Sabtu, 01 Februari 2014

Hei, Lorong Waktu Ternyata Ada !

“Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di  tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga mistis.”
Efran Julianto, Guru SM3T UNY angkatan 3, kec. Detukeli, kab. Ende, NTT.

Sudah hampir 5 bulan saya menunaikan tanggung jawab sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Sudah ada banyak hal yang saya lalui  di sini, dan tidak terasa 5 bulan sudah terlewati. Ada hal-hal yang menyenangkan, ada juga hal-hal yang kurang menyenangkan. Semuanya itu campur aduk membentuk kenangan yang sulit untuk dilupakan. Saya belajar banyak dari apa-apa yang sudah terlewati di sini.

Saya bersama 45 teman lainnya datang ke kabupaten Ende untuk menunaikan tugas sebagai guru SM3T, yaitu para sarjana yang dikirim mengajar di daerah 3T (terluar, terbelakang, dan terpencil). Sebagian besar dari kami di tempatkan di kampung-kampung di pelosok kabupaten Ende untuk mengajar SD, SMP, maupun SMA. Apa yang kami jumpai di tempat penugasan kami amat jauh sekali dari kehidupan seperti di Jawa, baik SDM maupun SDA nya. Mulai dari tidak ada listrik, akses jalan dan transportasi yang susah, sinyal telfon yang hanya ada di area tertentu saja, hingga kelangkaan air. Saya sendiri mendapatkan tugas mengajar di SMPN Satu Atap Ratenggoji di kampung Ratenggoji, desa Tani Woda, Kec. Lepembusu Kelisoke.

Kecamatan Lepembusu Kelisoke adaah sebuah kecamatan baru di kabupaten Ende, kecamatan yang paling terbelakang dibanding kecamatan lainnya di Ende. Sementara itu, kampung Ratenggoji adalah kampung ke tiga paling ujung timur di kecamatan Lepembusu Kelisoke. Setelah kampung Ratenggoji masih ada kampung  Detuara dan Detulate di sebelah utara yang berbatasan dengan kecamatan Kotabaru dan masih ada kampung Wolofai dan Birijo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Sikka. Karena itulah kampung ratenggoji tempat saya bertugas adalah salah satu kampung terpencil dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten Ende.

Ya, kampung Ratenggoji tempat saya bertugas hanyalah salah satu dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten Ende. Biasanya kampung-kampung terpencil ini adalah kampung-kampung yang berada di ujung kecamatan. Salah satu indikator dikatakan kampung terpencil adalah tidak adanya listrik. Selain di kampung saya, sebagian besar kampung-kampung tempat penempatan SM3T adalah kampung-kampung yang masih belum tersentuh listrik. Hampir di setiap kecamatan ada saja kampung yang belum tersentuh listrik, kecuali di kecamatan Ende tengah dan Ende Selatan yang notabennya adalah pusat kota. Untuk dapat menikmati listrik maka sebagian warga yang berkecukupan akan menggunakan genset. Seperti halnya di rumah tempat saya tinggal yang setiap jam 7 sampai jam 9 malam mendapat penerangan dari genset milik mosalaki (ketua adat atau tuan tanah).

Selain listrik, indikator lainnya adalah akses jalan dan transportasi yang susah. Tidak seperti di Jawa yang yang sebagian besar kontur tanahnya yang datar, di pulau Flores kontur tanahnya adalah berbukit-bukit. Jadi untuk melewati bukit-bukit tersebut dibuatlah jalan yang berkelak-kelok naik turun melewati jurang dan hutan, jadi jangan heran kalau mabuk darat melewati jalanan di Flores. Sebenarnya, jalan negara yang menghubungkan antar kabupaten di Pulau Flores adalah jalan yang bagus, namun, dari jalan negara ini naik ke kampung-kampung lah jalan yang rusak berat. Sehingga untuk mencapai kampung pelosok dengan akses jalan yang hancur dibutuhkan tansportasi yang kuat, yakni truk yang disulap menjadi bis, orang sini biasa menyebut bis kayu atau oto truk.

Tidak setiap hari bis kayu ini jalan, biasanya hanya seminggu sekali. Untungnya saja ada dua atau tiga bis kayu yang jalan setiap minggunya. Contohnya saja oto yoanjelo dan oto dack, dua bis kayu yang melayani transportasi di kampung saya, Ratenggoji, untuk menuju kota Ende. Namun sayangnya transportasi ini tidak selancar yang dibayangkan, bis kayu ini tidak pasti jalan setiap minggunya. Adakalanya dua minggu sekali bis kayu baru jalan.

Namun ada juga kampung-kampung yang tidak terjangkau transportasi umum, bahkan bis kayu sekalipun. Biasanya kampung-kampung ini terletak di  paling ujung kecamatan dan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor bahkan jalan kaki. Seperti kampung-kampung disekitar kampung saya, yaitu Wolofai, Birijo, Fatandopo, dan Detulate yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki karena bis kayu hanya bisa sampai di kampung saya, Ratenggoji. Sementara itu dari kampung ratenggoji hanya ada jalan setapak yang bisa dilalui sepeda motor saja, bahkan di kampung birijo hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.

Jarak antar kampung di Flores ini berbeda dengan di Jawa. kampung-kampung di pelosok Ende adalah kampung yang rumah-rumahnya memusat di pusat kampung dengan hanya beberapa Kepala Keluarga saja. Jadi jarak antar satu kampung hingga kampung tetangga bisa mencapai 2 atau 3 kilometer, dipisahkan bukit serta hutan-hutan. Rumah-rumah di sini pun berbeda dengan di Jawa. Kebanyakan adalah rumah berdinding pelepah bambu dengan alas tanah maupun panggung. Di Jawa sangat jarang saya bisa menjumpai rumah seperti ini, namun di sini sepertinya rumah-rumah di kampung terpencil umumnya seperti itu. Namun, warga-warga di kampung-kampung pelosok benar-benar sederhana dan ramah.

Seperti pengalaman saya bersama beberapa teman ketika berkunjung ke kampung Mbani di kec. Ende. Saya harus melewati sungai dan berjalan kaki. Untuk mencapai kampung harus berjalan kaki sekitar 1km dari jalan terakhir yang bisa dilalui sepeda motor. Pulang dari kampung mbani sialnya ban belakang sepeda motor yang saya tumpangi bocor di tengah hutan. Akhirnya setelah bersusah payah kamipun menjumpai kampung wologai yang kebetulan ada dua orang teman SM3T yang bertugas di situ. Dengan bantuan warga setempat akhirnya kamipun bisa mencapai lagi kota Ende. Malam-malam melewati jalan susah naik turun dan gelap 3 jam, sebuah pengalaman yang mengesankan.

Sebenarnya kabupaten Ende tidak begitu besar seperti kabupaten-kabupaten lainnya di Pulau Flores. Namun akses jalan yang masih terbatas dan susahlah yang seakan-akan membuat kabupaten Ende terlihat luas. Dua kecamatan yang saling berseberangan yang harus dicapai dengan jalan memutar jauh yang memakan puluhan kilometer karena jalan tembusnya adalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui jalan kaki ataupun kuda. Sehingga untuk mencapai kecamatan tetangga harus menempuh berjam-jam digoyang-goyang di dalam bis kayu maupun sepeda motor.

Selain itu, di beberapa kampung terpencil juga mengalami kesulitan sinyal telefon. Karena itulah di kampung-kampung semacam itu rasanya benar-benar terisolir dari dunia luar. Di kampung saya di Ratenggoji contohnya, letaknya yang berada di lembah antar bukit membuat sinyal telepon seluler menjadi barang yang langka. Untuk mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu di kantor desa. Atau juga seperti di kampung wologai, untuk bisa mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu ke gereja. Kesulitan mendapat sinyal telefon ini benar-benar sangat mengganggu ketika ada informasi-informasi mendadak yang bersifat penting. Akhirnya informasi yang harusnya sampai kemarin lusa baru sampai hari ini atau bahkan besok. Masih ada banyak kampung-kampung terpencil lagi yang belum menikmati sinyal telefon, dan dari cerita teman-teman ada banyak cara unik untuk menemukan sinyal telefon, mulai dari memanjat pohon hingga menggunakan gelas sebagai penguat sinyal.

Kontur tanah yang berbukit-bukit juga berpengaruh pada ketersediaan air bersih. Di beberapa kampung yang terletak di daerah gersang maupun di atas bukit mengalami kesulitan air bersih. Sehingga untuk mencari air harus berjalan beberapa kilometer. Seperti di kampung Watunggere kecamatan Detukeli ataupun kampung Mblenggo kecamatan Wolowaru yang berada di atas bukit. Untuk mendapatkan air maka harus berjalan berkilo-kilo meter terlebih dahulu. Beruntung di kampung saya, ratenggoji, sudah ada selang untuk mengalirkan air dari sumber mata air, sehingga kampung saya tidak mengalami kesulitan air. Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, kenapa orang-orang di sini mau-maunya membangun perkampungan di atas bukit yang akses jalannya susah, tanpa listrik, tanpa air, tanpa sinyal telepon, dingin pula.

Selain itu semua, di kabupaten Ende juga masih kental adat dan budayanya. Di sini masih sering diselenggarakan acara-acara adat, baik lingkup kampung maupun lingkup yang jauh lebih luas. Sebuah kekayaan budaya yang masih terjaga hingga kini. Hampir di setiap kampung pasti punya acara adat khusus, biasanya sebagai ucapan rasa syukur atas limpah rejeki yang diterima oleh kampung tersebut. Acara-acara adat ini dipimpin oleh seorang mosalaki atau ketua adat yang menguasai suatu wilayah. Acara-acara adat seperti ini sudah punah di jawa, dan kami berkesempatan untuk menikmatinya lagi di tempat penugasan kami di kabupaten Ende.

Namun, efek negatif dari banyaknya acara adat yang biasanya menyerahkan persembahan kepada sesuatu yang gaib tersebut adalah aroma mistis di Ende masih kental. Saya sendiri merasa ngeri kalau malam-malam harus melewati hutan-hutan gelap. Ada banyak cerita mistis di setiap tempat penempatan kami. Apalagi beberapa waktu yang lalu, salah satu teman di penempatan kec. Wewaria mengalami kerasukan jin. Saya sendiri menjadi saksi langsung atas kejadian itu. Rasanya benar-benar horor dan menakutkan. Percaya atau tidak percaya, hal-hal gaib semacam itu memang nyata, dan kami harus percaya serta waspada menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Salah satu tantangan juga untuk kami dalam menjalankan tugas mengajar di daerah terpncil.

Itulah kehidupan yang kami alami selama bertugas sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Saya jadi teringat guyon bersama teman-teman ketika rapat koordinasi di kota Ende, salah seorang teman, Ervan Julianto, guru SM3T penempatan kec. Detukeli berujar “Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di  tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga mistis.” Kami seperti dimasukan kedalam lorong waktu menuju jaman 70an, di jaman bapak-bapak kami dulu. Dari kehidupan yang serba nyaman di era globalisasi kami dipaksa untuk bertahan hidup di jaman 70an dengan segala suka dukanya.

Ya, lorong waktu itu nyata kawan. Dan sekarang saya sedang berada di dalamnya untuk belajar banyak hal. Segala macam kesederhanaan hidup yang tidak saya jumpai di era globalisasi. Dan di sini juga saya bersama 45 teman SM3T yang lain yang sudah menjadi keluarga baru sedang menjalankan tugas untuk menjadi bagian dalam mencerdaskan anak-anak di pelosok kabupaten Ende, NTT. Dan esok, ketika saya kembali pulang ke Jawa, maka saya akan cukup bangga bahwa saya pernah merasakan dan bertahan dari apa-apa yang pernah orang-orang tua dulu alami.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar