Sabtu, 15 Februari 2014

Ekspedisi Kelibara bag 2. Potong Kompas

“Menuliskan nama kita dalam sejarah memang tidak pernah mudah ya? Semacam kita ini, orang-orang gila yang bertekat menjadi orang pertama yang potong kompas dari wolowaru-kelibara-kelimutu.” Kata Rohmat sambil menyusuri jalan setapak di sebuah bukit dekat dengan kampung mbililo’o.
Tadi kami berangkat pagi-pagi dari Wolowaru, tepatnya dari rumah pak Sofyan di kampung Nakambara. Pak sofyan dan istrinya bahkan sampai mengantar dan menunggui kami menghilang di belakang rumahnya. Sepertinya mereka masih belum percaya kalau kami akan berjalan kaki sampai kampung pemo.
Melewati pematang sawah di belakang rumah pak sofyan kami juga sempat bertemu dengan beberapa petani yang hanya bisa geleng-geleng kepala ketika tahu kami akan menuju ke Kelibara. Setelah keluar dari pesawahan akhirnya ini saatnya untuk memulai petualangan. Aku mengeluarkan kompas, senajata kami untuk bisa tembus sampai Pemo.
“Sudutnya 520 nih, coba kamu lihat !” kata Rohmat sambil menyerahkan kompas kepadaku.
Akupun mulai membidik, “ya, sekitar segitu, antara 510 dan 520 lah.”
Kamipun sepakat untuk membidik puncak bukit terdekat sebagai acuannya. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan kembali untuk menuju puncak bukit dengan tiga buah pohon yang menjulang sebagai acuannya.
Namun sepertinya bukit acuan kami tadi terlalu jauh. Kamipun sempat kebingungan dibuatnya ketika jarang pandang ke bukit tertutup oleh pohon-pohon. Kamipun harus melewati dua buah sungai untuk mencapai bukit itu. Sungai pertama adalah sungai kecil yang bisa kamilewati tanpa harus melepas sepatu, cukup berpijak pada batu-batu besar di sungai. Namun sungai kedua sepertinya agak besar, kamipun harus melepas sepatu kami. Bahkan celana Rohmat yang digulung sampai lututpun sampai basah. Setelah berhasil melewati sungai kami pun harus menerobos semak-semak dan menerjang sebuah tebing yang tidak begitu tinggi. Di sini, parang Pak Sofyan sepertinya sudah mulai berfungsi.
Sampai di atas tebing akhirnya kami bisa melihat bukit yang kami tuju tepat di depan kami. Tapi aku juga bisa mendengar suara sepeda motor dan melihat tiang listrik yang berada di bibir bukit.
“eh met, di atas sepertinya ada jalan raya. Lihat ada tiang listrik di situ. Ada sepeda motor yang lewat juga sepertinya.”
“betul, sepertinya itu jalan Wolowaru-Jopu. Nah kalau mau ke tenda atau mbulilo’o sepertinya juga harus lewat jalan itu. Berarti arah kita sudah benar.”
Kemudian kami mulai naik menaiki sebuah tanjakan. Benar saja, di sini ada jalan raya. Ada beberapa sepeda motor yang lewat, dan mereka sepertinya melihat kami dengan cara yang aneh. Maklum, kami berpenampilan layaknya orang asing. Sepatu lapangan, tas besar, serta topi. Dan yang paling mencolok adalah parang panjang yang sedang Rohmat ayun-ayunkan. Kami lantas menaiki bukit yang dimaksud, bukit tujuan dari kompas yang kami bidik tadi.
“ayo met, naik ke arah pohon yang kita bidik tadi, lalu kita bidik lagi dari sini ke arah bukit di depan.” Ajakku.
“nanti dulu.”
“lha kenapa? Tunggu apa lagi. Kan katanya mau potong kompas.”
“iya sih, tapi apa tidak lebih baik kalau menyusuri jalan aspal dulu terus baru melanjutkan potong kompas ketika sudah melihat kampung pemo.”
“iya juga sih, lagian bukit di depan sepertinya terlalu curam.”
Akhirnya kami turun ke arah jalan raya. Kami menyusuri jalan raya melewati bukit yang curam tadi lewat bibirnya. Bisa dibayangkan tenaga kami yang akan habis kalau harus menerjang bukit tersebut. Jalan raya ini sedikit menghemat energi.
“Eh Met, ada mobil !”
“betul, kita numpang saja ya.”
Bermodal jempol tangan akhirnya kami menumpang sebuah mobil pick up yang mengangkut parabola. Kami juga bertanya tentang jalur jalan setapak menuju kampung pemo ketika sopir mobil tersebut menanyakan tentang tujuan kami. Sopir tadi memberi pilihan lewat jopu, tenda atau lewat mbulilo’o.
“pokoknya yang ada jalan setapaknya kak, kami niatnya mau jalan kaki terus lewat jalan setapak sampai ke Pemo.”
“oh, baik sudah. Mas mereka ikut saja sampai kampung saya, nanti saya tunjukan jalannya. Tapi nanti dari kampung saya harus menerobos hutan-hutan. ”
“Iya pak, terimakasih. Lewat kampung apa ya?”
“lewat kampung mbilolo’o. kalau begitu naik sudah !”
Kami pun akhirnya naik di belakang mobil pick up tersebut. tujuan potong kompa kami tadi kini telah dipadukan dengan backpackeran. Tak apalah, naik mobil ini menghemat sangat banyak energi.
Sampai dijalan sebelum masukkampung mbulilo’o akhirnya kami diturunkan. Kemudian sopir tadi menunjukan arah kampung Pemo. Setelah berterimakasih kamipun melanjutkan perjalanan.
“berapa derajat Met?” tanyaku kepada Rohmat yang sedang membidik.
“50 an derajat nih.”
“oke, kemudian langsung arahkan ke titik terdekat, biar gampang dan tidak membingungkan seperti tadi.”
“Oke, gimana kalau pohon yang itu?” Kata Rohmat sambil menunjuk pohon yang ada di seberang jurang tidak terlalu jauh.
“oh yang itu kah? Ya sudah ayo lanjut.”
Ketika kami akan melewati jurang kecil itu tiba-tiba ada yang memanggil kami, rupanya seorang ibu-ibu.
“Hei, kalian ada buat apa?” tanyanya.
“Mau ke kampung Pemo mama. Mau naik gunung kelibara”
“jalan kaki kah? Ina di sebelah sini ada jalan setapak.”
“oh iya kah mama? Terimakasih mama.”
“rewo-rewo e, hati-hati ya!”
Ibu-ibu tadi pun berlalu. Aku dan Rohmat menyusuri jalan setapak menyebrang jurang tadi hingga ke pohon yang dimaksud. Kemudian kami melanjutkan potong kompas. Hasil bidikan kompas menunjuk ke puncak bukit di sebelah depan. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan.
Rupanya jurang dari bukit tempat kami berada lumayan terjal. Kamipun memutar berusaha mencari jurang yang tak begitu terjal. Patokan kami adalah adanya kebun jambu mete sehingga kemungkinan jurang yang ada jambu metenya bisa dituruni karena sudah biasa dituruni oleh warga pemiik kebun.
“nah, ini sepertinya yang dinamakan sungai bau ngga?” kata Rohmat sambil menunjuk sebuah sungai di bawah.
“oh, sungai yang berasal dari danau di kelimutu itu kah?” tanyaku.
“yup, betul sekali. Lihat, warnanya merahkan kan? Agak bau juga.” Kata Rohmat sambil mengambil sedikit air dari sungai bau yang berwarna kemerahan ini.
Selain sungai bau, ada sungai merah dan sungai putih yang berasal dari danau kelimutu. Kalau sungai putih aku juga sudah pernah melihatnya dibelakang rumah Pak Mahmud, salah satu keluarga baru kami di kampung mbuli moralau. Menurut beliau memang sungai bau ini terletak di dalam hutan di mbulilo’o, sementara itu sungai merah berada di atas kampung mbuliwalarau yang kemudian menyatu dengan sungai putih dan bermuara di pantai mbuli.
Dari sungai merah ini kami kemudian menaiki bukit, mencoba menemukan jalan setapak menuju puncak bukit yang kami bidik tadi. Kami harus menerjang beberapa semak menggunakan parang. Ya, sepertinya kami sudah harus memulai perjuangan kami di sini.
Namun sepertinya puncak bukit yang kami maksud ada jauh di depan sana. Rupanya kami mulai tersesat dan kehilangan patokan kami tadi.
“coba kita agak ke kanan ngga.” Kata Rohmat.
“nggak lebih baik kalau langsung naik ke atas ya met?”
“ke kanan aja dulu, sepertinya di sebelah sana ada jalan setapak. Sepertinya itu jalan menuju atas bukit.”
Kami pun berjalan agak ke kanan, mencoba mencari jalan setapak. Kemudian kami menelusuri jalan setapak tersebut hingga memutar sampai di sisi lain bukit. Rupanya di seberang sana ada seorang bapak-bapak yang sedang bekerja di ladangnya.
“mari pak.” Kata kami bersamaan.
“mau ke mana?” tanya bapak itu.
“mau ke Pemo pak, lewat mana ya?”
“oh, ikut jalan setapak di depan kemudian naik ke atas bukit.”
“ikut sini kah pak?”
“Ah, itu sudah.”
Akhirnya kamipun mengikuti petunjuk bapak petani tadi. Mengikuti jalan setapak hingga menaiki sebuah bukit. Tracknya lumayan terjal dengan batu-batuan seperti track di gunung-gunung di Jawa. cukup menguras tenaga. Bahkan kami pun beberapa kali menghela nafas untuk menampung lebih banyak oksigen. Trak seperti ini memaksa kami lebih banyak beristirahat.
Sampai di sebelah atas rupanya kami masih belum sampai di puncak bukit, melainkan masih berada di punggung bukit. Di depan kami ada jurang yang lumayan besar dan dalam. Tentu saja kami tak berniat untuk menerabasnya. Ada jalan bercabang juga di depan, satu turun ke bawah punggung bukit, satu lagi naik ke atas bukit. Namun yang membuat kami bersemangat, di depan sana sudah terlihat kampung pemo. Namun letaknya masih cukup jauh di sana.
“Sepertinya naik ke atas bukit met.”
“ya, sepertinya begitu, kita tidak mungkin bisa melewati jurang ini. Tapi bagaimana kalau di dean bukit ini juga ada jurang?”
“sepertinya bukit-bukit ini saling menyatu met. Lihatlah, sepertinya tidak ada jurang yang memisahkan bukit-bukit di depan.” Aku menunjuk bukit-bukit di depan seperti dibelokan oleh jurang.
“iya sih, tapi sepertinya ada celah antar bukit itu.” Kata rahmat sambil menunjuk salah satu bukit.
“Iya juga sih. Tapi coba saja dulu lah.nanti kalau salah balik lagi.”
Kami pun mengakhiri diskusi kami dan mulai melanjutkan perjalanan mendaki bukit.
Ya, kami beberapa kali harus berdiskusi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan, mengambil jalan mana yang akan dilalui. Sebetulnya ada beberapa teman yang lain di Wolowaru yang mau ikut petualangan ini. Namun Rohmat melarang mereka ikut karena takut akan terjadi perdebatan yang panjang kalau terlalu banyak orang yang ikut. Belum lagi kalau perempuan ikut, bisa sangat merepotkan. Sejenak kami kesampingkan terlebih dahulu prinsip emansipasi untuk keselamatan bersama.
Kami terus naik menyusuri jalan setapak ini. Rupanya jalan setapak ini memang benar-benar menaiki bukit sanpa ada bonus jalan datarnya. Keringat benar-benar sudah membanjiri tubuh kami. Jalan naik ini melewati beberapa ladang jambu mete.
“met, lihat di sana ! menggiurkan sekali.” Kataku sambil menunjuk sebuah jambu mete yang matang sempurna berwarna merah.
“hemmm, kalu mengambilnya nyolong bukan?”
“nyolong.” Jawabku singkat.
Kamipun berlalu dari buah mete yang menggiurkan serta menggoda keimanan kami tadi. Kembali menaiki bukit dengan terengah-engah. Jalanan naik ini juga beberapa kali melewati pohon kelapa. Kami sendiri sampai heran kenapa ada pohon kelapa di hutan bukit seperti ini, biasanya pohon kelapa hanya ada di dataran rendah hingga pantai-pantai. Kami juga melewati beberapa rimunan hutan yang cukup rapat.
Sebagai panduan kami menaiki bukit adalah sebuah pipa air. Tadi kami juga sempat menemui sebuah cabang. Kam memilih jalan setapak yang lebih luas dan erdapat pipa air. Karena pasti jalan tersebut pernah dilewati orang, yakni orang yang memasang pipa air tersebut.
“mudah-mudahan pipa air ini menuju ke pemo. Ah, kalau begini terus perjalanan ke pemo nggak sesulit yang kubayangkan nih.” Ucapku dalam hati.
Jalan terus menanjak sampai kami menemukan sebuah ladang yang cukup luas.
“gok… gok… gok…” Suara anjing di depan sana.
Rupanya ladang ini dijaga oleh beberapa anjing. Dan anjing-anjing penjaga ini merasa terganggu dengan kedatangan kami. Akupun bergidik ngeri dibuatnya. Anjing-anjing ini menggonggong begitu liarnya. Bisa mati ini kalau dikeroyok anjing-anjing ini. Dan sepertinya tidak ada tanda-tanda keberadaan orang dikebun ini.
“tenang ngga, jangan panik.” Rohmat mencoba menenangkanku yang mulai terlihat panik. Ia sendiri sepertinya cukup tenang. “Kalau kamu lari nanti malah dikejar anjing-anjing ini.” Lanjutnya.
Ada tiga ekor anjing yang menjaga ladang tersebut. Dua ekor yang agak besar terikat dengan rantai di gubuk tempat menjaga ladang tersebut. sementara satu ekor yang lain menggonggong sambil mencoba mengusir kami. Kamipun berjalan agak menyamping melewati gubuk tempat anjing-anjing itu. Aku sendiri berjalan sambil tak henti-hentinya mengucap nama Alloh.
Namun kesulitan sesungguhnya bukan tentang anjing-anjing tersebut. Rupanya pipa air yang kami ikuti tadi menemukan ujungnya di sini. Sebuah mata air yang ditampung dalam sebuah bak kecil. Namun ada sebuah jalan setapak naik ke atas bukit. Kamipun menaiki jalan setapak tersebut, namun Rohmat lebih dahulu mengisi ulang botol minumku yang tinggal separuh di mata air tersebut, aku sendiri masih takut akan anjing-anjing yang menggonggong tadi. Lebih baik aku segera naik ke atas bukit dari pada tiba-tiba dikejar oleh anjing yang tak terikat.
Rupanya jalan setapak ini juga menemui ujungnya di sini. Ya, inilah tantangan yang sebenarnya.
“Gimana ini met?” tanyaku.
“gimana ya, menurutmu bagaimana?”
“mau naik terus ke atas bukit pa? sepertinya dari atas bukit ini kemudian naik terus mnyusuri punggung bukit.”
“tapi sepertinya di depan sana ada jurang, bukit-bukit itu sepertinya tidak saling menyatu. Lagian sudah tidak ada jalan lagi.” Kata Rohmat sambil menunjuk punggung bukit.
“Iya sih, semaknya terlalu rapat. Lha gimana? Mau turun aja pa? sepertinya ada jalan setapak lain di samping mata air tadi.” Kataku.
“oke, ayo kita turun lagi aja.”
Kamipun kemudian turun lagi. Mencoba menemukan jalan setapak yang kumaksud. Tapi itu artinya harus turun lagi ke dekat kebun yang dijaga anjing-anjing ganas tadi. Ah, sial.
Benar saja, anjing-anjing tadi mulai menggonggong lagi. Akupun kembali harus menghela nafas. Rohmat bukannya menjauh dan mencari jalan setapak tadi malah turun terus mendekati gubuk.
“heh met, mau kemana lagi?” ucapku sambil sedikit takut-takut.
“di bawah sana sepertinya ada sawah-sawah, ada orang juga sepertinya.”
“iya, tapi mau turun dengan cara apa? Lihatlah, jurangnya terjal sekali.”
Ya, di bawah sana memang ada sawah-sawah, ada petaninya juga sepertinya. Tapi jurang yang memisahkan benar-benar terjal dan curam. 900 kemiringannya mungkin.
Akhirnya kamipun kembali mencari jalan setapak dekat dengan mata air tadi. Menjauh dari gonggongan anjing-anjing penjaga kebun yang terlihat ganas tadi. Namun aku belum merasa lega. Karena sepertinya petualangan baru saja dimulai. Jalan setapak ini sepertinya sudah lama sekali tak dilalui orang. Semak-semak disamping jalannya amat rimbun, belum lagi hutan dengan pohon-pohon besar di depan. Perjuangan baru saja dimulai, dan kami tak akan mudah untuk menyerah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar