Selasa, 24 Maret 2015

Rutinitas

Bangun pagi pukul 04.00 > Mandi > Ibadah > Sarapan > Ngampus (pukul 06.0) > Jungkir Balik Menguras Otak > pulang asrama (pukul 16.00) > Istirahat > Ibadah > Makan malam > nggarap tugas > tidur. entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan segala rutinitas menjemukan ini. tapi, tak peduli aku mau atau tidak aku harus bisa melalui semua ini.

Semangat Pagi !!

Perubahan


Memasuki hari kedua liburan ini, asrama terasa lebih sepi lagi. Yah, mau bagaimana lagi, semua penghuni asrama pulang ke rumah masing-masing, hanya menyisakan beberapa penghuni dari luar jawa atau yang rumahnya jauh. Rumah ku sendiri bisa dikatakan tidak begitu jauh dari asrama tapi aku memilih untuk tetap tinggal di asrama saja. Selain karena mengistirahatkan tubuh yang lelah, tapi buatku rumah bukan hanya sekedar arti fisik. Lebih dari itu rumah adalah penghargaan untuk para penjelajah jarak, pengarung waktu.
Sore kemarin aku kembali mengunjungi sebuah tempat di kota kecil ini, tempat spesial yang amat bermakna. Tempat yang membuatku bertahan dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang sebagian besar menjadi perabot rumah 14 inci.  Yah, di sinilah aku menghabiskan waktu masa-masa itu. Duduk dengan segelas kopi, menunggui senja, menghindari deru kereta, menatap hamparan sawah, dan mencoba mnepis ia dari benakku.
Aku tidak sendiri. Kemarin sore, aku mengunjungi tempat ini dengan seorang perempuan. Gadis ceria, begitu mungkin aku bisa menyebutnya. Jelas sekali ini bukanlah sebuah kencan, ini hanyalah obrolan antar sahabat. Yah, waktu telah menerbangkanku ke banyak tempat dan di tiap tempat-tempat itu aku menemukan beberapa sahabat baru yang dengan mereka aku siap untuk bersusah-susah maupun bersenang-senang.
Banyak yang kami bicarakan di tempat itu. Hal-hal yang mungkin terdengar terlalu idealis. Yah, tapi seperti inilah kami jika sudah bertukar pendapat. Seolah-olah kami sedang mewujud menjadi orang lain, bercerita banyak hal –tema berat yang kadang terlalu susah untuk diwujudkan. Yah, tapi rasanya sudah lama tidak ngobrol dalam obrolan sok dewasa ini.
Namun, satu yang agak berbeda, gadis ceria ternyata sudah agak berubah. Yah, setiap orang pasti berubah, hanya orang-orang yang tak mau belajar saja yang terlalu senang berada di zona nyamannya. Gadis ceria itu telah mewujud dalam bentuk baru. Yah, ia memang maih ceria, masih cerewet, masih gemuk, dan banyak hal yang masih sama. Tapi ia memiliki pemahaman baru tentang hidup, hal yang amat berharga dan tak mudah dilihat dari luar. Kini, ia tengah berjuang perlahan untuk menjadi seorang perempuan alim yang memposisikan Tuhan di atas segalanya. Aku benar-benar salut dengannya. Tapi aku tak kaget mendengarnya, ia memang memiliki jiwa seorang idealis, dan memang sudah sepantasnya ia meralisasikan idealisme-idealismenya. Dia berani untuk meninggalkan zona nyamannya, berani untuk mendobrak batasan-batasan diri kemudian membuat batasan-batasan diri yang baru untuk menjadi seorang yang baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena dengan batasan-batasan itulah jiwanya bisa membatasi diri dari kotornya hiruk pikuk dunia.
Aku sungguh malu mendengar ceritanya. Karena aku masih belum juga beranjak dari tempatku ini, tempat yang begitu banyak dosa dimana-mana. Aku masih belum lepas dari jeratan kesepian. Aku masih belum bisa mengendalikan jiwaku ini dan lebih sering harus menyadari kekalahanku akan nafsu di dalam hati.
Terimakasih gadis ceria untuk cerita-cerita yang telah dibagi. Maaf karena tak bisa menyajikan senja yang indah karena bukan kuasaku untuk mengusir gumpalan awan dilangit barat itu. Tapi, duduk di samping rel kereta dimana kereta melintas sangat cepat menghadirkan sensasi yang menyenangkan bukan? Mungkin suatu hari aku bisa menyajikan senja yang cantik atau mungkin bercerita tentang begitu spesialnya tempat ini buatku dan banyak cerita tentangku yang selama ini cuma kubagi dalam rumah 14 inci ini.
Kesepian-kesepian, bantulah aku untuk mewujud dalam bentuk baru sepertinya. Aku tak mau lari darimu dalam dekapan seorang perempuan. Karena orang-orang seperti itu jauh lebih kesepian dari pada aku yang sekarang.  Semoga dalam kesepian ini aku bisa memaknai aku, mengerti tentang batasan-batasan diri, dan mewujud kedalam bentuk baru yang konsisten. Memantaskan diri untuk sebuah hari dimana aku bisa bertemu kamu.
Sampai jumpa lagi senja!

Minggu, 15 Maret 2015

Mengenang Persahabatan Kita


Saat-saat paling menyenangkan dalam sebuah kesempatan adalah saat-saat ketika mengenang. Yah, mengenang apa saja, sebatas kau masih mampu mengingat setiap detailnya dengan jelas.  Bisa jadi kenangan manis masa kecil, atau mungkin juga kenangan pahit bertahun-tahun lalu. Ah, apapun itu, entah manis atau kah pahit sebuah masa lalu selama kau mampu mengenangnya dengan lapang dada kau akan menemukan semburat senyuman di sudut bibirmu. Dan pada akhirnya kau pun akan menyadari betapa kini kau telah mewujud kedalam bentuk yang baru yang berbeda dari masa-masa sebelum ini.

Namun terkadang, sebuah kenangan tak ada cukup ruang untuk disimpan dalam memori otak manusia yang penuh keterbatasan, apalagi untuk takaran otak sederhanaku ini. Karena itulah adakalanya sebuah kenangan diwujudkan dalam berbaris-baris tulisan absurb yang mungkin cuma bisa dimengerti oleh si penulis. Sama halnya dengan rumah 14 inci ini. Sekumpulan tulisan absurb tentang kehidupan seorang lelaki biasa yang mungkin juga tak akan berubah dalam skala besar menjadi seseorang yang luar biasa.

Ketika membaca tulisan-tulisan dalam rumah 14 inci ini pun terkadang akupun merasakan sensasi yang sama menyenangkan dengan saat-saat mengenang. membolak-balikan susunan kata dalam tulisan-tulisan absurb ini terkadang mengingatkanku akan peristiwa-peristiwa lampau yang sudah mulai menguap dari kepalaku. Namun adakalanya juga tulisan-tulisan absurb itu berhasil membenturkanku pada idealisme-idealisme masa muda yang semakin terkikis saja oleh jiwa-jiwa pragmatis seorang lelaki tua. Ah, padahal aku pun belum setua itu bukan?

Sama halnya untuk malam ini, ketika tanpa disengaja aku membaca postingan bertanggal 13 Maret 2013. Seperti ini redaksinya :

Segala yang telah dilalui, yang hari ini dilalui, yang akan dilalui di massa yang akan datang. Dalam keadaan apapun, baik suka maupun duka akan kita syukuri sebagai proses kehidupan yang membahagiakan. Kita berjanji untuk selalu saling menjaga sampai kapanpun dan apapun. Apapun yang menyebabkan perselisihan harus kita pikirkan dengan hati kita yang hebat dan kuat.

Tidak terasa sudah dua tahun dari aku menuliskan itu. Dari sepengingatku, itu adalah kata-kata ajaib yang dituliskan oleh si gadis kecil pada ulang tahun lelaki berkacamata. Samar-samar aku bisa mengingat kejadian di awal tahun 2013 lalu itu saat aku, si gadis kecil, dan si gadis polos diam-diam memberi kejutan ulang tahun untuk si pria berkacamata. Meskipun dengan persiapan yang apa adanya akhirnya malam itu menjadi cerita manis tentang persahabatan kami berempat.

Yah, itu sudah dua tahun yang lalu, dan rasa-rasanya semua kenangan itu sudah hampir memudar dalam sebuah distorsi waktu. Mungkin tanpa tulisan itu aku akan mulai lupa bahwa aku punya sahabat-sahabat terbaik yang pernah singgah mewarnai kehidupanku. Mungkin semua rutinitas dan rentangan jarak ini telah menjadi kabut tebal yang menutupi warna persahabatan kami.

Sungguh aku benar-benar merindukan saat-saat itu. Saat-saat kita tertawa bersama dalam canda, atau saat beberapa kalimat sakti yang sok dewasa meluncur deras dari ulut-mulut kita dalam sebuah malam di pinggiran jalan samping FT? Adakah kalian –gadis kecil, gadis polos, dan pria berkacamata- masih menyimpan rapi kenangan-kenangan itu itu?

Ah, aku benar-benar merindukan kalian. SAHABAT........

Jumat, 13 Maret 2015

Kembali Pulang

12 Februari 2014, tak terasa sudah satu tahun lebih aku tak mengunjungi rumah 14 inci ini. Kalau saja rumah 14 inci ini adalah sebuah bentuk fisik, pasti sudah tak karuan lah bentuknya. mungkin debunya sudah mengendap bersenti-senti. atau juga sudah tak terhitung lagi sarang laba-laba yang memenuhi setiap sudut plafonnya. tapi, yah namanya juga rumah imaji, tempat semua emosi mengendap, tak perlulah aku bersusah payah buat membersihkan rumah 14 inci ini.
Bukankah memang sebuah rumah tak melulu soal fisik? rumah buatku adalah sebuah tempat yang nyaman untuk berpulang. Tempat menumpahkan segala emosi yang memampat, keluh kesah tanpa arah. Dan ya, rumah 14 inci ini nyatanya sudah lama tidak menampung segala cerita selama setahun ini yang terlalu banyak bahkan untuk sekedar dibuat sebuah buku. Mulai dari perjuangan di tanah batas peradaban -Flores-, perjalanan-perjalanan yang sudah pasti tak pernah bisa dilupakan begitu saja, kesepian-kesepian, hingga perjalanan kisah cinta yang selalu saja sensitif -mungkin lain kali akan kuceritakan. Yang pasti kini aku telah dilemparkan oleh waktu kedalam sebuah pusaran baru yang jelas berbeda dari pusaran-pusaran sebelumnya. tapi, sudah pasti pusaran ini pun nantinya akan memampatkanku kedalam bentukku yang baru.
mudah-mudahan, rumah i14 inci ini masih sama nyamannya dengan dulu. Menjadi pendengar untuk cerita-cerita absurb yang kadang membuatku malu. kisah-kisah yang akan menjadi perabot manis di setiap sudutnya. saat malam, saat hujan, saat angin mendera, atau saat sepi kembali menelikung hati.
selamat datang lagi, yah, akhirnya aku kembali merasakan pulang setelah merentang begitu jauh jarak.

Dibawah ini aku sisipkan sebuah lagu berjudul Tentang Rumahku dari DDH

Tentang rumahku
Di ujung bukit karang yang berbatu
Beranda rumahku
Tumbuh tumbuhan liar tak tahu malu
Tentang rumahku
Berbagai macam musim telah kurengkuh
Jadi saksi bisu
Cerita mimpi indah di masa lalu
Yang terlahir dari sebuah gerbang waktu
Yang menjadi tembok kokoh mengitari rumahku
Adakah yang lebih indah dari semua ini
Rumah mungil dan cerita cinta yang megah
Bermandi cahaya di padang bintang
Aku bahagia
Tentang rumahku
Tak kan goyah walau badai mengamuk
Seperti pohon jati
Akarnya tertancap di poros bumi
Sewindu merindu
Kembali pulang dengan sebongkah haru
Senyum menyambut
bagai rindu kumbang pada bunga di taman

Sabtu, 15 Februari 2014

Ekspedisi Kelibara bag 2. Potong Kompas

“Menuliskan nama kita dalam sejarah memang tidak pernah mudah ya? Semacam kita ini, orang-orang gila yang bertekat menjadi orang pertama yang potong kompas dari wolowaru-kelibara-kelimutu.” Kata Rohmat sambil menyusuri jalan setapak di sebuah bukit dekat dengan kampung mbililo’o.
Tadi kami berangkat pagi-pagi dari Wolowaru, tepatnya dari rumah pak Sofyan di kampung Nakambara. Pak sofyan dan istrinya bahkan sampai mengantar dan menunggui kami menghilang di belakang rumahnya. Sepertinya mereka masih belum percaya kalau kami akan berjalan kaki sampai kampung pemo.
Melewati pematang sawah di belakang rumah pak sofyan kami juga sempat bertemu dengan beberapa petani yang hanya bisa geleng-geleng kepala ketika tahu kami akan menuju ke Kelibara. Setelah keluar dari pesawahan akhirnya ini saatnya untuk memulai petualangan. Aku mengeluarkan kompas, senajata kami untuk bisa tembus sampai Pemo.
“Sudutnya 520 nih, coba kamu lihat !” kata Rohmat sambil menyerahkan kompas kepadaku.
Akupun mulai membidik, “ya, sekitar segitu, antara 510 dan 520 lah.”
Kamipun sepakat untuk membidik puncak bukit terdekat sebagai acuannya. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan kembali untuk menuju puncak bukit dengan tiga buah pohon yang menjulang sebagai acuannya.
Namun sepertinya bukit acuan kami tadi terlalu jauh. Kamipun sempat kebingungan dibuatnya ketika jarang pandang ke bukit tertutup oleh pohon-pohon. Kamipun harus melewati dua buah sungai untuk mencapai bukit itu. Sungai pertama adalah sungai kecil yang bisa kamilewati tanpa harus melepas sepatu, cukup berpijak pada batu-batu besar di sungai. Namun sungai kedua sepertinya agak besar, kamipun harus melepas sepatu kami. Bahkan celana Rohmat yang digulung sampai lututpun sampai basah. Setelah berhasil melewati sungai kami pun harus menerobos semak-semak dan menerjang sebuah tebing yang tidak begitu tinggi. Di sini, parang Pak Sofyan sepertinya sudah mulai berfungsi.
Sampai di atas tebing akhirnya kami bisa melihat bukit yang kami tuju tepat di depan kami. Tapi aku juga bisa mendengar suara sepeda motor dan melihat tiang listrik yang berada di bibir bukit.
“eh met, di atas sepertinya ada jalan raya. Lihat ada tiang listrik di situ. Ada sepeda motor yang lewat juga sepertinya.”
“betul, sepertinya itu jalan Wolowaru-Jopu. Nah kalau mau ke tenda atau mbulilo’o sepertinya juga harus lewat jalan itu. Berarti arah kita sudah benar.”
Kemudian kami mulai naik menaiki sebuah tanjakan. Benar saja, di sini ada jalan raya. Ada beberapa sepeda motor yang lewat, dan mereka sepertinya melihat kami dengan cara yang aneh. Maklum, kami berpenampilan layaknya orang asing. Sepatu lapangan, tas besar, serta topi. Dan yang paling mencolok adalah parang panjang yang sedang Rohmat ayun-ayunkan. Kami lantas menaiki bukit yang dimaksud, bukit tujuan dari kompas yang kami bidik tadi.
“ayo met, naik ke arah pohon yang kita bidik tadi, lalu kita bidik lagi dari sini ke arah bukit di depan.” Ajakku.
“nanti dulu.”
“lha kenapa? Tunggu apa lagi. Kan katanya mau potong kompas.”
“iya sih, tapi apa tidak lebih baik kalau menyusuri jalan aspal dulu terus baru melanjutkan potong kompas ketika sudah melihat kampung pemo.”
“iya juga sih, lagian bukit di depan sepertinya terlalu curam.”
Akhirnya kami turun ke arah jalan raya. Kami menyusuri jalan raya melewati bukit yang curam tadi lewat bibirnya. Bisa dibayangkan tenaga kami yang akan habis kalau harus menerjang bukit tersebut. Jalan raya ini sedikit menghemat energi.
“Eh Met, ada mobil !”
“betul, kita numpang saja ya.”
Bermodal jempol tangan akhirnya kami menumpang sebuah mobil pick up yang mengangkut parabola. Kami juga bertanya tentang jalur jalan setapak menuju kampung pemo ketika sopir mobil tersebut menanyakan tentang tujuan kami. Sopir tadi memberi pilihan lewat jopu, tenda atau lewat mbulilo’o.
“pokoknya yang ada jalan setapaknya kak, kami niatnya mau jalan kaki terus lewat jalan setapak sampai ke Pemo.”
“oh, baik sudah. Mas mereka ikut saja sampai kampung saya, nanti saya tunjukan jalannya. Tapi nanti dari kampung saya harus menerobos hutan-hutan. ”
“Iya pak, terimakasih. Lewat kampung apa ya?”
“lewat kampung mbilolo’o. kalau begitu naik sudah !”
Kami pun akhirnya naik di belakang mobil pick up tersebut. tujuan potong kompa kami tadi kini telah dipadukan dengan backpackeran. Tak apalah, naik mobil ini menghemat sangat banyak energi.
Sampai dijalan sebelum masukkampung mbulilo’o akhirnya kami diturunkan. Kemudian sopir tadi menunjukan arah kampung Pemo. Setelah berterimakasih kamipun melanjutkan perjalanan.
“berapa derajat Met?” tanyaku kepada Rohmat yang sedang membidik.
“50 an derajat nih.”
“oke, kemudian langsung arahkan ke titik terdekat, biar gampang dan tidak membingungkan seperti tadi.”
“Oke, gimana kalau pohon yang itu?” Kata Rohmat sambil menunjuk pohon yang ada di seberang jurang tidak terlalu jauh.
“oh yang itu kah? Ya sudah ayo lanjut.”
Ketika kami akan melewati jurang kecil itu tiba-tiba ada yang memanggil kami, rupanya seorang ibu-ibu.
“Hei, kalian ada buat apa?” tanyanya.
“Mau ke kampung Pemo mama. Mau naik gunung kelibara”
“jalan kaki kah? Ina di sebelah sini ada jalan setapak.”
“oh iya kah mama? Terimakasih mama.”
“rewo-rewo e, hati-hati ya!”
Ibu-ibu tadi pun berlalu. Aku dan Rohmat menyusuri jalan setapak menyebrang jurang tadi hingga ke pohon yang dimaksud. Kemudian kami melanjutkan potong kompas. Hasil bidikan kompas menunjuk ke puncak bukit di sebelah depan. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan.
Rupanya jurang dari bukit tempat kami berada lumayan terjal. Kamipun memutar berusaha mencari jurang yang tak begitu terjal. Patokan kami adalah adanya kebun jambu mete sehingga kemungkinan jurang yang ada jambu metenya bisa dituruni karena sudah biasa dituruni oleh warga pemiik kebun.
“nah, ini sepertinya yang dinamakan sungai bau ngga?” kata Rohmat sambil menunjuk sebuah sungai di bawah.
“oh, sungai yang berasal dari danau di kelimutu itu kah?” tanyaku.
“yup, betul sekali. Lihat, warnanya merahkan kan? Agak bau juga.” Kata Rohmat sambil mengambil sedikit air dari sungai bau yang berwarna kemerahan ini.
Selain sungai bau, ada sungai merah dan sungai putih yang berasal dari danau kelimutu. Kalau sungai putih aku juga sudah pernah melihatnya dibelakang rumah Pak Mahmud, salah satu keluarga baru kami di kampung mbuli moralau. Menurut beliau memang sungai bau ini terletak di dalam hutan di mbulilo’o, sementara itu sungai merah berada di atas kampung mbuliwalarau yang kemudian menyatu dengan sungai putih dan bermuara di pantai mbuli.
Dari sungai merah ini kami kemudian menaiki bukit, mencoba menemukan jalan setapak menuju puncak bukit yang kami bidik tadi. Kami harus menerjang beberapa semak menggunakan parang. Ya, sepertinya kami sudah harus memulai perjuangan kami di sini.
Namun sepertinya puncak bukit yang kami maksud ada jauh di depan sana. Rupanya kami mulai tersesat dan kehilangan patokan kami tadi.
“coba kita agak ke kanan ngga.” Kata Rohmat.
“nggak lebih baik kalau langsung naik ke atas ya met?”
“ke kanan aja dulu, sepertinya di sebelah sana ada jalan setapak. Sepertinya itu jalan menuju atas bukit.”
Kami pun berjalan agak ke kanan, mencoba mencari jalan setapak. Kemudian kami menelusuri jalan setapak tersebut hingga memutar sampai di sisi lain bukit. Rupanya di seberang sana ada seorang bapak-bapak yang sedang bekerja di ladangnya.
“mari pak.” Kata kami bersamaan.
“mau ke mana?” tanya bapak itu.
“mau ke Pemo pak, lewat mana ya?”
“oh, ikut jalan setapak di depan kemudian naik ke atas bukit.”
“ikut sini kah pak?”
“Ah, itu sudah.”
Akhirnya kamipun mengikuti petunjuk bapak petani tadi. Mengikuti jalan setapak hingga menaiki sebuah bukit. Tracknya lumayan terjal dengan batu-batuan seperti track di gunung-gunung di Jawa. cukup menguras tenaga. Bahkan kami pun beberapa kali menghela nafas untuk menampung lebih banyak oksigen. Trak seperti ini memaksa kami lebih banyak beristirahat.
Sampai di sebelah atas rupanya kami masih belum sampai di puncak bukit, melainkan masih berada di punggung bukit. Di depan kami ada jurang yang lumayan besar dan dalam. Tentu saja kami tak berniat untuk menerabasnya. Ada jalan bercabang juga di depan, satu turun ke bawah punggung bukit, satu lagi naik ke atas bukit. Namun yang membuat kami bersemangat, di depan sana sudah terlihat kampung pemo. Namun letaknya masih cukup jauh di sana.
“Sepertinya naik ke atas bukit met.”
“ya, sepertinya begitu, kita tidak mungkin bisa melewati jurang ini. Tapi bagaimana kalau di dean bukit ini juga ada jurang?”
“sepertinya bukit-bukit ini saling menyatu met. Lihatlah, sepertinya tidak ada jurang yang memisahkan bukit-bukit di depan.” Aku menunjuk bukit-bukit di depan seperti dibelokan oleh jurang.
“iya sih, tapi sepertinya ada celah antar bukit itu.” Kata rahmat sambil menunjuk salah satu bukit.
“Iya juga sih. Tapi coba saja dulu lah.nanti kalau salah balik lagi.”
Kami pun mengakhiri diskusi kami dan mulai melanjutkan perjalanan mendaki bukit.
Ya, kami beberapa kali harus berdiskusi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan, mengambil jalan mana yang akan dilalui. Sebetulnya ada beberapa teman yang lain di Wolowaru yang mau ikut petualangan ini. Namun Rohmat melarang mereka ikut karena takut akan terjadi perdebatan yang panjang kalau terlalu banyak orang yang ikut. Belum lagi kalau perempuan ikut, bisa sangat merepotkan. Sejenak kami kesampingkan terlebih dahulu prinsip emansipasi untuk keselamatan bersama.
Kami terus naik menyusuri jalan setapak ini. Rupanya jalan setapak ini memang benar-benar menaiki bukit sanpa ada bonus jalan datarnya. Keringat benar-benar sudah membanjiri tubuh kami. Jalan naik ini melewati beberapa ladang jambu mete.
“met, lihat di sana ! menggiurkan sekali.” Kataku sambil menunjuk sebuah jambu mete yang matang sempurna berwarna merah.
“hemmm, kalu mengambilnya nyolong bukan?”
“nyolong.” Jawabku singkat.
Kamipun berlalu dari buah mete yang menggiurkan serta menggoda keimanan kami tadi. Kembali menaiki bukit dengan terengah-engah. Jalanan naik ini juga beberapa kali melewati pohon kelapa. Kami sendiri sampai heran kenapa ada pohon kelapa di hutan bukit seperti ini, biasanya pohon kelapa hanya ada di dataran rendah hingga pantai-pantai. Kami juga melewati beberapa rimunan hutan yang cukup rapat.
Sebagai panduan kami menaiki bukit adalah sebuah pipa air. Tadi kami juga sempat menemui sebuah cabang. Kam memilih jalan setapak yang lebih luas dan erdapat pipa air. Karena pasti jalan tersebut pernah dilewati orang, yakni orang yang memasang pipa air tersebut.
“mudah-mudahan pipa air ini menuju ke pemo. Ah, kalau begini terus perjalanan ke pemo nggak sesulit yang kubayangkan nih.” Ucapku dalam hati.
Jalan terus menanjak sampai kami menemukan sebuah ladang yang cukup luas.
“gok… gok… gok…” Suara anjing di depan sana.
Rupanya ladang ini dijaga oleh beberapa anjing. Dan anjing-anjing penjaga ini merasa terganggu dengan kedatangan kami. Akupun bergidik ngeri dibuatnya. Anjing-anjing ini menggonggong begitu liarnya. Bisa mati ini kalau dikeroyok anjing-anjing ini. Dan sepertinya tidak ada tanda-tanda keberadaan orang dikebun ini.
“tenang ngga, jangan panik.” Rohmat mencoba menenangkanku yang mulai terlihat panik. Ia sendiri sepertinya cukup tenang. “Kalau kamu lari nanti malah dikejar anjing-anjing ini.” Lanjutnya.
Ada tiga ekor anjing yang menjaga ladang tersebut. Dua ekor yang agak besar terikat dengan rantai di gubuk tempat menjaga ladang tersebut. sementara satu ekor yang lain menggonggong sambil mencoba mengusir kami. Kamipun berjalan agak menyamping melewati gubuk tempat anjing-anjing itu. Aku sendiri berjalan sambil tak henti-hentinya mengucap nama Alloh.
Namun kesulitan sesungguhnya bukan tentang anjing-anjing tersebut. Rupanya pipa air yang kami ikuti tadi menemukan ujungnya di sini. Sebuah mata air yang ditampung dalam sebuah bak kecil. Namun ada sebuah jalan setapak naik ke atas bukit. Kamipun menaiki jalan setapak tersebut, namun Rohmat lebih dahulu mengisi ulang botol minumku yang tinggal separuh di mata air tersebut, aku sendiri masih takut akan anjing-anjing yang menggonggong tadi. Lebih baik aku segera naik ke atas bukit dari pada tiba-tiba dikejar oleh anjing yang tak terikat.
Rupanya jalan setapak ini juga menemui ujungnya di sini. Ya, inilah tantangan yang sebenarnya.
“Gimana ini met?” tanyaku.
“gimana ya, menurutmu bagaimana?”
“mau naik terus ke atas bukit pa? sepertinya dari atas bukit ini kemudian naik terus mnyusuri punggung bukit.”
“tapi sepertinya di depan sana ada jurang, bukit-bukit itu sepertinya tidak saling menyatu. Lagian sudah tidak ada jalan lagi.” Kata Rohmat sambil menunjuk punggung bukit.
“Iya sih, semaknya terlalu rapat. Lha gimana? Mau turun aja pa? sepertinya ada jalan setapak lain di samping mata air tadi.” Kataku.
“oke, ayo kita turun lagi aja.”
Kamipun kemudian turun lagi. Mencoba menemukan jalan setapak yang kumaksud. Tapi itu artinya harus turun lagi ke dekat kebun yang dijaga anjing-anjing ganas tadi. Ah, sial.
Benar saja, anjing-anjing tadi mulai menggonggong lagi. Akupun kembali harus menghela nafas. Rohmat bukannya menjauh dan mencari jalan setapak tadi malah turun terus mendekati gubuk.
“heh met, mau kemana lagi?” ucapku sambil sedikit takut-takut.
“di bawah sana sepertinya ada sawah-sawah, ada orang juga sepertinya.”
“iya, tapi mau turun dengan cara apa? Lihatlah, jurangnya terjal sekali.”
Ya, di bawah sana memang ada sawah-sawah, ada petaninya juga sepertinya. Tapi jurang yang memisahkan benar-benar terjal dan curam. 900 kemiringannya mungkin.
Akhirnya kamipun kembali mencari jalan setapak dekat dengan mata air tadi. Menjauh dari gonggongan anjing-anjing penjaga kebun yang terlihat ganas tadi. Namun aku belum merasa lega. Karena sepertinya petualangan baru saja dimulai. Jalan setapak ini sepertinya sudah lama sekali tak dilalui orang. Semak-semak disamping jalannya amat rimbun, belum lagi hutan dengan pohon-pohon besar di depan. Perjuangan baru saja dimulai, dan kami tak akan mudah untuk menyerah.



Ekspedisi Kelibara bag 1. Hanya Bermodal Nekat

“ngga minggu depan ikut aku potong kompas dari Wolowaru ke Kelibara hingga ke kelimutu nggak?” tanya Rohmat kepadaku.
Sudah beberapa bulan ini kami hanya bisa mewacanakan petualangan besar potong kompas wolowaru-kelibara-kelimutu tanpa bisa merealisasikannya. Karena itulah aku cukup kaget ketika Rohmat dengan menggebu-gebunya mengajakku untuk ikut dalam petualangan besar yang katanya pasti jadi ini. Rupanya ia benar-benar sudah dibuat penasaran oleh G.Kelibara, titik tertinggi kabupaten Ende yang hanya bisa ia lihat saja kegagahannya dari wolowaru.
Rencananya akan ada anak murid yang memandu kami. Murid ini memiliki rumah di kampung pemo, kampung yang tepat berada di kaki G.kelibara. Rencananya ia akan memandu kami potong kompas Wolowaru-Pemo, bahkan hingga Kelibara kalau bisa. Awal Februari inipun cuaca masih cukup memungkinkan untuk memulai petualangan ini.
Namun sayangnya menjelang hari H ada sedikit masalah ketika ada agenda lain teman-teman SM3T di wolowaru. Rohmat merupakan guru SM3T dari Unnes penempatan Wolowaru. Selain itu anak murid yang akan menjadi pemandu untuk petualangan ini menghilang entah kemana. Acara petualangan besar ini benar-benar terancam gagal.
“bagaimana ini met, masa mau gagal lagi rencananya?”
“lha gimana, besok ada rencana ketemu dengan pak camat wolowaru je, lapor diri keberadaan SM3T.”
“halah, nggak usah ketemu pak camat, aku saja nggak ketemu pak camat Lepembusu Kelisoke kok. Aku udah jauh-jauh dari ratenggoji masa nggak jadi. Udah siap tinggal berangkat ini.” Aku mencoba untuk menghasut Rohmat.
“haduh, gimana ya?”
Rohmat sepertinya bingung juga oleh dua agenda yang bentrok ini. Sebagai ketua SM3T kecamatan Wolowaru ia bertanggung jawab akan acara lapor diri di kecamatan, namun jiwa petualangannya juga rasanya tak bisa dikesampingkan.
“ya sudah, rencana tatap muka dengan pak camatnya tak tunda dulu aja wis, lha anak-anak yang ngajar di SMA saja sedang sibuk karena ada pengawas dari kabupaten yang akan datang ke SMA. Petualangan besar ini pokoknya harus jadi. Nanti tak bilang ke pak David, ketua UPTD PPO wolowaru untuk membatalkan pertemuan dengan Pak Camat.” Akhirnya Rahmat beruara setelah merenung cukup lama.
Akhirnya Rahmat mulai termakan rayuanku untuk tetap melanjutkan rencana besar kami. Aku sendiri sudah jauh-jauh datang dari kampung tempat penugasanku di kampung Ratenggoji dengan peralatan lengkap siap berpetualang.
“ya sudah, sekarang kita cari muridku yang akan jadi pemandu dulu ya. Kemudian kita beli persiapan-persiapan untuk naik besok.” Rohmat terlihat lebih bersemangat sekarang.
Namun, ada saja masalah yang harus kami hadapai. Anak murid yang akan jadi pemandu hilang entah kemana. Belum lagi spirtus yang rencananya akan jadi bahan bakar memasak saat pendakian tak ada di toko-toko disekitar Wolowaru.
“Ada saja halangannya ini. Sepertinya tuhan memang tidak merestui perjalanan kita nih met.” Aku sedikit putus asa.
“Sudahlah, ada pemandu atau tidak kita pokoknya tetap jalan. Kan kita juga sudah bawa kompas. Pokoknya aman. Yang penting tenang dan yakin.” Giliran Rohmat yang sekarang menghasutku. Rupanya ia sudah benar-benar semangat.
“Okelah, pokoknya yakin dan tenang ya. Terus ini perjalanannya mau dimulai dari mana? Kita kan benar-benar nggak tau mulai star dari mana.” Tanyaku.
“Nanti tak tanya pak Sofyan, bapak asuhku, mulainya dari mana. Mudah-mudahan beliau tahu.”
“Oke, nanti masaknya pake kayu bakarnya, pokoknya jadi ya.”
Akhirnya petualangan besar ini benar-benar akan terwujud.
“mas serius mau ke kelibara? Kami saja belum pernah sampai sana.” Kata pak sofyan ketika kami bertanya tentang jalur menuju kampung pemo.
Menurut pak sofyan, untuk menuju kempung pemo bisa lewat jalan besar lewat moni, kemudian naik lewat jalan besar ke danau kelimutu, kemudian naik lewat cabang ke kampung pemo. Beliau menyarankan kami untuk naik motor hingga ke kampung pemo.
“ah, nggak ada tantangannya kalau Cuma naik motor sampai Pemo pak. Kami rencananya mau potong kompas dari Wolowaru sampai Pemo. Nanti menginap di masjid di Pemo baru kemudian naik ke Kelibara.”
“kalian ini benar-benar aneh, jalan yang besar saja ada malah cari jalan setapak. Kalau mau lewat jalan setapak mungkin bisa lewat kampung Tenda atau kampung Mbulilo’o. tapi hati-hati, mungkin jalan setapak itu sudah hilang, soalnya sekarang jalan setapak itu sudah tidak dipakai lagi, karena jalan setapak itu digunakan orang-orang dulu sebelum ada jalan raya.”
“terimakasih untuk pujiannya pak.” Batinku.
Aku memang lebih suka dibilang orang aneh. Aneh berarti berbeda. Berbeda berarti istimewa. ya, cap orang aneh menurutku adalah sebuah pujian. Lagipula, melewati jalan raya berarti tidak ada tantangannya sama sekali. Tantangan inilah yang aku cari untuk mengisi kembali semangat yang sudah mulai luntur. Menguapkan kebosanan yang sudah mulai menggerogotiku di kampung ratenggoji yang setiap hari hujan di bulan-bulan begini. Ya, petualangan besar ini sekaligus untuk perjalanan spiritual. Rasanya ketika pak sofyan bilang orang-orang sini saja belum ada yang sampai di Kelibara benar-benar menambah semangat kami.

Sabtu, 8 Februari 2014, pagi ini akan benar-benar menjadi sejarah untukku. Aku dan Rohmat bersiap-siap untuk melakukan sebuah perjalanan besar. Bersenjatakan parang dari pak sofyan untuk membuka jalan. Serta tekat dan keyakinan yang dipadukan dengan kenekatan untuk menjadi orang pertama yang berhasil tembus Wolowaru-Kelibara-Kelimutu. Saking nekatnya sampai kami lupa membawa perlengkapan P3K dan peralatan memasak.

Sabtu, 01 Februari 2014

Hei, Lorong Waktu Ternyata Ada !

“Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di  tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga mistis.”
Efran Julianto, Guru SM3T UNY angkatan 3, kec. Detukeli, kab. Ende, NTT.

Sudah hampir 5 bulan saya menunaikan tanggung jawab sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Sudah ada banyak hal yang saya lalui  di sini, dan tidak terasa 5 bulan sudah terlewati. Ada hal-hal yang menyenangkan, ada juga hal-hal yang kurang menyenangkan. Semuanya itu campur aduk membentuk kenangan yang sulit untuk dilupakan. Saya belajar banyak dari apa-apa yang sudah terlewati di sini.

Saya bersama 45 teman lainnya datang ke kabupaten Ende untuk menunaikan tugas sebagai guru SM3T, yaitu para sarjana yang dikirim mengajar di daerah 3T (terluar, terbelakang, dan terpencil). Sebagian besar dari kami di tempatkan di kampung-kampung di pelosok kabupaten Ende untuk mengajar SD, SMP, maupun SMA. Apa yang kami jumpai di tempat penugasan kami amat jauh sekali dari kehidupan seperti di Jawa, baik SDM maupun SDA nya. Mulai dari tidak ada listrik, akses jalan dan transportasi yang susah, sinyal telfon yang hanya ada di area tertentu saja, hingga kelangkaan air. Saya sendiri mendapatkan tugas mengajar di SMPN Satu Atap Ratenggoji di kampung Ratenggoji, desa Tani Woda, Kec. Lepembusu Kelisoke.

Kecamatan Lepembusu Kelisoke adaah sebuah kecamatan baru di kabupaten Ende, kecamatan yang paling terbelakang dibanding kecamatan lainnya di Ende. Sementara itu, kampung Ratenggoji adalah kampung ke tiga paling ujung timur di kecamatan Lepembusu Kelisoke. Setelah kampung Ratenggoji masih ada kampung  Detuara dan Detulate di sebelah utara yang berbatasan dengan kecamatan Kotabaru dan masih ada kampung Wolofai dan Birijo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Sikka. Karena itulah kampung ratenggoji tempat saya bertugas adalah salah satu kampung terpencil dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten Ende.

Ya, kampung Ratenggoji tempat saya bertugas hanyalah salah satu dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten Ende. Biasanya kampung-kampung terpencil ini adalah kampung-kampung yang berada di ujung kecamatan. Salah satu indikator dikatakan kampung terpencil adalah tidak adanya listrik. Selain di kampung saya, sebagian besar kampung-kampung tempat penempatan SM3T adalah kampung-kampung yang masih belum tersentuh listrik. Hampir di setiap kecamatan ada saja kampung yang belum tersentuh listrik, kecuali di kecamatan Ende tengah dan Ende Selatan yang notabennya adalah pusat kota. Untuk dapat menikmati listrik maka sebagian warga yang berkecukupan akan menggunakan genset. Seperti halnya di rumah tempat saya tinggal yang setiap jam 7 sampai jam 9 malam mendapat penerangan dari genset milik mosalaki (ketua adat atau tuan tanah).

Selain listrik, indikator lainnya adalah akses jalan dan transportasi yang susah. Tidak seperti di Jawa yang yang sebagian besar kontur tanahnya yang datar, di pulau Flores kontur tanahnya adalah berbukit-bukit. Jadi untuk melewati bukit-bukit tersebut dibuatlah jalan yang berkelak-kelok naik turun melewati jurang dan hutan, jadi jangan heran kalau mabuk darat melewati jalanan di Flores. Sebenarnya, jalan negara yang menghubungkan antar kabupaten di Pulau Flores adalah jalan yang bagus, namun, dari jalan negara ini naik ke kampung-kampung lah jalan yang rusak berat. Sehingga untuk mencapai kampung pelosok dengan akses jalan yang hancur dibutuhkan tansportasi yang kuat, yakni truk yang disulap menjadi bis, orang sini biasa menyebut bis kayu atau oto truk.

Tidak setiap hari bis kayu ini jalan, biasanya hanya seminggu sekali. Untungnya saja ada dua atau tiga bis kayu yang jalan setiap minggunya. Contohnya saja oto yoanjelo dan oto dack, dua bis kayu yang melayani transportasi di kampung saya, Ratenggoji, untuk menuju kota Ende. Namun sayangnya transportasi ini tidak selancar yang dibayangkan, bis kayu ini tidak pasti jalan setiap minggunya. Adakalanya dua minggu sekali bis kayu baru jalan.

Namun ada juga kampung-kampung yang tidak terjangkau transportasi umum, bahkan bis kayu sekalipun. Biasanya kampung-kampung ini terletak di  paling ujung kecamatan dan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor bahkan jalan kaki. Seperti kampung-kampung disekitar kampung saya, yaitu Wolofai, Birijo, Fatandopo, dan Detulate yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki karena bis kayu hanya bisa sampai di kampung saya, Ratenggoji. Sementara itu dari kampung ratenggoji hanya ada jalan setapak yang bisa dilalui sepeda motor saja, bahkan di kampung birijo hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.

Jarak antar kampung di Flores ini berbeda dengan di Jawa. kampung-kampung di pelosok Ende adalah kampung yang rumah-rumahnya memusat di pusat kampung dengan hanya beberapa Kepala Keluarga saja. Jadi jarak antar satu kampung hingga kampung tetangga bisa mencapai 2 atau 3 kilometer, dipisahkan bukit serta hutan-hutan. Rumah-rumah di sini pun berbeda dengan di Jawa. Kebanyakan adalah rumah berdinding pelepah bambu dengan alas tanah maupun panggung. Di Jawa sangat jarang saya bisa menjumpai rumah seperti ini, namun di sini sepertinya rumah-rumah di kampung terpencil umumnya seperti itu. Namun, warga-warga di kampung-kampung pelosok benar-benar sederhana dan ramah.

Seperti pengalaman saya bersama beberapa teman ketika berkunjung ke kampung Mbani di kec. Ende. Saya harus melewati sungai dan berjalan kaki. Untuk mencapai kampung harus berjalan kaki sekitar 1km dari jalan terakhir yang bisa dilalui sepeda motor. Pulang dari kampung mbani sialnya ban belakang sepeda motor yang saya tumpangi bocor di tengah hutan. Akhirnya setelah bersusah payah kamipun menjumpai kampung wologai yang kebetulan ada dua orang teman SM3T yang bertugas di situ. Dengan bantuan warga setempat akhirnya kamipun bisa mencapai lagi kota Ende. Malam-malam melewati jalan susah naik turun dan gelap 3 jam, sebuah pengalaman yang mengesankan.

Sebenarnya kabupaten Ende tidak begitu besar seperti kabupaten-kabupaten lainnya di Pulau Flores. Namun akses jalan yang masih terbatas dan susahlah yang seakan-akan membuat kabupaten Ende terlihat luas. Dua kecamatan yang saling berseberangan yang harus dicapai dengan jalan memutar jauh yang memakan puluhan kilometer karena jalan tembusnya adalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui jalan kaki ataupun kuda. Sehingga untuk mencapai kecamatan tetangga harus menempuh berjam-jam digoyang-goyang di dalam bis kayu maupun sepeda motor.

Selain itu, di beberapa kampung terpencil juga mengalami kesulitan sinyal telefon. Karena itulah di kampung-kampung semacam itu rasanya benar-benar terisolir dari dunia luar. Di kampung saya di Ratenggoji contohnya, letaknya yang berada di lembah antar bukit membuat sinyal telepon seluler menjadi barang yang langka. Untuk mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu di kantor desa. Atau juga seperti di kampung wologai, untuk bisa mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu ke gereja. Kesulitan mendapat sinyal telefon ini benar-benar sangat mengganggu ketika ada informasi-informasi mendadak yang bersifat penting. Akhirnya informasi yang harusnya sampai kemarin lusa baru sampai hari ini atau bahkan besok. Masih ada banyak kampung-kampung terpencil lagi yang belum menikmati sinyal telefon, dan dari cerita teman-teman ada banyak cara unik untuk menemukan sinyal telefon, mulai dari memanjat pohon hingga menggunakan gelas sebagai penguat sinyal.

Kontur tanah yang berbukit-bukit juga berpengaruh pada ketersediaan air bersih. Di beberapa kampung yang terletak di daerah gersang maupun di atas bukit mengalami kesulitan air bersih. Sehingga untuk mencari air harus berjalan beberapa kilometer. Seperti di kampung Watunggere kecamatan Detukeli ataupun kampung Mblenggo kecamatan Wolowaru yang berada di atas bukit. Untuk mendapatkan air maka harus berjalan berkilo-kilo meter terlebih dahulu. Beruntung di kampung saya, ratenggoji, sudah ada selang untuk mengalirkan air dari sumber mata air, sehingga kampung saya tidak mengalami kesulitan air. Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, kenapa orang-orang di sini mau-maunya membangun perkampungan di atas bukit yang akses jalannya susah, tanpa listrik, tanpa air, tanpa sinyal telepon, dingin pula.

Selain itu semua, di kabupaten Ende juga masih kental adat dan budayanya. Di sini masih sering diselenggarakan acara-acara adat, baik lingkup kampung maupun lingkup yang jauh lebih luas. Sebuah kekayaan budaya yang masih terjaga hingga kini. Hampir di setiap kampung pasti punya acara adat khusus, biasanya sebagai ucapan rasa syukur atas limpah rejeki yang diterima oleh kampung tersebut. Acara-acara adat ini dipimpin oleh seorang mosalaki atau ketua adat yang menguasai suatu wilayah. Acara-acara adat seperti ini sudah punah di jawa, dan kami berkesempatan untuk menikmatinya lagi di tempat penugasan kami di kabupaten Ende.

Namun, efek negatif dari banyaknya acara adat yang biasanya menyerahkan persembahan kepada sesuatu yang gaib tersebut adalah aroma mistis di Ende masih kental. Saya sendiri merasa ngeri kalau malam-malam harus melewati hutan-hutan gelap. Ada banyak cerita mistis di setiap tempat penempatan kami. Apalagi beberapa waktu yang lalu, salah satu teman di penempatan kec. Wewaria mengalami kerasukan jin. Saya sendiri menjadi saksi langsung atas kejadian itu. Rasanya benar-benar horor dan menakutkan. Percaya atau tidak percaya, hal-hal gaib semacam itu memang nyata, dan kami harus percaya serta waspada menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Salah satu tantangan juga untuk kami dalam menjalankan tugas mengajar di daerah terpncil.

Itulah kehidupan yang kami alami selama bertugas sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Saya jadi teringat guyon bersama teman-teman ketika rapat koordinasi di kota Ende, salah seorang teman, Ervan Julianto, guru SM3T penempatan kec. Detukeli berujar “Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di  tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga mistis.” Kami seperti dimasukan kedalam lorong waktu menuju jaman 70an, di jaman bapak-bapak kami dulu. Dari kehidupan yang serba nyaman di era globalisasi kami dipaksa untuk bertahan hidup di jaman 70an dengan segala suka dukanya.

Ya, lorong waktu itu nyata kawan. Dan sekarang saya sedang berada di dalamnya untuk belajar banyak hal. Segala macam kesederhanaan hidup yang tidak saya jumpai di era globalisasi. Dan di sini juga saya bersama 45 teman SM3T yang lain yang sudah menjadi keluarga baru sedang menjalankan tugas untuk menjadi bagian dalam mencerdaskan anak-anak di pelosok kabupaten Ende, NTT. Dan esok, ketika saya kembali pulang ke Jawa, maka saya akan cukup bangga bahwa saya pernah merasakan dan bertahan dari apa-apa yang pernah orang-orang tua dulu alami.