Setiap orang punya frekuensinya sendiri-sendiri, namun
terkadang ada beberapa frekuensi yang saling berintferensi, interferensi
konstruktif tentunya, dan mereka-mereka inilah yang dipersatukan dengan suatu
hal yang namanya persahabatan. Aku hanya punya sedikit sahabat, dan aku sudah
merasa cukup akan itu. saling mencintai dan menjaga sampai hembus nafas
terakhir.
Dulu aku tak pernah percaya dengan yang namanya sahabat.
Sekelompok orang yang kemana-mana selalu bersama-sama, memakai pakaian yang
seragam, saling bercanda se enaknya sendiri tanpai menghiraukan teman yang
lain, dan sepertinya mereka terlalu asik dan sibuk dengan putaran mereka. Aku
benar-benar muak melihat hal yang seperti itu.
Namun ketika akhirnya aku dipertemukan dengan
sahabat-sahabat spesialku, si pria berkacamata, gadis polos, gadis kecil,
hingga pria galau, aku sadar bahwa memang setiap orang pasti akan menemukan
setiap kenyamanannya sendiri ketika berkumpul bersama segelintir orang. Yang
pasti kenyamanan ini berbeda dengan kenyamanan sebagai teman. Ya, yang satu ini
lebih dari sekedar teman biasa.
Namun terkadang ada beberapa orang yang mengartikan sahabat
terlalu berebihan. Mereka terlalu sibuk dalam dunia mereka sendiri dan
terkadang teralihkan dari dunia disekitarnya, bahkan batasan-batasan zona
privacynya. Ya, menurutku yang namanya sahabat itu bukannya tanpa batas. Setiap
orang punya zona privacy nya sendiri-sendiri, dan yang namanya sahabat pasi
selalu mengerti akan batasan-batasan ini. Dan sekelompok orang yang mengaku
bersahabat tanpa mempedulikan dunia disekitarnya bahkan dunia masing-masing
sepertinya kurang cocok kalau disebut sahabat, aku lebih suka menyebut mereka
sebagai geng.
Biasanya yang namanya geng itu sangat akrab dengan kehidupan
masa remaja yang masih labil. Ya, anak-anak remaja ini sedang dalam proses
belajar dewasa, dan terkadang mereka terlalu kesepian untuk melewatinya
sendirian saja. Dan juga, anak-anak remaja ini selalu berbuat sesuatu agar
keberadaan mereka diakui dan dianggap, bahkan terkadang melalui hal-hal yang
nyeleneh.
Namun sayangnya geng sindrom ini tak melulu hanya menjangkit
anak-anak remaja, terkadang sindrome ini juga menjangkit orang-orang yang
mengaku sudah dewasa, padahal geng sindrome ini saja sudah menunjukan kalau
mereka tidak bisa dewasa.
Geng sindrome ini sepertinya juga sudah berhasil merusak
keharmonisan keluarga SM3T UNY Ende. Kami yang berangkat bersama-sama, 46 orang
dari jogja untuk berjuang bersama mencerdaskan anak bangsa di Ende NTT
seharusnya bisa menjadi keluarga yang saling membantu. Tapi nyatanya sekarang
malah terpecah belah karena adanya geng sindrome.
Aku mengakui kalau seluruh 46 anak bisa kompak pasti akan
sulit. Pasti akan muncul kelompok-kelompok kecil di dalamnya, karena memang
faktor kenyamanan sangat mempengaruhi terbentuknya kelompok-kelompok kecil ini.
Tentu saja aku tak mau menyalahkan mereka soal kenyamanan ini.
Namun, secara umum ada dua kelompok yang terbagi dari 46
orang ini. Satu kelompok yang selau ngeksis dan ramai bernama geng baga serta
satu kelompok kontranya yang tergabung dari kelompok-kelompok kecil di luar
geng baga ini.
Awalnya, aku merasa nyaman ketika bergabung bersama geng
baga, karenamemang kami sering jalan sama-sama karena tempat penempatan kami
yang satu arah, di daerah suku lio. Namun lama kelamaan aku merasa ada yang
kurang wajar ketika 30an anak berkumpul bersama-sama di ende untuk rapat,
sepertinya gap yangterjadi antara dua kelompok ini sudah begitu jauhnya. Dan
ketika aku memutuskan untuk keluar dari putaran geng baga aku bisa melihat gap
antara kedua kubu ini. Semakin lanjut aku jadi lebih tahu ada banyak masalah
yang sudah dipendam lama karena gep tersebut.
Kelompok di luar geng baga merasa kalau geng baga terlalu
kekanak-kanakan dengan membatasi interaksi sosialnya hanya terbatas pada
anggota geng, sefangkan geng baga merasa tidak melakukan itu dan merasa
kelompok diluar geng mereka terlalu kekanak-kanakan karena mempermasalahkan hal
tersebut dan menganggap mereka-mereka diluar geng baga iri akan kebersamaan
geng baga. Ah, setiap orang pasti memiliki kecenderungan akan menganggap
dirinya lebih dewasa. Begitulah manusia. Dan terkadang manusia terlalu tuli
untuk mendengar kritik dari oarang lain. Dan lama-kelamaan kekacauan ini
semakin menjadi hingga basecamp rasanya bukan lagi menjadi rumah yang nyaman.
Ah, aku hanya bisa menjadi penonton akan kekacauan ini. Aku
sudah malas kalu terjadi hal yang seperti ini. Lebih baik menyingkir sendirian
saja sambil menonton kekacauan tersebut. Tentu saja aku tak memihak salah satu
kubu, aku hanya berdiri di bawah kakiku sendiri dengan idealismeku sendiri. aku
sudah punya orang-orang terbaik yang begitu aku cintai, sahabat, dan aku sudah
merasa cukup dan tak mau ikut ambil bagian dalam putaran kekacauan mereka.
Namun, bagaimanapun juga mereka adalah keluargaku sekarang
di sini, dan sudah seharusnya aku ikut ambil bagian dalam menyelesaiakan
masalah yang ada. Aku, yang paling muda di antara mereka akan berusaha membantu
sebisaku. Bukan sebagai penengah, hanya membantu menyelesaikan saja karena
sepertinya umurku yang jauh lebih muda dari mereka tak punya kapasitas untuk
mengenggap diriku ini lebih dewasa dari mereka.
Yang namanya keluarga wajar kalau ada masalah, dan
seharusnya masing-masing anggota keluarga tak menutup diri dari segala kritik
dari anggota lainnya. Keluarga itu seharusnya bisa saling menguatkan dan
membangun. Mudah-mudahan kekacauan ini bisa menyadarkan mereka dan aku tentunya
akan ikatan keluarga di sini, bukan hanya terbatas pada kelompok-kelompok
kecil.
Ah, mungkin ini juga sebagai proses belajar yang harus bisa
aku lewati. Sahabat, aku sangat merindukan kalian sekarang.
Direntang jarak ini
aku menyampaikan salam rinduku pada kalian-kalian orang penting di dalam
hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar