“leave
nothing but trace”
“take
nothing but picture”
“kill
nothing but time”
Pulau Flores adalah
pulau ketiga terbesar di Nusa Tenggara. Pulau Flores menyimpan keindahan yang
beranekaragam, mulai dari laut hingga sampai di atas gunung. Ada keindahan yang
tersimpan rapi di tiap lekuk daratannya. Dan yang lebih menggiurkan lagi,
keindahan alam di Flores masih alami. Jadi para pelancong sepertiku bebas
mengeksplore keindahan itu, bahkan mungkin menjadi yang pertama. Dan sepertinya
kini sudah tertancapkan di mimpiku untuk benar-benar mengeksplore keindahan
Flores yang kebanyakan masih perawan ini.
Sudah beberapa minggu
ini aku dibuat oleh penasaran oleh Gunung Iya. Sebuah gunung yang berstatus
aktif yang terletak di semenanjung selatan kabupaten Ende. Bagaimana tidak,
gunung ini terletak persis di sebelah Timur Basecamp SM3T UNY di Ende, dan
ketika aku turun ke kota Ende mau tidak mau aku hanya bisa memandang Gunung Iya
dari kejauhan saja. Membayangkan bagaimana rupa kawah dan pemandangan dari atas
puncak Gunung Iya membuatku gemas sendiri.
Beberapa minggu ini
saya juga hanya bisa mendengar cerita dari salah satu teman sesama guru SM3T
yang kebetulan megajar di kota, Wira. Ia pun sama penasarannya dengan ku.
Selama ini ia hanya mendengar cerita keindahan Gunung Iya dari rekan guru di
sekolah atau pun dari beberapa muridnya yang pernah sampai di puncak Gunung Iya
dan kemudian menceritakan ulang kepadaku. Sepertinya ia berusaha mencari teman
untuk penasaran akan keindahan gunung Iya.
Gunung Iya adalah
gunung api yang tidak terlalu tinggi. Saking tidak tingginya sampai tidak
tertera di peta. Bahkan aku hanya mampu menemukan sedikit referensi yang tidak
begitu jelas mengenai Gunung Iya. Yang paling jelas hanya tentang keindahannya.
Karena memang gunung api mungil ini terletak
di tanjung selatan kabupaten Ende yang berbatasan langsung dengan laut. Belum
lagi sabana hijaunya yang tampak amat hijau dan memanggil-manggil untuk
dikunjungi. Namun, aku harus benar-benar bersabar, menunggu Wira mengajakku
tracking Gunung Iya bersama orang yang benar-benar tahu kondisi Gunung Iya.
Kesabaranku akhirnya
berbuah juga. Di pertengahan januari 2014 ini akhirnya ajakan untuk tracking
Gunung Iya keluar juga dari mulut Wira. Sebenarnya tak ada niatan sama sekali di
dalam diriku untuk tracking Gunung Iya ketika turun ke kota. Namun, yang
namanya rejeki ya tak akan kemana, memang sudah rejekiku untuk menikmati
keindahan Gunung Iya. Aku turun tepat saat murid-murid Wira sedang menyusun
rencana untuk tracking Gunung Iya. Kebetulan salah satu murid yang mengajak
sudah pernah sampai ke puncak Gunung Iya.
Pagi-pagi sekali aku
dan Wira mempersiapkan diri untuk tracking. Saking semangatnya sampai lupa
sarapan. Hal yang sangat fatal dalam pendakian gunung, meskipun hanya untuk
tracking gunung mungil ini.
Aku, Wira bersama tujuh
muridnya akhirnya bersiap-siap untuk berangkat dari kelurahan Paupanda setelah
proses saling menunggu yang cukup bikin
bosan. Jalur tracking Gunung Iya dimulai dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di
kelurahan Tanjung. Kelurahan terakhir di ujung selatan kecamatan Ende Selatan.
Dari Paupanda jaraknya cukup jauh, jadi jangan sampai kalian nekat jalan kaki
untuk mencapainya seperti kami. Kami yang tadinya semangat berjalan kakipun
akhirnya menyerah juga dan memilih menumpang truk pengangkut pasir yang
menambang pasir di sekitar TPA.
Di Gunung Iya ini
tidak ada gerbang pendakian maupun basecamp untuk mengurusi perijinan seperti
gunung-gunung di Jawa. siapa saja yang mau tracking tinggal langsung saja naik
tanpa kerepotan mengurusi ijin pendakian. Karena itulah, butuh guide orang
lokal yang mengetahui jalur pendakian ketika akan melakukan pendakian karena
jalur pendakian yang tidak jelas ini. Setidaknya jangan malu bertanya pada
warga sekitar untuk bertanya jalur awal pendakiannya karena memang sekitar 50 m
dari jalur awal pendakian terdapat penambangan pasir.
Dari awal jalur
pendakian Gunung Iya, kami langsung di ajak menanjaki bukit sabana yang hijau.
Kalau dilihat-lihat jaur pendakian ini seperti jalur muncak Gunung Merbabu dari
pos Sabana II menuju puncak. Tingggal menanjak sekali melewati sabana yang
hijau. Nafas yang tanpa persiapan ini langsung digas pol seperti ini rasanya cukup menyiksa. Apalagi kami belum
sarapan. Mesin sepeda motor saja kalau diperlakukan seperti ini lama-kelamaan
akan ngambek.
Namun, pemandangan
yang disajikan benar-benar berbeda dari pada saat muncak Gunung Merbabu. Jalur
pendakian Gunung Iya berbatasan langsung dengan laut di sebelah selatan.
Pemandangan yang benar-benar indah, aku sendiri sampai bingung membedakan mana
birunya laut dan mana birunya langit yang kebetulan sedang cerah-cerahnya
(panas). Belum lagi sabana hijau serta bukit-bukit hijau disebelah barat yang
sedang menikmati hijau-hijaunya karena musim penghujan yang baru saja tiba. Ah,
baru sampai kaki gunungnya saja sudah amat mempesona seperti ini.
Salah seorang murid
Wira yang pernah sampai puncak Gunung Iya berujar bahwa keindahan di puncak
Gunung Iya jauh lebih keren dibanding
pemandangan dibukit sabana ini. Entah hanya untuk menyemangatiku yang sudah
mulai loyo ini atau memang demikian nyatanya. Yang pasti aku jadi lebih
semangat, karena memang target utamaku adalah puncak. Apapun yang ada di puncak
sana, entah itu indah atau mengecewakan aku harus meraihnya. Gengsi dong sama anak-anak SMA ini yang
sudah sampai puncaknya.
Setelah melewati bukit
sabana jalur pendakiannya adalah melewati hutan cemara yang lebih mirip hiasan
cemara ketimbang hutan. Bagaimana tidak, jarak antar pohonnya cukup jauh, tidak
serapat hutan cemara di gunung-gunung di Jawa. Pohon-pohon cemaranya juga tidak
sebesar pohon-pohon cemara di gunung di Jawa. Alhasil tidak ada yang bisa
melindungiku dari panas yang menyengat ini.
Di pertengahan jalan
kami sempat bertemu dengan penduduk setempat yang turun setelah mencari kayu
bakar. Mungkin bekas ranting-ranting cemara yang sudah kering. Jalan setapak
ini juga sepertinya jalan setapak milik warga sekitar sini.
Jalur pendakian di
gunung ini adalah jalur setapak, dan berbatu dengan rumput-rumput hijau yang
membatasi pinggir-pinggir jalannya. Persis seperti jalur untuk muncak Gunung
Merbabu, hanya saja tanah di jalur pendakian Gunung Merbabu diganti dengan
batu-batu kecil dan debu, juga ditambah dengan beberapa pohon cemara di
sekelilingnya. Oh ya, di jalur pendakian Gunung Iya juga tebingnya berbatasan
langsung dengan laut biru. Salah satu hal yang tidak dan memang tidak akan pernah
bisa dijumpai di gunung-gunung di Jawa. salah satu daya tarik pada tracking
kali ini.
Ah ya, ada satu hal
pembeda yang paling mencolok. Di Gunung Iya ini tidak ada bunga Edelweis
seperti di Merbabu atau gunung-gunung lainnya di Jawa. sepertinya bunga
Edelweis yang memiliki nama latin Anaphalis
javanica adalah bunga endemik Pulau Jawa yang ganya tumbuh di puncak-puncak
gunung di Jawa. oh ya, sepertinya bunga Edelweis juga tumbuh di beberapa gunung
di sumatera, Bali, dan Rinjani. Alhasil ada sedikit hal yang aneh yang aku
rasakan ketika tracking Gunung Iya, yaitu tak ada bunga-bunga Edelweis yang
menemaniku berjalan menyusuri jalur pendakian.
Sekitar dua jam
berjalan dengan santai akhirnya kami sampai juga di atas puncak. Belum puncak
sejatinya sebenarnya, karena untuk mencapai puncak sejati yang terdapat kawah
yang masih aktif kami harus berjalan menyusuri jalan datar dengan rumput yang
tinggi serta pohon-pohon mati. Hei, pohon-pohon mati ini sepertinya juga cukup
menambah kecantikan pemandangan puncak Gunung Iya. Apalagi ketika dipadukan
dengan bukit-bukit hijau dan kota Ende di arah barat serta dengan birunya
langit yang terlihat menyatu dengan birunya laut beserta pulau Ende yang
terlihat mengapung di sebelah selatan.
Setelah menghabiskan
sarapan yang kami beli di Paupanda tadi kami bergegas menuju puncak sejati
Gunung Iya. Sebuah tanah miring berpasir apabila kulihat dari jauh sini,
benar-benar khas gunung berapi yang masih aktif. Dari sini juga bau belerang
sudah cukup terasa. Di sini juga ada rekahan tanah yang mengeluarkan uap panas,
mungkin uap panas yang berasal dari panas bumi.
Akhirnya kami sampai
juga di puncak Gunung Iya. Sebuah puncak berpasir seperti puncak Mahameru,
puncak Gunung Semeru. Namun di sini tidak ada semburan gas beracun seperti di
Mahameru. Kawah gunung iya terletak di sebelah selatan, tepat di bibir jurang
puncak berpasir. Dari sebelah barat aku bisa melihat jelas kawah gunung Iya
yang masih aktif dan mengeluarkan asap. Kawah ini berbatasan langsung dengan
laut di selatannya.
Ah ya, benar kata
murid Wira tadi. Pemandangan di atas puncak ini benar-benar mempesona. Cukup
rasanya membayar kelelahan tracking tadi. Bahkan kalau boleh kukatakan
keindahan ini terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan jalur tracking yang
biasa saja ini. Kalau saja pemandangan seperti ini ada di puncak-puncak gunung
di Jawa yang rata-rata berada di ketinggian 3000an mdpl pasti rasanya akan
lebih berkesan. Hadiah yang pas untuk perjuangan mendaki berhari-hari.
Perpaduan antara laut
biru dengan langit yang juga biru. Sapuan putih ombak dipadukan dengan sapuan
putih awan. Ah, perpaduan yang benar-benar cocok. Belum lagi dengan bukit-bukit
hijau serta pohon-pohon mati disekitar puncak. Rasanya perpaduan yang
benar-benar lengkap dan sangat membius. Bahkan aku sampai senyum-senyum sendiri
seperti orang gila menikmati anugrah Tuhan ini, ah, mungkin aku memang sudah
dibuat gila oleh semua keindahan ini.
Oh ya, kami tidak
sendirian di pucak Gunung Iya. Ada juga beberapa kelompok yang sepertinya juga
anak-anak SMA seperti murid-murid Wira. Sebagian besar dari remaja-remaja SMA
ini sepertinya tidak memperhatikan keselamatan. Bahkan beberapa lebih mirip
sedang main ke mall ketimbang main ke puncak gunung. Seperti salah satu murid Wira
yang bernama Sari ini contohnya. Ia memakai setelan jeans ketat dan kaos lengan
panjang lengkap dengan kerudungnya. Dan yang paling bikin geleng-geleng kepala adalah sepatu wadges nya. Aku saja sempai kaget ketika tahu ia akan naik gunung
dengan setelan seperti itu. Padahal yang namanya berkegiatan alam bebas
seharusnya direncanakan dengan matang dengan mempertimbangkan berbagai resiko. Alhasil
selama pendakian murid Wira yang satu ini kesusahan sendiri ketika pendakian,
bahkan sampai ada luka di kakinya. Bagaimanapun kita tidak boleh meremehkan
alam, karena alam tidak pernah bisa ditebak keaadaannya, terutama di gunung, ya
meskipun gunung mungil seperti Gunung
Iya ini.
Aku pun cukup
bersyukur tidak ada bunga Edelweis di Gunung Iya. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana nasib Edelweis jika ia tumbuh di Gunung Iya ini. Pasti ia akan habis
diperkosa beramai-ramai oleh para pendaki karbitan ini. Aku sendiri sebenarnya
tidak begitu rela keindahan Gunung Iya ini bisa dengan mudahnya dinikmati oleh
anak-anak ini. Memang keindahan yang ada di puncak ini rasanya terlalu
berlebihan untuk perjuangan yang tidak begitu seberapa. Rasanya seperti berlian
yang diobral murah di pasar loak. Lama-kelamaan keindahan ini terlihat hambar.
Sebelum kembali pulang
aku sempat menyampaikan kepada murid-murid Wira tentang salah satu kode etik
pegiat alam yaitu “leave nothing but
trace”. Sebelum turun anak-anak ini kuminta memunguti kembali sampah-sampah
yang mereka bawa dari bawah tadi termasuk beberapa sampah yang terlihat di
sekitar puncak gunung. Meskipun hanya sedikit aku berharap para remaja ini bisa
mengerti tentang pendakian yang sebenarnya. Tidak hanya menikmati keindahan
yang dianugrahkan Tuhan tapi juga menjaganya. Mencintainya dengan sepenuh hati.
Jadi naik gunung bukan sekedar untuk gagah-gagahan
atau keren-kerenan saja. Tapi memaknai
lebih dari itu. Ah, esok lusa merekapun mungkin akan mengerti apa yang aku
selalu pikirkan tentang pendakian gunung. Bukan hanya tentang keindahan yang
diberikan, tapi juga tentang segala sesuatu yang gunung ajarkan kepada para
pecintanya.
Setauku ada beberapa
kelompok pegiat alam yang ada di kota Ende, entah itu di sekolah maupun umum.
Mudah-mudahan mereka terketuk hatinya untuk lebih memperhatikan Gunung Iya. Karena
keindahan yang disajikan Gunung Iya terlalu berharga untuk diabaikan. Akan jauh
lebih baik kalau jalur pendakiannya sedikit dirapikan dan dibuat plang penunjuk
jalan karena ada beberapa jalur yang tidak begitu jelas. Dan lagi perlu ada
plang-plang kode etik pegiat alam serta larangan untuk berbuat hal-hal yang
berbau vandalisme. Karena ketika di puncak aku melihat beberapa tulisan-tulisan
yang mengurangi kealamian puncak Gunung Iya, dan sedikit berbau vandalisme.
Ah, akhirnya rasa
penasaran tentang keindahan Gunung Iya benar-benar tuntas terbalas. Aku
benar-benar puas akan petualangan kali ini. Tentang keindahan yang masih asri
ini. Semoga keindahan ini benar-benar bisa terjaga sampai kapanpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar