Bangun pagi pukul 04.00 > Mandi > Ibadah > Sarapan > Ngampus (pukul 06.0) > Jungkir Balik Menguras Otak > pulang asrama (pukul 16.00) > Istirahat > Ibadah > Makan malam > nggarap tugas > tidur. entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan segala rutinitas menjemukan ini. tapi, tak peduli aku mau atau tidak aku harus bisa melalui semua ini.
Semangat Pagi !!
Layang-layang
Ia bebas terbang di atas langit, namun ia tetap terikat dengan bumi yang melahirkannya. Dengan cara itu lah ia tetap bisa terbang dengan bebas, menikmati langit biru dengan semburat jingga.
Selasa, 24 Maret 2015
Perubahan
Memasuki hari kedua liburan ini, asrama terasa lebih sepi
lagi. Yah, mau bagaimana lagi, semua penghuni asrama pulang ke rumah
masing-masing, hanya menyisakan beberapa penghuni dari luar jawa atau yang
rumahnya jauh. Rumah ku sendiri bisa dikatakan tidak begitu jauh dari asrama
tapi aku memilih untuk tetap tinggal di asrama saja. Selain karena
mengistirahatkan tubuh yang lelah, tapi buatku rumah bukan hanya sekedar arti
fisik. Lebih dari itu rumah adalah penghargaan untuk para penjelajah jarak,
pengarung waktu.
Sore kemarin aku kembali mengunjungi sebuah tempat di kota
kecil ini, tempat spesial yang amat bermakna. Tempat yang membuatku bertahan
dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang sebagian besar menjadi perabot
rumah 14 inci. Yah, di sinilah aku menghabiskan
waktu masa-masa itu. Duduk dengan segelas kopi, menunggui senja, menghindari
deru kereta, menatap hamparan sawah, dan mencoba mnepis ia dari benakku.
Aku tidak sendiri. Kemarin sore, aku mengunjungi tempat ini
dengan seorang perempuan. Gadis ceria, begitu mungkin aku bisa menyebutnya.
Jelas sekali ini bukanlah sebuah kencan, ini hanyalah obrolan antar sahabat.
Yah, waktu telah menerbangkanku ke banyak tempat dan di tiap tempat-tempat itu
aku menemukan beberapa sahabat baru yang dengan mereka aku siap untuk
bersusah-susah maupun bersenang-senang.
Banyak yang kami bicarakan di tempat itu. Hal-hal yang
mungkin terdengar terlalu idealis. Yah, tapi seperti inilah kami jika sudah
bertukar pendapat. Seolah-olah kami sedang mewujud menjadi orang lain, bercerita
banyak hal –tema berat yang kadang terlalu susah untuk diwujudkan. Yah, tapi
rasanya sudah lama tidak ngobrol dalam obrolan sok dewasa ini.
Namun, satu yang agak berbeda, gadis ceria ternyata sudah
agak berubah. Yah, setiap orang pasti berubah, hanya orang-orang yang tak mau
belajar saja yang terlalu senang berada di zona nyamannya. Gadis ceria itu
telah mewujud dalam bentuk baru. Yah, ia memang maih ceria, masih cerewet,
masih gemuk, dan banyak hal yang masih sama. Tapi ia memiliki pemahaman baru tentang
hidup, hal yang amat berharga dan tak mudah dilihat dari luar. Kini, ia tengah
berjuang perlahan untuk menjadi seorang perempuan alim yang memposisikan Tuhan
di atas segalanya. Aku benar-benar salut dengannya. Tapi aku tak kaget
mendengarnya, ia memang memiliki jiwa seorang idealis, dan memang sudah
sepantasnya ia meralisasikan idealisme-idealismenya. Dia berani untuk
meninggalkan zona nyamannya, berani untuk mendobrak batasan-batasan diri
kemudian membuat batasan-batasan diri yang baru untuk menjadi seorang yang baru
yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena dengan batasan-batasan itulah
jiwanya bisa membatasi diri dari kotornya hiruk pikuk dunia.
Aku sungguh malu mendengar ceritanya. Karena aku masih belum
juga beranjak dari tempatku ini, tempat yang begitu banyak dosa dimana-mana.
Aku masih belum lepas dari jeratan kesepian. Aku masih belum bisa mengendalikan
jiwaku ini dan lebih sering harus menyadari kekalahanku akan nafsu di dalam
hati.
Terimakasih gadis ceria untuk cerita-cerita yang telah dibagi.
Maaf karena tak bisa menyajikan senja yang indah karena bukan kuasaku untuk
mengusir gumpalan awan dilangit barat itu. Tapi, duduk di samping rel kereta
dimana kereta melintas sangat cepat menghadirkan sensasi yang menyenangkan
bukan? Mungkin suatu hari aku bisa menyajikan senja yang cantik atau mungkin
bercerita tentang begitu spesialnya tempat ini buatku dan banyak cerita
tentangku yang selama ini cuma kubagi dalam rumah 14 inci ini.
Kesepian-kesepian, bantulah aku untuk mewujud dalam bentuk
baru sepertinya. Aku tak mau lari darimu dalam dekapan seorang perempuan.
Karena orang-orang seperti itu jauh lebih kesepian dari pada aku yang sekarang.
Semoga dalam kesepian ini aku bisa
memaknai aku, mengerti tentang batasan-batasan diri, dan mewujud kedalam bentuk
baru yang konsisten. Memantaskan diri untuk sebuah hari dimana aku bisa bertemu
kamu.
Sampai jumpa lagi senja!
Minggu, 15 Maret 2015
Mengenang Persahabatan Kita
Saat-saat paling menyenangkan dalam sebuah kesempatan adalah
saat-saat ketika mengenang. Yah, mengenang apa saja, sebatas kau masih mampu
mengingat setiap detailnya dengan jelas. Bisa jadi kenangan manis masa kecil, atau
mungkin juga kenangan pahit bertahun-tahun lalu. Ah, apapun itu, entah manis
atau kah pahit sebuah masa lalu selama kau mampu mengenangnya dengan lapang
dada kau akan menemukan semburat senyuman di sudut bibirmu. Dan pada akhirnya
kau pun akan menyadari betapa kini kau telah mewujud kedalam bentuk yang baru
yang berbeda dari masa-masa sebelum ini.
Namun terkadang, sebuah kenangan tak ada cukup ruang untuk
disimpan dalam memori otak manusia yang penuh keterbatasan, apalagi untuk
takaran otak sederhanaku ini. Karena itulah adakalanya sebuah kenangan
diwujudkan dalam berbaris-baris tulisan absurb yang mungkin cuma bisa
dimengerti oleh si penulis. Sama halnya dengan rumah 14 inci ini. Sekumpulan tulisan
absurb tentang kehidupan seorang lelaki biasa yang mungkin juga tak akan
berubah dalam skala besar menjadi seseorang yang luar biasa.
Ketika membaca tulisan-tulisan dalam rumah 14 inci ini pun terkadang
akupun merasakan sensasi yang sama menyenangkan dengan saat-saat mengenang. membolak-balikan
susunan kata dalam tulisan-tulisan absurb ini terkadang mengingatkanku akan
peristiwa-peristiwa lampau yang sudah mulai menguap dari kepalaku. Namun
adakalanya juga tulisan-tulisan absurb itu berhasil membenturkanku pada
idealisme-idealisme masa muda yang semakin terkikis saja oleh jiwa-jiwa
pragmatis seorang lelaki tua. Ah, padahal aku pun belum setua itu bukan?
Sama halnya untuk malam ini, ketika tanpa disengaja aku
membaca postingan bertanggal 13 Maret 2013. Seperti ini redaksinya :
Segala yang telah dilalui, yang hari ini
dilalui, yang akan dilalui di massa yang akan datang. Dalam keadaan apapun,
baik suka maupun duka akan kita syukuri sebagai proses kehidupan yang
membahagiakan. Kita berjanji untuk selalu saling menjaga sampai kapanpun dan
apapun. Apapun yang menyebabkan perselisihan harus kita pikirkan dengan hati
kita yang hebat dan kuat.
Tidak terasa
sudah dua tahun dari aku menuliskan itu. Dari sepengingatku, itu adalah
kata-kata ajaib yang dituliskan oleh si gadis kecil pada ulang tahun lelaki
berkacamata. Samar-samar aku bisa mengingat kejadian di awal tahun 2013 lalu
itu saat aku, si gadis kecil, dan si gadis polos diam-diam memberi kejutan
ulang tahun untuk si pria berkacamata. Meskipun dengan persiapan yang apa
adanya akhirnya malam itu menjadi cerita manis tentang persahabatan kami
berempat.
Yah, itu
sudah dua tahun yang lalu, dan rasa-rasanya semua kenangan itu sudah hampir
memudar dalam sebuah distorsi waktu. Mungkin tanpa tulisan itu aku akan mulai
lupa bahwa aku punya sahabat-sahabat terbaik yang pernah singgah mewarnai
kehidupanku. Mungkin semua rutinitas dan rentangan jarak ini telah menjadi
kabut tebal yang menutupi warna persahabatan kami.
Sungguh aku
benar-benar merindukan saat-saat itu. Saat-saat kita tertawa bersama dalam
canda, atau saat beberapa kalimat sakti yang sok dewasa meluncur deras dari
ulut-mulut kita dalam sebuah malam di pinggiran jalan samping FT? Adakah kalian
–gadis kecil, gadis polos, dan pria berkacamata- masih menyimpan rapi kenangan-kenangan
itu itu?
Ah, aku
benar-benar merindukan kalian. SAHABAT........
Jumat, 13 Maret 2015
Kembali Pulang
12 Februari 2014, tak terasa sudah satu tahun lebih aku tak mengunjungi rumah 14 inci ini. Kalau saja rumah 14 inci ini adalah sebuah bentuk fisik, pasti sudah tak karuan lah bentuknya. mungkin debunya sudah mengendap bersenti-senti. atau juga sudah tak terhitung lagi sarang laba-laba yang memenuhi setiap sudut plafonnya. tapi, yah namanya juga rumah imaji, tempat semua emosi mengendap, tak perlulah aku bersusah payah buat membersihkan rumah 14 inci ini.
Bukankah memang sebuah rumah tak melulu soal fisik? rumah buatku adalah sebuah tempat yang nyaman untuk berpulang. Tempat menumpahkan segala emosi yang memampat, keluh kesah tanpa arah. Dan ya, rumah 14 inci ini nyatanya sudah lama tidak menampung segala cerita selama setahun ini yang terlalu banyak bahkan untuk sekedar dibuat sebuah buku. Mulai dari perjuangan di tanah batas peradaban -Flores-, perjalanan-perjalanan yang sudah pasti tak pernah bisa dilupakan begitu saja, kesepian-kesepian, hingga perjalanan kisah cinta yang selalu saja sensitif -mungkin lain kali akan kuceritakan. Yang pasti kini aku telah dilemparkan oleh waktu kedalam sebuah pusaran baru yang jelas berbeda dari pusaran-pusaran sebelumnya. tapi, sudah pasti pusaran ini pun nantinya akan memampatkanku kedalam bentukku yang baru.
mudah-mudahan, rumah i14 inci ini masih sama nyamannya dengan dulu. Menjadi pendengar untuk cerita-cerita absurb yang kadang membuatku malu. kisah-kisah yang akan menjadi perabot manis di setiap sudutnya. saat malam, saat hujan, saat angin mendera, atau saat sepi kembali menelikung hati.
selamat datang lagi, yah, akhirnya aku kembali merasakan pulang setelah merentang begitu jauh jarak.
Dibawah ini aku sisipkan sebuah lagu berjudul Tentang Rumahku dari DDH
Tentang rumahku
Di ujung bukit karang yang berbatu
Beranda rumahku
Tumbuh tumbuhan liar tak tahu malu
Tentang rumahku
Berbagai macam musim telah kurengkuh
Jadi saksi bisu
Cerita mimpi indah di masa lalu
Yang terlahir dari sebuah gerbang waktu
Yang menjadi tembok kokoh mengitari rumahku
Adakah yang lebih indah dari semua ini
Rumah mungil dan cerita cinta yang megah
Bermandi cahaya di padang bintang
Aku bahagia
Tentang rumahku
Tak kan goyah walau badai mengamuk
Seperti pohon jati
Akarnya tertancap di poros bumi
Sewindu merindu
Kembali pulang dengan sebongkah haru
Senyum menyambut
bagai rindu kumbang pada bunga di taman
Bukankah memang sebuah rumah tak melulu soal fisik? rumah buatku adalah sebuah tempat yang nyaman untuk berpulang. Tempat menumpahkan segala emosi yang memampat, keluh kesah tanpa arah. Dan ya, rumah 14 inci ini nyatanya sudah lama tidak menampung segala cerita selama setahun ini yang terlalu banyak bahkan untuk sekedar dibuat sebuah buku. Mulai dari perjuangan di tanah batas peradaban -Flores-, perjalanan-perjalanan yang sudah pasti tak pernah bisa dilupakan begitu saja, kesepian-kesepian, hingga perjalanan kisah cinta yang selalu saja sensitif -mungkin lain kali akan kuceritakan. Yang pasti kini aku telah dilemparkan oleh waktu kedalam sebuah pusaran baru yang jelas berbeda dari pusaran-pusaran sebelumnya. tapi, sudah pasti pusaran ini pun nantinya akan memampatkanku kedalam bentukku yang baru.
mudah-mudahan, rumah i14 inci ini masih sama nyamannya dengan dulu. Menjadi pendengar untuk cerita-cerita absurb yang kadang membuatku malu. kisah-kisah yang akan menjadi perabot manis di setiap sudutnya. saat malam, saat hujan, saat angin mendera, atau saat sepi kembali menelikung hati.
selamat datang lagi, yah, akhirnya aku kembali merasakan pulang setelah merentang begitu jauh jarak.
Dibawah ini aku sisipkan sebuah lagu berjudul Tentang Rumahku dari DDH
Tentang rumahku
Di ujung bukit karang yang berbatu
Beranda rumahku
Tumbuh tumbuhan liar tak tahu malu
Tentang rumahku
Berbagai macam musim telah kurengkuh
Jadi saksi bisu
Cerita mimpi indah di masa lalu
Yang terlahir dari sebuah gerbang waktu
Yang menjadi tembok kokoh mengitari rumahku
Adakah yang lebih indah dari semua ini
Rumah mungil dan cerita cinta yang megah
Bermandi cahaya di padang bintang
Aku bahagia
Tentang rumahku
Tak kan goyah walau badai mengamuk
Seperti pohon jati
Akarnya tertancap di poros bumi
Sewindu merindu
Kembali pulang dengan sebongkah haru
Senyum menyambut
bagai rindu kumbang pada bunga di taman
Sabtu, 15 Februari 2014
Ekspedisi Kelibara bag 2. Potong Kompas
“Menuliskan
nama kita dalam sejarah memang tidak pernah mudah ya? Semacam kita ini,
orang-orang gila yang bertekat menjadi orang pertama yang potong kompas dari
wolowaru-kelibara-kelimutu.” Kata Rohmat sambil menyusuri jalan setapak di
sebuah bukit dekat dengan kampung mbililo’o.
Tadi kami
berangkat pagi-pagi dari Wolowaru, tepatnya dari rumah pak Sofyan di kampung
Nakambara. Pak sofyan dan istrinya bahkan sampai mengantar dan menunggui kami menghilang
di belakang rumahnya. Sepertinya mereka masih belum percaya kalau kami akan berjalan
kaki sampai kampung pemo.
Melewati
pematang sawah di belakang rumah pak sofyan kami juga sempat bertemu dengan
beberapa petani yang hanya bisa geleng-geleng kepala ketika tahu kami akan
menuju ke Kelibara. Setelah keluar dari pesawahan akhirnya ini saatnya untuk
memulai petualangan. Aku mengeluarkan kompas, senajata kami untuk bisa tembus
sampai Pemo.
“Sudutnya 520
nih, coba kamu lihat !” kata Rohmat sambil menyerahkan kompas kepadaku.
Akupun mulai
membidik, “ya, sekitar segitu, antara 510 dan 520 lah.”
Kamipun
sepakat untuk membidik puncak bukit terdekat sebagai acuannya. Akhirnya perjalanan
kami lanjutkan kembali untuk menuju puncak bukit dengan tiga buah pohon yang
menjulang sebagai acuannya.
Namun
sepertinya bukit acuan kami tadi terlalu jauh. Kamipun sempat kebingungan
dibuatnya ketika jarang pandang ke bukit tertutup oleh pohon-pohon. Kamipun
harus melewati dua buah sungai untuk mencapai bukit itu. Sungai pertama adalah
sungai kecil yang bisa kamilewati tanpa harus melepas sepatu, cukup berpijak
pada batu-batu besar di sungai. Namun sungai kedua sepertinya agak besar,
kamipun harus melepas sepatu kami. Bahkan celana Rohmat yang digulung sampai
lututpun sampai basah. Setelah berhasil melewati sungai kami pun harus
menerobos semak-semak dan menerjang sebuah tebing yang tidak begitu tinggi. Di
sini, parang Pak Sofyan sepertinya sudah mulai berfungsi.
Sampai di
atas tebing akhirnya kami bisa melihat bukit yang kami tuju tepat di depan
kami. Tapi aku juga bisa mendengar suara sepeda motor dan melihat tiang listrik
yang berada di bibir bukit.
“eh met, di
atas sepertinya ada jalan raya. Lihat ada tiang listrik di situ. Ada sepeda
motor yang lewat juga sepertinya.”
“betul,
sepertinya itu jalan Wolowaru-Jopu. Nah kalau mau ke tenda atau mbulilo’o
sepertinya juga harus lewat jalan itu. Berarti arah kita sudah benar.”
Kemudian
kami mulai naik menaiki sebuah tanjakan. Benar saja, di sini ada jalan raya.
Ada beberapa sepeda motor yang lewat, dan mereka sepertinya melihat kami dengan
cara yang aneh. Maklum, kami berpenampilan layaknya orang asing. Sepatu
lapangan, tas besar, serta topi. Dan yang paling mencolok adalah parang panjang
yang sedang Rohmat ayun-ayunkan. Kami lantas menaiki bukit yang dimaksud, bukit
tujuan dari kompas yang kami bidik tadi.
“ayo met,
naik ke arah pohon yang kita bidik tadi, lalu kita bidik lagi dari sini ke arah
bukit di depan.” Ajakku.
“nanti
dulu.”
“lha kenapa? Tunggu apa lagi. Kan katanya mau potong
kompas.”
“iya sih, tapi apa tidak lebih baik kalau menyusuri jalan
aspal dulu terus baru melanjutkan potong kompas ketika sudah melihat kampung
pemo.”
“iya juga sih, lagian bukit di depan sepertinya
terlalu curam.”
Akhirnya kami turun ke arah jalan raya. Kami menyusuri
jalan raya melewati bukit yang curam tadi lewat bibirnya. Bisa dibayangkan
tenaga kami yang akan habis kalau harus menerjang bukit tersebut. Jalan raya
ini sedikit menghemat energi.
“Eh Met, ada mobil !”
“betul, kita numpang saja ya.”
Bermodal jempol tangan akhirnya kami menumpang sebuah
mobil pick up yang mengangkut parabola. Kami juga bertanya tentang jalur jalan
setapak menuju kampung pemo ketika sopir mobil tersebut menanyakan tentang
tujuan kami. Sopir tadi memberi pilihan lewat jopu, tenda atau lewat mbulilo’o.
“pokoknya yang ada jalan setapaknya kak, kami niatnya
mau jalan kaki terus lewat jalan setapak sampai ke Pemo.”
“oh, baik sudah. Mas mereka ikut saja sampai kampung
saya, nanti saya tunjukan jalannya. Tapi nanti dari kampung saya harus
menerobos hutan-hutan. ”
“Iya pak, terimakasih. Lewat kampung apa ya?”
“lewat kampung mbilolo’o. kalau begitu naik sudah !”
Kami pun akhirnya naik di belakang mobil pick up
tersebut. tujuan potong kompa kami tadi kini telah dipadukan dengan
backpackeran. Tak apalah, naik mobil ini menghemat sangat banyak energi.
Sampai dijalan sebelum masukkampung mbulilo’o akhirnya
kami diturunkan. Kemudian sopir tadi menunjukan arah kampung Pemo. Setelah
berterimakasih kamipun melanjutkan perjalanan.
“berapa derajat Met?” tanyaku kepada Rohmat yang
sedang membidik.
“50 an derajat nih.”
“oke, kemudian langsung arahkan ke titik terdekat,
biar gampang dan tidak membingungkan seperti tadi.”
“Oke, gimana kalau pohon yang itu?” Kata Rohmat sambil
menunjuk pohon yang ada di seberang jurang tidak terlalu jauh.
“oh yang itu kah? Ya sudah ayo lanjut.”
Ketika kami akan melewati jurang kecil itu tiba-tiba
ada yang memanggil kami, rupanya seorang ibu-ibu.
“Hei, kalian ada buat apa?” tanyanya.
“Mau ke kampung Pemo mama. Mau naik gunung kelibara”
“jalan kaki kah? Ina di sebelah sini ada jalan setapak.”
“oh iya kah mama? Terimakasih mama.”
“rewo-rewo e, hati-hati ya!”
Ibu-ibu tadi pun berlalu. Aku dan Rohmat menyusuri
jalan setapak menyebrang jurang tadi hingga ke pohon yang dimaksud. Kemudian
kami melanjutkan potong kompas. Hasil bidikan kompas menunjuk ke puncak bukit
di sebelah depan. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan.
Rupanya jurang dari bukit tempat kami berada lumayan
terjal. Kamipun memutar berusaha mencari jurang yang tak begitu terjal. Patokan
kami adalah adanya kebun jambu mete sehingga kemungkinan jurang yang ada jambu
metenya bisa dituruni karena sudah biasa dituruni oleh warga pemiik kebun.
“nah, ini sepertinya yang dinamakan sungai bau ngga?”
kata Rohmat sambil menunjuk sebuah sungai di bawah.
“oh, sungai yang berasal dari danau di kelimutu itu
kah?” tanyaku.
“yup, betul sekali. Lihat, warnanya merahkan kan? Agak
bau juga.” Kata Rohmat sambil mengambil sedikit air dari sungai bau yang
berwarna kemerahan ini.
Selain sungai bau, ada sungai merah dan sungai putih
yang berasal dari danau kelimutu. Kalau sungai putih aku juga sudah pernah
melihatnya dibelakang rumah Pak Mahmud, salah satu keluarga baru kami di
kampung mbuli moralau. Menurut beliau memang sungai bau ini terletak di dalam
hutan di mbulilo’o, sementara itu sungai merah berada di atas kampung
mbuliwalarau yang kemudian menyatu dengan sungai putih dan bermuara di pantai
mbuli.
Dari sungai merah ini kami kemudian menaiki bukit,
mencoba menemukan jalan setapak menuju puncak bukit yang kami bidik tadi. Kami
harus menerjang beberapa semak menggunakan parang. Ya, sepertinya kami sudah
harus memulai perjuangan kami di sini.
Namun sepertinya puncak bukit yang kami maksud ada
jauh di depan sana. Rupanya kami mulai tersesat dan kehilangan patokan kami
tadi.
“coba kita agak ke kanan ngga.” Kata Rohmat.
“nggak lebih baik kalau langsung naik ke atas ya met?”
“ke kanan aja dulu, sepertinya di sebelah sana ada
jalan setapak. Sepertinya itu jalan menuju atas bukit.”
Kami pun berjalan agak ke kanan, mencoba mencari jalan
setapak. Kemudian kami menelusuri jalan setapak tersebut hingga memutar sampai
di sisi lain bukit. Rupanya di seberang sana ada seorang bapak-bapak yang
sedang bekerja di ladangnya.
“mari pak.” Kata kami bersamaan.
“mau ke mana?” tanya bapak itu.
“mau ke Pemo pak, lewat mana ya?”
“oh, ikut jalan setapak di depan kemudian naik ke atas
bukit.”
“ikut sini kah pak?”
“Ah, itu sudah.”
Akhirnya kamipun mengikuti petunjuk bapak petani tadi.
Mengikuti jalan setapak hingga menaiki sebuah bukit. Tracknya lumayan terjal
dengan batu-batuan seperti track di gunung-gunung di Jawa. cukup menguras
tenaga. Bahkan kami pun beberapa kali menghela nafas untuk menampung lebih
banyak oksigen. Trak seperti ini memaksa kami lebih banyak beristirahat.
Sampai di sebelah atas rupanya kami masih belum sampai
di puncak bukit, melainkan masih berada di punggung bukit. Di depan kami ada
jurang yang lumayan besar dan dalam. Tentu saja kami tak berniat untuk
menerabasnya. Ada jalan bercabang juga di depan, satu turun ke bawah punggung
bukit, satu lagi naik ke atas bukit. Namun yang membuat kami bersemangat, di
depan sana sudah terlihat kampung pemo. Namun letaknya masih cukup jauh di
sana.
“Sepertinya naik ke atas bukit met.”
“ya, sepertinya begitu, kita tidak mungkin bisa
melewati jurang ini. Tapi bagaimana kalau di dean bukit ini juga ada jurang?”
“sepertinya bukit-bukit ini saling menyatu met.
Lihatlah, sepertinya tidak ada jurang yang memisahkan bukit-bukit di depan.”
Aku menunjuk bukit-bukit di depan seperti dibelokan oleh jurang.
“iya sih, tapi sepertinya ada celah antar bukit itu.”
Kata rahmat sambil menunjuk salah satu bukit.
“Iya juga sih. Tapi coba saja dulu lah.nanti kalau
salah balik lagi.”
Kami pun mengakhiri diskusi kami dan mulai melanjutkan
perjalanan mendaki bukit.
Ya, kami beberapa kali harus berdiskusi terlebih
dahulu sebelum mengambil keputusan, mengambil jalan mana yang akan dilalui.
Sebetulnya ada beberapa teman yang lain di Wolowaru yang mau ikut petualangan
ini. Namun Rohmat melarang mereka ikut karena takut akan terjadi perdebatan
yang panjang kalau terlalu banyak orang yang ikut. Belum lagi kalau perempuan
ikut, bisa sangat merepotkan. Sejenak kami kesampingkan terlebih dahulu prinsip
emansipasi untuk keselamatan bersama.
Kami terus naik menyusuri jalan setapak ini. Rupanya
jalan setapak ini memang benar-benar menaiki bukit sanpa ada bonus jalan
datarnya. Keringat benar-benar sudah membanjiri tubuh kami. Jalan naik ini
melewati beberapa ladang jambu mete.
“met, lihat di sana ! menggiurkan sekali.” Kataku
sambil menunjuk sebuah jambu mete yang matang sempurna berwarna merah.
“hemmm, kalu mengambilnya nyolong bukan?”
“nyolong.” Jawabku singkat.
Kamipun berlalu dari buah mete yang menggiurkan serta
menggoda keimanan kami tadi. Kembali menaiki bukit dengan terengah-engah.
Jalanan naik ini juga beberapa kali melewati pohon kelapa. Kami sendiri sampai
heran kenapa ada pohon kelapa di hutan bukit seperti ini, biasanya pohon kelapa
hanya ada di dataran rendah hingga pantai-pantai. Kami juga melewati beberapa
rimunan hutan yang cukup rapat.
Sebagai panduan kami menaiki bukit adalah sebuah pipa
air. Tadi kami juga sempat menemui sebuah cabang. Kam memilih jalan setapak
yang lebih luas dan erdapat pipa air. Karena pasti jalan tersebut pernah
dilewati orang, yakni orang yang memasang pipa air tersebut.
“mudah-mudahan pipa air ini menuju ke pemo. Ah, kalau
begini terus perjalanan ke pemo nggak sesulit yang kubayangkan nih.” Ucapku
dalam hati.
Jalan terus menanjak sampai kami menemukan sebuah
ladang yang cukup luas.
“gok… gok… gok…” Suara anjing di depan sana.
Rupanya ladang ini dijaga oleh beberapa anjing. Dan
anjing-anjing penjaga ini merasa terganggu dengan kedatangan kami. Akupun
bergidik ngeri dibuatnya. Anjing-anjing ini menggonggong begitu liarnya. Bisa
mati ini kalau dikeroyok anjing-anjing ini. Dan sepertinya tidak ada
tanda-tanda keberadaan orang dikebun ini.
“tenang ngga, jangan panik.” Rohmat mencoba
menenangkanku yang mulai terlihat panik. Ia sendiri sepertinya cukup tenang.
“Kalau kamu lari nanti malah dikejar anjing-anjing ini.” Lanjutnya.
Ada tiga ekor anjing yang menjaga ladang tersebut. Dua
ekor yang agak besar terikat dengan rantai di gubuk tempat menjaga ladang
tersebut. sementara satu ekor yang lain menggonggong sambil mencoba mengusir
kami. Kamipun berjalan agak menyamping melewati gubuk tempat anjing-anjing itu.
Aku sendiri berjalan sambil tak henti-hentinya mengucap nama Alloh.
Namun kesulitan sesungguhnya bukan tentang
anjing-anjing tersebut. Rupanya pipa air yang kami ikuti tadi menemukan
ujungnya di sini. Sebuah mata air yang ditampung dalam sebuah bak kecil. Namun
ada sebuah jalan setapak naik ke atas bukit. Kamipun menaiki jalan setapak
tersebut, namun Rohmat lebih dahulu mengisi ulang botol minumku yang tinggal
separuh di mata air tersebut, aku sendiri masih takut akan anjing-anjing yang
menggonggong tadi. Lebih baik aku segera naik ke atas bukit dari pada tiba-tiba
dikejar oleh anjing yang tak terikat.
Rupanya jalan setapak ini juga menemui ujungnya di
sini. Ya, inilah tantangan yang sebenarnya.
“Gimana ini met?” tanyaku.
“gimana ya, menurutmu bagaimana?”
“mau naik terus ke atas bukit pa? sepertinya dari atas
bukit ini kemudian naik terus mnyusuri punggung bukit.”
“tapi sepertinya di depan sana ada jurang, bukit-bukit
itu sepertinya tidak saling menyatu. Lagian sudah tidak ada jalan lagi.” Kata
Rohmat sambil menunjuk punggung bukit.
“Iya sih, semaknya terlalu rapat. Lha gimana? Mau
turun aja pa? sepertinya ada jalan setapak lain di samping mata air tadi.”
Kataku.
“oke, ayo kita turun lagi aja.”
Kamipun kemudian turun lagi. Mencoba menemukan jalan
setapak yang kumaksud. Tapi itu artinya harus turun lagi ke dekat kebun yang
dijaga anjing-anjing ganas tadi. Ah, sial.
Benar saja, anjing-anjing tadi mulai menggonggong
lagi. Akupun kembali harus menghela nafas. Rohmat bukannya menjauh dan mencari
jalan setapak tadi malah turun terus mendekati gubuk.
“heh met, mau kemana lagi?” ucapku sambil sedikit
takut-takut.
“di bawah sana sepertinya ada sawah-sawah, ada orang
juga sepertinya.”
“iya, tapi mau turun dengan cara apa? Lihatlah, jurangnya
terjal sekali.”
Ya, di bawah sana memang ada sawah-sawah, ada
petaninya juga sepertinya. Tapi jurang yang memisahkan benar-benar terjal dan
curam. 900 kemiringannya mungkin.
Akhirnya kamipun kembali mencari jalan setapak dekat
dengan mata air tadi. Menjauh dari gonggongan anjing-anjing penjaga kebun yang
terlihat ganas tadi. Namun aku belum merasa lega. Karena sepertinya petualangan
baru saja dimulai. Jalan setapak ini sepertinya sudah lama sekali tak dilalui
orang. Semak-semak disamping jalannya amat rimbun, belum lagi hutan dengan
pohon-pohon besar di depan. Perjuangan baru saja dimulai, dan kami tak akan
mudah untuk menyerah.
Ekspedisi Kelibara bag 1. Hanya Bermodal Nekat
“ngga minggu
depan ikut aku potong kompas dari Wolowaru ke Kelibara hingga ke kelimutu nggak?”
tanya Rohmat kepadaku.
Sudah
beberapa bulan ini kami hanya bisa mewacanakan petualangan besar potong kompas
wolowaru-kelibara-kelimutu tanpa bisa merealisasikannya. Karena itulah aku
cukup kaget ketika Rohmat dengan menggebu-gebunya mengajakku untuk ikut dalam
petualangan besar yang katanya pasti jadi ini. Rupanya ia benar-benar sudah
dibuat penasaran oleh G.Kelibara, titik tertinggi kabupaten Ende yang hanya
bisa ia lihat saja kegagahannya dari wolowaru.
Rencananya
akan ada anak murid yang memandu kami. Murid ini memiliki rumah di kampung
pemo, kampung yang tepat berada di kaki G.kelibara. Rencananya ia akan memandu
kami potong kompas Wolowaru-Pemo, bahkan hingga Kelibara kalau bisa. Awal
Februari inipun cuaca masih cukup memungkinkan untuk memulai petualangan ini.
Namun
sayangnya menjelang hari H ada sedikit masalah ketika ada agenda lain
teman-teman SM3T di wolowaru. Rohmat merupakan guru SM3T dari Unnes penempatan
Wolowaru. Selain itu anak murid yang akan menjadi pemandu untuk petualangan ini
menghilang entah kemana. Acara petualangan besar ini benar-benar terancam
gagal.
“bagaimana
ini met, masa mau gagal lagi rencananya?”
“lha gimana,
besok ada rencana ketemu dengan pak camat wolowaru je, lapor diri keberadaan
SM3T.”
“halah, nggak
usah ketemu pak camat, aku saja nggak ketemu pak camat Lepembusu Kelisoke kok.
Aku udah jauh-jauh dari ratenggoji masa nggak jadi. Udah siap tinggal berangkat
ini.” Aku mencoba untuk menghasut Rohmat.
“haduh,
gimana ya?”
Rohmat
sepertinya bingung juga oleh dua agenda yang bentrok ini. Sebagai ketua SM3T
kecamatan Wolowaru ia bertanggung jawab akan acara lapor diri di kecamatan,
namun jiwa petualangannya juga rasanya tak bisa dikesampingkan.
“ya sudah,
rencana tatap muka dengan pak camatnya tak tunda dulu aja wis, lha anak-anak
yang ngajar di SMA saja sedang sibuk karena ada pengawas dari kabupaten yang
akan datang ke SMA. Petualangan besar ini pokoknya harus jadi. Nanti tak bilang
ke pak David, ketua UPTD PPO wolowaru untuk membatalkan pertemuan dengan Pak
Camat.” Akhirnya Rahmat beruara setelah merenung cukup lama.
Akhirnya
Rahmat mulai termakan rayuanku untuk tetap melanjutkan rencana besar kami. Aku
sendiri sudah jauh-jauh datang dari kampung tempat penugasanku di kampung
Ratenggoji dengan peralatan lengkap siap berpetualang.
“ya sudah,
sekarang kita cari muridku yang akan jadi pemandu dulu ya. Kemudian kita beli
persiapan-persiapan untuk naik besok.” Rohmat terlihat lebih bersemangat sekarang.
Namun, ada
saja masalah yang harus kami hadapai. Anak murid yang akan jadi pemandu hilang
entah kemana. Belum lagi spirtus yang rencananya akan jadi bahan bakar memasak
saat pendakian tak ada di toko-toko disekitar Wolowaru.
“Ada saja
halangannya ini. Sepertinya tuhan memang tidak merestui perjalanan kita nih
met.” Aku sedikit putus asa.
“Sudahlah,
ada pemandu atau tidak kita pokoknya tetap jalan. Kan kita juga sudah bawa
kompas. Pokoknya aman. Yang penting tenang dan yakin.” Giliran Rohmat yang
sekarang menghasutku. Rupanya ia sudah benar-benar semangat.
“Okelah,
pokoknya yakin dan tenang ya. Terus ini perjalanannya mau dimulai dari mana?
Kita kan benar-benar nggak tau mulai star dari mana.” Tanyaku.
“Nanti tak
tanya pak Sofyan, bapak asuhku, mulainya dari mana. Mudah-mudahan beliau tahu.”
“Oke, nanti
masaknya pake kayu bakarnya, pokoknya jadi ya.”
Akhirnya
petualangan besar ini benar-benar akan terwujud.
“mas serius
mau ke kelibara? Kami saja belum pernah sampai sana.” Kata pak sofyan ketika
kami bertanya tentang jalur menuju kampung pemo.
Menurut pak
sofyan, untuk menuju kempung pemo bisa lewat jalan besar lewat moni, kemudian
naik lewat jalan besar ke danau kelimutu, kemudian naik lewat cabang ke kampung
pemo. Beliau menyarankan kami untuk naik motor hingga ke kampung pemo.
“ah, nggak
ada tantangannya kalau Cuma naik motor sampai Pemo pak. Kami rencananya mau
potong kompas dari Wolowaru sampai Pemo. Nanti menginap di masjid di Pemo baru
kemudian naik ke Kelibara.”
“kalian ini
benar-benar aneh, jalan yang besar saja ada malah cari jalan setapak. Kalau mau
lewat jalan setapak mungkin bisa lewat kampung Tenda atau kampung Mbulilo’o.
tapi hati-hati, mungkin jalan setapak itu sudah hilang, soalnya sekarang jalan
setapak itu sudah tidak dipakai lagi, karena jalan setapak itu digunakan
orang-orang dulu sebelum ada jalan raya.”
“terimakasih
untuk pujiannya pak.” Batinku.
Aku memang
lebih suka dibilang orang aneh. Aneh berarti berbeda. Berbeda berarti istimewa.
ya, cap orang aneh menurutku adalah sebuah pujian. Lagipula, melewati jalan
raya berarti tidak ada tantangannya sama sekali. Tantangan inilah yang aku cari
untuk mengisi kembali semangat yang sudah mulai luntur. Menguapkan kebosanan
yang sudah mulai menggerogotiku di kampung ratenggoji yang setiap hari hujan di
bulan-bulan begini. Ya, petualangan besar ini sekaligus untuk perjalanan
spiritual. Rasanya ketika pak sofyan bilang orang-orang sini saja belum ada
yang sampai di Kelibara benar-benar menambah semangat kami.
Sabtu, 8
Februari 2014, pagi ini akan benar-benar menjadi sejarah untukku. Aku dan Rohmat
bersiap-siap untuk melakukan sebuah perjalanan besar. Bersenjatakan parang dari
pak sofyan untuk membuka jalan. Serta tekat dan keyakinan yang dipadukan dengan
kenekatan untuk menjadi orang pertama yang berhasil tembus
Wolowaru-Kelibara-Kelimutu. Saking nekatnya sampai kami lupa membawa
perlengkapan P3K dan peralatan memasak.
Sabtu, 01 Februari 2014
Hei, Lorong Waktu Ternyata Ada !
“Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah,
dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga
mistis.”
Efran
Julianto, Guru SM3T UNY angkatan 3, kec. Detukeli, kab. Ende, NTT.
Sudah hampir 5 bulan
saya menunaikan tanggung jawab sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Sudah ada
banyak hal yang saya lalui di sini, dan
tidak terasa 5 bulan sudah terlewati. Ada hal-hal yang menyenangkan, ada juga
hal-hal yang kurang menyenangkan. Semuanya itu campur aduk membentuk kenangan
yang sulit untuk dilupakan. Saya belajar banyak dari apa-apa yang sudah
terlewati di sini.
Saya bersama 45 teman
lainnya datang ke kabupaten Ende untuk menunaikan tugas sebagai guru SM3T,
yaitu para sarjana yang dikirim mengajar di daerah 3T (terluar, terbelakang,
dan terpencil). Sebagian besar dari kami di tempatkan di kampung-kampung di
pelosok kabupaten Ende untuk mengajar SD, SMP, maupun SMA. Apa yang kami jumpai
di tempat penugasan kami amat jauh sekali dari kehidupan seperti di Jawa, baik
SDM maupun SDA nya. Mulai dari tidak ada listrik, akses jalan dan transportasi
yang susah, sinyal telfon yang hanya ada di area tertentu saja, hingga
kelangkaan air. Saya sendiri mendapatkan tugas mengajar di SMPN Satu Atap Ratenggoji
di kampung Ratenggoji, desa Tani Woda, Kec. Lepembusu Kelisoke.
Kecamatan Lepembusu
Kelisoke adaah sebuah kecamatan baru di kabupaten Ende, kecamatan yang paling
terbelakang dibanding kecamatan lainnya di Ende. Sementara itu, kampung Ratenggoji
adalah kampung ke tiga paling ujung timur di kecamatan Lepembusu Kelisoke.
Setelah kampung Ratenggoji masih ada kampung
Detuara dan Detulate di sebelah utara yang berbatasan dengan kecamatan Kotabaru
dan masih ada kampung Wolofai dan Birijo yang berbatasan langsung dengan
kabupaten Sikka. Karena itulah kampung ratenggoji tempat saya bertugas adalah
salah satu kampung terpencil dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten
Ende.
Ya, kampung Ratenggoji
tempat saya bertugas hanyalah salah satu dari sekian banyak kampung terpencil
di kabupaten Ende. Biasanya kampung-kampung terpencil ini adalah
kampung-kampung yang berada di ujung kecamatan. Salah satu indikator dikatakan
kampung terpencil adalah tidak adanya listrik. Selain di kampung saya, sebagian
besar kampung-kampung tempat penempatan SM3T adalah kampung-kampung yang masih
belum tersentuh listrik. Hampir di setiap kecamatan ada saja kampung yang belum
tersentuh listrik, kecuali di kecamatan Ende tengah dan Ende Selatan yang notabennya
adalah pusat kota. Untuk dapat menikmati listrik maka sebagian warga yang
berkecukupan akan menggunakan genset. Seperti halnya di rumah tempat saya tinggal
yang setiap jam 7 sampai jam 9 malam mendapat penerangan dari genset milik
mosalaki (ketua adat atau tuan tanah).
Selain listrik,
indikator lainnya adalah akses jalan dan transportasi yang susah. Tidak seperti
di Jawa yang yang sebagian besar kontur tanahnya yang datar, di pulau Flores
kontur tanahnya adalah berbukit-bukit. Jadi untuk melewati bukit-bukit tersebut
dibuatlah jalan yang berkelak-kelok naik turun melewati jurang dan hutan, jadi
jangan heran kalau mabuk darat melewati jalanan di Flores. Sebenarnya, jalan
negara yang menghubungkan antar kabupaten di Pulau Flores adalah jalan yang
bagus, namun, dari jalan negara ini naik ke kampung-kampung lah jalan yang
rusak berat. Sehingga untuk mencapai kampung pelosok dengan akses jalan yang
hancur dibutuhkan tansportasi yang kuat, yakni truk yang disulap menjadi bis,
orang sini biasa menyebut bis kayu atau oto truk.
Tidak setiap hari bis
kayu ini jalan, biasanya hanya seminggu sekali. Untungnya saja ada dua atau
tiga bis kayu yang jalan setiap minggunya. Contohnya saja oto yoanjelo dan oto
dack, dua bis kayu yang melayani transportasi di kampung saya, Ratenggoji,
untuk menuju kota Ende. Namun sayangnya transportasi ini tidak selancar yang
dibayangkan, bis kayu ini tidak pasti jalan setiap minggunya. Adakalanya dua
minggu sekali bis kayu baru jalan.
Namun ada juga
kampung-kampung yang tidak terjangkau transportasi umum, bahkan bis kayu
sekalipun. Biasanya kampung-kampung ini terletak di paling ujung kecamatan dan hanya bisa dilalui
oleh sepeda motor bahkan jalan kaki. Seperti kampung-kampung disekitar kampung
saya, yaitu Wolofai, Birijo, Fatandopo, dan Detulate yang hanya bisa dilalui
dengan berjalan kaki karena bis kayu hanya bisa sampai di kampung saya, Ratenggoji.
Sementara itu dari kampung ratenggoji hanya ada jalan setapak yang bisa dilalui
sepeda motor saja, bahkan di kampung birijo hanya bisa dicapai dengan berjalan
kaki.
Jarak antar kampung di
Flores ini berbeda dengan di Jawa. kampung-kampung di pelosok Ende adalah
kampung yang rumah-rumahnya memusat di pusat kampung dengan hanya beberapa
Kepala Keluarga saja. Jadi jarak antar satu kampung hingga kampung tetangga
bisa mencapai 2 atau 3 kilometer, dipisahkan bukit serta hutan-hutan. Rumah-rumah
di sini pun berbeda dengan di Jawa. Kebanyakan adalah rumah berdinding pelepah
bambu dengan alas tanah maupun panggung. Di Jawa sangat jarang saya bisa
menjumpai rumah seperti ini, namun di sini sepertinya rumah-rumah di kampung
terpencil umumnya seperti itu. Namun, warga-warga di kampung-kampung pelosok
benar-benar sederhana dan ramah.
Seperti pengalaman
saya bersama beberapa teman ketika berkunjung ke kampung Mbani di kec. Ende. Saya
harus melewati sungai dan berjalan kaki. Untuk mencapai kampung harus berjalan
kaki sekitar 1km dari jalan terakhir yang bisa dilalui sepeda motor. Pulang
dari kampung mbani sialnya ban belakang sepeda motor yang saya tumpangi bocor
di tengah hutan. Akhirnya setelah bersusah payah kamipun menjumpai kampung
wologai yang kebetulan ada dua orang teman SM3T yang bertugas di situ. Dengan
bantuan warga setempat akhirnya kamipun bisa mencapai lagi kota Ende.
Malam-malam melewati jalan susah naik turun dan gelap 3 jam, sebuah pengalaman
yang mengesankan.
Sebenarnya kabupaten
Ende tidak begitu besar seperti kabupaten-kabupaten lainnya di Pulau Flores.
Namun akses jalan yang masih terbatas dan susahlah yang seakan-akan membuat
kabupaten Ende terlihat luas. Dua kecamatan yang saling berseberangan yang
harus dicapai dengan jalan memutar jauh yang memakan puluhan kilometer karena
jalan tembusnya adalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui jalan kaki ataupun
kuda. Sehingga untuk mencapai kecamatan tetangga harus menempuh berjam-jam
digoyang-goyang di dalam bis kayu maupun sepeda motor.
Selain itu, di
beberapa kampung terpencil juga mengalami kesulitan sinyal telefon. Karena
itulah di kampung-kampung semacam itu rasanya benar-benar terisolir dari dunia
luar. Di kampung saya di Ratenggoji contohnya, letaknya yang berada di lembah
antar bukit membuat sinyal telepon seluler menjadi barang yang langka. Untuk
mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu di kantor desa. Atau juga seperti
di kampung wologai, untuk bisa mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu ke
gereja. Kesulitan mendapat sinyal telefon ini benar-benar sangat mengganggu
ketika ada informasi-informasi mendadak yang bersifat penting. Akhirnya
informasi yang harusnya sampai kemarin lusa baru sampai hari ini atau bahkan
besok. Masih ada banyak kampung-kampung terpencil lagi yang belum menikmati
sinyal telefon, dan dari cerita teman-teman ada banyak cara unik untuk
menemukan sinyal telefon, mulai dari memanjat pohon hingga menggunakan gelas
sebagai penguat sinyal.
Kontur tanah yang
berbukit-bukit juga berpengaruh pada ketersediaan air bersih. Di beberapa
kampung yang terletak di daerah gersang maupun di atas bukit mengalami
kesulitan air bersih. Sehingga untuk mencari air harus berjalan beberapa
kilometer. Seperti di kampung Watunggere kecamatan Detukeli ataupun kampung
Mblenggo kecamatan Wolowaru yang berada di atas bukit. Untuk mendapatkan air
maka harus berjalan berkilo-kilo meter terlebih dahulu. Beruntung di kampung
saya, ratenggoji, sudah ada selang untuk mengalirkan air dari sumber mata air,
sehingga kampung saya tidak mengalami kesulitan air. Saya sendiri heran dan
bertanya-tanya, kenapa orang-orang di sini mau-maunya membangun perkampungan di
atas bukit yang akses jalannya susah, tanpa listrik, tanpa air, tanpa sinyal
telepon, dingin pula.
Selain itu semua, di
kabupaten Ende juga masih kental adat dan budayanya. Di sini masih sering
diselenggarakan acara-acara adat, baik lingkup kampung maupun lingkup yang jauh
lebih luas. Sebuah kekayaan budaya yang masih terjaga hingga kini. Hampir di setiap
kampung pasti punya acara adat khusus, biasanya sebagai ucapan rasa syukur atas
limpah rejeki yang diterima oleh kampung tersebut. Acara-acara adat ini
dipimpin oleh seorang mosalaki atau ketua adat yang menguasai suatu wilayah. Acara-acara
adat seperti ini sudah punah di jawa, dan kami berkesempatan untuk menikmatinya
lagi di tempat penugasan kami di kabupaten Ende.
Namun, efek negatif
dari banyaknya acara adat yang biasanya menyerahkan persembahan kepada sesuatu
yang gaib tersebut adalah aroma mistis di Ende masih kental. Saya sendiri
merasa ngeri kalau malam-malam harus
melewati hutan-hutan gelap. Ada banyak cerita mistis di setiap tempat
penempatan kami. Apalagi beberapa waktu yang lalu, salah satu teman di
penempatan kec. Wewaria mengalami kerasukan jin. Saya sendiri menjadi saksi langsung
atas kejadian itu. Rasanya benar-benar horor dan menakutkan. Percaya atau tidak
percaya, hal-hal gaib semacam itu memang nyata, dan kami harus percaya serta
waspada menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Salah satu tantangan juga untuk kami
dalam menjalankan tugas mengajar di daerah terpncil.
Itulah kehidupan yang
kami alami selama bertugas sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Saya jadi
teringat guyon bersama teman-teman
ketika rapat koordinasi di kota Ende, salah seorang teman, Ervan Julianto, guru
SM3T penempatan kec. Detukeli berujar “Hidup di sini seperti hidup di jaman
bapak kita di tahun 70an, tanpa listrik,
jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat,
dan juga mistis.” Kami seperti dimasukan kedalam lorong waktu menuju jaman
70an, di jaman bapak-bapak kami dulu. Dari kehidupan yang serba nyaman di era
globalisasi kami dipaksa untuk bertahan hidup di jaman 70an dengan segala suka
dukanya.
Ya, lorong waktu itu
nyata kawan. Dan sekarang saya sedang berada di dalamnya untuk belajar banyak
hal. Segala macam kesederhanaan hidup yang tidak saya jumpai di era
globalisasi. Dan di sini juga saya bersama 45 teman SM3T yang lain yang sudah
menjadi keluarga baru sedang menjalankan tugas untuk menjadi bagian dalam
mencerdaskan anak-anak di pelosok kabupaten Ende, NTT. Dan esok, ketika saya
kembali pulang ke Jawa, maka saya akan cukup bangga bahwa saya pernah merasakan
dan bertahan dari apa-apa yang pernah orang-orang tua dulu alami.
Langganan:
Postingan (Atom)