“ngga minggu
depan ikut aku potong kompas dari Wolowaru ke Kelibara hingga ke kelimutu nggak?”
tanya Rohmat kepadaku.
Sudah
beberapa bulan ini kami hanya bisa mewacanakan petualangan besar potong kompas
wolowaru-kelibara-kelimutu tanpa bisa merealisasikannya. Karena itulah aku
cukup kaget ketika Rohmat dengan menggebu-gebunya mengajakku untuk ikut dalam
petualangan besar yang katanya pasti jadi ini. Rupanya ia benar-benar sudah
dibuat penasaran oleh G.Kelibara, titik tertinggi kabupaten Ende yang hanya
bisa ia lihat saja kegagahannya dari wolowaru.
Rencananya
akan ada anak murid yang memandu kami. Murid ini memiliki rumah di kampung
pemo, kampung yang tepat berada di kaki G.kelibara. Rencananya ia akan memandu
kami potong kompas Wolowaru-Pemo, bahkan hingga Kelibara kalau bisa. Awal
Februari inipun cuaca masih cukup memungkinkan untuk memulai petualangan ini.
Namun
sayangnya menjelang hari H ada sedikit masalah ketika ada agenda lain
teman-teman SM3T di wolowaru. Rohmat merupakan guru SM3T dari Unnes penempatan
Wolowaru. Selain itu anak murid yang akan menjadi pemandu untuk petualangan ini
menghilang entah kemana. Acara petualangan besar ini benar-benar terancam
gagal.
“bagaimana
ini met, masa mau gagal lagi rencananya?”
“lha gimana,
besok ada rencana ketemu dengan pak camat wolowaru je, lapor diri keberadaan
SM3T.”
“halah, nggak
usah ketemu pak camat, aku saja nggak ketemu pak camat Lepembusu Kelisoke kok.
Aku udah jauh-jauh dari ratenggoji masa nggak jadi. Udah siap tinggal berangkat
ini.” Aku mencoba untuk menghasut Rohmat.
“haduh,
gimana ya?”
Rohmat
sepertinya bingung juga oleh dua agenda yang bentrok ini. Sebagai ketua SM3T
kecamatan Wolowaru ia bertanggung jawab akan acara lapor diri di kecamatan,
namun jiwa petualangannya juga rasanya tak bisa dikesampingkan.
“ya sudah,
rencana tatap muka dengan pak camatnya tak tunda dulu aja wis, lha anak-anak
yang ngajar di SMA saja sedang sibuk karena ada pengawas dari kabupaten yang
akan datang ke SMA. Petualangan besar ini pokoknya harus jadi. Nanti tak bilang
ke pak David, ketua UPTD PPO wolowaru untuk membatalkan pertemuan dengan Pak
Camat.” Akhirnya Rahmat beruara setelah merenung cukup lama.
Akhirnya
Rahmat mulai termakan rayuanku untuk tetap melanjutkan rencana besar kami. Aku
sendiri sudah jauh-jauh datang dari kampung tempat penugasanku di kampung
Ratenggoji dengan peralatan lengkap siap berpetualang.
“ya sudah,
sekarang kita cari muridku yang akan jadi pemandu dulu ya. Kemudian kita beli
persiapan-persiapan untuk naik besok.” Rohmat terlihat lebih bersemangat sekarang.
Namun, ada
saja masalah yang harus kami hadapai. Anak murid yang akan jadi pemandu hilang
entah kemana. Belum lagi spirtus yang rencananya akan jadi bahan bakar memasak
saat pendakian tak ada di toko-toko disekitar Wolowaru.
“Ada saja
halangannya ini. Sepertinya tuhan memang tidak merestui perjalanan kita nih
met.” Aku sedikit putus asa.
“Sudahlah,
ada pemandu atau tidak kita pokoknya tetap jalan. Kan kita juga sudah bawa
kompas. Pokoknya aman. Yang penting tenang dan yakin.” Giliran Rohmat yang
sekarang menghasutku. Rupanya ia sudah benar-benar semangat.
“Okelah,
pokoknya yakin dan tenang ya. Terus ini perjalanannya mau dimulai dari mana?
Kita kan benar-benar nggak tau mulai star dari mana.” Tanyaku.
“Nanti tak
tanya pak Sofyan, bapak asuhku, mulainya dari mana. Mudah-mudahan beliau tahu.”
“Oke, nanti
masaknya pake kayu bakarnya, pokoknya jadi ya.”
Akhirnya
petualangan besar ini benar-benar akan terwujud.
“mas serius
mau ke kelibara? Kami saja belum pernah sampai sana.” Kata pak sofyan ketika
kami bertanya tentang jalur menuju kampung pemo.
Menurut pak
sofyan, untuk menuju kempung pemo bisa lewat jalan besar lewat moni, kemudian
naik lewat jalan besar ke danau kelimutu, kemudian naik lewat cabang ke kampung
pemo. Beliau menyarankan kami untuk naik motor hingga ke kampung pemo.
“ah, nggak
ada tantangannya kalau Cuma naik motor sampai Pemo pak. Kami rencananya mau
potong kompas dari Wolowaru sampai Pemo. Nanti menginap di masjid di Pemo baru
kemudian naik ke Kelibara.”
“kalian ini
benar-benar aneh, jalan yang besar saja ada malah cari jalan setapak. Kalau mau
lewat jalan setapak mungkin bisa lewat kampung Tenda atau kampung Mbulilo’o.
tapi hati-hati, mungkin jalan setapak itu sudah hilang, soalnya sekarang jalan
setapak itu sudah tidak dipakai lagi, karena jalan setapak itu digunakan
orang-orang dulu sebelum ada jalan raya.”
“terimakasih
untuk pujiannya pak.” Batinku.
Aku memang
lebih suka dibilang orang aneh. Aneh berarti berbeda. Berbeda berarti istimewa.
ya, cap orang aneh menurutku adalah sebuah pujian. Lagipula, melewati jalan
raya berarti tidak ada tantangannya sama sekali. Tantangan inilah yang aku cari
untuk mengisi kembali semangat yang sudah mulai luntur. Menguapkan kebosanan
yang sudah mulai menggerogotiku di kampung ratenggoji yang setiap hari hujan di
bulan-bulan begini. Ya, petualangan besar ini sekaligus untuk perjalanan
spiritual. Rasanya ketika pak sofyan bilang orang-orang sini saja belum ada
yang sampai di Kelibara benar-benar menambah semangat kami.
Sabtu, 8
Februari 2014, pagi ini akan benar-benar menjadi sejarah untukku. Aku dan Rohmat
bersiap-siap untuk melakukan sebuah perjalanan besar. Bersenjatakan parang dari
pak sofyan untuk membuka jalan. Serta tekat dan keyakinan yang dipadukan dengan
kenekatan untuk menjadi orang pertama yang berhasil tembus
Wolowaru-Kelibara-Kelimutu. Saking nekatnya sampai kami lupa membawa
perlengkapan P3K dan peralatan memasak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar