Sabtu, 15 Februari 2014

Ekspedisi Kelibara bag 2. Potong Kompas

“Menuliskan nama kita dalam sejarah memang tidak pernah mudah ya? Semacam kita ini, orang-orang gila yang bertekat menjadi orang pertama yang potong kompas dari wolowaru-kelibara-kelimutu.” Kata Rohmat sambil menyusuri jalan setapak di sebuah bukit dekat dengan kampung mbililo’o.
Tadi kami berangkat pagi-pagi dari Wolowaru, tepatnya dari rumah pak Sofyan di kampung Nakambara. Pak sofyan dan istrinya bahkan sampai mengantar dan menunggui kami menghilang di belakang rumahnya. Sepertinya mereka masih belum percaya kalau kami akan berjalan kaki sampai kampung pemo.
Melewati pematang sawah di belakang rumah pak sofyan kami juga sempat bertemu dengan beberapa petani yang hanya bisa geleng-geleng kepala ketika tahu kami akan menuju ke Kelibara. Setelah keluar dari pesawahan akhirnya ini saatnya untuk memulai petualangan. Aku mengeluarkan kompas, senajata kami untuk bisa tembus sampai Pemo.
“Sudutnya 520 nih, coba kamu lihat !” kata Rohmat sambil menyerahkan kompas kepadaku.
Akupun mulai membidik, “ya, sekitar segitu, antara 510 dan 520 lah.”
Kamipun sepakat untuk membidik puncak bukit terdekat sebagai acuannya. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan kembali untuk menuju puncak bukit dengan tiga buah pohon yang menjulang sebagai acuannya.
Namun sepertinya bukit acuan kami tadi terlalu jauh. Kamipun sempat kebingungan dibuatnya ketika jarang pandang ke bukit tertutup oleh pohon-pohon. Kamipun harus melewati dua buah sungai untuk mencapai bukit itu. Sungai pertama adalah sungai kecil yang bisa kamilewati tanpa harus melepas sepatu, cukup berpijak pada batu-batu besar di sungai. Namun sungai kedua sepertinya agak besar, kamipun harus melepas sepatu kami. Bahkan celana Rohmat yang digulung sampai lututpun sampai basah. Setelah berhasil melewati sungai kami pun harus menerobos semak-semak dan menerjang sebuah tebing yang tidak begitu tinggi. Di sini, parang Pak Sofyan sepertinya sudah mulai berfungsi.
Sampai di atas tebing akhirnya kami bisa melihat bukit yang kami tuju tepat di depan kami. Tapi aku juga bisa mendengar suara sepeda motor dan melihat tiang listrik yang berada di bibir bukit.
“eh met, di atas sepertinya ada jalan raya. Lihat ada tiang listrik di situ. Ada sepeda motor yang lewat juga sepertinya.”
“betul, sepertinya itu jalan Wolowaru-Jopu. Nah kalau mau ke tenda atau mbulilo’o sepertinya juga harus lewat jalan itu. Berarti arah kita sudah benar.”
Kemudian kami mulai naik menaiki sebuah tanjakan. Benar saja, di sini ada jalan raya. Ada beberapa sepeda motor yang lewat, dan mereka sepertinya melihat kami dengan cara yang aneh. Maklum, kami berpenampilan layaknya orang asing. Sepatu lapangan, tas besar, serta topi. Dan yang paling mencolok adalah parang panjang yang sedang Rohmat ayun-ayunkan. Kami lantas menaiki bukit yang dimaksud, bukit tujuan dari kompas yang kami bidik tadi.
“ayo met, naik ke arah pohon yang kita bidik tadi, lalu kita bidik lagi dari sini ke arah bukit di depan.” Ajakku.
“nanti dulu.”
“lha kenapa? Tunggu apa lagi. Kan katanya mau potong kompas.”
“iya sih, tapi apa tidak lebih baik kalau menyusuri jalan aspal dulu terus baru melanjutkan potong kompas ketika sudah melihat kampung pemo.”
“iya juga sih, lagian bukit di depan sepertinya terlalu curam.”
Akhirnya kami turun ke arah jalan raya. Kami menyusuri jalan raya melewati bukit yang curam tadi lewat bibirnya. Bisa dibayangkan tenaga kami yang akan habis kalau harus menerjang bukit tersebut. Jalan raya ini sedikit menghemat energi.
“Eh Met, ada mobil !”
“betul, kita numpang saja ya.”
Bermodal jempol tangan akhirnya kami menumpang sebuah mobil pick up yang mengangkut parabola. Kami juga bertanya tentang jalur jalan setapak menuju kampung pemo ketika sopir mobil tersebut menanyakan tentang tujuan kami. Sopir tadi memberi pilihan lewat jopu, tenda atau lewat mbulilo’o.
“pokoknya yang ada jalan setapaknya kak, kami niatnya mau jalan kaki terus lewat jalan setapak sampai ke Pemo.”
“oh, baik sudah. Mas mereka ikut saja sampai kampung saya, nanti saya tunjukan jalannya. Tapi nanti dari kampung saya harus menerobos hutan-hutan. ”
“Iya pak, terimakasih. Lewat kampung apa ya?”
“lewat kampung mbilolo’o. kalau begitu naik sudah !”
Kami pun akhirnya naik di belakang mobil pick up tersebut. tujuan potong kompa kami tadi kini telah dipadukan dengan backpackeran. Tak apalah, naik mobil ini menghemat sangat banyak energi.
Sampai dijalan sebelum masukkampung mbulilo’o akhirnya kami diturunkan. Kemudian sopir tadi menunjukan arah kampung Pemo. Setelah berterimakasih kamipun melanjutkan perjalanan.
“berapa derajat Met?” tanyaku kepada Rohmat yang sedang membidik.
“50 an derajat nih.”
“oke, kemudian langsung arahkan ke titik terdekat, biar gampang dan tidak membingungkan seperti tadi.”
“Oke, gimana kalau pohon yang itu?” Kata Rohmat sambil menunjuk pohon yang ada di seberang jurang tidak terlalu jauh.
“oh yang itu kah? Ya sudah ayo lanjut.”
Ketika kami akan melewati jurang kecil itu tiba-tiba ada yang memanggil kami, rupanya seorang ibu-ibu.
“Hei, kalian ada buat apa?” tanyanya.
“Mau ke kampung Pemo mama. Mau naik gunung kelibara”
“jalan kaki kah? Ina di sebelah sini ada jalan setapak.”
“oh iya kah mama? Terimakasih mama.”
“rewo-rewo e, hati-hati ya!”
Ibu-ibu tadi pun berlalu. Aku dan Rohmat menyusuri jalan setapak menyebrang jurang tadi hingga ke pohon yang dimaksud. Kemudian kami melanjutkan potong kompas. Hasil bidikan kompas menunjuk ke puncak bukit di sebelah depan. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan.
Rupanya jurang dari bukit tempat kami berada lumayan terjal. Kamipun memutar berusaha mencari jurang yang tak begitu terjal. Patokan kami adalah adanya kebun jambu mete sehingga kemungkinan jurang yang ada jambu metenya bisa dituruni karena sudah biasa dituruni oleh warga pemiik kebun.
“nah, ini sepertinya yang dinamakan sungai bau ngga?” kata Rohmat sambil menunjuk sebuah sungai di bawah.
“oh, sungai yang berasal dari danau di kelimutu itu kah?” tanyaku.
“yup, betul sekali. Lihat, warnanya merahkan kan? Agak bau juga.” Kata Rohmat sambil mengambil sedikit air dari sungai bau yang berwarna kemerahan ini.
Selain sungai bau, ada sungai merah dan sungai putih yang berasal dari danau kelimutu. Kalau sungai putih aku juga sudah pernah melihatnya dibelakang rumah Pak Mahmud, salah satu keluarga baru kami di kampung mbuli moralau. Menurut beliau memang sungai bau ini terletak di dalam hutan di mbulilo’o, sementara itu sungai merah berada di atas kampung mbuliwalarau yang kemudian menyatu dengan sungai putih dan bermuara di pantai mbuli.
Dari sungai merah ini kami kemudian menaiki bukit, mencoba menemukan jalan setapak menuju puncak bukit yang kami bidik tadi. Kami harus menerjang beberapa semak menggunakan parang. Ya, sepertinya kami sudah harus memulai perjuangan kami di sini.
Namun sepertinya puncak bukit yang kami maksud ada jauh di depan sana. Rupanya kami mulai tersesat dan kehilangan patokan kami tadi.
“coba kita agak ke kanan ngga.” Kata Rohmat.
“nggak lebih baik kalau langsung naik ke atas ya met?”
“ke kanan aja dulu, sepertinya di sebelah sana ada jalan setapak. Sepertinya itu jalan menuju atas bukit.”
Kami pun berjalan agak ke kanan, mencoba mencari jalan setapak. Kemudian kami menelusuri jalan setapak tersebut hingga memutar sampai di sisi lain bukit. Rupanya di seberang sana ada seorang bapak-bapak yang sedang bekerja di ladangnya.
“mari pak.” Kata kami bersamaan.
“mau ke mana?” tanya bapak itu.
“mau ke Pemo pak, lewat mana ya?”
“oh, ikut jalan setapak di depan kemudian naik ke atas bukit.”
“ikut sini kah pak?”
“Ah, itu sudah.”
Akhirnya kamipun mengikuti petunjuk bapak petani tadi. Mengikuti jalan setapak hingga menaiki sebuah bukit. Tracknya lumayan terjal dengan batu-batuan seperti track di gunung-gunung di Jawa. cukup menguras tenaga. Bahkan kami pun beberapa kali menghela nafas untuk menampung lebih banyak oksigen. Trak seperti ini memaksa kami lebih banyak beristirahat.
Sampai di sebelah atas rupanya kami masih belum sampai di puncak bukit, melainkan masih berada di punggung bukit. Di depan kami ada jurang yang lumayan besar dan dalam. Tentu saja kami tak berniat untuk menerabasnya. Ada jalan bercabang juga di depan, satu turun ke bawah punggung bukit, satu lagi naik ke atas bukit. Namun yang membuat kami bersemangat, di depan sana sudah terlihat kampung pemo. Namun letaknya masih cukup jauh di sana.
“Sepertinya naik ke atas bukit met.”
“ya, sepertinya begitu, kita tidak mungkin bisa melewati jurang ini. Tapi bagaimana kalau di dean bukit ini juga ada jurang?”
“sepertinya bukit-bukit ini saling menyatu met. Lihatlah, sepertinya tidak ada jurang yang memisahkan bukit-bukit di depan.” Aku menunjuk bukit-bukit di depan seperti dibelokan oleh jurang.
“iya sih, tapi sepertinya ada celah antar bukit itu.” Kata rahmat sambil menunjuk salah satu bukit.
“Iya juga sih. Tapi coba saja dulu lah.nanti kalau salah balik lagi.”
Kami pun mengakhiri diskusi kami dan mulai melanjutkan perjalanan mendaki bukit.
Ya, kami beberapa kali harus berdiskusi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan, mengambil jalan mana yang akan dilalui. Sebetulnya ada beberapa teman yang lain di Wolowaru yang mau ikut petualangan ini. Namun Rohmat melarang mereka ikut karena takut akan terjadi perdebatan yang panjang kalau terlalu banyak orang yang ikut. Belum lagi kalau perempuan ikut, bisa sangat merepotkan. Sejenak kami kesampingkan terlebih dahulu prinsip emansipasi untuk keselamatan bersama.
Kami terus naik menyusuri jalan setapak ini. Rupanya jalan setapak ini memang benar-benar menaiki bukit sanpa ada bonus jalan datarnya. Keringat benar-benar sudah membanjiri tubuh kami. Jalan naik ini melewati beberapa ladang jambu mete.
“met, lihat di sana ! menggiurkan sekali.” Kataku sambil menunjuk sebuah jambu mete yang matang sempurna berwarna merah.
“hemmm, kalu mengambilnya nyolong bukan?”
“nyolong.” Jawabku singkat.
Kamipun berlalu dari buah mete yang menggiurkan serta menggoda keimanan kami tadi. Kembali menaiki bukit dengan terengah-engah. Jalanan naik ini juga beberapa kali melewati pohon kelapa. Kami sendiri sampai heran kenapa ada pohon kelapa di hutan bukit seperti ini, biasanya pohon kelapa hanya ada di dataran rendah hingga pantai-pantai. Kami juga melewati beberapa rimunan hutan yang cukup rapat.
Sebagai panduan kami menaiki bukit adalah sebuah pipa air. Tadi kami juga sempat menemui sebuah cabang. Kam memilih jalan setapak yang lebih luas dan erdapat pipa air. Karena pasti jalan tersebut pernah dilewati orang, yakni orang yang memasang pipa air tersebut.
“mudah-mudahan pipa air ini menuju ke pemo. Ah, kalau begini terus perjalanan ke pemo nggak sesulit yang kubayangkan nih.” Ucapku dalam hati.
Jalan terus menanjak sampai kami menemukan sebuah ladang yang cukup luas.
“gok… gok… gok…” Suara anjing di depan sana.
Rupanya ladang ini dijaga oleh beberapa anjing. Dan anjing-anjing penjaga ini merasa terganggu dengan kedatangan kami. Akupun bergidik ngeri dibuatnya. Anjing-anjing ini menggonggong begitu liarnya. Bisa mati ini kalau dikeroyok anjing-anjing ini. Dan sepertinya tidak ada tanda-tanda keberadaan orang dikebun ini.
“tenang ngga, jangan panik.” Rohmat mencoba menenangkanku yang mulai terlihat panik. Ia sendiri sepertinya cukup tenang. “Kalau kamu lari nanti malah dikejar anjing-anjing ini.” Lanjutnya.
Ada tiga ekor anjing yang menjaga ladang tersebut. Dua ekor yang agak besar terikat dengan rantai di gubuk tempat menjaga ladang tersebut. sementara satu ekor yang lain menggonggong sambil mencoba mengusir kami. Kamipun berjalan agak menyamping melewati gubuk tempat anjing-anjing itu. Aku sendiri berjalan sambil tak henti-hentinya mengucap nama Alloh.
Namun kesulitan sesungguhnya bukan tentang anjing-anjing tersebut. Rupanya pipa air yang kami ikuti tadi menemukan ujungnya di sini. Sebuah mata air yang ditampung dalam sebuah bak kecil. Namun ada sebuah jalan setapak naik ke atas bukit. Kamipun menaiki jalan setapak tersebut, namun Rohmat lebih dahulu mengisi ulang botol minumku yang tinggal separuh di mata air tersebut, aku sendiri masih takut akan anjing-anjing yang menggonggong tadi. Lebih baik aku segera naik ke atas bukit dari pada tiba-tiba dikejar oleh anjing yang tak terikat.
Rupanya jalan setapak ini juga menemui ujungnya di sini. Ya, inilah tantangan yang sebenarnya.
“Gimana ini met?” tanyaku.
“gimana ya, menurutmu bagaimana?”
“mau naik terus ke atas bukit pa? sepertinya dari atas bukit ini kemudian naik terus mnyusuri punggung bukit.”
“tapi sepertinya di depan sana ada jurang, bukit-bukit itu sepertinya tidak saling menyatu. Lagian sudah tidak ada jalan lagi.” Kata Rohmat sambil menunjuk punggung bukit.
“Iya sih, semaknya terlalu rapat. Lha gimana? Mau turun aja pa? sepertinya ada jalan setapak lain di samping mata air tadi.” Kataku.
“oke, ayo kita turun lagi aja.”
Kamipun kemudian turun lagi. Mencoba menemukan jalan setapak yang kumaksud. Tapi itu artinya harus turun lagi ke dekat kebun yang dijaga anjing-anjing ganas tadi. Ah, sial.
Benar saja, anjing-anjing tadi mulai menggonggong lagi. Akupun kembali harus menghela nafas. Rohmat bukannya menjauh dan mencari jalan setapak tadi malah turun terus mendekati gubuk.
“heh met, mau kemana lagi?” ucapku sambil sedikit takut-takut.
“di bawah sana sepertinya ada sawah-sawah, ada orang juga sepertinya.”
“iya, tapi mau turun dengan cara apa? Lihatlah, jurangnya terjal sekali.”
Ya, di bawah sana memang ada sawah-sawah, ada petaninya juga sepertinya. Tapi jurang yang memisahkan benar-benar terjal dan curam. 900 kemiringannya mungkin.
Akhirnya kamipun kembali mencari jalan setapak dekat dengan mata air tadi. Menjauh dari gonggongan anjing-anjing penjaga kebun yang terlihat ganas tadi. Namun aku belum merasa lega. Karena sepertinya petualangan baru saja dimulai. Jalan setapak ini sepertinya sudah lama sekali tak dilalui orang. Semak-semak disamping jalannya amat rimbun, belum lagi hutan dengan pohon-pohon besar di depan. Perjuangan baru saja dimulai, dan kami tak akan mudah untuk menyerah.



Ekspedisi Kelibara bag 1. Hanya Bermodal Nekat

“ngga minggu depan ikut aku potong kompas dari Wolowaru ke Kelibara hingga ke kelimutu nggak?” tanya Rohmat kepadaku.
Sudah beberapa bulan ini kami hanya bisa mewacanakan petualangan besar potong kompas wolowaru-kelibara-kelimutu tanpa bisa merealisasikannya. Karena itulah aku cukup kaget ketika Rohmat dengan menggebu-gebunya mengajakku untuk ikut dalam petualangan besar yang katanya pasti jadi ini. Rupanya ia benar-benar sudah dibuat penasaran oleh G.Kelibara, titik tertinggi kabupaten Ende yang hanya bisa ia lihat saja kegagahannya dari wolowaru.
Rencananya akan ada anak murid yang memandu kami. Murid ini memiliki rumah di kampung pemo, kampung yang tepat berada di kaki G.kelibara. Rencananya ia akan memandu kami potong kompas Wolowaru-Pemo, bahkan hingga Kelibara kalau bisa. Awal Februari inipun cuaca masih cukup memungkinkan untuk memulai petualangan ini.
Namun sayangnya menjelang hari H ada sedikit masalah ketika ada agenda lain teman-teman SM3T di wolowaru. Rohmat merupakan guru SM3T dari Unnes penempatan Wolowaru. Selain itu anak murid yang akan menjadi pemandu untuk petualangan ini menghilang entah kemana. Acara petualangan besar ini benar-benar terancam gagal.
“bagaimana ini met, masa mau gagal lagi rencananya?”
“lha gimana, besok ada rencana ketemu dengan pak camat wolowaru je, lapor diri keberadaan SM3T.”
“halah, nggak usah ketemu pak camat, aku saja nggak ketemu pak camat Lepembusu Kelisoke kok. Aku udah jauh-jauh dari ratenggoji masa nggak jadi. Udah siap tinggal berangkat ini.” Aku mencoba untuk menghasut Rohmat.
“haduh, gimana ya?”
Rohmat sepertinya bingung juga oleh dua agenda yang bentrok ini. Sebagai ketua SM3T kecamatan Wolowaru ia bertanggung jawab akan acara lapor diri di kecamatan, namun jiwa petualangannya juga rasanya tak bisa dikesampingkan.
“ya sudah, rencana tatap muka dengan pak camatnya tak tunda dulu aja wis, lha anak-anak yang ngajar di SMA saja sedang sibuk karena ada pengawas dari kabupaten yang akan datang ke SMA. Petualangan besar ini pokoknya harus jadi. Nanti tak bilang ke pak David, ketua UPTD PPO wolowaru untuk membatalkan pertemuan dengan Pak Camat.” Akhirnya Rahmat beruara setelah merenung cukup lama.
Akhirnya Rahmat mulai termakan rayuanku untuk tetap melanjutkan rencana besar kami. Aku sendiri sudah jauh-jauh datang dari kampung tempat penugasanku di kampung Ratenggoji dengan peralatan lengkap siap berpetualang.
“ya sudah, sekarang kita cari muridku yang akan jadi pemandu dulu ya. Kemudian kita beli persiapan-persiapan untuk naik besok.” Rohmat terlihat lebih bersemangat sekarang.
Namun, ada saja masalah yang harus kami hadapai. Anak murid yang akan jadi pemandu hilang entah kemana. Belum lagi spirtus yang rencananya akan jadi bahan bakar memasak saat pendakian tak ada di toko-toko disekitar Wolowaru.
“Ada saja halangannya ini. Sepertinya tuhan memang tidak merestui perjalanan kita nih met.” Aku sedikit putus asa.
“Sudahlah, ada pemandu atau tidak kita pokoknya tetap jalan. Kan kita juga sudah bawa kompas. Pokoknya aman. Yang penting tenang dan yakin.” Giliran Rohmat yang sekarang menghasutku. Rupanya ia sudah benar-benar semangat.
“Okelah, pokoknya yakin dan tenang ya. Terus ini perjalanannya mau dimulai dari mana? Kita kan benar-benar nggak tau mulai star dari mana.” Tanyaku.
“Nanti tak tanya pak Sofyan, bapak asuhku, mulainya dari mana. Mudah-mudahan beliau tahu.”
“Oke, nanti masaknya pake kayu bakarnya, pokoknya jadi ya.”
Akhirnya petualangan besar ini benar-benar akan terwujud.
“mas serius mau ke kelibara? Kami saja belum pernah sampai sana.” Kata pak sofyan ketika kami bertanya tentang jalur menuju kampung pemo.
Menurut pak sofyan, untuk menuju kempung pemo bisa lewat jalan besar lewat moni, kemudian naik lewat jalan besar ke danau kelimutu, kemudian naik lewat cabang ke kampung pemo. Beliau menyarankan kami untuk naik motor hingga ke kampung pemo.
“ah, nggak ada tantangannya kalau Cuma naik motor sampai Pemo pak. Kami rencananya mau potong kompas dari Wolowaru sampai Pemo. Nanti menginap di masjid di Pemo baru kemudian naik ke Kelibara.”
“kalian ini benar-benar aneh, jalan yang besar saja ada malah cari jalan setapak. Kalau mau lewat jalan setapak mungkin bisa lewat kampung Tenda atau kampung Mbulilo’o. tapi hati-hati, mungkin jalan setapak itu sudah hilang, soalnya sekarang jalan setapak itu sudah tidak dipakai lagi, karena jalan setapak itu digunakan orang-orang dulu sebelum ada jalan raya.”
“terimakasih untuk pujiannya pak.” Batinku.
Aku memang lebih suka dibilang orang aneh. Aneh berarti berbeda. Berbeda berarti istimewa. ya, cap orang aneh menurutku adalah sebuah pujian. Lagipula, melewati jalan raya berarti tidak ada tantangannya sama sekali. Tantangan inilah yang aku cari untuk mengisi kembali semangat yang sudah mulai luntur. Menguapkan kebosanan yang sudah mulai menggerogotiku di kampung ratenggoji yang setiap hari hujan di bulan-bulan begini. Ya, petualangan besar ini sekaligus untuk perjalanan spiritual. Rasanya ketika pak sofyan bilang orang-orang sini saja belum ada yang sampai di Kelibara benar-benar menambah semangat kami.

Sabtu, 8 Februari 2014, pagi ini akan benar-benar menjadi sejarah untukku. Aku dan Rohmat bersiap-siap untuk melakukan sebuah perjalanan besar. Bersenjatakan parang dari pak sofyan untuk membuka jalan. Serta tekat dan keyakinan yang dipadukan dengan kenekatan untuk menjadi orang pertama yang berhasil tembus Wolowaru-Kelibara-Kelimutu. Saking nekatnya sampai kami lupa membawa perlengkapan P3K dan peralatan memasak.

Sabtu, 01 Februari 2014

Hei, Lorong Waktu Ternyata Ada !

“Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di  tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga mistis.”
Efran Julianto, Guru SM3T UNY angkatan 3, kec. Detukeli, kab. Ende, NTT.

Sudah hampir 5 bulan saya menunaikan tanggung jawab sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Sudah ada banyak hal yang saya lalui  di sini, dan tidak terasa 5 bulan sudah terlewati. Ada hal-hal yang menyenangkan, ada juga hal-hal yang kurang menyenangkan. Semuanya itu campur aduk membentuk kenangan yang sulit untuk dilupakan. Saya belajar banyak dari apa-apa yang sudah terlewati di sini.

Saya bersama 45 teman lainnya datang ke kabupaten Ende untuk menunaikan tugas sebagai guru SM3T, yaitu para sarjana yang dikirim mengajar di daerah 3T (terluar, terbelakang, dan terpencil). Sebagian besar dari kami di tempatkan di kampung-kampung di pelosok kabupaten Ende untuk mengajar SD, SMP, maupun SMA. Apa yang kami jumpai di tempat penugasan kami amat jauh sekali dari kehidupan seperti di Jawa, baik SDM maupun SDA nya. Mulai dari tidak ada listrik, akses jalan dan transportasi yang susah, sinyal telfon yang hanya ada di area tertentu saja, hingga kelangkaan air. Saya sendiri mendapatkan tugas mengajar di SMPN Satu Atap Ratenggoji di kampung Ratenggoji, desa Tani Woda, Kec. Lepembusu Kelisoke.

Kecamatan Lepembusu Kelisoke adaah sebuah kecamatan baru di kabupaten Ende, kecamatan yang paling terbelakang dibanding kecamatan lainnya di Ende. Sementara itu, kampung Ratenggoji adalah kampung ke tiga paling ujung timur di kecamatan Lepembusu Kelisoke. Setelah kampung Ratenggoji masih ada kampung  Detuara dan Detulate di sebelah utara yang berbatasan dengan kecamatan Kotabaru dan masih ada kampung Wolofai dan Birijo yang berbatasan langsung dengan kabupaten Sikka. Karena itulah kampung ratenggoji tempat saya bertugas adalah salah satu kampung terpencil dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten Ende.

Ya, kampung Ratenggoji tempat saya bertugas hanyalah salah satu dari sekian banyak kampung terpencil di kabupaten Ende. Biasanya kampung-kampung terpencil ini adalah kampung-kampung yang berada di ujung kecamatan. Salah satu indikator dikatakan kampung terpencil adalah tidak adanya listrik. Selain di kampung saya, sebagian besar kampung-kampung tempat penempatan SM3T adalah kampung-kampung yang masih belum tersentuh listrik. Hampir di setiap kecamatan ada saja kampung yang belum tersentuh listrik, kecuali di kecamatan Ende tengah dan Ende Selatan yang notabennya adalah pusat kota. Untuk dapat menikmati listrik maka sebagian warga yang berkecukupan akan menggunakan genset. Seperti halnya di rumah tempat saya tinggal yang setiap jam 7 sampai jam 9 malam mendapat penerangan dari genset milik mosalaki (ketua adat atau tuan tanah).

Selain listrik, indikator lainnya adalah akses jalan dan transportasi yang susah. Tidak seperti di Jawa yang yang sebagian besar kontur tanahnya yang datar, di pulau Flores kontur tanahnya adalah berbukit-bukit. Jadi untuk melewati bukit-bukit tersebut dibuatlah jalan yang berkelak-kelok naik turun melewati jurang dan hutan, jadi jangan heran kalau mabuk darat melewati jalanan di Flores. Sebenarnya, jalan negara yang menghubungkan antar kabupaten di Pulau Flores adalah jalan yang bagus, namun, dari jalan negara ini naik ke kampung-kampung lah jalan yang rusak berat. Sehingga untuk mencapai kampung pelosok dengan akses jalan yang hancur dibutuhkan tansportasi yang kuat, yakni truk yang disulap menjadi bis, orang sini biasa menyebut bis kayu atau oto truk.

Tidak setiap hari bis kayu ini jalan, biasanya hanya seminggu sekali. Untungnya saja ada dua atau tiga bis kayu yang jalan setiap minggunya. Contohnya saja oto yoanjelo dan oto dack, dua bis kayu yang melayani transportasi di kampung saya, Ratenggoji, untuk menuju kota Ende. Namun sayangnya transportasi ini tidak selancar yang dibayangkan, bis kayu ini tidak pasti jalan setiap minggunya. Adakalanya dua minggu sekali bis kayu baru jalan.

Namun ada juga kampung-kampung yang tidak terjangkau transportasi umum, bahkan bis kayu sekalipun. Biasanya kampung-kampung ini terletak di  paling ujung kecamatan dan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor bahkan jalan kaki. Seperti kampung-kampung disekitar kampung saya, yaitu Wolofai, Birijo, Fatandopo, dan Detulate yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki karena bis kayu hanya bisa sampai di kampung saya, Ratenggoji. Sementara itu dari kampung ratenggoji hanya ada jalan setapak yang bisa dilalui sepeda motor saja, bahkan di kampung birijo hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki.

Jarak antar kampung di Flores ini berbeda dengan di Jawa. kampung-kampung di pelosok Ende adalah kampung yang rumah-rumahnya memusat di pusat kampung dengan hanya beberapa Kepala Keluarga saja. Jadi jarak antar satu kampung hingga kampung tetangga bisa mencapai 2 atau 3 kilometer, dipisahkan bukit serta hutan-hutan. Rumah-rumah di sini pun berbeda dengan di Jawa. Kebanyakan adalah rumah berdinding pelepah bambu dengan alas tanah maupun panggung. Di Jawa sangat jarang saya bisa menjumpai rumah seperti ini, namun di sini sepertinya rumah-rumah di kampung terpencil umumnya seperti itu. Namun, warga-warga di kampung-kampung pelosok benar-benar sederhana dan ramah.

Seperti pengalaman saya bersama beberapa teman ketika berkunjung ke kampung Mbani di kec. Ende. Saya harus melewati sungai dan berjalan kaki. Untuk mencapai kampung harus berjalan kaki sekitar 1km dari jalan terakhir yang bisa dilalui sepeda motor. Pulang dari kampung mbani sialnya ban belakang sepeda motor yang saya tumpangi bocor di tengah hutan. Akhirnya setelah bersusah payah kamipun menjumpai kampung wologai yang kebetulan ada dua orang teman SM3T yang bertugas di situ. Dengan bantuan warga setempat akhirnya kamipun bisa mencapai lagi kota Ende. Malam-malam melewati jalan susah naik turun dan gelap 3 jam, sebuah pengalaman yang mengesankan.

Sebenarnya kabupaten Ende tidak begitu besar seperti kabupaten-kabupaten lainnya di Pulau Flores. Namun akses jalan yang masih terbatas dan susahlah yang seakan-akan membuat kabupaten Ende terlihat luas. Dua kecamatan yang saling berseberangan yang harus dicapai dengan jalan memutar jauh yang memakan puluhan kilometer karena jalan tembusnya adalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui jalan kaki ataupun kuda. Sehingga untuk mencapai kecamatan tetangga harus menempuh berjam-jam digoyang-goyang di dalam bis kayu maupun sepeda motor.

Selain itu, di beberapa kampung terpencil juga mengalami kesulitan sinyal telefon. Karena itulah di kampung-kampung semacam itu rasanya benar-benar terisolir dari dunia luar. Di kampung saya di Ratenggoji contohnya, letaknya yang berada di lembah antar bukit membuat sinyal telepon seluler menjadi barang yang langka. Untuk mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu di kantor desa. Atau juga seperti di kampung wologai, untuk bisa mendapatkan sinyal harus naik terlebih dahulu ke gereja. Kesulitan mendapat sinyal telefon ini benar-benar sangat mengganggu ketika ada informasi-informasi mendadak yang bersifat penting. Akhirnya informasi yang harusnya sampai kemarin lusa baru sampai hari ini atau bahkan besok. Masih ada banyak kampung-kampung terpencil lagi yang belum menikmati sinyal telefon, dan dari cerita teman-teman ada banyak cara unik untuk menemukan sinyal telefon, mulai dari memanjat pohon hingga menggunakan gelas sebagai penguat sinyal.

Kontur tanah yang berbukit-bukit juga berpengaruh pada ketersediaan air bersih. Di beberapa kampung yang terletak di daerah gersang maupun di atas bukit mengalami kesulitan air bersih. Sehingga untuk mencari air harus berjalan beberapa kilometer. Seperti di kampung Watunggere kecamatan Detukeli ataupun kampung Mblenggo kecamatan Wolowaru yang berada di atas bukit. Untuk mendapatkan air maka harus berjalan berkilo-kilo meter terlebih dahulu. Beruntung di kampung saya, ratenggoji, sudah ada selang untuk mengalirkan air dari sumber mata air, sehingga kampung saya tidak mengalami kesulitan air. Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, kenapa orang-orang di sini mau-maunya membangun perkampungan di atas bukit yang akses jalannya susah, tanpa listrik, tanpa air, tanpa sinyal telepon, dingin pula.

Selain itu semua, di kabupaten Ende juga masih kental adat dan budayanya. Di sini masih sering diselenggarakan acara-acara adat, baik lingkup kampung maupun lingkup yang jauh lebih luas. Sebuah kekayaan budaya yang masih terjaga hingga kini. Hampir di setiap kampung pasti punya acara adat khusus, biasanya sebagai ucapan rasa syukur atas limpah rejeki yang diterima oleh kampung tersebut. Acara-acara adat ini dipimpin oleh seorang mosalaki atau ketua adat yang menguasai suatu wilayah. Acara-acara adat seperti ini sudah punah di jawa, dan kami berkesempatan untuk menikmatinya lagi di tempat penugasan kami di kabupaten Ende.

Namun, efek negatif dari banyaknya acara adat yang biasanya menyerahkan persembahan kepada sesuatu yang gaib tersebut adalah aroma mistis di Ende masih kental. Saya sendiri merasa ngeri kalau malam-malam harus melewati hutan-hutan gelap. Ada banyak cerita mistis di setiap tempat penempatan kami. Apalagi beberapa waktu yang lalu, salah satu teman di penempatan kec. Wewaria mengalami kerasukan jin. Saya sendiri menjadi saksi langsung atas kejadian itu. Rasanya benar-benar horor dan menakutkan. Percaya atau tidak percaya, hal-hal gaib semacam itu memang nyata, dan kami harus percaya serta waspada menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Salah satu tantangan juga untuk kami dalam menjalankan tugas mengajar di daerah terpncil.

Itulah kehidupan yang kami alami selama bertugas sebagai guru SM3T di kabupaten Ende. Saya jadi teringat guyon bersama teman-teman ketika rapat koordinasi di kota Ende, salah seorang teman, Ervan Julianto, guru SM3T penempatan kec. Detukeli berujar “Hidup di sini seperti hidup di jaman bapak kita di  tahun 70an, tanpa listrik, jalan susah, dimana-mana hutan, tanpa sinyal telfon, masih banyak acara adat, dan juga mistis.” Kami seperti dimasukan kedalam lorong waktu menuju jaman 70an, di jaman bapak-bapak kami dulu. Dari kehidupan yang serba nyaman di era globalisasi kami dipaksa untuk bertahan hidup di jaman 70an dengan segala suka dukanya.

Ya, lorong waktu itu nyata kawan. Dan sekarang saya sedang berada di dalamnya untuk belajar banyak hal. Segala macam kesederhanaan hidup yang tidak saya jumpai di era globalisasi. Dan di sini juga saya bersama 45 teman SM3T yang lain yang sudah menjadi keluarga baru sedang menjalankan tugas untuk menjadi bagian dalam mencerdaskan anak-anak di pelosok kabupaten Ende, NTT. Dan esok, ketika saya kembali pulang ke Jawa, maka saya akan cukup bangga bahwa saya pernah merasakan dan bertahan dari apa-apa yang pernah orang-orang tua dulu alami.


Gunung Iya, Keindahan yang Butuh Diperhatikan

“leave nothing but trace”
“take nothing but picture”
“kill nothing but time”
Kode etik pegiat alam









Pulau Flores adalah pulau ketiga terbesar di Nusa Tenggara. Pulau Flores menyimpan keindahan yang beranekaragam, mulai dari laut hingga sampai di atas gunung. Ada keindahan yang tersimpan rapi di tiap lekuk daratannya. Dan yang lebih menggiurkan lagi, keindahan alam di Flores masih alami. Jadi para pelancong sepertiku bebas mengeksplore keindahan itu, bahkan mungkin menjadi yang pertama. Dan sepertinya kini sudah tertancapkan di mimpiku untuk benar-benar mengeksplore keindahan Flores yang kebanyakan masih perawan ini.

Sudah beberapa minggu ini aku dibuat oleh penasaran oleh Gunung Iya. Sebuah gunung yang berstatus aktif yang terletak di semenanjung selatan kabupaten Ende. Bagaimana tidak, gunung ini terletak persis di sebelah Timur Basecamp SM3T UNY di Ende, dan ketika aku turun ke kota Ende mau tidak mau aku hanya bisa memandang Gunung Iya dari kejauhan saja. Membayangkan bagaimana rupa kawah dan pemandangan dari atas puncak Gunung Iya membuatku gemas sendiri.

Beberapa minggu ini saya juga hanya bisa mendengar cerita dari salah satu teman sesama guru SM3T yang kebetulan megajar di kota, Wira. Ia pun sama penasarannya dengan ku. Selama ini ia hanya mendengar cerita keindahan Gunung Iya dari rekan guru di sekolah atau pun dari beberapa muridnya yang pernah sampai di puncak Gunung Iya dan kemudian menceritakan ulang kepadaku. Sepertinya ia berusaha mencari teman untuk penasaran akan keindahan gunung Iya.

Gunung Iya adalah gunung api yang tidak terlalu tinggi. Saking tidak tingginya sampai tidak tertera di peta. Bahkan aku hanya mampu menemukan sedikit referensi yang tidak begitu jelas mengenai Gunung Iya. Yang paling jelas hanya tentang keindahannya. Karena memang gunung api mungil ini terletak di tanjung selatan kabupaten Ende yang berbatasan langsung dengan laut. Belum lagi sabana hijaunya yang tampak amat hijau dan memanggil-manggil untuk dikunjungi. Namun, aku harus benar-benar bersabar, menunggu Wira mengajakku tracking Gunung Iya bersama orang yang benar-benar tahu kondisi Gunung Iya.

Kesabaranku akhirnya berbuah juga. Di pertengahan januari 2014 ini akhirnya ajakan untuk tracking Gunung Iya keluar juga dari mulut Wira. Sebenarnya tak ada niatan sama sekali di dalam diriku untuk tracking Gunung Iya ketika turun ke kota. Namun, yang namanya rejeki ya tak akan kemana, memang sudah rejekiku untuk menikmati keindahan Gunung Iya. Aku turun tepat saat murid-murid Wira sedang menyusun rencana untuk tracking Gunung Iya. Kebetulan salah satu murid yang mengajak sudah pernah sampai ke puncak Gunung Iya.

Pagi-pagi sekali aku dan Wira mempersiapkan diri untuk tracking. Saking semangatnya sampai lupa sarapan. Hal yang sangat fatal dalam pendakian gunung, meskipun hanya untuk tracking gunung mungil ini.

Aku, Wira bersama tujuh muridnya akhirnya bersiap-siap untuk berangkat dari kelurahan Paupanda setelah proses saling menunggu yang cukup bikin bosan. Jalur tracking Gunung Iya dimulai dari TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di kelurahan Tanjung. Kelurahan terakhir di ujung selatan kecamatan Ende Selatan. Dari Paupanda jaraknya cukup jauh, jadi jangan sampai kalian nekat jalan kaki untuk mencapainya seperti kami. Kami yang tadinya semangat berjalan kakipun akhirnya menyerah juga dan memilih menumpang truk pengangkut pasir yang menambang pasir di sekitar TPA.

Di Gunung Iya ini tidak ada gerbang pendakian maupun basecamp untuk mengurusi perijinan seperti gunung-gunung di Jawa. siapa saja yang mau tracking tinggal langsung saja naik tanpa kerepotan mengurusi ijin pendakian. Karena itulah, butuh guide orang lokal yang mengetahui jalur pendakian ketika akan melakukan pendakian karena jalur pendakian yang tidak jelas ini. Setidaknya jangan malu bertanya pada warga sekitar untuk bertanya jalur awal pendakiannya karena memang sekitar 50 m dari jalur awal pendakian terdapat penambangan pasir.

Dari awal jalur pendakian Gunung Iya, kami langsung di ajak menanjaki bukit sabana yang hijau. Kalau dilihat-lihat jaur pendakian ini seperti jalur muncak Gunung Merbabu dari pos Sabana II menuju puncak. Tingggal menanjak sekali melewati sabana yang hijau. Nafas yang tanpa persiapan ini langsung digas pol seperti ini rasanya cukup menyiksa. Apalagi kami belum sarapan. Mesin sepeda motor saja kalau diperlakukan seperti ini lama-kelamaan akan ngambek.



Namun, pemandangan yang disajikan benar-benar berbeda dari pada saat muncak Gunung Merbabu. Jalur pendakian Gunung Iya berbatasan langsung dengan laut di sebelah selatan. Pemandangan yang benar-benar indah, aku sendiri sampai bingung membedakan mana birunya laut dan mana birunya langit yang kebetulan sedang cerah-cerahnya (panas). Belum lagi sabana hijau serta bukit-bukit hijau disebelah barat yang sedang menikmati hijau-hijaunya karena musim penghujan yang baru saja tiba. Ah, baru sampai kaki gunungnya saja sudah amat mempesona seperti ini.

Salah seorang murid Wira yang pernah sampai puncak Gunung Iya berujar bahwa keindahan di puncak Gunung Iya jauh lebih keren dibanding pemandangan dibukit sabana ini. Entah hanya untuk menyemangatiku yang sudah mulai loyo ini atau memang demikian nyatanya. Yang pasti aku jadi lebih semangat, karena memang target utamaku adalah puncak. Apapun yang ada di puncak sana, entah itu indah atau mengecewakan aku harus meraihnya. Gengsi dong sama anak-anak SMA ini yang sudah sampai puncaknya.

Setelah melewati bukit sabana jalur pendakiannya adalah melewati hutan cemara yang lebih mirip hiasan cemara ketimbang hutan. Bagaimana tidak, jarak antar pohonnya cukup jauh, tidak serapat hutan cemara di gunung-gunung di Jawa. Pohon-pohon cemaranya juga tidak sebesar pohon-pohon cemara di gunung di Jawa. Alhasil tidak ada yang bisa melindungiku dari panas yang menyengat ini.

Di pertengahan jalan kami sempat bertemu dengan penduduk setempat yang turun setelah mencari kayu bakar. Mungkin bekas ranting-ranting cemara yang sudah kering. Jalan setapak ini juga sepertinya jalan setapak milik warga sekitar sini.

Jalur pendakian di gunung ini adalah jalur setapak, dan berbatu dengan rumput-rumput hijau yang membatasi pinggir-pinggir jalannya. Persis seperti jalur untuk muncak Gunung Merbabu, hanya saja tanah di jalur pendakian Gunung Merbabu diganti dengan batu-batu kecil dan debu, juga ditambah dengan beberapa pohon cemara di sekelilingnya. Oh ya, di jalur pendakian Gunung Iya juga tebingnya berbatasan langsung dengan laut biru. Salah satu hal yang tidak dan memang tidak akan pernah bisa dijumpai di gunung-gunung di Jawa. salah satu daya tarik pada tracking kali ini.

Ah ya, ada satu hal pembeda yang paling mencolok. Di Gunung Iya ini tidak ada bunga Edelweis seperti di Merbabu atau gunung-gunung lainnya di Jawa. sepertinya bunga Edelweis yang memiliki nama latin Anaphalis javanica adalah bunga endemik Pulau Jawa yang ganya tumbuh di puncak-puncak gunung di Jawa. oh ya, sepertinya bunga Edelweis juga tumbuh di beberapa gunung di sumatera, Bali, dan Rinjani. Alhasil ada sedikit hal yang aneh yang aku rasakan ketika tracking Gunung Iya, yaitu tak ada bunga-bunga Edelweis yang menemaniku berjalan menyusuri jalur pendakian.

Sekitar dua jam berjalan dengan santai akhirnya kami sampai juga di atas puncak. Belum puncak sejatinya sebenarnya, karena untuk mencapai puncak sejati yang terdapat kawah yang masih aktif kami harus berjalan menyusuri jalan datar dengan rumput yang tinggi serta pohon-pohon mati. Hei, pohon-pohon mati ini sepertinya juga cukup menambah kecantikan pemandangan puncak Gunung Iya. Apalagi ketika dipadukan dengan bukit-bukit hijau dan kota Ende di arah barat serta dengan birunya langit yang terlihat menyatu dengan birunya laut beserta pulau Ende yang terlihat mengapung di sebelah selatan.

Setelah menghabiskan sarapan yang kami beli di Paupanda tadi kami bergegas menuju puncak sejati Gunung Iya. Sebuah tanah miring berpasir apabila kulihat dari jauh sini, benar-benar khas gunung berapi yang masih aktif. Dari sini juga bau belerang sudah cukup terasa. Di sini juga ada rekahan tanah yang mengeluarkan uap panas, mungkin uap panas yang berasal dari panas bumi.

Akhirnya kami sampai juga di puncak Gunung Iya. Sebuah puncak berpasir seperti puncak Mahameru, puncak Gunung Semeru. Namun di sini tidak ada semburan gas beracun seperti di Mahameru. Kawah gunung iya terletak di sebelah selatan, tepat di bibir jurang puncak berpasir. Dari sebelah barat aku bisa melihat jelas kawah gunung Iya yang masih aktif dan mengeluarkan asap. Kawah ini berbatasan langsung dengan laut di selatannya.

Ah ya, benar kata murid Wira tadi. Pemandangan di atas puncak ini benar-benar mempesona. Cukup rasanya membayar kelelahan tracking tadi. Bahkan kalau boleh kukatakan keindahan ini terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan jalur tracking yang biasa saja ini. Kalau saja pemandangan seperti ini ada di puncak-puncak gunung di Jawa yang rata-rata berada di ketinggian 3000an mdpl pasti rasanya akan lebih berkesan. Hadiah yang pas untuk perjuangan mendaki berhari-hari.

Perpaduan antara laut biru dengan langit yang juga biru. Sapuan putih ombak dipadukan dengan sapuan putih awan. Ah, perpaduan yang benar-benar cocok. Belum lagi dengan bukit-bukit hijau serta pohon-pohon mati disekitar puncak. Rasanya perpaduan yang benar-benar lengkap dan sangat membius. Bahkan aku sampai senyum-senyum sendiri seperti orang gila menikmati anugrah Tuhan ini, ah, mungkin aku memang sudah dibuat gila oleh semua keindahan ini.

Oh ya, kami tidak sendirian di pucak Gunung Iya. Ada juga beberapa kelompok yang sepertinya juga anak-anak SMA seperti murid-murid Wira. Sebagian besar dari remaja-remaja SMA ini sepertinya tidak memperhatikan keselamatan. Bahkan beberapa lebih mirip sedang main ke mall ketimbang main ke puncak gunung. Seperti salah satu murid Wira yang bernama Sari ini contohnya. Ia memakai setelan jeans ketat dan kaos lengan panjang lengkap dengan kerudungnya. Dan yang paling bikin geleng-geleng kepala adalah sepatu wadges nya. Aku saja sempai kaget ketika tahu ia akan naik gunung dengan setelan seperti itu. Padahal yang namanya berkegiatan alam bebas seharusnya direncanakan dengan matang dengan mempertimbangkan berbagai resiko. Alhasil selama pendakian murid Wira yang satu ini kesusahan sendiri ketika pendakian, bahkan sampai ada luka di kakinya. Bagaimanapun kita tidak boleh meremehkan alam, karena alam tidak pernah bisa ditebak keaadaannya, terutama di gunung, ya meskipun gunung mungil seperti Gunung Iya ini.

Aku pun cukup bersyukur tidak ada bunga Edelweis di Gunung Iya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Edelweis jika ia tumbuh di Gunung Iya ini. Pasti ia akan habis diperkosa beramai-ramai oleh para pendaki karbitan ini. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu rela keindahan Gunung Iya ini bisa dengan mudahnya dinikmati oleh anak-anak ini. Memang keindahan yang ada di puncak ini rasanya terlalu berlebihan untuk perjuangan yang tidak begitu seberapa. Rasanya seperti berlian yang diobral murah di pasar loak. Lama-kelamaan keindahan ini terlihat hambar.

Sebelum kembali pulang aku sempat menyampaikan kepada murid-murid Wira tentang salah satu kode etik pegiat alam yaitu “leave nothing but trace”. Sebelum turun anak-anak ini kuminta memunguti kembali sampah-sampah yang mereka bawa dari bawah tadi termasuk beberapa sampah yang terlihat di sekitar puncak gunung. Meskipun hanya sedikit aku berharap para remaja ini bisa mengerti tentang pendakian yang sebenarnya. Tidak hanya menikmati keindahan yang dianugrahkan Tuhan tapi juga menjaganya. Mencintainya dengan sepenuh hati. Jadi naik gunung bukan sekedar untuk gagah-gagahan­ atau keren-kerenan­ saja. Tapi memaknai lebih dari itu. Ah, esok lusa merekapun mungkin akan mengerti apa yang aku selalu pikirkan tentang pendakian gunung. Bukan hanya tentang keindahan yang diberikan, tapi juga tentang segala sesuatu yang gunung ajarkan kepada para pecintanya.

Setauku ada beberapa kelompok pegiat alam yang ada di kota Ende, entah itu di sekolah maupun umum. Mudah-mudahan mereka terketuk hatinya untuk lebih memperhatikan Gunung Iya. Karena keindahan yang disajikan Gunung Iya terlalu berharga untuk diabaikan. Akan jauh lebih baik kalau jalur pendakiannya sedikit dirapikan dan dibuat plang penunjuk jalan karena ada beberapa jalur yang tidak begitu jelas. Dan lagi perlu ada plang-plang kode etik pegiat alam serta larangan untuk berbuat hal-hal yang berbau vandalisme. Karena ketika di puncak aku melihat beberapa tulisan-tulisan yang mengurangi kealamian puncak Gunung Iya, dan sedikit berbau vandalisme.


Ah, akhirnya rasa penasaran tentang keindahan Gunung Iya benar-benar tuntas terbalas. Aku benar-benar puas akan petualangan kali ini. Tentang keindahan yang masih asri ini. Semoga keindahan ini benar-benar bisa terjaga sampai kapanpun.

Sabtu, 18 Januari 2014

genk sindrome


Setiap orang punya frekuensinya sendiri-sendiri, namun terkadang ada beberapa frekuensi yang saling berintferensi, interferensi konstruktif tentunya, dan mereka-mereka inilah yang dipersatukan dengan suatu hal yang namanya persahabatan. Aku hanya punya sedikit sahabat, dan aku sudah merasa cukup akan itu. saling mencintai dan menjaga sampai hembus nafas terakhir.

Dulu aku tak pernah percaya dengan yang namanya sahabat. Sekelompok orang yang kemana-mana selalu bersama-sama, memakai pakaian yang seragam, saling bercanda se enaknya sendiri tanpai menghiraukan teman yang lain, dan sepertinya mereka terlalu asik dan sibuk dengan putaran mereka. Aku benar-benar muak melihat hal yang seperti itu.

Namun ketika akhirnya aku dipertemukan dengan sahabat-sahabat spesialku, si pria berkacamata, gadis polos, gadis kecil, hingga pria galau, aku sadar bahwa memang setiap orang pasti akan menemukan setiap kenyamanannya sendiri ketika berkumpul bersama segelintir orang. Yang pasti kenyamanan ini berbeda dengan kenyamanan sebagai teman. Ya, yang satu ini lebih dari sekedar teman biasa.

Namun terkadang ada beberapa orang yang mengartikan sahabat terlalu berebihan. Mereka terlalu sibuk dalam dunia mereka sendiri dan terkadang teralihkan dari dunia disekitarnya, bahkan batasan-batasan zona privacynya. Ya, menurutku yang namanya sahabat itu bukannya tanpa batas. Setiap orang punya zona privacy nya sendiri-sendiri, dan yang namanya sahabat pasi selalu mengerti akan batasan-batasan ini. Dan sekelompok orang yang mengaku bersahabat tanpa mempedulikan dunia disekitarnya bahkan dunia masing-masing sepertinya kurang cocok kalau disebut sahabat, aku lebih suka menyebut mereka sebagai geng.

Biasanya yang namanya geng itu sangat akrab dengan kehidupan masa remaja yang masih labil. Ya, anak-anak remaja ini sedang dalam proses belajar dewasa, dan terkadang mereka terlalu kesepian untuk melewatinya sendirian saja. Dan juga, anak-anak remaja ini selalu berbuat sesuatu agar keberadaan mereka diakui dan dianggap, bahkan terkadang melalui hal-hal yang nyeleneh.

Namun sayangnya geng sindrom ini tak melulu hanya menjangkit anak-anak remaja, terkadang sindrome ini juga menjangkit orang-orang yang mengaku sudah dewasa, padahal geng sindrome ini saja sudah menunjukan kalau mereka tidak bisa dewasa.

Geng sindrome ini sepertinya juga sudah berhasil merusak keharmonisan keluarga SM3T UNY Ende. Kami yang berangkat bersama-sama, 46 orang dari jogja untuk berjuang bersama mencerdaskan anak bangsa di Ende NTT seharusnya bisa menjadi keluarga yang saling membantu. Tapi nyatanya sekarang malah terpecah belah karena adanya geng sindrome.

Aku mengakui kalau seluruh 46 anak bisa kompak pasti akan sulit. Pasti akan muncul kelompok-kelompok kecil di dalamnya, karena memang faktor kenyamanan sangat mempengaruhi terbentuknya kelompok-kelompok kecil ini. Tentu saja aku tak mau menyalahkan mereka soal kenyamanan ini.
Namun, secara umum ada dua kelompok yang terbagi dari 46 orang ini. Satu kelompok yang selau ngeksis dan ramai bernama geng baga serta satu kelompok kontranya yang tergabung dari kelompok-kelompok kecil di luar geng baga ini.

Awalnya, aku merasa nyaman ketika bergabung bersama geng baga, karenamemang kami sering jalan sama-sama karena tempat penempatan kami yang satu arah, di daerah suku lio. Namun lama kelamaan aku merasa ada yang kurang wajar ketika 30an anak berkumpul bersama-sama di ende untuk rapat, sepertinya gap yangterjadi antara dua kelompok ini sudah begitu jauhnya. Dan ketika aku memutuskan untuk keluar dari putaran geng baga aku bisa melihat gap antara kedua kubu ini. Semakin lanjut aku jadi lebih tahu ada banyak masalah yang sudah dipendam lama karena gep tersebut.

Kelompok di luar geng baga merasa kalau geng baga terlalu kekanak-kanakan dengan membatasi interaksi sosialnya hanya terbatas pada anggota geng, sefangkan geng baga merasa tidak melakukan itu dan merasa kelompok diluar geng mereka terlalu kekanak-kanakan karena mempermasalahkan hal tersebut dan menganggap mereka-mereka diluar geng baga iri akan kebersamaan geng baga. Ah, setiap orang pasti memiliki kecenderungan akan menganggap dirinya lebih dewasa. Begitulah manusia. Dan terkadang manusia terlalu tuli untuk mendengar kritik dari oarang lain. Dan lama-kelamaan kekacauan ini semakin menjadi hingga basecamp rasanya bukan lagi menjadi rumah yang nyaman.

Ah, aku hanya bisa menjadi penonton akan kekacauan ini. Aku sudah malas kalu terjadi hal yang seperti ini. Lebih baik menyingkir sendirian saja sambil menonton kekacauan tersebut. Tentu saja aku tak memihak salah satu kubu, aku hanya berdiri di bawah kakiku sendiri dengan idealismeku sendiri. aku sudah punya orang-orang terbaik yang begitu aku cintai, sahabat, dan aku sudah merasa cukup dan tak mau ikut ambil bagian dalam putaran kekacauan mereka.

Namun, bagaimanapun juga mereka adalah keluargaku sekarang di sini, dan sudah seharusnya aku ikut ambil bagian dalam menyelesaiakan masalah yang ada. Aku, yang paling muda di antara mereka akan berusaha membantu sebisaku. Bukan sebagai penengah, hanya membantu menyelesaikan saja karena sepertinya umurku yang jauh lebih muda dari mereka tak punya kapasitas untuk mengenggap diriku ini lebih dewasa dari mereka.

Yang namanya keluarga wajar kalau ada masalah, dan seharusnya masing-masing anggota keluarga tak menutup diri dari segala kritik dari anggota lainnya. Keluarga itu seharusnya bisa saling menguatkan dan membangun. Mudah-mudahan kekacauan ini bisa menyadarkan mereka dan aku tentunya akan ikatan keluarga di sini, bukan hanya terbatas pada kelompok-kelompok kecil.
Ah, mungkin ini juga sebagai proses belajar yang harus bisa aku lewati. Sahabat, aku sangat merindukan kalian sekarang. 

Direntang jarak ini aku menyampaikan salam rinduku pada kalian-kalian orang penting di dalam hidupku.

mencoba solobackpacking, yeah !!!

Esensi dari sebuah perjalanan adalah bukan tentang tujuan yang akan dicapai, tapi tentang bagaimana menikmati dan memaknai proses perjalanan itu sendiri

Di ujung tahun 2013 ini aku akan mencoba untuk memaknai esensi dari sebuah perjalanan. Setelah tiga hari terkapar sakit di ende karena terlalu memaksakan tubuh hingga terlalu lelah akhirnya tibalah saatnya untukku memulai sebuah perjalanan. Aku sudah terlau bosan hanya tiduran saja di dalam basecamp sm3t uny di ende. Rasanya suasana di basecamp sudah sangat suntuk. Dan inilah waktu yang tepat untuk memulai sebuah perjalanan.

Tujuan yang dipilih dalam perjalanan ku kali ini adaah manggarai barat. Bukan taman nasional komodo yang menjadi tujuan utamaku, tapi danau sanonggoang dan gunung mbeliling. Selain karena kondisi dompet yang memang sudah mepet di ujung bulan, perkiraan waktu juga menjadi kendala utama kalau aku memaksakan diri mengunjungi pulau komodo. Akhirnya dengan mengutamakan pertimbangan jalan-jalan sekaligus birdwatcing, maka aku memilih untuk mengunjungi danau sano nggoang dan gunung mbeliling.

Dalam suatu waktu dalam suatu putaran kehidupan, pasti setiap orang pernah merasa kalau ia membutuhkan kesendirian. Aku pun begitu, untuk perjalanan kali ini, aku ingin menikmatinya sendirian saja. Selain karena diantara teman-teman sm3t uny ini hanya aku sendiri saja yang punya hobi birdwatcing, aku juga memang pernah bermimpi untuk melakukan solobackpacking. Smenikmati kesendirian dan menguji keberanian untuk tidak bergantung pada orang lain.

Waktu telah ditentukan, segala persiapan telah dimatangkan, inilah saatnya menikmati perjaanan. Lets roll !!

Sepatu gunung, celana jins, baju dan topi lapangan, serta tas carier yang menjulang. Aku siap berpesta kawan !!

Dua hari menjelang pergantian tahun, di pagi hari yang cerah akhirnya aku melangkahkan kaki meninggalkan kota ende. Sebenarnya informasi yang berhasil aku kumpulkan untuk perjalanan ini tidak begitu banyak, selain karena memang tempat yang menjadi tujuanku masih kurang di eksplore para backpacker, juga hanya sekitar satu hari saja aku mengumpulkan informasi dari internet yang tidak begitu detail. Maka boleh dibilang perjalanan ku kali ini adalah perjalanan yang super nekat di tanah flores.

Dari ende aku naik bis hingga di bajawa, ibu kota kabupaten ngada. Di bajawa sempat kebingungan mencari kendaraan menuju ruteng, ibu kota kabupaten manggarai. Ternyata, di bajawa terminal kedatangan dari ende dan ruteng berbeda, ini lah salah satu informasi yang tidak aku temukan di internet. Aku harus bertanya dulu di warung di dekat terminal.

Perjalananpun dilanjutkan menuju ruteng. Dalam perjalanan ini aku berjumpa juga dengan sepasang backpacker dari malang, rupanya mereka akan mengunjungi kampung wairebo di ruteng, kampung adat yang diresmikan oleh unesco sebagai warisan dunia. Mereka juga mengajakku untuk bersama-sama mengunjungi wairebo, tapi karena memperkirakan anggaran dan waktu aku menolaknya dengan halus.

Selanjutnya dari ruteng aku langsung menuju labuan bajo, ibu kota kabupaten manggarai barat. Beruntung aku satu mobil dengan seorang ibu-ibu yang menyusul suaminya untuk mengurusi sesuatu hal di labuan bajo dan suaminya sekarang sedang mnginap di penginapan yang agak murah, 50k/malam, penginapan restu bundo di dekat pelabuhan feri. Karena tujuan menginap yang masih belum aku tentukan dari awal akhirnya aku ikut ibu-ibu tersebut. Di sini aku sudah mulai merasakan bagaimana nikmatnya sensasi solobackpacking.

Akhirnya sekitar jam 10 malam aku sampai di labuan bajo. 14 jamperjalanan yang melelahkan.
Pagi yang mendung menyambutku di labuan bajo. Setelah cuci muka dan sholat subuh aku berjalan-jalan di dermaga labuan bajo, menikmati pagi pertamaku di kota ini. Di sini aku sempat mendapat beberapa foto elang laut perut putih yang terbang bebas di atas pelabuhan.  Di dermaga ini pula aku sempat bertanya tentang tujuan perjalanku pada seorang bapak-bapak. Rupanya daftar destinasi perjalananku ini tidak begitu familiar. Informasi yang aku kumpulkan benar-benar jauh dari layak, aku sempat kebingungan dibuatnya.

Menjelang jam delapan akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan kota labuan bajo. Syukur saja angkutan yang aku naiki tahu kampung yang aku sebutkan, kampung ro’e, pintu masuk menuju gunung mbeliling. Tapi rupanya aku terlalu cepat senang, karena tujuan ku ini masih belum begitu spesifik. Aku akhirnya diturunkan di pertigaan laboh, pertigaan menujua ir terjun cunca rami, air terjun terbesar di manggarai barat.

Aku benar-benar sedang dalam keadaan yang gawat, kebingungan sendirian tak tau arah di kampung entah berantah. Sukur saja aku masih berada di indonesia, sehingga bahasa pemersatu, bahasa indonesia benar-benar aku rasakan fungsinya. Ada beberapa tukang ojek yang sedang mangkal di pertigaan laboh, dan mereka menawariku untuk mengantarku ke air terjun cunca rami. Tapi bukan itu tujuan utamaku, tujuan pertamaku adalah untuk tracking gunung mbeliling. Akhirnya setelah beberapa diskusi antar tukang ojek dan warga sekitar mereka mengantarkanku di rumah salah satu warga di kampung ro’e yang biasa digunakan untuk transit saat akan tracking gunung mbeliling. Aku benar-benar merasa seperti orang hilang.

Sampai dirumah tersebut yang ternyata ada tulisan ‘sumber informasi tracking’ aku agak lega, berarti aku tidak tersesat. Namun rupanya tracking ke gunung mbeliling ditutup selama musim penghujan. Ah, sialll. Rupanya guide yang biasa mengantar turis tracking gunung mbeliling tidak berani mengambil resiko melakukan tracking pada musim penghujan karena jalan yang licin dan longsor.

Akhirnya aku memutuskan untuk langsung saja menuju ke sano nggoang. Tapi si tukang ojek menawariku untuk singgah terlebih dahulu di air terjun cunca rami. Aku pun serta merta menyetujuinya, lumayan untuk mengobati kekecewaanku gagal trakcing gunung mbeliling. Lagipula, air terjun cunca rami dan danau sano nggoang satu arah.

Untuk menuju air terjun cunca rami aku harus berjalan mungkin 1,5 km dari kampung terakhir. Kebetulan tukang ojek yang mengantarku ini orang asli kampung sini, masto namanya. Setelah menitipkan barang-barang dirumahnya, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Melewati sawah, hutan, hingga sungai. Sepatu dan celanakupun basah kuyup. Belum lagi mendung yang tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi hujan. Cukup melelahkan juga untuk mencapai air terjun ini. Tapi rasanya kelelahan dan kekecewaan ini di bayar tuntas oleh keindahan yang di tawarkan oleh air terjun terbesar di manggarai barat ini. Sungguh pemandangan yang amat eksotis. Namun debit air yang tinggi dan angin yang agak kencang memaksaku untuk tidak teralu dekat dengan air terjun. Tapi melihat dari jauh saja rasanya sudah cukup menyenangkan.

Benar saja, akhirnya hujan turun dengan derasnya. Perut yang dari semalam belum di isi juga sudah mulai berontak. Akhirnya kamipun kembali pulang kerumah masto di tengah hujan deras karena takut sungai yag tadi kami lewati meluap.

Sesampainya di rumah aku ditawari dengan hangatnya kopi khas manggarai yang pahit serta nasi hangat yang baru saja selesai dimasak. Seketika aku sudah dibuat lupa akan kekecewaanku tadi. Cukup lama aku ngobrol bersama bapak dari masto yang rupanya anak bungsunya, adik masto, akan disekolahkan di jogja. Ya, mereka benar-benar ramah ketika tahu aku datang dari jogja, karena beberapa tahun yang lalu ada anak-anak UGM yang KKN di sini dan sepertinya mendapat respon positif. Belum lagi ketika tahu aku mengajar di pelosok ende, aku benar-benar beruntung bertemu masto dan keluarganya, mungkin ini juga adalah pertolongan Tuhan akan kenekatanku ini.

Perjalanan pun dilanjutkan menuju danau sano nggoang. Danau sano nggoang adalah danau vulkanik terbesar di NTT. Mungkin, jarang ada yang tahu keberadaan danau ini. Karena memang danau ini terletak di dalam hutan mbeliling, berjarak 30an km dari jalan lintas flores. Tapi, tujuan wisata utama di sini bukan tentang danau vulkanik terbesarnya, yang airnya berbau pekat belerang dan tidak bisa dikonsumsi. Tujuan utama wisata disekitar sano nggoang adalah ekowisata sano nggoang, yaitu paket wisata untuk melakukan pengamatan burung, terutama burung-burung yang hanya bisa dijumpai di sini.

Ya, sano nggoang yang terletak di dalam hutan mbeliling menjadi kantong biodiversitas di flores. Di sini tersimpan kekayaan jenis-jenis burung endemik flores seperti kehicap flores, serindit flores, kancilan flores, celepuk flores, gagak flores, punai flores, dan opior flores. Serta ada lebih banyak lagi burung-burung spesial yang tersimpan di dalam hutan disekitar danau sano nggoang. Total ada sekitar 80an jenis yang pernah tercatat keberadaannya di sano nggoang.

Lewat ekowisata yang dikembangkan di sano nggoang, sudah ada cukup banyak penelitian dan eksplorasi kekayaan alam di sano nggoang, baik pihak luar negeri mapun dalam negeri, baik lembaga maupun perorangan. Rasanya sudah sepatutnya kita berterimakasih pada lembaga dari denmark lewat burung indonesia yang telah membangun sano nggoang menjadi ekowisata yang memfasilitasi eksplorasi kekayaan biodiversitas di sano nggoang.

Ekowisata di sano nggoang tepatnya terletak di kampung nunang, desa wae lolos, kecamatan sano nggoang. Dua tahun sejak 2008 hingga 2010 burung indonesia melakukan pendampingan di kampung ini untuk mengembangkan ekowisata dan kesadaran masyarakat akan kekayaan biodiversitas yang mereka miliki. Dan sekarang hasilnya sangat memuaskan, lewat junaidi arif, burung indonesia yang bekerja sama dengan LSM burung dari Denmark telah berhasil mengubah kampung nunang menjadi kampung ekowisata.

Tiba di kampung nunang aku disambut dengan keramahan khas warga kampung. Warga nunang juga sepertinya sudah belajar dalam hal menyambut tamu. Pertama kali datang aku langsung dijamu dengan secangkir kopi manggarai yang pahit. Mereka menyebutnya kopi selamat datang. Setelah menyampaikan tujuan datang ke sano nggoang untuk pengamatan burung maka aku langsung dipertemukan dengan pak henderikus buruh, seorang local guide di kampung nunang. Sebelum menjadi seorang guide birdwatching, beliau adalah seorang pemburu anis kembang. Sama halnya dengan sebagian besar warga kampung nunang. Tapi ketika burug indonesia bersama LSM burung dari denmark membangun kampung nunang menjadi sebuah kampung ekowisata khususnya dalam hal birdwatcing warga kampung nunang menjadi sadar akan kekayaan alam yang mereka punya. Dan dengan menjaga kekayaan tersebut merekapun kini bisa merasakan hasilnya.

Pak henderikus buruh yang biasa dipanggil bapak hendrik adalah suami dari maria sumur atau biasa dipanggil mama maria, ketua ekowisata di kampung nunang. Junaidi arif, pendamping dari burung indonesia selama dua tahun juga tinggal bersama keluarga bapak hendrik. Seperti yang sudah aku kemukakan, bapak hendrik berhasil mengumpulkan sekitar 80an list yang tercatat di sano nggoang selama ia mengantar turis-turis birdwatcing di sano nggoang. Beliau juga sepertinya sudah sangat paham tentang burung-burung yang terdapat di sano nggoang, baik suara maupun kebiasaannya.

Maka, malam hingga siang aku menghabiskan waktu bersama pak hendrik untuk berkeliling disekitar kampung dan sekitar danau. Cukup menyeramkan juga ketika malam-malam berkeliling kampung yang gelap gulita karena belum ada listrik. Namun rasa takut itu berhasil diredam saat terdengar suara burung dan pak hendrik terlihat begitu antusias ingin menunjukan kekayaan kampungnya kepadaku.

Malam hingga siang itu tenagaku benar-benar terkuras oleh aktifitas blusukan bersama pak hendrik, namun satu hari saja tidak cukup untuk mengeksplore sano nggoang. Menurut pak hendrik, biasanya tamu membutuhkan waktu paing sedikit tiga hari, karena kekayaan yang sebenarnya berada di hutan di atas kampung, dan dari sana juga bisa melihat keindahan sano nggoang dari atas. Akupun berjanji untuk datang lagi ke sini esok lusa, untuk benar-benar mengeksplore sano nggoang.

Setelah makan siang masto sudah menjemputku. Ah, tak terasa akhirnya aku harus berpisah dengan keluarga sederhana pak hendrik dan mama maria. Aku tentu akan selalu merendukan cara mereka menjamu tamu selayaknya anak. Dan aku dibuat kerasan dengan semua jamuan mereka, entah itu makanan, kopi ataupun cerita-cerita ringan. Akhirnya sore sekitar jam 5 aku kembali sampai di labuan bajo. Setelah mendapat penginapan seharga 40rb aku pun mengistirahatkan badan yang sudah lelah. Bersiap menyambut kembang api tahun baru di labuan bajo.

Paginya aku bersiap-siap untuk mencari informasi menuju pulau komodo. Sesuai perkiraan, paket menuju pulau komodo adalah 1 juta lebih per orang. Wahhhh, padahal saldo di dompet hanya tinggal 500k saja. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke ende saja.

Namun semua sensasi perjalanan ini belum selesai, bahkan baru saja akan mencampai klimaks. Perayaan tahun baru di jawa adalah perayaan yang biasa, mugkin memang ramai dan boros, tapi tidak ada esensi yang melebihi pesta dan hura-hura. Tapi, di sini, tahun baru sama halnya dengan hari raya. Semua keluarga berkumpul, berpesta bersama di rumah masing-masing. Dan efeknya, di tahun baru ini angkutan umum lebir hingga dua hari. Lau nasibku bagaimanakah ini??

Setelah menunggu berjam-jam akhirnya ada juga travel menuju ruteng, namun dengan harga yang meningkat 2x ipat. Bayangkan saja, harga umumnya adalah 80k, tapi aku harus membayar 150k. sesampainya di ruteng rupanya sudah ada travel berikutnya menuju ende yang menunggu, tapi sayangnya tidak ada tanda-tanda travel tersebut akan jalan karena hanya ada dua penumpang yang menunggu termasuk aku. Akhirnya, malam ini aku harus tidur di dalam travel, di dinginnya ruteng yang dibungkus oleh gerimis. Esok paginya akhirnya ada beberapa penumpang yang cukup menjadi prasyarat jalannya travel ini. Dua hari tak mandi dan hanya sekali perut  di isi nasi, benar-benar klimaks yang sangat berkesan.

Akhirnya tanggal 2 januari pukul 4 sore aku kembali ke basecamp sm3t ende dengan selamat.

Inilah sensasi solobackpacking, sendirian, kebingungan, hingga tersesat. Namun, sensasi inilah yang selalu akan dirindukan oleh para backpacker nekat yang melakukan solobackpacking. Selain itu, aku juga mendapat beberapa keluarga baru dalam perjalananku ini, dan esok lusa akan aku ceritakan pengalaman spesial ini pada keluargaku.yah, dalam suatu perjalanan dan petualangan, tujuan bukanlah hal yang utama, tapi proses untuk mencapainyalah yang selalu akan indah ketika dikenang.

Inilah aku dan perjalananku dalam kehidupanku yang sederhana.