“Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah,
dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga
mistis.”
Efran
Julianto, Guru SM3T UNY angkatan 3, kec. Detukeli, kab. Ende, NTT.
Sudah hampir 5 bulan
saya menunaikan tanggung jawab sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Sudah ada
banyak hal yang saya lalui di sini, dan
tidak terasa 5 bulan sudah terlewati. Ada hal-hal yang menyenangkan, ada juga
hal-hal yang kurang menyenangkan. Semuanya itu campur aduk membentuk kenangan
yang sulit untuk dilupakan. Saya belajar banyak dari apa-apa yang sudah
terlewati di sini.
Saya bersama 45 teman
lainnya datang ke kabupaten Ende untuk menunaikan tugas sebagai guru SM3T,
yaitu para sarjana yang dikirim mengajar di daerah 3T (terluar, terbelakang,
dan terpencil). Sebagian besar dari kami di tempatkan di kampung-kampung di
pelosok kabupaten Ende untuk mengajar SD, SMP, maupun SMA. Apa yang kami jumpai
di tempat penugasan kami amat jauh sekali dari kehidupan seperti di Jawa, baik
SDM maupun SDA nya. Mulai dari tidak ada listrik, akses jalan dan transportasi
yang susah, sinyal telfon yang hanya ada di area tertentu saja, hingga
kelangkaan air. Saya sendiri mendapatkan tugas mengajar di SMPN Satu Atap Ratenggoji
di kampung Ratenggoji, desa Tani Woda, Kec. Lepembusu Kelisoke.
Kecamatan Lepembusu
Kelisoke adaah sebuah kecamatan baru di kabupaten Ende, kecamatan yang paling
terbelakang dibanding kecamatan lainnya di Ende. Sementara itu, kampung Ratenggoji
adalah kampung ke tiga paling ujung timur di kecamatan Lepembusu Kelisoke.
Setelah kampung Ratenggoji masih ada kampung
Detuara dan Detulate di sebelah utara yang berbatasan dengan kecamatan Kotabaru
dan masih ada kampung Wolofai dan Birijo yang berbatasan langsung dengan
kabupaten Sikka. Karena itulah kampung ratenggoji tempat saya bertugas adalah
salah satu kampung terpencil dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten
Ende.
Ya, kampung Ratenggoji
tempat saya bertugas hanyalah salah satu dari sekian banyak kampung terpencil
di kabupaten Ende. Biasanya kampung-kampung terpencil ini adalah
kampung-kampung yang berada di ujung kecamatan. Salah satu indikator dikatakan
kampung terpencil adalah tidak adanya listrik. Selain di kampung saya, sebagian
besar kampung-kampung tempat penempatan SM3T adalah kampung-kampung yang masih
belum tersentuh listrik. Hampir di setiap kecamatan ada saja kampung yang belum
tersentuh listrik, kecuali di kecamatan Ende tengah dan Ende Selatan yang notabennya
adalah pusat kota. Untuk dapat menikmati listrik maka sebagian warga yang
berkecukupan akan menggunakan genset. Seperti halnya di rumah tempat saya tinggal
yang setiap jam 7 sampai jam 9 malam mendapat penerangan dari genset milik
mosalaki (ketua adat atau tuan tanah).
Selain listrik,
indikator lainnya adalah akses jalan dan transportasi yang susah. Tidak seperti
di Jawa yang yang sebagian besar kontur tanahnya yang datar, di pulau Flores
kontur tanahnya adalah berbukit-bukit. Jadi untuk melewati bukit-bukit tersebut
dibuatlah jalan yang berkelak-kelok naik turun melewati jurang dan hutan, jadi
jangan heran kalau mabuk darat melewati jalanan di Flores. Sebenarnya, jalan
negara yang menghubungkan antar kabupaten di Pulau Flores adalah jalan yang
bagus, namun, dari jalan negara ini naik ke kampung-kampung lah jalan yang
rusak berat. Sehingga untuk mencapai kampung pelosok dengan akses jalan yang
hancur dibutuhkan tansportasi yang kuat, yakni truk yang disulap menjadi bis,
orang sini biasa menyebut bis kayu atau oto truk.
Tidak setiap hari bis
kayu ini jalan, biasanya hanya seminggu sekali. Untungnya saja ada dua atau
tiga bis kayu yang jalan setiap minggunya. Contohnya saja oto yoanjelo dan oto
dack, dua bis kayu yang melayani transportasi di kampung saya, Ratenggoji,
untuk menuju kota Ende. Namun sayangnya transportasi ini tidak selancar yang
dibayangkan, bis kayu ini tidak pasti jalan setiap minggunya. Adakalanya dua
minggu sekali bis kayu baru jalan.
Namun ada juga
kampung-kampung yang tidak terjangkau transportasi umum, bahkan bis kayu
sekalipun. Biasanya kampung-kampung ini terletak di paling ujung kecamatan dan hanya bisa dilalui
oleh sepeda motor bahkan jalan kaki. Seperti kampung-kampung disekitar kampung
saya, yaitu Wolofai, Birijo, Fatandopo, dan Detulate yang hanya bisa dilalui
dengan berjalan kaki karena bis kayu hanya bisa sampai di kampung saya, Ratenggoji.
Sementara itu dari kampung ratenggoji hanya ada jalan setapak yang bisa dilalui
sepeda motor saja, bahkan di kampung birijo hanya bisa dicapai dengan berjalan
kaki.
Jarak antar kampung di
Flores ini berbeda dengan di Jawa. kampung-kampung di pelosok Ende adalah
kampung yang rumah-rumahnya memusat di pusat kampung dengan hanya beberapa
Kepala Keluarga saja. Jadi jarak antar satu kampung hingga kampung tetangga
bisa mencapai 2 atau 3 kilometer, dipisahkan bukit serta hutan-hutan. Rumah-rumah
di sini pun berbeda dengan di Jawa. Kebanyakan adalah rumah berdinding pelepah
bambu dengan alas tanah maupun panggung. Di Jawa sangat jarang saya bisa
menjumpai rumah seperti ini, namun di sini sepertinya rumah-rumah di kampung
terpencil umumnya seperti itu. Namun, warga-warga di kampung-kampung pelosok
benar-benar sederhana dan ramah.
Seperti pengalaman
saya bersama beberapa teman ketika berkunjung ke kampung Mbani di kec. Ende. Saya
harus melewati sungai dan berjalan kaki. Untuk mencapai kampung harus berjalan
kaki sekitar 1km dari jalan terakhir yang bisa dilalui sepeda motor. Pulang
dari kampung mbani sialnya ban belakang sepeda motor yang saya tumpangi bocor
di tengah hutan. Akhirnya setelah bersusah payah kamipun menjumpai kampung
wologai yang kebetulan ada dua orang teman SM3T yang bertugas di situ. Dengan
bantuan warga setempat akhirnya kamipun bisa mencapai lagi kota Ende.
Malam-malam melewati jalan susah naik turun dan gelap 3 jam, sebuah pengalaman
yang mengesankan.
Sebenarnya kabupaten
Ende tidak begitu besar seperti kabupaten-kabupaten lainnya di Pulau Flores.
Namun akses jalan yang masih terbatas dan susahlah yang seakan-akan membuat
kabupaten Ende terlihat luas. Dua kecamatan yang saling berseberangan yang
harus dicapai dengan jalan memutar jauh yang memakan puluhan kilometer karena
jalan tembusnya adalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui jalan kaki ataupun
kuda. Sehingga untuk mencapai kecamatan tetangga harus menempuh berjam-jam
digoyang-goyang di dalam bis kayu maupun sepeda motor.
Selain itu, di
beberapa kampung terpencil juga mengalami kesulitan sinyal telefon. Karena
itulah di kampung-kampung semacam itu rasanya benar-benar terisolir dari dunia
luar. Di kampung saya di Ratenggoji contohnya, letaknya yang berada di lembah
antar bukit membuat sinyal telepon seluler menjadi barang yang langka. Untuk
mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu di kantor desa. Atau juga seperti
di kampung wologai, untuk bisa mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu ke
gereja. Kesulitan mendapat sinyal telefon ini benar-benar sangat mengganggu
ketika ada informasi-informasi mendadak yang bersifat penting. Akhirnya
informasi yang harusnya sampai kemarin lusa baru sampai hari ini atau bahkan
besok. Masih ada banyak kampung-kampung terpencil lagi yang belum menikmati
sinyal telefon, dan dari cerita teman-teman ada banyak cara unik untuk
menemukan sinyal telefon, mulai dari memanjat pohon hingga menggunakan gelas
sebagai penguat sinyal.
Kontur tanah yang
berbukit-bukit juga berpengaruh pada ketersediaan air bersih. Di beberapa
kampung yang terletak di daerah gersang maupun di atas bukit mengalami
kesulitan air bersih. Sehingga untuk mencari air harus berjalan beberapa
kilometer. Seperti di kampung Watunggere kecamatan Detukeli ataupun kampung
Mblenggo kecamatan Wolowaru yang berada di atas bukit. Untuk mendapatkan air
maka harus berjalan berkilo-kilo meter terlebih dahulu. Beruntung di kampung
saya, ratenggoji, sudah ada selang untuk mengalirkan air dari sumber mata air,
sehingga kampung saya tidak mengalami kesulitan air. Saya sendiri heran dan
bertanya-tanya, kenapa orang-orang di sini mau-maunya membangun perkampungan di
atas bukit yang akses jalannya susah, tanpa listrik, tanpa air, tanpa sinyal
telepon, dingin pula.
Selain itu semua, di
kabupaten Ende juga masih kental adat dan budayanya. Di sini masih sering
diselenggarakan acara-acara adat, baik lingkup kampung maupun lingkup yang jauh
lebih luas. Sebuah kekayaan budaya yang masih terjaga hingga kini. Hampir di setiap
kampung pasti punya acara adat khusus, biasanya sebagai ucapan rasa syukur atas
limpah rejeki yang diterima oleh kampung tersebut. Acara-acara adat ini
dipimpin oleh seorang mosalaki atau ketua adat yang menguasai suatu wilayah. Acara-acara
adat seperti ini sudah punah di jawa, dan kami berkesempatan untuk menikmatinya
lagi di tempat penugasan kami di kabupaten Ende.
Namun, efek negatif
dari banyaknya acara adat yang biasanya menyerahkan persembahan kepada sesuatu
yang gaib tersebut adalah aroma mistis di Ende masih kental. Saya sendiri
merasa ngeri kalau malam-malam harus
melewati hutan-hutan gelap. Ada banyak cerita mistis di setiap tempat
penempatan kami. Apalagi beberapa waktu yang lalu, salah satu teman di
penempatan kec. Wewaria mengalami kerasukan jin. Saya sendiri menjadi saksi langsung
atas kejadian itu. Rasanya benar-benar horor dan menakutkan. Percaya atau tidak
percaya, hal-hal gaib semacam itu memang nyata, dan kami harus percaya serta
waspada menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Salah satu tantangan juga untuk kami
dalam menjalankan tugas mengajar di daerah terpncil.
Itulah kehidupan yang
kami alami selama bertugas sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Saya jadi
teringat guyon bersama teman-teman
ketika rapat koordinasi di kota Ende, salah seorang teman, Ervan Julianto, guru
SM3T penempatan kec. Detukeli berujar “Hidup di sini seperti hidup di jaman
bapak kita di tahun 70an, tanpa listrik,
jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat,
dan juga mistis.” Kami seperti dimasukan kedalam lorong waktu menuju jaman
70an, di jaman bapak-bapak kami dulu. Dari kehidupan yang serba nyaman di era
globalisasi kami dipaksa untuk bertahan hidup di jaman 70an dengan segala suka
dukanya.
Ya, lorong waktu itu
nyata kawan. Dan sekarang saya sedang berada di dalamnya untuk belajar banyak
hal. Segala macam kesederhanaan hidup yang tidak saya jumpai di era
globalisasi. Dan di sini juga saya bersama 45 teman SM3T yang lain yang sudah
menjadi keluarga baru sedang menjalankan tugas untuk menjadi bagian dalam
mencerdaskan anak-anak di pelosok kabupaten Ende, NTT. Dan esok, ketika saya
kembali pulang ke Jawa, maka saya akan cukup bangga bahwa saya pernah merasakan
dan bertahan dari apa-apa yang pernah orang-orang tua dulu alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar