Memasuki hari kedua liburan ini, asrama terasa lebih sepi
lagi. Yah, mau bagaimana lagi, semua penghuni asrama pulang ke rumah
masing-masing, hanya menyisakan beberapa penghuni dari luar jawa atau yang
rumahnya jauh. Rumah ku sendiri bisa dikatakan tidak begitu jauh dari asrama
tapi aku memilih untuk tetap tinggal di asrama saja. Selain karena
mengistirahatkan tubuh yang lelah, tapi buatku rumah bukan hanya sekedar arti
fisik. Lebih dari itu rumah adalah penghargaan untuk para penjelajah jarak,
pengarung waktu.
Sore kemarin aku kembali mengunjungi sebuah tempat di kota
kecil ini, tempat spesial yang amat bermakna. Tempat yang membuatku bertahan
dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang sebagian besar menjadi perabot
rumah 14 inci. Yah, di sinilah aku menghabiskan
waktu masa-masa itu. Duduk dengan segelas kopi, menunggui senja, menghindari
deru kereta, menatap hamparan sawah, dan mencoba mnepis ia dari benakku.
Aku tidak sendiri. Kemarin sore, aku mengunjungi tempat ini
dengan seorang perempuan. Gadis ceria, begitu mungkin aku bisa menyebutnya.
Jelas sekali ini bukanlah sebuah kencan, ini hanyalah obrolan antar sahabat.
Yah, waktu telah menerbangkanku ke banyak tempat dan di tiap tempat-tempat itu
aku menemukan beberapa sahabat baru yang dengan mereka aku siap untuk
bersusah-susah maupun bersenang-senang.
Banyak yang kami bicarakan di tempat itu. Hal-hal yang
mungkin terdengar terlalu idealis. Yah, tapi seperti inilah kami jika sudah
bertukar pendapat. Seolah-olah kami sedang mewujud menjadi orang lain, bercerita
banyak hal –tema berat yang kadang terlalu susah untuk diwujudkan. Yah, tapi
rasanya sudah lama tidak ngobrol dalam obrolan sok dewasa ini.
Namun, satu yang agak berbeda, gadis ceria ternyata sudah
agak berubah. Yah, setiap orang pasti berubah, hanya orang-orang yang tak mau
belajar saja yang terlalu senang berada di zona nyamannya. Gadis ceria itu
telah mewujud dalam bentuk baru. Yah, ia memang maih ceria, masih cerewet,
masih gemuk, dan banyak hal yang masih sama. Tapi ia memiliki pemahaman baru tentang
hidup, hal yang amat berharga dan tak mudah dilihat dari luar. Kini, ia tengah
berjuang perlahan untuk menjadi seorang perempuan alim yang memposisikan Tuhan
di atas segalanya. Aku benar-benar salut dengannya. Tapi aku tak kaget
mendengarnya, ia memang memiliki jiwa seorang idealis, dan memang sudah
sepantasnya ia meralisasikan idealisme-idealismenya. Dia berani untuk
meninggalkan zona nyamannya, berani untuk mendobrak batasan-batasan diri
kemudian membuat batasan-batasan diri yang baru untuk menjadi seorang yang baru
yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena dengan batasan-batasan itulah
jiwanya bisa membatasi diri dari kotornya hiruk pikuk dunia.
Aku sungguh malu mendengar ceritanya. Karena aku masih belum
juga beranjak dari tempatku ini, tempat yang begitu banyak dosa dimana-mana.
Aku masih belum lepas dari jeratan kesepian. Aku masih belum bisa mengendalikan
jiwaku ini dan lebih sering harus menyadari kekalahanku akan nafsu di dalam
hati.
Terimakasih gadis ceria untuk cerita-cerita yang telah dibagi.
Maaf karena tak bisa menyajikan senja yang indah karena bukan kuasaku untuk
mengusir gumpalan awan dilangit barat itu. Tapi, duduk di samping rel kereta
dimana kereta melintas sangat cepat menghadirkan sensasi yang menyenangkan
bukan? Mungkin suatu hari aku bisa menyajikan senja yang cantik atau mungkin
bercerita tentang begitu spesialnya tempat ini buatku dan banyak cerita
tentangku yang selama ini cuma kubagi dalam rumah 14 inci ini.
Kesepian-kesepian, bantulah aku untuk mewujud dalam bentuk
baru sepertinya. Aku tak mau lari darimu dalam dekapan seorang perempuan.
Karena orang-orang seperti itu jauh lebih kesepian dari pada aku yang sekarang.
Semoga dalam kesepian ini aku bisa
memaknai aku, mengerti tentang batasan-batasan diri, dan mewujud kedalam bentuk
baru yang konsisten. Memantaskan diri untuk sebuah hari dimana aku bisa bertemu
kamu.
Sampai jumpa lagi senja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar