Sabtu, 01 Februari 2014

Gunung Iya, Keindahan yang Butuh Diperhatikan

“leave nothing but trace”
“take nothing but picture”
“kill nothing but time”
Kode etik pegiat alam









Pulau Flores adalah pulau ketiga terbesar di Nusa Tenggara. Pulau Flores menyimpan keindahan yang beranekaragam, mulai dari laut hingga sampai di atas gunung. Ada keindahan yang tersimpan rapi di tiap lekuk daratannya. Dan yang lebih menggiurkan lagi, keindahan alam di Flores masih alami. Jadi para pelancong sepertiku bebas mengeksplore keindahan itu, bahkan mungkin menjadi yang pertama. Dan sepertinya kini sudah tertancapkan di mimpiku untuk benar-benar mengeksplore keindahan Flores yang kebanyakan masih perawan ini.

Sudah beberapa minggu ini aku dibuat oleh penasaran oleh Gunung Iya. Sebuah gunung yang berstatus aktif yang terletak di semenanjung selatan kabupaten Ende. Bagaimana tidak, gunung ini terletak persis di sebelah Timur Basecamp SM3T UNY di Ende, dan ketika aku turun ke kota Ende mau tidak mau aku hanya bisa memandang Gunung Iya dari kejauhan saja. Membayangkan bagaimana rupa kawah dan pemandangan dari atas puncak Gunung Iya membuatku gemas sendiri.

Beberapa minggu ini saya juga hanya bisa mendengar cerita dari salah satu teman sesama guru SM3T yang kebetulan megajar di kota, Wira. Ia pun sama penasarannya dengan ku. Selama ini ia hanya mendengar cerita keindahan Gunung Iya dari rekan guru di sekolah atau pun dari beberapa muridnya yang pernah sampai di puncak Gunung Iya dan kemudian menceritakan ulang kepadaku. Sepertinya ia berusaha mencari teman untuk penasaran akan keindahan gunung Iya.

Gunung Iya adalah gunung api yang tidak terlalu tinggi. Saking tidak tingginya sampai tidak tertera di peta. Bahkan aku hanya mampu menemukan sedikit referensi yang tidak begitu jelas mengenai Gunung Iya. Yang paling jelas hanya tentang keindahannya. Karena memang gunung api mungil ini terletak di tanjung selatan kabupaten Ende yang berbatasan langsung dengan laut. Belum lagi sabana hijaunya yang tampak amat hijau dan memanggil-manggil untuk dikunjungi. Namun, aku harus benar-benar bersabar, menunggu Wira mengajakku tracking Gunung Iya bersama orang yang benar-benar tahu kondisi Gunung Iya.

Kesabaranku akhirnya berbuah juga. Di pertengahan januari 2014 ini akhirnya ajakan untuk tracking Gunung Iya keluar juga dari mulut Wira. Sebenarnya tak ada niatan sama sekali di dalam diriku untuk tracking Gunung Iya ketika turun ke kota. Namun, yang namanya rejeki ya tak akan kemana, memang sudah rejekiku untuk menikmati keindahan Gunung Iya. Aku turun tepat saat murid-murid Wira sedang menyusun rencana untuk tracking Gunung Iya. Kebetulan salah satu murid yang mengajak sudah pernah sampai ke puncak Gunung Iya.

Pagi-pagi sekali aku dan Wira mempersiapkan diri untuk tracking. Saking semangatnya sampai lupa sarapan. Hal yang sangat fatal dalam pendakian gunung, meskipun hanya untuk tracking gunung mungil ini.

Aku, Wira bersama tujuh muridnya akhirnya bersiap-siap untuk berangkat dari kelurahan Paupanda setelah proses saling menunggu yang cukup bikin bosan. Jalur tracking Gunung Iya dimulai dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di kelurahan Tanjung. Kelurahan terakhir di ujung selatan kecamatan Ende Selatan. Dari Paupanda jaraknya cukup jauh, jadi jangan sampai kalian nekat jalan kaki untuk mencapainya seperti kami. Kami yang tadinya semangat berjalan kakipun akhirnya menyerah juga dan memilih menumpang truk pengangkut pasir yang menambang pasir di sekitar TPA.

Di Gunung Iya ini tidak ada gerbang pendakian maupun basecamp untuk mengurusi perijinan seperti gunung-gunung di Jawa. siapa saja yang mau tracking tinggal langsung saja naik tanpa kerepotan mengurusi ijin pendakian. Karena itulah, butuh guide orang lokal yang mengetahui jalur pendakian ketika akan melakukan pendakian karena jalur pendakian yang tidak jelas ini. Setidaknya jangan malu bertanya pada warga sekitar untuk bertanya jalur awal pendakiannya karena memang sekitar 50 m dari jalur awal pendakian terdapat penambangan pasir.

Dari awal jalur pendakian Gunung Iya, kami langsung di ajak menanjaki bukit sabana yang hijau. Kalau dilihat-lihat jaur pendakian ini seperti jalur muncak Gunung Merbabu dari pos Sabana II menuju puncak. Tingggal menanjak sekali melewati sabana yang hijau. Nafas yang tanpa persiapan ini langsung digas pol seperti ini rasanya cukup menyiksa. Apalagi kami belum sarapan. Mesin sepeda motor saja kalau diperlakukan seperti ini lama-kelamaan akan ngambek.



Namun, pemandangan yang disajikan benar-benar berbeda dari pada saat muncak Gunung Merbabu. Jalur pendakian Gunung Iya berbatasan langsung dengan laut di sebelah selatan. Pemandangan yang benar-benar indah, aku sendiri sampai bingung membedakan mana birunya laut dan mana birunya langit yang kebetulan sedang cerah-cerahnya (panas). Belum lagi sabana hijau serta bukit-bukit hijau disebelah barat yang sedang menikmati hijau-hijaunya karena musim penghujan yang baru saja tiba. Ah, baru sampai kaki gunungnya saja sudah amat mempesona seperti ini.

Salah seorang murid Wira yang pernah sampai puncak Gunung Iya berujar bahwa keindahan di puncak Gunung Iya jauh lebih keren dibanding pemandangan dibukit sabana ini. Entah hanya untuk menyemangatiku yang sudah mulai loyo ini atau memang demikian nyatanya. Yang pasti aku jadi lebih semangat, karena memang target utamaku adalah puncak. Apapun yang ada di puncak sana, entah itu indah atau mengecewakan aku harus meraihnya. Gengsi dong sama anak-anak SMA ini yang sudah sampai puncaknya.

Setelah melewati bukit sabana jalur pendakiannya adalah melewati hutan cemara yang lebih mirip hiasan cemara ketimbang hutan. Bagaimana tidak, jarak antar pohonnya cukup jauh, tidak serapat hutan cemara di gunung-gunung di Jawa. Pohon-pohon cemaranya juga tidak sebesar pohon-pohon cemara di gunung di Jawa. Alhasil tidak ada yang bisa melindungiku dari panas yang menyengat ini.

Di pertengahan jalan kami sempat bertemu dengan penduduk setempat yang turun setelah mencari kayu bakar. Mungkin bekas ranting-ranting cemara yang sudah kering. Jalan setapak ini juga sepertinya jalan setapak milik warga sekitar sini.

Jalur pendakian di gunung ini adalah jalur setapak, dan berbatu dengan rumput-rumput hijau yang membatasi pinggir-pinggir jalannya. Persis seperti jalur untuk muncak Gunung Merbabu, hanya saja tanah di jalur pendakian Gunung Merbabu diganti dengan batu-batu kecil dan debu, juga ditambah dengan beberapa pohon cemara di sekelilingnya. Oh ya, di jalur pendakian Gunung Iya juga tebingnya berbatasan langsung dengan laut biru. Salah satu hal yang tidak dan memang tidak akan pernah bisa dijumpai di gunung-gunung di Jawa. salah satu daya tarik pada tracking kali ini.

Ah ya, ada satu hal pembeda yang paling mencolok. Di Gunung Iya ini tidak ada bunga Edelweis seperti di Merbabu atau gunung-gunung lainnya di Jawa. sepertinya bunga Edelweis yang memiliki nama latin Anaphalis javanica adalah bunga endemik Pulau Jawa yang ganya tumbuh di puncak-puncak gunung di Jawa. oh ya, sepertinya bunga Edelweis juga tumbuh di beberapa gunung di sumatera, Bali, dan Rinjani. Alhasil ada sedikit hal yang aneh yang aku rasakan ketika tracking Gunung Iya, yaitu tak ada bunga-bunga Edelweis yang menemaniku berjalan menyusuri jalur pendakian.

Sekitar dua jam berjalan dengan santai akhirnya kami sampai juga di atas puncak. Belum puncak sejatinya sebenarnya, karena untuk mencapai puncak sejati yang terdapat kawah yang masih aktif kami harus berjalan menyusuri jalan datar dengan rumput yang tinggi serta pohon-pohon mati. Hei, pohon-pohon mati ini sepertinya juga cukup menambah kecantikan pemandangan puncak Gunung Iya. Apalagi ketika dipadukan dengan bukit-bukit hijau dan kota Ende di arah barat serta dengan birunya langit yang terlihat menyatu dengan birunya laut beserta pulau Ende yang terlihat mengapung di sebelah selatan.

Setelah menghabiskan sarapan yang kami beli di Paupanda tadi kami bergegas menuju puncak sejati Gunung Iya. Sebuah tanah miring berpasir apabila kulihat dari jauh sini, benar-benar khas gunung berapi yang masih aktif. Dari sini juga bau belerang sudah cukup terasa. Di sini juga ada rekahan tanah yang mengeluarkan uap panas, mungkin uap panas yang berasal dari panas bumi.

Akhirnya kami sampai juga di puncak Gunung Iya. Sebuah puncak berpasir seperti puncak Mahameru, puncak Gunung Semeru. Namun di sini tidak ada semburan gas beracun seperti di Mahameru. Kawah gunung iya terletak di sebelah selatan, tepat di bibir jurang puncak berpasir. Dari sebelah barat aku bisa melihat jelas kawah gunung Iya yang masih aktif dan mengeluarkan asap. Kawah ini berbatasan langsung dengan laut di selatannya.

Ah ya, benar kata murid Wira tadi. Pemandangan di atas puncak ini benar-benar mempesona. Cukup rasanya membayar kelelahan tracking tadi. Bahkan kalau boleh kukatakan keindahan ini terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan jalur tracking yang biasa saja ini. Kalau saja pemandangan seperti ini ada di puncak-puncak gunung di Jawa yang rata-rata berada di ketinggian 3000an mdpl pasti rasanya akan lebih berkesan. Hadiah yang pas untuk perjuangan mendaki berhari-hari.

Perpaduan antara laut biru dengan langit yang juga biru. Sapuan putih ombak dipadukan dengan sapuan putih awan. Ah, perpaduan yang benar-benar cocok. Belum lagi dengan bukit-bukit hijau serta pohon-pohon mati disekitar puncak. Rasanya perpaduan yang benar-benar lengkap dan sangat membius. Bahkan aku sampai senyum-senyum sendiri seperti orang gila menikmati anugrah Tuhan ini, ah, mungkin aku memang sudah dibuat gila oleh semua keindahan ini.

Oh ya, kami tidak sendirian di pucak Gunung Iya. Ada juga beberapa kelompok yang sepertinya juga anak-anak SMA seperti murid-murid Wira. Sebagian besar dari remaja-remaja SMA ini sepertinya tidak memperhatikan keselamatan. Bahkan beberapa lebih mirip sedang main ke mall ketimbang main ke puncak gunung. Seperti salah satu murid Wira yang bernama Sari ini contohnya. Ia memakai setelan jeans ketat dan kaos lengan panjang lengkap dengan kerudungnya. Dan yang paling bikin geleng-geleng kepala adalah sepatu wadges nya. Aku saja sempai kaget ketika tahu ia akan naik gunung dengan setelan seperti itu. Padahal yang namanya berkegiatan alam bebas seharusnya direncanakan dengan matang dengan mempertimbangkan berbagai resiko. Alhasil selama pendakian murid Wira yang satu ini kesusahan sendiri ketika pendakian, bahkan sampai ada luka di kakinya. Bagaimanapun kita tidak boleh meremehkan alam, karena alam tidak pernah bisa ditebak keaadaannya, terutama di gunung, ya meskipun gunung mungil seperti Gunung Iya ini.

Aku pun cukup bersyukur tidak ada bunga Edelweis di Gunung Iya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Edelweis jika ia tumbuh di Gunung Iya ini. Pasti ia akan habis diperkosa beramai-ramai oleh para pendaki karbitan ini. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu rela keindahan Gunung Iya ini bisa dengan mudahnya dinikmati oleh anak-anak ini. Memang keindahan yang ada di puncak ini rasanya terlalu berlebihan untuk perjuangan yang tidak begitu seberapa. Rasanya seperti berlian yang diobral murah di pasar loak. Lama-kelamaan keindahan ini terlihat hambar.

Sebelum kembali pulang aku sempat menyampaikan kepada murid-murid Wira tentang salah satu kode etik pegiat alam yaitu “leave nothing but trace”. Sebelum turun anak-anak ini kuminta memunguti kembali sampah-sampah yang mereka bawa dari bawah tadi termasuk beberapa sampah yang terlihat di sekitar puncak gunung. Meskipun hanya sedikit aku berharap para remaja ini bisa mengerti tentang pendakian yang sebenarnya. Tidak hanya menikmati keindahan yang dianugrahkan Tuhan tapi juga menjaganya. Mencintainya dengan sepenuh hati. Jadi naik gunung bukan sekedar untuk gagah-gagahan­ atau keren-kerenan­ saja. Tapi memaknai lebih dari itu. Ah, esok lusa merekapun mungkin akan mengerti apa yang aku selalu pikirkan tentang pendakian gunung. Bukan hanya tentang keindahan yang diberikan, tapi juga tentang segala sesuatu yang gunung ajarkan kepada para pecintanya.

Setauku ada beberapa kelompok pegiat alam yang ada di kota Ende, entah itu di sekolah maupun umum. Mudah-mudahan mereka terketuk hatinya untuk lebih memperhatikan Gunung Iya. Karena keindahan yang disajikan Gunung Iya terlalu berharga untuk diabaikan. Akan jauh lebih baik kalau jalur pendakiannya sedikit dirapikan dan dibuat plang penunjuk jalan karena ada beberapa jalur yang tidak begitu jelas. Dan lagi perlu ada plang-plang kode etik pegiat alam serta larangan untuk berbuat hal-hal yang berbau vandalisme. Karena ketika di puncak aku melihat beberapa tulisan-tulisan yang mengurangi kealamian puncak Gunung Iya, dan sedikit berbau vandalisme.


Ah, akhirnya rasa penasaran tentang keindahan Gunung Iya benar-benar tuntas terbalas. Aku benar-benar puas akan petualangan kali ini. Tentang keindahan yang masih asri ini. Semoga keindahan ini benar-benar bisa terjaga sampai kapanpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar