Sabtu, 15 Februari 2014

Ekspedisi Kelibara bag 1. Hanya Bermodal Nekat

“ngga minggu depan ikut aku potong kompas dari Wolowaru ke Kelibara hingga ke kelimutu nggak?” tanya Rohmat kepadaku.
Sudah beberapa bulan ini kami hanya bisa mewacanakan petualangan besar potong kompas wolowaru-kelibara-kelimutu tanpa bisa merealisasikannya. Karena itulah aku cukup kaget ketika Rohmat dengan menggebu-gebunya mengajakku untuk ikut dalam petualangan besar yang katanya pasti jadi ini. Rupanya ia benar-benar sudah dibuat penasaran oleh G.Kelibara, titik tertinggi kabupaten Ende yang hanya bisa ia lihat saja kegagahannya dari wolowaru.
Rencananya akan ada anak murid yang memandu kami. Murid ini memiliki rumah di kampung pemo, kampung yang tepat berada di kaki G.kelibara. Rencananya ia akan memandu kami potong kompas Wolowaru-Pemo, bahkan hingga Kelibara kalau bisa. Awal Februari inipun cuaca masih cukup memungkinkan untuk memulai petualangan ini.
Namun sayangnya menjelang hari H ada sedikit masalah ketika ada agenda lain teman-teman SM3T di wolowaru. Rohmat merupakan guru SM3T dari Unnes penempatan Wolowaru. Selain itu anak murid yang akan menjadi pemandu untuk petualangan ini menghilang entah kemana. Acara petualangan besar ini benar-benar terancam gagal.
“bagaimana ini met, masa mau gagal lagi rencananya?”
“lha gimana, besok ada rencana ketemu dengan pak camat wolowaru je, lapor diri keberadaan SM3T.”
“halah, nggak usah ketemu pak camat, aku saja nggak ketemu pak camat Lepembusu Kelisoke kok. Aku udah jauh-jauh dari ratenggoji masa nggak jadi. Udah siap tinggal berangkat ini.” Aku mencoba untuk menghasut Rohmat.
“haduh, gimana ya?”
Rohmat sepertinya bingung juga oleh dua agenda yang bentrok ini. Sebagai ketua SM3T kecamatan Wolowaru ia bertanggung jawab akan acara lapor diri di kecamatan, namun jiwa petualangannya juga rasanya tak bisa dikesampingkan.
“ya sudah, rencana tatap muka dengan pak camatnya tak tunda dulu aja wis, lha anak-anak yang ngajar di SMA saja sedang sibuk karena ada pengawas dari kabupaten yang akan datang ke SMA. Petualangan besar ini pokoknya harus jadi. Nanti tak bilang ke pak David, ketua UPTD PPO wolowaru untuk membatalkan pertemuan dengan Pak Camat.” Akhirnya Rahmat beruara setelah merenung cukup lama.
Akhirnya Rahmat mulai termakan rayuanku untuk tetap melanjutkan rencana besar kami. Aku sendiri sudah jauh-jauh datang dari kampung tempat penugasanku di kampung Ratenggoji dengan peralatan lengkap siap berpetualang.
“ya sudah, sekarang kita cari muridku yang akan jadi pemandu dulu ya. Kemudian kita beli persiapan-persiapan untuk naik besok.” Rohmat terlihat lebih bersemangat sekarang.
Namun, ada saja masalah yang harus kami hadapai. Anak murid yang akan jadi pemandu hilang entah kemana. Belum lagi spirtus yang rencananya akan jadi bahan bakar memasak saat pendakian tak ada di toko-toko disekitar Wolowaru.
“Ada saja halangannya ini. Sepertinya tuhan memang tidak merestui perjalanan kita nih met.” Aku sedikit putus asa.
“Sudahlah, ada pemandu atau tidak kita pokoknya tetap jalan. Kan kita juga sudah bawa kompas. Pokoknya aman. Yang penting tenang dan yakin.” Giliran Rohmat yang sekarang menghasutku. Rupanya ia sudah benar-benar semangat.
“Okelah, pokoknya yakin dan tenang ya. Terus ini perjalanannya mau dimulai dari mana? Kita kan benar-benar nggak tau mulai star dari mana.” Tanyaku.
“Nanti tak tanya pak Sofyan, bapak asuhku, mulainya dari mana. Mudah-mudahan beliau tahu.”
“Oke, nanti masaknya pake kayu bakarnya, pokoknya jadi ya.”
Akhirnya petualangan besar ini benar-benar akan terwujud.
“mas serius mau ke kelibara? Kami saja belum pernah sampai sana.” Kata pak sofyan ketika kami bertanya tentang jalur menuju kampung pemo.
Menurut pak sofyan, untuk menuju kempung pemo bisa lewat jalan besar lewat moni, kemudian naik lewat jalan besar ke danau kelimutu, kemudian naik lewat cabang ke kampung pemo. Beliau menyarankan kami untuk naik motor hingga ke kampung pemo.
“ah, nggak ada tantangannya kalau Cuma naik motor sampai Pemo pak. Kami rencananya mau potong kompas dari Wolowaru sampai Pemo. Nanti menginap di masjid di Pemo baru kemudian naik ke Kelibara.”
“kalian ini benar-benar aneh, jalan yang besar saja ada malah cari jalan setapak. Kalau mau lewat jalan setapak mungkin bisa lewat kampung Tenda atau kampung Mbulilo’o. tapi hati-hati, mungkin jalan setapak itu sudah hilang, soalnya sekarang jalan setapak itu sudah tidak dipakai lagi, karena jalan setapak itu digunakan orang-orang dulu sebelum ada jalan raya.”
“terimakasih untuk pujiannya pak.” Batinku.
Aku memang lebih suka dibilang orang aneh. Aneh berarti berbeda. Berbeda berarti istimewa. ya, cap orang aneh menurutku adalah sebuah pujian. Lagipula, melewati jalan raya berarti tidak ada tantangannya sama sekali. Tantangan inilah yang aku cari untuk mengisi kembali semangat yang sudah mulai luntur. Menguapkan kebosanan yang sudah mulai menggerogotiku di kampung ratenggoji yang setiap hari hujan di bulan-bulan begini. Ya, petualangan besar ini sekaligus untuk perjalanan spiritual. Rasanya ketika pak sofyan bilang orang-orang sini saja belum ada yang sampai di Kelibara benar-benar menambah semangat kami.

Sabtu, 8 Februari 2014, pagi ini akan benar-benar menjadi sejarah untukku. Aku dan Rohmat bersiap-siap untuk melakukan sebuah perjalanan besar. Bersenjatakan parang dari pak sofyan untuk membuka jalan. Serta tekat dan keyakinan yang dipadukan dengan kenekatan untuk menjadi orang pertama yang berhasil tembus Wolowaru-Kelibara-Kelimutu. Saking nekatnya sampai kami lupa membawa perlengkapan P3K dan peralatan memasak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar