, Hasan, RB, dan Wahid.
Tantangan untuk saya karena tidak
seperti pendakian Merapi tahun lalu dimana masih ada ucup yang menghandel
pendakian, kali ini saya benar-benar sendiri menghandel pendakian dengan peserta
yang masih amatir. Selain itu, saya juga belum pernah melakukan pendakian lewat
jalur selo ini yang terkenal banyak terdapat percabangan. Waktu dua minggu saya
kira cukup ntuk melakukan persiapan pendakian ini.
Seminggu sebelum dilakukan pendakian,
perisapan-persiapan pendakian dimatangkan. Persiapan dalam melakukan pendakian
gunung sangat mutlak hukumnya. Terutama untuk para leader. Persiapan tersebut
meliputi tujuan, waktu pendakian, anggaran keuangan, peserta, transportasi,
perencanaan di lapangan, juga pelaksanaan di lapangan. Tujuan meliputi mencari
referensi tentang gunung yang akan dituju lengkap dengan peta gunung dengan
jalur pendakiannya, letak geografis juga adat istiadatnya. Waktu pendakian
meliputi waktu dilakukannya pendakian serta estimasi waktu. Anggaran keuangan
meliputi range-range pengeluaran untuk pendakian, biasanya dibagi untuk
kebutuhan individu dan kelompok. Peserta pendakian harus jelas, ini untuk
memudahkan menyusun rencana dilapangan dan transportasi. Perencanaan dilapangan
meliputi jadwal yang terperinci dari jam ke jam pada jalur pendakian serta
menentukan tempat untuk mendirikan tenda. Peralatan dan logistik yang akan
dibawa juga perlu diperhatikan.
Akhirnya waktu pendakian yang telah
ditetapkan datang juga. Sabtu, 11 Mei 2013. Sesuai dengan waktu yang
disepakati, peserta pendakian berkumpul di kost saya pukul 08.00. Atut adalah
yang pertama datang, telat beberapa menit. Namun ia hanya mampir sebentar,
kemudian pergi lagi untuk mencari sarapan. Setelahnya RB datang, ia marah-marah
karena peserta pendakian yang lainnya juga belum datang, padahal ia merasa
sudah telat. Ya, beginilah potret negeri kita, tepat waktu merupakan komoditi
yang langka, saya sendiri juga mengakui itu. Setelahnya saya tak begitu ingat
siapa lagi yang datang, tapi sebelum jam sembilan semua peserta sudah
berkumpul.
Setelah itu saya, Hasan, Asro, dan
Wahid mencari penyewaan perlengkapan yang belum ada seperti tenda dome, kompor,
beberapa SB, tas carrier, dan matras. Kami mulai menemui kendala. Rupa-rupanya
libur panjang akhir pekan ini benar-benar dimanfaatkan oleh banyak orang untuk
melakukan kegiatan diluar. Hal tersebut berdampak pada laris manisnya penyewaan
alat-alat kegiatan outdor. Saat kami mendatangi penyewaan semesta di utara
Peternakan UGM semua tenda dome sudah diboking jauh-jauh hari. Setelah
berputar-putar akhirnya kami mendapatkan tenda dome di penyewaan merapi, timur
perempatan concad.
Kami menyewa tenda dome kapasitas enam
dan kapasitas empat. Kendala belum selesai sampai disitu. Tenda dome yang
tersisa benar-benar dalam keadaan yang mengenaskan. Untuk yang kapasitas empat
masih lumayan ada rain covernya, meskipun dengan frame yang seadanya. Sedangkan
untuk kapasitas enam, tidak terdapat rain cover dengan frame yang benar-benar tidak
manusiawi. Ditambah lagi dengan resleting pintu yang sudah rusak. Namun, dari
pada tidak sama sekali akhirnya kami menyewa tenda dome tersebut.
Setelah packing dan mempersiapkan
semuanya, pukul 10.30 kami bersiap-siap berangkat menuju basecamp pendakian
merbabu di Selo, Boyolali. Jadwal ini jauh melenceng dari target, yaitu
berangkat pukul 09.00. Cuaca sangat panas.
Untuk sampai ke Selo, kami mengambil jalur lewat magelang, kemudian
menuju ke ketep pass. Dari ketep pass berbelok ke kanan, menurun menuju Selo.
Menurut informasi salah seorang teman (sebut saja Jalu), jalan Blabak-Ketep
Pass sedang dalam perbaikan. Hal tersebut pasti mengakibatkan kemacetan. Oleh
karena itu kami mengambil jalan alteratif, lewat Muntilan. Tepatnya lewat jalan
di samping klenteng muntilan, terus ke utara mengikuti jalan menuju ke arah
Ketep Pass.
Pemberangkatan menuju basecamp
Kami menggunakan teransportasi sepeda
motor untuk menuju basecamp merbabu. Ada lima motor yang digunakan. Saya
berboncengan dengan hasan, kemudian rahmat dengan atut, yuda dengan diah, asro
dengan ida, dan RB dengan wahid. Semua anggota laki-laki membawa tas carrier,
kecuali asro. Jadi total kami membawa enam tas carrier dan empat daypack.
Lumayan sulit untuk membawa barang-barang tersebut menggunakan sepeda motor.
Terpaksa anggota perempuan harus bersusah payah menggendong tas carrier yang
tinggi-tinggi tersebut.
Perjalanan dari kost saya menuju jalan
magelang lumayan macet. Lagi-lagi kami mengambil jalur alternatif lewat jalan
palagan untuk menghindari kemacetan di perempatan jombor. Memasuki kota
Muntilan, kemacetan berderet sangat panjang. Terutama dari arah timur, arah
kami. Rupanya sebelah ruas jalan sedang diperbaiki. Sepeda motor kami meliuk
mencari celah untuk bisa menerobos kemacetan. Cukup susah dengan barang bawaan
kami yang banyak. Menjelang masuk jalan searah kota muntilan kami bisa keluar
dari kemacetan. Di jalan samping klenteng Muntilan kami berbelok ke utara.
Namun rupanya yuda dan diah masih terjebak di kemacetan dan tertinggal di
belakang. Setelah di tunggu sekian lama di persimpangan jalan mereka tak
kunjung muncul juga. Rupanya mereka sudah lurus melewati persimpangan. Akhirnya
lewat telefon saya menyuruh mereka menuju lampu merah jalan searah dari arah
magelang, untuk kemudian berbelok ke utara, berkumpul disana. Setelah cukup
rusuh akhirnya kami kembali berkumpul lagi. Perjalanan pun kembali dilanjutkan.
Jalanan menuju ketep pass sudah mulai
nenanjak, bahkan di beberapa tempat sangat menanjak. Perlu perjuangan keras,
karena kami membawa barang yang tidak sedikit dan ringan. Kemudian dari ketep
pass, jalanan menurun menuju selo. Namun, jalanan kembali menanjak lagi.
Mendekati kota selo jalanan sudah cukup datar, hanya berkelak-kelok lumayan
banyak. Kami berkendara di antara gunung merapi dan merbabu, melewati lembah diantara
dua gunung ini. Namun sayang, cuaca tidak begitu cerah, berkabut. Padahal jika
cerah, pemandangan akan sangat menajubkan. Hawa dingin sudah mulai menusuk
kulit.
Setelah melewati kota kecamatan Selo, mengikuti
plang ke arah basecamp kami naik melewati jalan yang curam. Jalannya
benar-benar ekstrim dengan kemiringan yang amat sanyat. Belum lagi dengan kabut
yang menghalangi jarak pandang. Jalanan lumayan bagus, hanya di beberapa titik
perlu perjuangan untuk melewatinya. Dengan kabut yang semakin pekat dan tidak
tahu arah, kami pun tersasar beberapa kali. Dan beberapa kali juga harus
bertanya kepada penduduk setempat. Mendekati basecamp tiba-tiba hujan turun
sangat deras. Kebetulan ada ibu-ibu yang sedang bersih-bersih di salah satu
rumah. Kami pun memutuskan untuk berteduh sejenak dirumah tersebut. Si ibu,
dengan keramahan khas pedesaan mempersilahkan kami masuk. Tanpa malu lagi kami
pun masuk, bersepuluh memenuhi rumah tersebut. Hujan yang tak kunjung reda,
akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Si ibu sudah lama masuk
ke dalam rumah, sebenarnya kami merasa tidak enak hati menjajah rumah orang,
tapi apa mau dikata, hujan turun begitu derasnya. Setelah hujan sudah cukup
reda, karena sudah terlalu lama menumpang di rumah ibu tersebut, kami
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menggunakanb mantol.
Jalanan sangat menanjak, apalagi
dengan gerimis dan kabut yang sangat tebal. Beberapa kali kami sepeda motor
yang kami tumpangi tak cukup tenaga untuk menanjak. Sehingga, teman-teman
pembonceng harus berjalan mendaki bukit. Udara sudah sangat dingin, apalagi
dengan gerimis yang belum juga reda. Setelah perjuangan tersebut, pukul 14.30
tiba di basecamp. Basecamp pendakian merbabu via selo ada dua. Di bawah dan
atas. Tempatnya lumayan luas dan bagus. Walaupun tidak bisa dibandingkan dengan
basecamp Slamet via Bambangan yang benar-benar kelas VIP tentunya. Saat kami
tiba, basecamp sangat ramai, separuh sudah turun dan separuh lagi akan naik.
Rupanya efek liburan akhir pekan ini benar-beanr dimanfaatkan dengan baik untuk
mendaki gunung merbabu.
Setelah sholat dan mempersiapkan
semuanya, pukul 15.40 kami pun bersiap untuk naik. Cuaca tadi sudah mulai
cerah, namun tiba-tiba hujan sangat deras lagi. Setelah sudah lumayan reda
kembali kami naik. Begituah cuaca di gunung, benar-benar tidak bisa diprediksi.
Sangat fluktuatif, dengan segala kemungkinan. Karena itulah, gunung itu bukan
tempat untuk main-main, bukan pula untuk para pendaki karbitan. Butuh persiapan
entah itu fisik maupun mental dari setiap pendaki. Gunung bukan tempat
rekreasi, jadi jangan pernah meremehkan gunung. Oleh karena itulah pendakian
gunung merupakan salah satu olahraga yang berbahaya. Gunung adalah tempat
orang-orang gila, begitu kata RB. Mengahbiskan uang, tenaga, waktu, hanya untuk
mendaki dan turun lagi. Hanya logika gila yang bisa memahaminya. Tapi, sekali
saja kalian berkunjung, mencumbu sensasinya, maka dijamin kalian pasti
ketagihan. Begitu pula dengan saya. Karena buat saya, gunung mengajarkan saya
banyak hal, yang tidak ada di kota, di kampus, atau dimanapun. Dan saya rasa
harga itu pantas untuk mendapatkan pengalaman hebat di gunung.
Sebelum pendakian, seperti biasa saya
akan meneriakan kode etik pegiat alam. (1) TIDAK MENGAMBIL APAPUN KECIALI
GAMBAR (2) TIDAK MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK (3) TIDAK MEMBUNUH APAPUN
KECUALI WAKTU (4) TIDAK MEMBAKAR APAPUN KECUALI SEMANGAT. Memang kami ini hanya
pendaki amatir, tapi bukan berarti kami pendaki karbitan yang tak bisa
menghargai alam yang hanya mendaki untuk wah-wah an saja mengikuti tren. Sebisa
mungkin kami berusaha untuk menghargai dan menjaga alam, dimulai dari diri
sendiri.
Gapura gerbang pendakian
Berbekal dengan peta dari basecamp dan
catatan informasi yang saya kumpulkan jauh-jauh hari kami pun berangkat naik.
Berbeda dari jalur pendakian gunung-gunung lainnya di jawa tengah yang harus
melewati lahan penduduk sebelum memasuki hutan, pada jalur pendakian gunung
Merbabu via selo tidak terdapat lahan penduduk. Setelah melewati gerbang
pendakian pendaki langsung diajak memasuki hutan. Di
sekitar gerbang terdapat camping ground. Pada jarak
800 meter dari pintu masuk jalur pendakian akan ditemui sebuah persimpangan.
Jalur kiri (tanjakan) merupakan jalur pendakian, sedangkan jalur kanan (jalur
menurun) adalah jalur menuju daerah jurang warung yang dapat digunakan sebagai
lokasi birdwatching.
Jalur pendakian cukup landai, tidak
terlalu terjal. Kita dimanjakan dengan keindahan hutan pinus. Namun, hujan yang
baru saja reda cukup menyulitkan medan pendakian. Beberapa kali kami
mendapatkan bonus, yaitu jalan yang datar, tidak menanjak. Berdasarkan catatan
informasi yang saya kumpulkan, terdapat banyak percabangan untuk menuju pos I.
namun, menurut saya, percabangan tersebut tak begitu kentara, karena jalur
pendakian sudah benar-benar jelas. Jadi kecil kemungkinan
percabangan-percabangan tersebut menyesatkan para pendaki.
Tidak begitu jauh dari basecamp, masuk
lebih dalam ke hutan pinus, kami dusuguhi pemandangan eksotis. Yaitu segerombolan
burung sepah gunung dengan warnanya yang merah menyala. Segerombolan burung
sepah gunung tersebut terbang di antara pohon-pohon pinus di dekat jurang, atau
di kiri jalur pendakian. Sepertinya mereka tidak merasa malu dengan kami, atau
justru malah memberi semangat untuk kami. Beberapa kali juga kami melihat
lutung di beberapa pohon, meskipun letaknya jauh kedalam hutan.
Hutan pinus di jalur pendakian merbabu
via selo dengan jalur via wekas sangat berbeda. Pada jalur pendakian selo hutan
pinusnya lebih rapat dan bagus. Setelah jauh lebih kedalam hutan pendaki juga
akan disuguhi hutan heterogen yang sedikit mirip dengan gunung Slamet meskipun
dengan vegetasi yang lebih renggang dan tidak terlalu tua. Namun pemandangannya
tak kalah indah dengan pemandangan gunung Slamet. Banyak sekali terdengar kicau
burung, beberapa kali saya dapat melihat burung tersebut, meskipun tak bisa
untuk mengidentifikasinya.
Saat naik gunung, kunci nya adalah
pengaturan nafas dan bagaimana kemampuan tubuh beradaptasi dengan keadaan
gunung. Sebenarnya sudah saya katakan sebelumnya, bahwa untuk pendakian ini
mereka harus mempersiapkan fisik, setidaknya dengan joging. Dengan joging
sebenarnya kita bisa berlatih untuk mengatur nafas dan juga mempersiapkan
ketahanan tubuh. Namun sayangnya teman-teman pendakian ini tidak melaksanakan
nasehat saya ini. Teman-teman anggota pendakian mulai beradaptasi dengan
keadaan gunung, karena memang mereka tak terbiasa naik gunung. Ida dan diah
mulai kepayahan, montain sicknes mulai menyerang mereka. Pusing dan mual. Asro
yang memang hanya membawa daypack kemudian berinisiatif untuk membawa daypack
Ida, sungguh perbuatan yang sangat mulia.
Kelompok pendakian terbagi menjadi
dua. Kelompok pertama terdiri atas rahmat, RB, hasan, dan Wahid. Sedangkan
kelompok dua terdiri dari saya, asro, yuda, atut, diah, dan ida. Seperti biasa
saya bertugas sebagai sweeper. Kelompok satu dan dua tidak berjarak terlalu
jauh, seperti yang saya wanti-wanti sebelumnya. Karena memang banyak
percabangan -meskipun cukup mudah untuk membedakan mana yang jalur penduduk
mana yang jalur pendakian- dan juga masih kurangnya pengalaman naik gunung.
Jadi sebisa mungkin kelompok masih menjadi satu.
Pukul 17.00 akhirnya kami sampai di
pos I, Dok Walang. Cuaca masih cukup cerah sehingga belum begitu membutuhkan
penerangan. Kondisi fisik sudah mulai beradaptasi meskipun beberapa teman masih
juga kepayahan. Pos yang berupa sebidang tanah
ini berada pada ketinggian ± 2190 m dan masih berada pada zona hutan gunung
sehingga pemandangannya masih berupa pohon-pohon yang padat. Pos I umumnya
digunakan untuk tempat berisitirahat sejenak. Pelataran Pos I cukup
luas, bisa mendirikan 3-4 tenda.
Kami istirahat 10 menit di pos I ini.
Kelompok I dan II kembali berkumpul. Dari pos I perjalanan kembali dilanjutkan.
Dari pos I ini sudah tidak ada jarak antara kelompok satu dan dua, kami
berjalan bersama-sama. Hanya saja urutan jalannya masih tetap sama, karena
memang jalur hanya bisa dilewati oleh satu orang saja. Dari pos I jalan sangat
landai, banyak sekali jalan bonus yang hanya memutari bukit dengan kanan jalur
pendakian adalah jurang.
Setengah jam berjalan, jalan mulai
menanjak. Sepanjang perjalanan di isi dengan candaan-candaan untuk meringankan
lelah yang mulai terasa. Yuda sekarang membawa daypack diah, karena memang diah
sudah terlihat sangat lelah. Ya begitulah kalu membawa pacar naik gunung, harus
bertanggung jawab. Suasana sudah mulai gelap namun kami sudah mulai keluar dari
hutan.
15 menit kemudian kami sampai di
tikungan macan, pukul 17.45. Gerimis mulai datang, karena kabut sedang turun
sepertinya. Di tikungan macan ini kami sedikit tertipu. Kondisi fisik yang
sudah melemah dan konsentrasi yang menurun sehingga kurang jeli dalam melihat
plang. Sebenarnya di plang tersebut tertulis pos II masih 1 KM lagi, namun kami
mengira tempat ini adalah pos II. Kami istirahat sebentar di pos II ini.
Mempersiapkan jas hujan dan senter. Pukul 1755 kami melanjutkan perjalanan.
Tikungan Macan
Dari tikungan macan ini jalur
pendakian sudah mulai menanjak curam. Teman-teman pendakian terlihat sudah
mulai kewalahan menahan lelah yang mendera. Gerimis sudah lama reda, di
gantikan pemandangan bintang yang benar-benar aduhai. Bintang di bumi, dan
bintang di langit. Bintang di bumi adalah lampu-lampu kota yang sangat padat
dengan warna kekuningannya, seperti butiran emas. Benar-benar indah. Bintang di
langit adalah bintang yang sebenarnya, jauh lebih indah tentunya. Ada banyak
sekali konstelasi yang saling menumpuk membentuk sungai. Benar-benar indah.
Cukup untuk mengisi ulang energi kami.
Suasana semakin gelap saja, jalur
pendakian juga semakin curam. Beberapa teman pendakian juga sudah mulai
mengeluh. Oksigen yang semakin tipis di ketinggian yang semakin tinggi ini,
belum lagi saat malam hari kita para manusia berbut oksigen dengan
tumbuhan-tumbuhan. Mereka mengeluhkan pendakian malam ini. Padahal menurut
saya, lebih baik pendakian malam dari pada pendakian siang untuk gunung-gunung
dengan hutan yang tidak terlalu lebat seperti merbabu ini. Walaupun udara tipis
tapi entah kenapa saya lebih merasa lebih hemat energi, selain juga saat
pendakian malam kita tidak bisa melihat trek yang bisa membuat utus asa.
Pukul 18.40 kami sampai di area kamping
di bawah pos II. Di sini kami istirahat cukup lama untuk mengisi perut, karena
memang perut sudah berontak sedari tadi. Suasana sudah sangat gelap, bahkan
bertambah satu lagi yang drop fisiknya, rahmat. Berbeda dengan rahmat, atut
malah masih sehat-sehat saja. Benar-benar supergirl si Atut ini, padahal
sebelum memulai pendakian ini dia baru pulang dari bandun. Pantas saja dia bisa
mencapai puncak slamet. Di tempat ini terlihat pemandangan yang sangat
menajubkan, bintang terlihat jelas, karena memang sudah keluar dari hutan. Asro
juga sempat melihat beberapa kunang-kunang.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kini
Ida dan diah sudah membawa tasnya sendiri. Karena jalan yang semakin curam akan
sangat sulit kalau harus sambil membawa daypack di depan. Naik ke atas sedikit
ternyata kami menemui plang pos II, Pandean. Rupanya ini pos II yang
sebenarnya. Saya benar-benar frustasi karena rupanya perjalanan masih sangat
jauh sementara jalan semakin curam, ditambah lagi sebagian besar anggota
pendakian sudah sangat lelah. Fisik sudah sangat terkuras. Untung saja cuaca
sangat cerah dan cukup untuk menghibur jiwa-jiwa lelah ini.
Dalam perjalanan kami berjumpa dengan
keluarga pendaki. Yakni terdiri dari dua orang bapak-bapak, seorang ibu-ibu dan
dua orang anak kecil satu anak laki-laki yang masih TK dan satu lagi anak
perempuan yang mungkin sudah SD kelas 4 atau 5. Keluarga ini berasal dari
jakarta, sungguh keluarga yang benar-benar hebat. Esok lusa saya juga ingi
punya keluarga seperti itu. Berkeliling dari sati gunung ke gunung lainnya,
dari satu taman nasional ke taman nasional lainnya, ngetrip bersama orang-orang
tercinta. Esok lusa kawan, jika kalian atau kenalan kalian mendaki sebuah
gunung dan bertemu keluarga pendaki, boleh jadi itu keluarga saya kawan.
Keluarga pendaki dari jakarta
Beberapa kali kami harus beristirahat
untuk mengambil nafas. Jalan sangat curam. Tanah yang basah sangat menyulitkan
pendakian. Bahkan Wahid sedari basecamp tidak menggunakan alas kaki karena
sandalnya (swallow) tidak memungkinkan untuk di pakai di jalur ini. Semua
anggota sudah sangat lelah, namun perjalanan harus tetap dilanjutkan, karena
memang masih sangat jauh. Jalur sangat terjal dan curam, butuh perjuangan
ekstra untuk menaklukannya. di sini kami sudah mulai menemui pohon-pohon
edelweis di kanan dan kiri jalur pendakian.
Akhirnya sekitar pukul 20.15 kami
sampai di pos III, Batu Tulis. Pos III adalah tempat terbuka yang cukup luas,
di tengahnya terdapat sebuah batu yang cukup besar. Pos
III berada pada ketinggian 2590 mdpl. Pemandangan di pos ini sebenarnya
sangat indah, namun sayang suasana sangat gelap dan lelah yang semakin
mendekati puncaknya memaksa kami untuk mengabaikannya. Banyak terdapat
Edelweiss yang tumbuh tinggi dan besar sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Pemandangan dari pos III cukup lapang dan dengan cuaca yang
cerah kami dapat melihat merapi di seberangnya. Setelah pos III ini jalan
terlihat sangat menanjak, namun ditumbuhi banyak sekali pohon edelweis. 200
meter dari pos III dapat dijumpai sebuah nisan memoriam alm. Heri Susanto,
seorang pendaki asal Surabaya yang mengalami kecelakan pendakian pada tahun
1997.
Dari pos ini perjalanan kembali
dilanjutkan. Saya sekarang tidak lagi menjadi sweeper. Saya berjalan di depan
sendiri. Selain karena untuk memilih jalur yang lebih nyaman untuk didaki tapi
juga karena saya sendiri sudah mulai putus asa dan tidak sabar apabila terus di
belakang. Dan saya takut kalau tidak ada yang menyemangati di depan pendakian
akan lebih lama lagi. Jalur setelah batu tlis memang benar-benar terjal dan
medan yang susah. Untung saja hujan sudah lama berhenti, dan medannya sudah
lumayan kering. Sehingga medan terjal dari tanah ini tak begitu becek.
Jalur pendakian sangat terbuka, bisa
saya bayangkan apabila mendaki siang hari. Pasti sangat panas dan menguras
energi. Hawa dingin sudah sangat menggigit kulit, belum lagi bercampur dengan
keringat yang begitu lembab. Keadaan yang gelap membuat kami tak begitu
memperhatikan trek sehingga tak begitu membuat putus asa. Jalanan yang sangat
terjal ini memaksa kami merangkak dan sering sekali berhenti.
Saya selalu menjaga jarak agar tidak
terlalu jauh dari teman-teman di belakang. Sejak batu tulis saya juga mengalah
untuk membawa tenda dome yang dari bawah tadi bergantian di bawa RB dan Hasan.
Saya yakin mereka akan sangat kesusahan membawa tenda dome ini dengan medan
yang amat susah ini. Saya sendiri juga merasa kesusahan, belum ditambah tas
carrier yang saya bawa terasa semakin berat saja. Saya sendiri juga sudah amat
lelah, namun pendakian harus terus dilanjutkan menuju tempat yang nyaman untuk
membuat tenda dome.
Setelah melewati bukit yang sangat
terjal dengan jarak yang lumayan jauh akhirnya kami sampai di pos IV, Sabana I.
saya lupa jam berapa yang pasti sudah sangat malam. Sabana I berada pada ketinggian ±2770 mdpl. Saban Vegetasi
di sabana I ini berupa padang rumput yang sangat luas dengan beberapa pohon
edelweis yang menjulang tinggi. Bukit-bukit hijau seperti bukit teletubies akan
sangat indah apabila siang cerah datang.

Awalnya
saya berniat untuk membangun tenda dome disini, mengingat kondisi teman-teman
yang sudah saangat kepayahan dan putus asa. Namun, ketika saya berputar-putar
mencari lokasi untuk membuat dome saya tidak menemukan tempat yang cocok.
Beberapa tempat yang cocok sudah ramai dipakai oleh pendaki lainnya. Tempat
yang tersisa adalah padang luas yang tak terlindung apapun dengan tanah yang
tidak begitu rata. Hal ini sangat riskan untuk membangun dome. Karena apabila
badai datang, tidak ada yang bisa melindungi dome, belum lagi tanah yang miring
akan sangat mengganggu kenyamanan dan sangat mungkin menjadi jalan air ketika
badai atau hujan datang.
Akhirnya
saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pos V, Sabana II. Sabana I
dan Sabana II terpisah oleh sebuah bukit yang lumayan tinggi. Apalagi dengan
kondisi fisik yang sudah sangat lemah. Namun saya terus memaksa semangat
teman-teman. Meskipun dengan amat sangat pelan dan sabar saya terus
menyemangati mereka. Saya menunggu dan menjaga jarak dengan teman-teman
dibelakang saya. Ketika sudah terlalu jauh saya berhenti sambil terus meneriaki
mereka. Menyemangati mereka tentunya. Stelah break sebentar, sebelum mereka
kembali berjalan saya berjalan terlebih dahulu untuk mencari jalan.
Bukit
yang harus dilewati sangat terjal dan curam dengan medan tanah yang apabila
hujan pasti sangat licin. Hanya beberapa langkah sudah break lagi. Berkali-kali
saya meneriaki teman-teman agar tetap semangat dan tidak salah jalur, karena
memang ada banyak jalur, meskipun berujung pada jalur yang sama namun memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda. Saya selalu berusaha untuk mencari jalan dengan
tingkat kesulitan yang lebih mudah dibanding yang lainnya.
Perjuangan
yang ekstra keras. Berkali-kali break. Berkali-kali menghela nafas.
Berkali-kali memandang langit mengais-ngais semangat. Bermodalkan cahaya senter
yang kian meredup, semeredupnya kondisi fisik yang semakin kelelahan. Akhirnya
saya berada di atas bukit, tinggal turun untuk menuju pos V, sabana II. Di sini
saya duduk menatap ke belakang, menikmati dinginnya malam sambil
berteriak-teriak menyemangati teman-teman yang masih dibelakang. Mengabarkan
kalau sabana II sudah tidak jauh lagi. Sebatang coklat terasa begitu nikmatnya
sambil menunggu teman-teman.
Akhirnya
senter dari RB sudah terlihat, ia yang pertama tiba setelah saya, kemudian
diikuti oleh atut. Kami bertiga pun membuka perbekalan makanan ringan untuk
menahan perut yang sudah sangat kelaparan. Kemudian hasan, rahmat, asro, dan
ida datang. Setelah mereka istirahat sebentar kemudian saya mengajak RB dan
Asro menuju Sabana II untuk membangun dome sambil yang lain menunggu wahid,
serta pasangan Yuda dan Diah yang sudah sangat kepayahan.
Kami
bertiga pun turun terlebih dahulu ke Sabana II. Di sabana II sudah terdapat
banyak pendaki. Pukul 10.30 kami sampai di sabana II. Sama seperti sabana I di
sabana II juga merupakan padang rumput yang sangat luas dengan pohon edelweiss
yang menjulang tinggi. sabana II terletak pada ketinggian ±2860 mdpl. Di sini
saya menemukan tempat kosong untuk membangun tenda dome yang kami bawa. Cukup
untuk dua tenda dome dengan kapasitas 4 dan 6, tepat di samping sekumpulan
pohon edelweiss. Sebenarnya saya berniat untuk membangun tenda dome di
jemplongan, seratus meter dari sabana II, tempatnya lebih terlindung. Namun
daya pikir, teman-teman lain sudah sangat kelelahan dan tidak kuat melanjutkan
perjalanan. Saya kemudian meminta RB dan Asro untuk mempersiapkan tenda dome,
karena saya harus naik kembali menjemput teman-teman lain untuk membawakan tas
diah dan ida yang memang sudah sangat kelelahan. Setengah berlari saya menuju
teman-teman yang saya tinggal tadi.
Akhirnya
kami semua sudah berkumpul di Sabana II. Saya mempersiapkan alat-alat untuk
membangun tenda dome dan alat memasak. Sejujurnya saya merasa sangat kerepotan,
karena disini hanya saya sendiri yang sudah terbiasa untuk membangun tenda dome
dan memasak dengan peralatan gunung. Tahun lalu ketika mendaki gunung merapi
bersama mereka ada ucup yang juga sudah berpengalaman dalam hal pendakian
gunung, sehingga saya tidak sendiri menghandel semuanya. Apalagi pendakian
Slamet kemarin, sebagian peserta sudah cukup berpengalaman.
Namun,
namanya juga belajar dan mencari pengalaman. Mungki lewat pengalaman ini akan
menambah pengalaman temanteman pendakian ini dalam mendaki gunung. Sambil
menyiapkan peralatan, saya juga sambil mengajari mereka sedikit demi sedikit
bagaimana menggunakan alat-alat memasak dan membangun tenda dome.
Perempuan-perempuan memasak dan laki-laki membangun tenda dome.
Akhirnya
tenda dome berkapasitas 4 untuk para perempuan sudah jadi. Saya masih cukup
repot bolak-balik membantu memasak dan membangun tenda dome kapasitas 6. Si RB
marah-marah karena Rahmat malah istirahat di tenda dome kapasitas 4 yang sudah
jadi, bukannya membantunya membangun tenda dome kapasitas 6. Mungkin rahmat
sudah merasa sangat kelelahan. Saya sendiri sudah merasa sangat kedinginan.
Celana pendek tanpa jaket dan embel-embel kehangatan lainnya. Beberapa kali
saya bergetar menahan dingin yang sangat menusuk. Tapi, tenda dome kapasitas 6
ini harus segera dirampungkan.
Dalam
kegiatan pendakian gunung memang benar-benar mengajari kita untuk bekerja di
dalam tim. Menekan ego masing-masing. Bagaimanapun tim adalah satu. Harus
saling membantu satu sama lain. Susah senang bersama. Di gunung sifat dasar
manusia, egoisme, benar-benar diuji. Saya mengatakan sifat dasar karena memang
begitulah yang namanya sifat egoisme. Manusia terlahir berasal dari egoisme,
sampai kapanpun sifat itu akan terus melekat, tinggal bagaimana kita
mengelolanya saja. Dan di gunung kita dipaksa belajar untuk mengelola sifat
yang satu ini.
Setelah
bersusah payah akhirnya kedua tenda dome telah berhasil di dirikan -terutama
tenda dome kapasitas 6 yang berbentuk absurb-. Saya kemudian melanjutkan untuk
membantu kegiatan masak memasak. Malam ini kami memasak sup dan nasi goreng. Di
gunung juga kita di ajari untuk bertahan hidup, meskipun dengan kemampuan
memasak yang pas-pasan. Urusan masak-memasak ini, meskipun kadang rasanya aneh tapi
tetap saja nikmat ketika di atas gunung bersuhu ekstrim dengan tingkat
kelelahan maksimal, bersama teman-teman pula. Dan yang paling romantis adalah
gemintang yang setia menunggui kami di atas sana, cuaca sangat cerah kawan.
Setelah
puas memasak dan RB berhenti mengomel kami bersiap untuk istirahat. Bintang
masih bertabur memenuhi langit kami. Tenda dome kapasitas empat diperuntukan
untuk para perempuan karena memang tenda ini jauh lebih nyaman dibanding yang
kapasitas 6. Saya dan yuda juga ikut bersama mereka. Sedangkan yang lain (RB,
Wahid, Hasan, Asro, dan Rahmat) harus mau mengalah berada di tenda dome
kapasitas 6 dengan penutup pintu yang macet. Udara masih sangat dingin.
12 Mei
2013
Pukul
01.30 dinihari saya terbangun karena hujan badai yang tiba-tiba datang.
Begitulah memang yang namanya gunung. Cuaca bisa berubah dengan sangat cepat.
Tak pernah bisa diprediksi. Dari cerah seketika menjadi badai. Namun, tenda
dome kapasitas 4 ini masih cukup kuat dan ampuh menahan hujan badai ini. Yang
saya khawatirkan adalah tenda dome kapasitas 6 tempat teman laki-laki dengan
pinti yang tidak bisa ditutup.
Benar
saja, RB sudah berteriak mengomel. Meminta saya membantu, namun apa daya saya.
Mantol sudah saya gunakan untuk menutupi tenda dome kapasitas 4 ini, dan rasanya
saya juga sudah terlalu nyaman di tenda dome ini. Saya benar-benar merasa
bersalah ketika tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya keegoisan saya ini telah
membatu dan memaksa saya untuk tidak melakukan apa-apa. RB semakin keras
mengomel di seberang sana.
Pukul
02.30 tenda dome kapasitas 6 ini sudah mulai basah, namun hanya bagian ujungnya
saja. Terutama di bagian yang saya tempati. Saya kemudian duduk untuk
menanyakan kondisi penghuni dome kapasitas 4 ini. Rupanya mereka semua masih
baik-baik saja, hanya bagian yang saya tempati yang sudah basah. Tenda dome
sebelah saya sudah tidak bisa membayangkan lagi. Saya dengar Asro keluar untuk
menutup pintu menggunakan mantol sementara RB masih saja mengomel.
Waktu
rasanya berjalan begitu lambat. SB yang saya gunakan sudah mulai basah dan
tembus ke jaket. Namun rasanya teman ayng lain masih baik-baik saja (Tenda dome
kap 4). Hanya saja Yuda juga seudah mengeluh kebasahan karena terkena pinggiran
dome yang sudah basay, karena ia juga tidur di pojokan. Sementara itu diah
merasa sangat kedinginan. Begitupun dengan Ida. Yang paling tenang dan tidur
begitu pulas adalah Atut yang tidur di tengah-tengah. Ia begitu lelap tertidu.
Saya sendiri sudah tidak bisa lagi tidur dengan semua kebasahan ini. RB masih
belum berhenti berteriak-teriak.
Seluruh
SB saya sudah basah, ditambah lagi dengan kaki yang tiba-tiba kram karena tak
kuat menahan dingin. Puku 04.30, hujan badai sudah mulai reda. RB masih
mengomel pelan. Dan saya tidak bisa membantu apa-apa.
Pukul
05.30 akhirnya saya keluar dome. Menjenguk tenda dome sebelah. Rupanya
kondisinya memang sudah sangat memprihatinkan. RB dan Wahid sudah tidak lagi
memakai SB, hanya menggunakan kaos. RB bahkan berkata kalau ia sangat takut
sekali akan mati karena rasa dingin. Kejadian ini persis seperti pendakian
merapi tahun lalu dimana salah satu tenda dome kebanjiran dan memaksa
penghuninya tidak tidur semalaman. Berbeda dengan RB dan Wahid, hasan, asro dan
rahmat masih bisa tidur. Bahkan rahmat tidur begitu tenangnya, hal ini yang
memancing RB terus mengomel. Saya benar-bena merasa bersalah. Sebagai leader
saya tak bisa melakukan apa-apa.
Namun
tetap saja dalam setiap kejadian, semenyakitkannya apapun itu, tetap saja ada
hal-hal yang biasa kita tertawakan. Sebelum beranjak tidur RB dan Wahid
bergurau bagaimana asiknya tidur sambil memandang bintang-bintang yang saat itu
memang masih cerah. Namun cuaca berubah sangat cerah, dan hujan badai pun
datang. Dan mereka menjadi korban yang paling menderita.
Seperti
yang sudah saya katakan, dalam pendakian gunung kerja sama tim adalah hal yang
paling penting. Dalam pendakian ini mungkin Tuhan berbaik hati untuk mengajari
mereka, dan saya tentunya untuk bekerja sama dengan orang-orang dengan tingkat
keegoisan masing-masing. Untuk menekan ego diri sendiri. Dalam keadaan seperti
itu juga kami di ajari untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Bukan
hanay mengomel terus mengomel atau membiarkan sifat egoisme menguasai diri. Dan
pengalaman ini seharusnya bukan untuk dikutuki, tapi sebagai pengalaman
pembelajaran yang harus disyukuri dan ditertawakan bersama-sama. Menjadi cerita
untuk esok lusa.
Cuaca
sudah cukup cerah dan tidak terlalu dingin. Kami semua keluar tenda dan
membahas kesengsaraan malam tai. Saling mengomel, saling tertawa. Puncak
Merbabu sudah terlihat, walaupun saya tidak tahu kalu ternyata bagian atas
bukit merupakan puncak merbabu. Kondisi fisik teman-teman sudah sangat drop
oleh pendakian malam tadi juga oleh badai yang tiba-tiba datang membuat kami
tak tidur semalaman. Gunung merapi begitu anggun disebelah selatan. Matahari
sudah semakin naik.
Puncak merbabu dilihat dari sabana II
Dalam pendakian gunung puncak bukanlah
segalanya. Melainkan proses menuju puncak. Hal ini kadang terlupakan, terutama
oleh pendaki-pendaki karbitan yang hanya mengikuti tren. Dalam proses menuju
puncak inilah sebnarnya gunung mengajari kita banyak hal. Seperti kerjasama dan
egoisme yang sudah saya katakan tadi. Dalam proses itu para pendaki juga
belajar bagaimana mengenali keadaan diri sendiri. Untuk mengukur kemampuar diri
sendiri. Karena itulah dalam pendakian gunung dikenal istilah STOP. STOP ini
jika kita urai menjadi Stop-Thingking-Observe-Planning. Stop berarti berhenti.
Thinking berarti berfikir. Observe berarti mengamati. Planning berarti
merencanakan. Dalam keadaan darurat seorang pendaki harus mengamalkan istilah
STOP ini. Karena yang namanya nekat dan berani itu berbeda. Nekat itu bertindak
tanpa memperhitungkan keadaan, sementara berani itu selalu memperhitungkan keadaan
sekitar dan dirinya sendiri. Keyakinan adalah bahan bakar sebuah keberanian.
Seorang pendaki yang bijak tahu kapan harus STOP dan kpan harus terus. Sama
halnya dengan kehidupan. Seseorang boleh bermimpi setinggi langit, namun ia
harus tahu mana yang cita-cita dan mana yang hanya khayalan semata. Hal
tersebut hanya bisa ia lakukan ketika ia benar-benar mengenal dirinya sendiri.
Karena manusia itu bukan makhluk sempurna yang tak memiliki batasan. Berpasrah
bukannya menyerah, berhenti bukannya tak berani. Gunung memang selalu mengajari
kita banyak hal. Karena itulah, mengingat kondisi fisik teman-teman yang sudah
sangat drop saya menawarkan dapakah tetap lanjut ke puncak atau tidak. Mereka
harus berfikir baik-baik dalam mengambil keputusan, mengenali kondisi
masing-masing.
Setelah berfikir sejenak,
membandingkan keadaan fisik dengan medan yang akan dilalui, teman-teman
memutuskan untuk tidak naik kepuncak. Kecuali atut dan hasan. Atut terlihat
sangat bugar dan yakin, benar-benar supergirl dia itu. Terang saja, ia tidur
semalaman. Hasan juga begitu, meskipun terlihat tidak sebugar atut tapi ia sama
yakinnya dengan atut. Ini akan menjadi puncak pertamanya, dan ia benar-benar
menggebu. RB sebenarnya ingin mendaki ke puncak. Namun ia terlihat masih sangat
ragu antara iya atau tidak, dan saya kemudian melarangnya karena keraguannya
itu. Akhirnya pukuk 05.55 saya mengantar Atut dan Hasan menuju puncak merbabu.
Saya, hasan dan atut naik menuju puncak Merbabu
Saya mengantar atut dan Hasan ke
puncak dengan membawa daypack yang berisi air minum dan roti. Cukup untuk
sarapan kami nanti selama perjalanan. Sebelum mendaki bukit jalanan datar,
bahkan sempat menurun ketika mendekati bukit. Tepat dibawah tanjakan menuju
puncak terdapat tempat yang bernama jemblongan yang tadinya akan kami gunakan
sebagai tempat kemping. Jemblongan ini dilindungi oleh pohon-pohon edelweiss
yang menjulang tinggi. Dari sini kami harus mendaki sebuah bukit untuk selanjutnya
menuju puncak merbabu yang masih berjarak 1,1, KM lagi.
Puncak masih 1,1 KM lagi bung !!
Pemandangan yang sangat indah di depan
mata, sekaligus pemandangan yang mencengangkan, karena kita memandang jalur
medan terjal yang harus kita tempuh untuk menggapai puncak gunung Merbabu.
Berbalik arah pemandangan ke arah Gunung Merapi juga sangat indah sekali. Cuaca
sangat cerah dan panas. Bila kita berjalan dengan cermat sekitar sekitar 25
meter di sebelah kanan jalur akan kita temukan sebuah batu berlobang yang
keramat.
Pemandangan gunung Merapi dari tanjakan menuju puncak Merbabu
Jurang-jurang dengan taman edelweis
dan padang sabana yang hijau menemani kami sepanjang perjalanan naik. Benar-benar
pemandangan yang sangat menajubkan. Cukup untuk sarapan semangat sepagi ini.
Jalanan terjal yang bermaterial tanah sangat menyulitkan. Beberapa kali kami
mengambil nafas dan istirahat untuk melemaskan otot-otot kaki dan memompa
semangat.
Padang Edelweis dan bukit hijau
Setengah jam berjalan kami istirahat
sejenak untuk mengisi perut sambil menikmati pemandangan yang disajikan dibawah
sana. Kami baru saja berhasil mendaki bukit pertama dan dari sini puncak sudah
terlihat. Tinggal sedikit lagi !!
Akhirnya, pukul 06.50, setelah
perjuangan yang melelahkan kami sampai di puncak triangulasi. Puncak
triangulasi merupakan puncak tertinggi gunung merbabu, sama halnya dengan
puncak kenteng songo. Ketinggian puncak merapi adalah 3142 mdpl. Puncak
triangulasi merupakan lahan yang cukup luas, tapi manurut saya tak ada yang
berani untuk membangun di sini karena letaknya yang sangat terbuka. Sedikit
kebawah dari puncak teriangulasi ada sedikit ruang untuk kemping, sedikit
terlindung puhon dan puncak triangulasi. Dari sini pendaki bisa melihat gunung
sindoro dan sumbung menjulang tinggi di sebelah barat. Dari sini gunung merapi
juga terlihat sangat megah. Pemandangan dari puncak triangulasi ini benar-benar
keren. Selain dapat melihat jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian wekas
kita juga bisa melihat bukit teletubies hijau pada jalur pendakian lewat selo.
Dari sini seaya bisa melihat cukup jelas sabana II tempat kami membuat tenda
dome.


Pemandangan gunung merapi, sindoro, dan sumbing dari puncak triangulasi
|
Setelah menikmati puncak triangulasi
kemudian hasan dan atut menuju puncak kenteng songo. Saya sendiri menunggu di
puncak triangulasi. Puncak kenteng songo berada 10 menit di sebelah timur.
Letaknya sejajar dengan puncak triangulasi. Hanya tinggal turaun kemudian naik
sedikit. Puncak kenteng songo adalah lahan luas sama seperti puncak
triangulasi. Di puncak kenteng songo terdapat kenteng atao batu berlubang.
Menurut cerita dinamakan kenteng songo karena batu berlobang yang ada di puncak
kenteng songo terdapat sembilan buah, atau songo dalam bahasa jawa. Namun yang
bisa di pandang dengan mata telanjang hanya empat buah, selebihnya hanay bisa
dipandang dengan mata batin. Entah benar atau tidak cerita ini bisa kalian
buktikan sendiri. Yang punya mata batin tentunya.
Puncak kenteng songo
Sambil menunggu hasan dan atut di
puncak triangulasi saya berjumpa dengan dua orang pendaki dari jogja juga, dari
godean. Mereka juga naik dari jalur selo. Kami pun bercerita tentang badai
semalam. Saya bercerita tentang kondisi dome yang mengenaskan sehingga
teman-teman yang lain tidak bisa naik ke puncak. Sementara itu mereka bercerita
tentang sesuatu yang sangat mengejutlan. Rupanya mereka tidak membawa tenda
dome. Para survival ini hanya menggunakan mantol, SB, dan matras. Mencari
tempat berlindung di jemblongan. Dari cerita mereka saya mendapat pengalaman
baru saat menghadapi badai. Seharusnya saat mendaki kita membawa raincoat
(setidaknya mantel individu) dan mantel yang lebar (mantel batman). Sebelum
masuk kedalam SB terlebih dahulu kita menggunakan mantol individu atau
raincoat. Sedangkan mantel batman kita gunakan untuk membungkus tubuh yang
sudah memakai SB. Cara ini bisa menanggulangi tenda dome yang mengenaskan
seperti malam tadi dalam menahan badai, bahkan saat tak ada tenda dome sama
sekali. Hal ini seharusnya saya lakukan semalam. Setidaknya ini menjadi
pengalaman tambahan untuk kedepannya. Memang selalu saja menyenangkan berbagi
kisah dengan para pegiat alam bebas. Banyak hal-hal menarik yang bisa dibagi
dan dipelajari.
Beberapa menit setelah para survival
tersebut turun akhirnya atut dan hasan tiba kembali di puncak triangulasi.
Cuaca sudah cukup panas dan kabut sudah mulai naik menutupi jalan turun. Pukul
08.10 kami memutuskan untuk turun kembali ke sabana II. Ternyata pemandangan
jalur wekas ini benar-benar hebat. Tadi saat naik saya tidak begitu
memperhatikannya. Bukit-bukit hijau dengan edelweiss di lembah-lembahnya. Kabut
tipis menyelimutinya sesekali, mengaburkan keindahannya namun justru menambah
keromantisannya. Saat turun ini kami berjumpa banyak sekali pendaki yang akan
naik ke puncak. Sapa dan senyum menjadi pengikat di antara pendaki. Saat turun
saya berlari terlebih dahulu sambil tetap memperhatikan jarak dengan atut.
Sungguh menyenangkan berlari turun dari puncak gunung dengan semua pemandangan
nya yang indah ini. Rasanya benar-benar menyenangkan.
Pemandangan saat turun dari puncak
Pukul 08.50 kami sampai kembali di
Sabana II. Tadi saat turun saya sempat melihat burung anis gunung di jemblongan
sedag memakan cacing. Awalnya saya kira burung jalak karena morfologinya yang
mirip sekali dengan jalak, namun ketika sudah sampai dijogja saya berdiskusi
dengan salah satu teman dan ia berkata bahwa itu burung anis gunung. Burung
yang juga banyak terdapat di gunung Lawu.
Saat saya, atut, dan hasan naik ke
puncak merbabu ternyata teman-teman yang lain naik ke bukit di sabana II untuk
melihat pemandangan. Ternyata dari sabana II ini emandangannya juga sudah cukup
bagus. Bukit teletubies yang hijau enjadi primadonanya. Ditambah pula dengan
kemegahan gunung Merapi diseberang sana, pemandangan yang benar-benar indah.
Sambil menunggu kami pulang tadi rupanya mereka sudah bersiap-siap untuk
packing dan makan. Saya yang belum sarapan akhirnya memasak sayur-sayuran yang
belum dimasak oleh teman-teman. Sayur kacang dan jamur, sarden kaleng, serta
mie sebagai sumber karbohidratnya. Benar-benar sarapan yang bergizi.
Hasil masakan saya rupanya tidak
begitu buruk. Cukup lezat, apalagi tumis kacang dan jamurnya, mungkin perut
yang sudah kosong menjadikan makanan apa saja yang masuk menjadi lezat. Asro
bahkan mengemiks semua makanan tersebut dalam dua potongan roti tawar plus
selai kacang, sendwich katanya. Benar-benar eksperiman yang tidak patut di
contoh. Hehe
Setelah puas mengisi perut dan packing
akhirnya pukul 10.15 kami turun menuju basecamp. Setelah berdoa bersama kami
pun meluncur turun. Saat proses turun ini kami menikmati pemandangan yang
semalam kami abaikan karena gelap dan lelah. Pemandangan di sabana I dan II
memang benar-benar indah. Kami berjalan di antara bukit-bukit teletubies yang
hijau dengan rumput-rumputnya yang khas. Sambil memandangi merapi yang megah di
seberang sana. Kabut yang sesekali naik juga menambah sisi romantisme
tersendiri. Menyelimuti pohon-pohon edelweis yang sayang sekali belum berbunga.
Akan sangat indah jika ditambah dengan taman edelweis yang sedang bermekaran.
Cuaca cukup cerah dengan langit yang benar-benar biru dan awan yang menggumpal
di bawah sana layaknya kapas yang begitu lembut.
Pemandangan di sabana I dan II
Kami istirahat sebentar di sabana I
untuk menghela nafas dan menikmati pemandangan yang sangat indah ini.
Perjalanan turun kembali dilanjutkan menuju pos III, Batu tulis. Sebelum turun
saya sempat melihat seekor burung opior jawa. Kabut sudah mulai naik,
mengurangi jarak pandang. Saat turun ini kami juga dapat melihat jalur yang
kami lewati semalam. Jalan turun sangat ekstrim. Jadi seperti inilah jalan yang
kami lewati saat naik semalam. Pantas saja sangat menguras energi. Namun harga
itu cukup untuk membayar pemandangan yang sungguh eksotis ini. Curam-curam
bukit dengan taman edelweiss yang terselimuti kabut tipis putih.
Pemandangan saat turun menuju batu tulis
Dari batu tulis perjalanan kembali
dilanjutkan menuju basecamp. Atut dan asro berjalan dengan sangat cepat di
depan sendiri sementara saya menemani pasangan emas, Yuda dan Diah di belakang
(hehehehe). Saat turun ini adalah proses yang paling susah dalam pendakian
gunung. Energi yang sudah drop ditambah passion yang sudah melemah. Berbeda seperti
saat naik yang menggunakan puncak sebagai passion yang mempompa semangat. Saat
turun passion tersebut sedikit menurun.
Saat turun sebenarnya kondisi fisik
tidak begitu penting. Yang terpenting adalah kondisi kaki. Kondisi kaki yang
sudah terekspos saat naik akan sangat lemah ketika digunakan untuk turun.
Meskipun saat turun membutuhkan waktu yang paling hanya separuh naik, tetapi
energi yang di gunakan membutuhkan jauh lebih banyak, terutama ketahanan kaki.
Saat turun lebih baik terus berjalan meskipun tidak terlalu cepat. Jalan dengan
kecepatan yang konstan. Karena apabila terlalu sering berhenti maka justru akan
semakin menguras kemamampuan kaki. Hal inilah yang diterapkan oleh Atut dan
asro sehingga mereka berdua terus berjalan cepat di depan, hanya sesekali
berhenti.
Akhirnya pukul 13.30 saya sebagai
kelompok terakhir merangkap sweeper sampai kembali di basecamp pendakian. Saat
turun tadi saya sempat melihat dua buah raptor yang sedang swaring di dalam
hutan. Saat mendekati basecamp saya juga ditemani segerombolan burung sepah
dengan warna merahnya yang mempesona.
Untuk sahabat-sahabat saya di
pendakian gunung Merbabu 11-12 Mei kemarin. Pendakian kemarin benar-benar
mengesankan buat saya. Meskipun di beberapa bagian cerita tidak begitu
menyenangkan, kedinginan, lelah yang mendera, hujan badai, bahkan berujung pada
tidak naik ke puncak merbabu. Tapi, pengalaman itu mengajarkan saya banyak hal,
dari semua kesusahan itu ada banyak hal untuk bisa dipelajari. Seperti hidup,
ada banyak kejadian buruk yang kadang menyakitkan, kalau kita mau memaknainya
dengan pemahaman-pemahaman baik pasti hal-hal itu bisa mengajari kita menjadi jauh lebih baik. Esok
lusa mungkin kenangan-kenangan di gunung merbabu kemarin akan kita kenang
bersawa, kita tertawakan bersama. Dan esok lusa kalau Tuhan berkenan, bersama
kita menikmati keindahan edelweis yang sedang mekar di merbabu, dan
menyelesaikan pendakian puncak yang belum selesai.