Sabtu, 18 Januari 2014

genk sindrome


Setiap orang punya frekuensinya sendiri-sendiri, namun terkadang ada beberapa frekuensi yang saling berintferensi, interferensi konstruktif tentunya, dan mereka-mereka inilah yang dipersatukan dengan suatu hal yang namanya persahabatan. Aku hanya punya sedikit sahabat, dan aku sudah merasa cukup akan itu. saling mencintai dan menjaga sampai hembus nafas terakhir.

Dulu aku tak pernah percaya dengan yang namanya sahabat. Sekelompok orang yang kemana-mana selalu bersama-sama, memakai pakaian yang seragam, saling bercanda se enaknya sendiri tanpai menghiraukan teman yang lain, dan sepertinya mereka terlalu asik dan sibuk dengan putaran mereka. Aku benar-benar muak melihat hal yang seperti itu.

Namun ketika akhirnya aku dipertemukan dengan sahabat-sahabat spesialku, si pria berkacamata, gadis polos, gadis kecil, hingga pria galau, aku sadar bahwa memang setiap orang pasti akan menemukan setiap kenyamanannya sendiri ketika berkumpul bersama segelintir orang. Yang pasti kenyamanan ini berbeda dengan kenyamanan sebagai teman. Ya, yang satu ini lebih dari sekedar teman biasa.

Namun terkadang ada beberapa orang yang mengartikan sahabat terlalu berebihan. Mereka terlalu sibuk dalam dunia mereka sendiri dan terkadang teralihkan dari dunia disekitarnya, bahkan batasan-batasan zona privacynya. Ya, menurutku yang namanya sahabat itu bukannya tanpa batas. Setiap orang punya zona privacy nya sendiri-sendiri, dan yang namanya sahabat pasi selalu mengerti akan batasan-batasan ini. Dan sekelompok orang yang mengaku bersahabat tanpa mempedulikan dunia disekitarnya bahkan dunia masing-masing sepertinya kurang cocok kalau disebut sahabat, aku lebih suka menyebut mereka sebagai geng.

Biasanya yang namanya geng itu sangat akrab dengan kehidupan masa remaja yang masih labil. Ya, anak-anak remaja ini sedang dalam proses belajar dewasa, dan terkadang mereka terlalu kesepian untuk melewatinya sendirian saja. Dan juga, anak-anak remaja ini selalu berbuat sesuatu agar keberadaan mereka diakui dan dianggap, bahkan terkadang melalui hal-hal yang nyeleneh.

Namun sayangnya geng sindrom ini tak melulu hanya menjangkit anak-anak remaja, terkadang sindrome ini juga menjangkit orang-orang yang mengaku sudah dewasa, padahal geng sindrome ini saja sudah menunjukan kalau mereka tidak bisa dewasa.

Geng sindrome ini sepertinya juga sudah berhasil merusak keharmonisan keluarga SM3T UNY Ende. Kami yang berangkat bersama-sama, 46 orang dari jogja untuk berjuang bersama mencerdaskan anak bangsa di Ende NTT seharusnya bisa menjadi keluarga yang saling membantu. Tapi nyatanya sekarang malah terpecah belah karena adanya geng sindrome.

Aku mengakui kalau seluruh 46 anak bisa kompak pasti akan sulit. Pasti akan muncul kelompok-kelompok kecil di dalamnya, karena memang faktor kenyamanan sangat mempengaruhi terbentuknya kelompok-kelompok kecil ini. Tentu saja aku tak mau menyalahkan mereka soal kenyamanan ini.
Namun, secara umum ada dua kelompok yang terbagi dari 46 orang ini. Satu kelompok yang selau ngeksis dan ramai bernama geng baga serta satu kelompok kontranya yang tergabung dari kelompok-kelompok kecil di luar geng baga ini.

Awalnya, aku merasa nyaman ketika bergabung bersama geng baga, karenamemang kami sering jalan sama-sama karena tempat penempatan kami yang satu arah, di daerah suku lio. Namun lama kelamaan aku merasa ada yang kurang wajar ketika 30an anak berkumpul bersama-sama di ende untuk rapat, sepertinya gap yangterjadi antara dua kelompok ini sudah begitu jauhnya. Dan ketika aku memutuskan untuk keluar dari putaran geng baga aku bisa melihat gap antara kedua kubu ini. Semakin lanjut aku jadi lebih tahu ada banyak masalah yang sudah dipendam lama karena gep tersebut.

Kelompok di luar geng baga merasa kalau geng baga terlalu kekanak-kanakan dengan membatasi interaksi sosialnya hanya terbatas pada anggota geng, sefangkan geng baga merasa tidak melakukan itu dan merasa kelompok diluar geng mereka terlalu kekanak-kanakan karena mempermasalahkan hal tersebut dan menganggap mereka-mereka diluar geng baga iri akan kebersamaan geng baga. Ah, setiap orang pasti memiliki kecenderungan akan menganggap dirinya lebih dewasa. Begitulah manusia. Dan terkadang manusia terlalu tuli untuk mendengar kritik dari oarang lain. Dan lama-kelamaan kekacauan ini semakin menjadi hingga basecamp rasanya bukan lagi menjadi rumah yang nyaman.

Ah, aku hanya bisa menjadi penonton akan kekacauan ini. Aku sudah malas kalu terjadi hal yang seperti ini. Lebih baik menyingkir sendirian saja sambil menonton kekacauan tersebut. Tentu saja aku tak memihak salah satu kubu, aku hanya berdiri di bawah kakiku sendiri dengan idealismeku sendiri. aku sudah punya orang-orang terbaik yang begitu aku cintai, sahabat, dan aku sudah merasa cukup dan tak mau ikut ambil bagian dalam putaran kekacauan mereka.

Namun, bagaimanapun juga mereka adalah keluargaku sekarang di sini, dan sudah seharusnya aku ikut ambil bagian dalam menyelesaiakan masalah yang ada. Aku, yang paling muda di antara mereka akan berusaha membantu sebisaku. Bukan sebagai penengah, hanya membantu menyelesaikan saja karena sepertinya umurku yang jauh lebih muda dari mereka tak punya kapasitas untuk mengenggap diriku ini lebih dewasa dari mereka.

Yang namanya keluarga wajar kalau ada masalah, dan seharusnya masing-masing anggota keluarga tak menutup diri dari segala kritik dari anggota lainnya. Keluarga itu seharusnya bisa saling menguatkan dan membangun. Mudah-mudahan kekacauan ini bisa menyadarkan mereka dan aku tentunya akan ikatan keluarga di sini, bukan hanya terbatas pada kelompok-kelompok kecil.
Ah, mungkin ini juga sebagai proses belajar yang harus bisa aku lewati. Sahabat, aku sangat merindukan kalian sekarang. 

Direntang jarak ini aku menyampaikan salam rinduku pada kalian-kalian orang penting di dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar