Sebuah celah kecil,
tersembunyi dibalik batu-batu besar yang tersusun rapi.
Lupa untuk diperhatikan satu pasang mata yang selalu terjaga,
yang selalu sibuk mencari hal-hal besar di depan rumah yang sedang ia bangun.
Apakah ia lupa kalau hal besar ada karena hal kecil?
Seperti celah kecil di rumah besar yang belum jadi.
Mentari bersinar terang.
Sinarnya sibuk mencari-cari jalan.
mengejar kesana kemari celah-celah kecil yang bertambah satu setiap kali malam datang.
Saat mentari bersembunyi di balik bukit.
Apakah ia belum juga memperhatikannya?
Celah-celah kecil saling tertawa.
Manja digelitik sinar mentari pagi ini.
Tawanya saling menyahut, bergema disana sini.
Riang sekali ditingkahi burung gereja yang terbang bergerombol.
di depan rumah yang belum jadi.
Ah....
Ia, akhirnya tersadar, terbangun dari mimpi-mimpi dikala pagi.
Mimpi yang hadir saat ia terjaga,
saat mencoba melihat banyak hal di depan rumah yang belum jadi,
burung gereja yang terbang kesana kemari.
Bukankah tawa mereka memang keras?
mengagetkannya dari mimpi di pagi ini.
Sebelum kaki kembali melangkah...
Sebelum angin pagi kembali berhembus...
Sebelum detik kembali menunjuk angka lainnya...
Sebelum sinar mentari kembali berlari riang...
Sebelum pagi kembali menjemput siang...
Sebelum sepasang mata selesai menerka,
menyampaikan informasi ke otak yang kecil di kepala yang juga kecil.
Tawa riang celah-celah kecil itu terlalu keras.
Batu yang sudah tersusun rapi akhirnya jatuh berguguran.
Rumah yang belum jadi akhirnya roboh terbawa aliran waktu.
Kaki kembali melangkah...
Angin pagi kembali berhembus...
Detik kembali bergerak menunjuk angka lainnya...
Sinar mentari kembali riang berlari...
Burung-burung gereja kembali terbang...
Pagi kembali menjemput siang...
Sepasang mata akhirnya selesai menerka,
menyampaikan informasi ke otak yang kecil di kepala yang juga kecil.
Bahwa rumah yang belum jadi, telah runtuh
roboh oleh celah-celah kecil yang selalu ia lupakan.
Apakah ia akan tetap diam?
Sibuk dengan mimpi-mimpi dikala pagi.
Menyaksikan reruntuhan rumahnya,
seperti seorang turis yang terkagum-kagum akan peninggalan kejayaan dulu
Hingga kemudian angin membawanya pergi,
jauh berlari meninggalkan reruntuhan rumah yang belum jadi
Ataukah ia akan memungut batu-batu besar yang berserakan dimana-mana?
menyusunnya kembali satu-persatu.
Bertahap membangun rumahnya yang belum jadi dulu.
Tapi pastilah ia sudah belajar tentang celah?
Rumah yang sekarang ia bangun pastilah berbeda dengan rumahnya dulu?
"Proses pastinya memberikan banyak hal untuk dipelajari. Bukan hanya tentang kesakitan, tapi juga tentang kesenangan. Proses belajar yang akan menuntun manusia ketahap selanjutnya. Membangun satu tingkat rumahnya secara bertahap"
Kaki-kaki...
Angin pagi...
Detik-detik...
Sinar mentari...
Burung gereja...
Pagi dan siang...
Putaran waktu kembali membimbingnya berjalan.
"hidup memang soal pilihan"
Ia bebas terbang di atas langit, namun ia tetap terikat dengan bumi yang melahirkannya. Dengan cara itu lah ia tetap bisa terbang dengan bebas, menikmati langit biru dengan semburat jingga.
Kamis, 31 Mei 2012
Jumat, 25 Mei 2012
Tentang kebebasan
Hari ini, TV kembali disuguhi oleh sinetron-sinetron yang berkisah tentang mimpi, tentang imajinasi tanpa batas. Si pemeran utama yang selalu saja disakiti, kemudian mampu bangkit lagi, hingga suatu hari kemudian disakiti lagi. Mimpi tanpa batas, adalah khayalan yang tak pernah dapat tergenggam.
Kenyataan adalah batas dari setiap mimpi-mimpi.
Televisi, dulu adalah hiburan rakyat yang dapat mempersatukan semua lapisan, semua kasta. Aku pun masih ingat bagaimana indahnya menonton satria baja hitam sambil berdesak-desakan dengan anak kampung sebelah, atau ketika bersorak bersama ketika Solkjaer menceploskan gol kemenangan untuk timnya. Lalu untuk apakah sekarang televisi?
Tiap rumah pasti punya, dan di tiap rumah itulah bocah-bocah dicekoki dengan cerita khayal yang tak pernah berani memandang kenyataan, juga tentang kehidupan orang lain yang mereka tau, tapi sekalipun tak pernah mengenal mereka. kehidupan semu, kenyataan pun dianak tirikan, dan televisi mengatasnamakan kebebasan untuk melakukan itu semua.
Demokrasi akan kebebasan selalu menjadi nyanian mereka, bahwa bebas berkarya adalah jurus ampuh mereka untuk meninju kenyataan.
Mereka membuai bocah-bocah itu dengan dongeng khayalan, mencadi candu, dan akhirnya bocah-bocah ini lupa akan kenyataan. bahwa malam ini belum makan, juga esok entah masih bisa sekolah atau tidak, bahkan lupa akan mimpi-mimpi mereka masing-masing.
Kebebasankah yang membantu khayal mengalahkan mimpi??
buatku itu bukanlah kebebasan, itu hanyalah cara mereka untuk mengelabui kenyataan. Mnecoba berlari jauh, berlindung pada dunia mereka masing-masing. dan lebih menjijikan lagi mengajak bocah-bocah yang apa adanya kedalam dunia mereka..
Kebebasan menurutku adalah seperti layang-layang...
Tanpa benang yang kokoh, layang-layang akan jatuh ketanah. Tanpa pegangan, prinsip, kebebasan akan jatuh. Dan akhirnya hanya menyisakan kemunafikan...
bebas berkarya, bebas bermimpi. namun hati lah yang sebenarnya menjadi benangnya, hingga kita bisa leluasa untuk menerbangkannya...
Terbanglah jauh, melihat banyak hal. Belajar banyak hal...
Mengejar mimpi-mimpi, di balik gerombolan awan...
Esok lusa, ketika angin tak lagi berhembus, ketika semuanya terasa cukup.
Kembali lah ke tanah basah ini...
Bebas...
Tentang Pertentangan
Hari masih pagi, kabut tipis
belum beranjak pergi.
Menyelimuti dingin wajah-wajah
yang berbasuh air.
Tiga hari ini, rekor baru telah
kutorehkan, tiga hari bangun lebih pagi dari penghuni kost lainnya, berlomba
dengan kabut pagi, mencoba mengais-ngais dingin lewat tetes-tetes air kran, dan
melangkahkan pagi melewati kesunyian yang ditinggalkan malam…
Tiga hari ini aku bisa bangun
untuk sholat shubuh di surau ujung gang, berangkat sebelum adzan selesai,
sebelum setan berbisik mengajak kembali tidur, berselimut hangat..
Sisa-sisa energi ini, energi dari
pemahaman baru tentang rumah, selalu berhasil mengusikku dari tidur, mengajakku
melangkah menyusuri dinginnya pagi...
Hari-hari kemarin, tentang rumah,
mengajariku banyak hal. Tentang indahnya rumah, tentang kesederhanaan, dan
tentang indahnya penerimaan..
Energi ini sedikit memperluas
ruang kecil di pusat hati. Memberi ruang untuk memikirkan banyak hal, tentang
hidup, tentang goresan-goresan kisah yang mencoba untuk diartikan…
Juga tentang pertentangan. Tentang
dia, gadis kecil berwajah sayu...
Terkadang, energi ini juga cukup
untuk menenangkan hati, cukup untuk membelenggu goresan wajahnya. Meyakinkanku
bahwa sekarang lebih baik begini. Tapi terkadang energi ini malah berbalik
menikam. Mengajak berdiskusi, dan lagi-lagi keraguan itu muncul…
Energi ini, terkadang justru
merapuhkanku…
Ah, ketika pagi datang, adzan
subuh berkumandang, ada begitu banyak rasa tenang. Tapi bukankah ketika sepi
kita akan lebih bisa mendengar sesuatu, apapun itu. Dan disetiap pagi, aku bisa
lebih mendengar suara hatiku, ketika hati berteriak. Tentang pertentangan…
Dan Tuhan, mohon dengarlah
teriakan hati ini…
Apakah ini doa? Entahlah, apa aku
percaya dengan doa-doa.
Kemarin, ada teman yang tiba-tiba
bertanya, "ngga, kamu rajin banget ke masjid akhir-akhir ini, pasti lagi
ada maunya ya?"
Pertanyaan yang aku pun tak yakin
akan jawabannya. Karena aku memang tak tau apa mauku. Aku hanya ingin
menenangkan pikiran, mencoba melerai pertentangan. Dan energi dari rumah ini,
selalu berhasil mengajakku untuk menepi sejenak ke surau ujung gang. Aku ingin
Tuhan mendengarkan teriakan hatiku, bukankah Dia maha mendengar. Dan kemudian
Dia bersedia untuk membisikan apa yang hatiku ucapkan, karena aku tak
benar-benar mendengar teriakannya…
Mungkin yang temanku aneh dengan
kerajinanku ini. Mungkin ia mengira aku rajin akhir-akhir ini karena sedang
meminta sesuatu, lewat doa-doa..
Ah, aku hanya ingin menenangkan
pikiran, agar aku bisa labih mendengar apa yang diteriakan hatiku…
Bukan untuk memanjatkan doa yang
panjang-panjang. Karena sejujurnya aku tak begitu percaya akan doa-doa...
Bagiku, doa-doa hanyalah sebuah
ritual untuk meyakinkan diri sendiri akan menjadi seperti apa hari esok. Karena
takdir bukankah sesuatu yang sangat misterius dan rahasia. Tapi, bagiku doa-doa
pun tak sanggup untuk mengubah takdir-takdir yang sudah ditulis jauh-jauh hari.
Doa bagiku adalah bentuk lain dari optimisme akan hari esok, meyakinkan diri
sendiri…
Takdir sudah ditentukan, kita
hanya perlu menerima dan menjalaninya tanpa tau esok akan menjadi seperti apa
takdir membimbing kita…
Dan aku yakin takdirku juga sudah
tertulis, aku hanya perlu menerimanya…
Tapi aku terlalu takut, takut
akan hari esok akan menjadi seperti apa. Ketakutan inilah yang melilit kakiku
hingga sulit untukku melangkah. Apakah ini juga bagian dari takdirku?
Karena hidup adalah soal
keberanian menghadapi takdir, juga soal penerimaan akan takdir. Hari kemarin,
hari sekarang, dan hari esok…
Aku tak tau akan menjadi seperti
apa takdirku dan takdirnya, dan aku terlalu takut, bahkan hanya untuk
memikirkannya. Dan aku begitu takut untuk melangkahkan hari kaki, hingga aku
terjebak pada pertentangan ini…
Apakah menjadi sahabat itu yang
terbaik, ataukah hatiku mengingkinkan lebih dari ini…
Gadis kecil bermata sayu…
Tuhan, beri aku sedikit
keberanian untuk melangkah, untuk menuju takdirku. Dan berilah ketulusan untuk
menerima semua takdirku…
Untuk pertentangan hati, dan
untuk adzan subuh yang telah lewat…
RUMAH SEDERHANAKU
Kita mulai dari pengertian rumah,
mungkin pengertian rumah menurutku akan berbeda dengan pendapat kalian. Ah,
hidup memang tentang perbedaan, namun terkadang kita dengan sombongnya tak mau
mencoba untuk mengenal perbedaan itu. Rumah menurutku bukan sebuah kata benda,
bukan sebuah obyek ataupun subyek, tapi rumah menurutku adalah sebuah predikat.
Rumah menurutku bukan hanya sebuah benda yang beratap genteng, berdinding batu
bata, memiliki pintu di depan atu jendela di samping. Tapi rumah menurutku
hanya butuh sebuah ruang keluarga, bukan ruang secara konkrit, tapi ruang
abstrak untuk menempatkan berbagai cerita, berbagai kisah. Rumah adalah tempat
untuk pulang, hadiah bagi mereka yang mengarungi jauhnya jarak, dan lamanya
waktu.
Dulu aku tak begitu mengenal apa
itu rumah. Bagiku dulu, rumah hanyalah tempat untuk tidur, tempat untuk kembali
dari sekolah, dari dunia luar, rumah hanyalah sebuah penjara dengan jadwal
tetap, jadwal makan, jadwal tidur, jadwal pulang, ah, terlalu banyak jadwal…
Bagiku dulu, rumah hanyalah
sebuah tempat yang konkrit untuk bersembunyi dari semua dunia luar, dari semua
ketakutanku untuk hari esok. Aku selalu merasa rumah selalu menahan gerakku,
selalu menahanku ketika ingin berlari. Rumah membelenggu semua keberanianku…
Tapi sbenarnya aku juga banyak
ditolong oleh rumah, karena aku bisa lebih banyak mengenal kesepian, tapi
sebenarnya justru aku tak mengenal apa itu rumah…
Mungkin memang benar adanya, kita
akan lebih mengenal sesuatu ketika kita mencoba untuk melupakan. Bukan
melupakan, tapi berdamai lebih tepatnya. Kalian pasti pernah kehilangan sebuah
barang, kalian sibuk mencari-cari kemanapun, setiap sudut, tapi tak ada. Hilang
entah kemana, seolah-olah bumi menalannya, menyimpannya pada sebuah ruang
rahasia di bawah tanah. Tapi, ketika kalian sudah melupakannya, sudah berdamai,
menganggapnya hilang entah kemana,ringan melanjutkan hari tanpa sibuk
memikirkan barang itu, tiba-tiba barang itu sudah ada di depan mata, entah
siapa yang menemukannya, atau mungkin memang benda itu tak pernah kemana-mana.
Ah, indahnya berdamai…
Ketika aku
mencoba untuk menjauh dari rumah, mencoba untuk lari, mencoba berdamai dan
melupakan, justru rumah menarikku jauh kedalamnya. Tapi bukan rumah seperti
yang dulu, pengertian rumah yang baru. Hidup memang selalu banyak hal-hal baru,
bahkan dari hal-hal yang lama…
Semakin aku
jauh melangkah, semakin lama aku pergi, rumah semakin jelas ada dikepala
kecilku, semakin manis tersenyum. Dan aku bisa seikit mengenal rumah,
samar-samar kudengar di telinga…
Awal aku pergi
melangkah, mencoba menemukan banyak hal-hal baru, justru hal-hal lama, tentang
rumah, menyadarkanku bahwa aku belum mengenal apa-apa, bahkan tentang rumah.
Saat aku pulang ke rumah, ada perasaan lain yang kurasa, seperti bukan rumah yang
dulu, ada sesuatu yang berbeda. Semakin lama, semakin jelas. Ah, aku ternyata
memang belum mengenal rumah, bahkan sekarang pun hanya mampu kuartikan sedikit
saja…
Sudah dua hari
aku dirumah ini, rasanya semakin berbeda dari terakhir kali aku pulang. Aku
merasa lebih bayak hal tentang rumah yang belum ku kenal…
Dua hari di
rumah ini, memberiku banyak penjelasan…
Bahwa rumah
bukan subjek atau pun objek, rumah bukan kata benda, tapi rumah adalah
predikat, kata kerja. Akulah objeknya, akulah subjeknya, akulah kata bendanya…
Rumah adalah
cinta, tentang keceriaan, berbagi, pengorbanan, kasih saying. Ah, terlalu
banyak hal tentang rumah, kadang indah, kadang juga tak indah…
Tapi yang aku
tau tentang rumahku adalah kesederhanaan...
Rumah
sederhanaku ini terletak diperbatasan provinsi, ah kadang orang dari
kabupatenku saja tak tau ada daerah tempat rumahku berada, ada desa di ujung
barat. Mereka tak sadar kalau tanpa desaku ini maka tak akan jelas batas
wilayah kabupaten mereka, tapi mereka memang selalu saja melupakan desa kami
yang permai ini. Kebusukan pemerintah, tentang kesenjangan perhatian untuk kami
orang-orang yang ada dibatas wiayah. Aku selalu benci membicarakan ini…
Tentang
perbatasan ini, jika kau berteriak keras dari pinggir sungai besar samping rumah,
maka jika ada orang yang menyahut di seberang sungai, maka itu adalah suara
dari penduduk provinsi sebelah. Kami biasa menyebut mereka sebagai penduduk
sabrang. Pelesetan dari kata seberang sebenarnya. Dulu aku sering memancing
disitu, menangkap ikan, dan kalau sedang beruntung akan mendapat tangkapan yang
paling berharga, udang. Sering juga aku bermain di pinggiran sungai, mencari
jangkrik, serangga kecil untuk diadu kelahi atau adu bunyinya, semakin keras
dan nyaring suaranya maka semakin bagus jangkriknya, jangkrik sungon. Autau
kadang bermain sepak bola di penggiran sungai, berlari riang ketika ada peduduk
pemilik lahan ketika tau lahan tempatnya bercocok tnam digunakan sebagai
lapangan sepak bola. Pernah suatu hari kami riang bermain bola, tiba-tiba ada
yang meneriaki kami dengan embawa parang panjang, pemilik lahan, dan kami pun
lari terbirit-birit dengan riangnya, dan akulah tersangka utamanya. Kalau
sedang kesal dengan pemilik lahan, maka kami meminta sediki hasil taninya,
jagung, tapi tak pernah kami meminta secara langsung, mungkin kalian bisa
menyebutnya seba pencurian kecil. Dan asal kalian tahu, jagung hasil curian itu
lebih enak dari apapun, apalagi letika kalian memanggangnya bersama
teman-teman. Kenakalan masa kanak-kanak. Dan yang lebih menggairahkan adalah
ketika dengan bangganya memegang senapan angin, mengincar burung-burung kecil
yang hinggap di pohon besar di pinggir sungai, saying dari sekotak peluru
enhasilkan satu tangkapanpun. Oiya, sebelummengenal senapan angin, kami biasa
menggunakan ketapel, hebat bukan. Dan rahasia kecil dari sungi kecil kami dulu
adalah, ketika satu hari dalam satu tahun, entah pasal apa ikan-ikan seperti
mabok, tabi bukan karena racun, tapi entah karena apa, biar menjadi rahasia
kecil. Dan kami warga lembah sungai langsung mengadakan pesta penangkapan ikan
secara besar-besaran, keceriaan dipinggiran sungai kami. Namun aku hanya
berdiri di pinggir sungai, takut akan sungai besar dengan arusnya, karena
memang biarpun anak sungai aku tak pernah bisa berenang, omelan bapakku selalu
menghantui. Tapi ritual itu kini hanya tinggal cerita pengantar tidur saja,
misteri itu entah hilang dimakan apa. Rahasia kecil tentang ritual bernama woro. Dan sekarang kecriaan tentng
sungai itu telah tertinggal di belakang, menjadi bagian kecil dari potongan
hidupku, bagian kecil dari pengertian rumah yang aku tau sekarang. Dan sungai
itu hingga kini masih menjadi tumpuan hidup dari sebagian kami yang bertambang
pasir di dasarnya.
Tiga rumah dari
tanggul tinggi yang menahan air ketika banjir dari sungai itu, adalah rumahku
yang sederhana…
Rumah
Kabut tipis menggantung, adzan
subuh saling menyahut, kokok ayam saling berlomba. Ah, di jogja tak kan ada
yang seperti ini, dan pasti aku saat ini masih asik dengan mimp-mimpi malam,
dengan selimut kuning yang selama 3 tahun terakhir belum dicuci.
Dua hari lalu aku memutuskan
untuk pulang kerumah. Dan itu menjadi kabar yang mengejutkan untuk semua
kawan-kawanku di jogja yang merasa mengenalku. Ya, aku memang terkenal jarang
sekali pulang, bahkan ada salah satu kawanku yang asal bertanya,' hei ngga,
kamu sebenarnya punya rumah atau tidak? Jangan-jangan kamu sudah tak di anggap
oleh orang tuamu?' Sambil tertawa memang, ah itu semua kan hanya candaan..
Sebenarnya ada banyak hal yang
ingin aku jelaskan pada kawanku itu, tapi aku teringat akan diskusiku dengan
gadis bermata sayu, bahwa pengertian rumah menurut kita berbeda, ah, aku memang
selalu berbeda dengan dia, itu juga yang selalu dia katakan..
Salah besar jika menyebut aku tak
punya rumah, salah besar jika menyebut aku tak dianggap oleh orang tuaku. Karena
asal kalian tau kawan, orang tuaku adalah orang tua terhebat yang ada di dunia
ini. mamah adalah perempuan tercantik dan terkuat yang pernah ku tau, sedangkan
bapak adalah pria yang paling bertanggung jawab yang pernah kutemui. Kasih
sayang mereka benar-benar membuat iri siapapun, aku bak seorang raja kalau di
rumah, benar rumah impian siapa saja..
Tapi pengertian rumah menurut
kita berbeda. Menurutku,rumah adalah hadiah bagi siapa saja yang mengarungi
jarak dan waktu, tempat yang paling sesuai untuk pulang. Semakin jauh menempuh
jarak, semakin lama mengarungi waktu, rumah akan semakin terasa keberadaannya,
dan ketika menapakan kaki di teras rumah, akan selalu ada rasa yang berbeda,
rasa yang tak pernah terbayangkan
Rumahku adalah rumah yang penuh cinta. Ada
banyak keceriaan disini. Ketika beban hidup terlalu berat untuk dilewati, maka
rumah akan menjadi obat yang sempurna. Duduk diteras rumah, bercengkrama dengan
keluarga, bersalaman dengan tetangga, menjaga warung, adzan dan sholat di surau
samping rumah, atau di masjid baru di depan rumah yang baru jadi, menikmati
ribuan gemintang di atas langit malam, meresapi belaian angin malam, cengkrama
anak-anak SD yang pulang sekolah, berlarian dan berkejaran, berdiskusi apa yang
akan mereka lakukan setelah ini, mendengarkan dengan gemas rajutan adik kecilku
yang minta di antar kemana lah, beli apalah, atau menikmati butiran air yang
tumpah ruah dari atas langit, mengagum kekuatan langit yang bersinar terang,
menunjukan akar-akar bercahaya di atas langit, kemudian di ikuti dentuman
keras, menalahkan gemericik merdu air hujan. Ah, ada banyak hal di sini yang
terlalu indah. Dan keindahan ini, benar-benar aku mengerti setelah jauh aku
menempuh jarak, lama aku mengerungi waktu.. hadiah yang teramat indah..
Dulu aku tak peduli dengan semua
itu…
Tapi aku juga tak akan lama di
rumah, esok lusa aku akan kembali pergi. Bertemu dengan wajah-wajah baru,
menapaki jalan yang baru, mengukir kisahku. Rumah memang dipenuhi banyak cinta,
tapi aku hanya akan mengambil secukupnya saja, melahapnya hingga cukup kenyang.
Aku tak akan mapu untuk menampung semua cinta yang ada jika aku terlalu lama di
sini. Rumah itu seperti makanan ter enak yang pernah kalian cicipi, tapi jika
makanan itu terlalu banyak kalian makan, apa rasanya masih akan sama enaknya?
Mungkin malah kalian justru akan memutahkannya. Kerena itulah, ketika energy
yang kudapat dari sini terasa cukup, maka aku akan kembali pergi, mengarungi
cerita baru. Melihat banyak hal, mempelajari banyak penjelasan-penjelasan
Tuhan..
Esok lusa, ketika hati ini
kembali tenang, ketika aku benar-benar pantas untuk menentukan pilihan, ketika
energy terasa cukup untuk kembali menggores cerita, aku akan kembali pergi,
bertualang mengarungi hidup…
Menenangkan hati, menentramkan
pikiran, semoga kelak apa yang aku pilih tak kan pernah aku sesali…
Secangkir kopi pagi ini…
Hidup itu sederhana
Hidup itu sederhana,tinggal
dijalani apa adanya saja. Bagiku, hidup itu sudah di tentukan jauh sebelum
kehidupan dilahirkan. Takdir sudah ditulis dan jalan cerita sudah disusun
sedemikian rupa hingga tidak bisa diganggu gugat lagi. Tuhan telah lama menyusun
semuanya, menghitung dengan sangat teliti, hingga terciptalah keseimbangan
hidup.
Aku tak percaya tentang
keberuntungan dan kesialan. Bagiku tak ada hal yang sia-sia di dunia ini. Semua
hal, kecil maupun besar sama pentingnya untuk menyusun sebuah keseimbangan.
Jika kalian tersandung batu, itu bukan kesialan, tapi karena memang hidup
berkata seperti itu. Bahwa kalian memang harus tersandung. Tanggal itu, waktu
itu, jam itu, menit itu, bahkan detik itu. Semuanya sudah diatur dengan
sempurna. Sama halnya dengan keberuntungan. Jika kalian tiba-tiba menemukan
uang 50 ribu di tengah jalan, maka memang sudah seperti itu adanya. Karena
tuhan memang menuliskan seperti itu. Bukankah rizki, jodoh, kematian, musibah,
semuanya memang sudah digariskan.
Itulah yang dinamakan takdir.
Takdir tidak bisa ditawar dan
ditunda. Takdir adalah bentuk keseimbangan hidup. Ketika takdir sudah berkata
A, maka memang harus A. kalian tau
berapa jarak bumi matahari? Bagaimana kalau ada seseorang yang dengan jahilnya
mengurangi jarak itu satu km saja, kalian bisa bayangkan apa yang terjadi? Alam
semesta akan berantakan, semuanya akan hancur, dan tak akan pernah ada
kehidupan dibumi.
Tapi bukannya aku tak percaya
akan usaha dan optimisme, atau mengagungkan kepasrahan pada hidup yang tak
melakukan apa-apa. Bagiku, usaha dan optimisme harus tetap ada. Karena,
bagaimana pun juga hari esok tak pernah jelas, manusia tak diperkenankan
membaca suratan takdir. Manusia memang harus menjalani sebuah peran tanpa harus
membaca skripnya, tapi di tuntun langsung oleh kekuatan langit yang maha agung.
Hari esok mungkin akan menjatuhkan, atau malah menarik kita berlari dengan
cepat. Maka itulah, usaha dan optimism harus tetap ada, membimbing manusia
untuk melanjutkan cerita, melanjutkan peran masing-masing dengan tetap
menjalani hidup yang amat misterius.
Doa, adalah bentuk dari optimisme,
sebagai pemantas dari usaha-usaha yang sudah dilakukan. Bagiku doa memang
takkan merubah apa-apa, tapi dengan doa kita akan lebih yakin akan jalan yang
ditempuh, akan hari esok yang amat misterius. Doa dan optimisme membimbing kita
untuk tetap terjaga dalam kehidupan ini, entah siang atau malam, saat terjatuh
atau berlari. Doa adalah bentuk energy yang memberi gairah dalam hidup, untuk
menjeput hari esok.
Hidup itu sederhana dan apa
adanya, kita hanya harus melakukan apa yang terbaik yang bisa kita lakukan hari
ini. Apa yang terjadi hari esok, biarlah waktu yang akan menjawabnya..
Surat untuk Bulan
Bulan, sinarmu redup, menggantung
di ujung malam. Beberapa mencemoohmu, membanding-bandingkanmu dengan mentari.
Tentang kau yang selalu bergantung dengan sinar mentari, karena kau tak bisa
berpendar sendiri. Tentang sinar redupmu yang pucat menandakan keputusasaan.
Tentang kemunafikanmu yang selalu terlihat cantik padahal kau tak lebih dari
batu yang melayang di angkasa.
Namun kau tetap saja berputar
mengeliling bumi, melindungi bumi hinggga separuh sisimu bopeng oleh hantaman
meteor. Kau tetap berputar, dengan cara yang sama, dengan sisi yang sama, juga
dengan waktu yang sama, tanpa mengharapkan pujian dari kami. Itulah ketulusan.
Sekuat hati kau tetap tersenyum.
Pada kami yang selalu mencemoohmu. Lewat separuh sisimu yang bersih, yang
bersinar terang kala purnama menggantung di atas langit dan bersinar redup kala
sabitmu menghias langit. Menghibur kami, akan penatnya hari yang ditinggalkan
siang, juga kesepian yang ditiupkan angin malam.
Kau, separuh sisimu bopeng, namun
separuh sisimu yang lain tetap tersenyum manis. Ketulusan.
Tak peduli pada kenyataan bahwa
kau tak mampu berpendar sendiri. Bahwa kau tak bisa mengalahkan mentari. Tapi
hidup ini memang bukan tentang kalah dan menang. Bukankah itu yang selalu kau
bisikan lewat malam? Kau selalu hadir, ketika mentari beranjak pergi. Berusaha
mengais-ngais cahaya yang masih bisa kau raih, cahaya yang juga dicampakan oleh
mentari. Dan selalu saja kau berbagi dengan kami, orang-orang yang selalu mencemoohmu..
untuk sekedar menghangatkan juga menemani saat-saat gelap menggenggam erat
kenyataan. Karena malam menyandingkan kenyataan dan mimpi begitu jelas hingga
kami bingung untuk memilih, juga terlalu kenyang untuk melahap semuanya. Tapi
kau selalu disana. Menggenggam erat tangan kami, dan kau selalu berbisik "hidup ini sederhana, sesederhana aku dan
malam".
Bulan, kau memang sederhana. Kau
tak pernah punya keinginan lebih untuk berpendar terang seperti mentari, karena
kau takut membutakan mata kami. Kau hanya ingin melihat senyum kami, ketika
malam datang, atau ketika kesedihan ditiup badai selatan. Dan kau, selalu setia
mengantar kami berlayar dikala laut pasang. Menjemput mimpi-mimpi di ujung
samudra. Kau tau kau akan dilupakan, juga dicemooh seperti apa yang selalu kami
lakukan. Tapi kau tetap disana, membawa segenggam harapan, untuk ditanam esok
pagi, ketika mentari benar-benar datang, kau ada untuk dilupakan.
Bulan, pernah ketika kau tertutup
bayangan, saat gerhana datang. Tapi bukankah itu kau apa adanya, saat kau tak
mampu lagi meraih sinar mentari. Karena kau memang tak mampu berpendar sendiri.
Dan untuk putaran waktu kala itu, kau benar-benar menjadi dirimu apa adanya.
Dan saat itu kau berbisik pelan "beginilah hidup, waktu selalu berputar,
dan ada satu waktu dimana kita menjadi diri sendiri. Namun terkadang kita tak
pernah menyadari itu, mungkin kita terlalu naif untuk mengakui itu. Atau kita
sudah dibutakan oleh penggambaran siapa diri kita. Karena memang, kita tak
pernah tau siapa kita ini, bahkan hingga akhir hayat kita"
Bulan, aku tau kau kuat, terlihat
lewat senyum ceriamu kala purnama. Tapi aku juga tau kalau kau rapuh. Kau
selalu tersenyum manis, tapi sebenarnya kau terluka, kau selalu kesepian, lebih
sepi dari siapapun yang mencemoohmu. Karena kau tak bisa berpendar sendiri,
begitulah kenyataannya. Kau selalu berusaha terlihat tegar, dengan purnamamu
yang indah. Namun aku tau bahwa kau sebenarnya sedang menangisi kenyataan,
bahwa sinar indahmu bukan berasal dari reaksi fusi di intimu. Kau selalu
terlihat ceria, demi kami yang selalu mencemoohmu.
Bulan, aku berjanji tak kan lagi
mencemoohmu. Berkurang satu orang yang mencemoohmu.
Bulan, Tuhan tak menciptakan kita
dengan kesempurnaan. Hingga kadang kita tak mampu mengartikan penjelasan-penjelasan
hidup. Itu wajar, dan memang pasti terjadi. Suatu saat kita pasti pernah berada
di titik terendah. Jadi berhentilah berpura-pura tegar dengan senyum manismu
itu. Aku sudah berbagi kesedihanku di tiap malam kau hadir di langit sana, maka
bagilah kesedihanmu itu. Mungkin bukan sekarang, karena terkadang ada beberapa
potongan hidup yang lebih baik untuk disimpan sendiri. Jadi aku akan menunggu
hingga suatu hari kelak kau bercerita tentang semua kesedihanmu. Hingga hari
itu tiba, aku akan berusaha untuk tidak menanyakan apapun, aku hanya kan
mendengarkan.
Bulan, aku ada disini dan akan ku
genggam erat sinarmu. Menjadi temanmu. Dan kau tak lagi sendiri menghadapi
kenyataan pahitmu. Mungkin kehadiranku tak cukup untuk mengurangi kesedihanmu,
tapi aku aku akan selalu menemani kesedihanmu itu, menggenggam erat tanganmu,
untuk berjalan beriringan melewati kepahitan hidup. Lihatlah, awan-awan kelabu
itu juga berharap untuk menjadi temanmu, membiaskan sinar indah mu. Percayalah,
kau tak pernah sendirian melawati ini semua. Tetaplah bersinar seperti kemarin,
menghangatkan dinginnya malam, membawa sedikit cahaya untuk orang-orang
sepertiku yang berusaha melewati gelap malam. Lewat jalan setapak yang tak tau
dimana ujungnya. Jalan kehidupan.Terimakasih Bulan…………………..
Langganan:
Postingan (Atom)