Senyap dan sepi, malam ini
bergelas-gelas kopi kembali memenuhi dahaga pangkal lidahku akan rasa pahit.
Rasa yang mengantarkanku pada imajinasi bebas yang melesat mamancar ke segala
arah. Hingga akhirnya imaji itu meninggalkan goresan-goresan untuk kumaknai. Di
sini, dalam keheningan malam. Seperti kopi yang masih meninggalkan rasa pahit
di pangkal lidahku.
Seorang teman mengunjungiku malam ini,
seseorang yang membawa banyak cerita untuk dibagi dalam keheningan malam. Dan
aku menyediakan kopi untuk membebaskan dirinya malam ini. Kopi dengan rasa yang
mencabik pangkal lidah hingga lidahnya lemas. Rasa itu membawanya terbang
seperti burung, menatap semesta dengan caranya sendiri, setiap sudut tanpa
terlewat. Seperti apa yang rasa itu selalu lakukan padaku.
Cerita-ceritanya malam ini berpangkal
pada satu lelucon tentang cinta. Sebenarnya aku tak benar-benar mengerti apa
itu cinta, dan mengapa pula aku menyebutkannya sebagai sebuah lelucon. Aku
hanya ingin menertawakannya tanpa tau sisi mana yang lucu dari cinta. Kisah temanku
ini, kisahku -yang ngga aku bagi-, dan mungkin kisah pecinta-pecinta lainnya di
bumi ini. Mungkin letak kelucuan dari cinta adalah ketidakmengertianku tentang
cinta, tapi aku begitu sok tahunya, dan bahkan berlagak menjadi orang yang
paling mengerti tentang cinta. Padahal aku sama sekali tak mengerti apa itu
cinta.
Temanku ini berkisah tentang
hubungan-hubungannya yang terdahulu dengan perempuan-perempuan yang pernah
mengisi cerita hidupnya dengan cinta. Rasa bahagia yang dibawanya, rasa sakit
yang menyertainya, rasa bimbang yang bertaburan dimalamnya, dan ada banyak rasa
lagi yang mengalir bersama aliran cinta. Satu hal yang aku mengerti akan cinta,
ternyata cinta itu berbeda dengan kopi. Kopi hanya menyediakan rasa yang sama
pada tiap teguknya, tapi cinta memiliki banyak rasa pada masing-masing tegukan.
Dan kesemua rasa itu bersifat acak tanpa kita bisa memilihnya.
Seperti itukah cinta? Tak adakah rasa
yang mampu menggambarkannya secara jelas?
Selanjutnya temanku ini bercerita tentang
kisah percintaan yang sedang ia alami sekarang. Bagaimana ia berjumpa dengan
seorang perempuan. Sebenarnya bukan pertama kali itu berjumpa dengan perempuan
ini. Ia sudah lama mengenalnya. Namun hanya perkenalan yang hanya sebatas tahu,
dan dulu ia hanya menganggap perempuan ini sebagai kenalan biasa. Hingga suatu
hari, pada sebuah perjalanan yang tidak terduga, jalan takdir memperkenalkan
mereka lebih dalam lagi. Dan sesaat setelah massa itu, temanku ini merasa ia
telah jatuh cinta pada perempuan ini.
Saat ku tanya kenapa ia mencintainya,
temanku ini hanya menjawab bahwa ia mencintai perempuan ini karena ia merasa
nyaman saat bebincang dengan perempuan ini. Ia juga merasa kagum akan
sifat-sifat perempuan ini yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Ia benar-benar
menikmati rasa yang ia rasakan sekarang, rasa bahagia para pecinta yang sedang
dimabuk asmara. Lalu, ketika datang sebuah massa ketika rasa nyaman itu menguap
bersama putaran waktu dan perempuannya berubah mengikuti aturan jalan takdir
yang tak pernah terduga, akankah masih ia mencintainya?
Hingga saat ini temanku ini masih
belum menyatakan perasaanya, baik dalam bentuk pertanyaan, maupun dalam bentuk
pernyataan. Saat ini, ia masih terlalu asik untuk menikmati rasa yang dibawa
olehnya. Rasa yang terkadang justru membuatnya terjaga lebih lama dalam
kegalauan. Menatap langit-langit kamar dalam keremangan malam, menahan rindu
yang belum juga tersampaikan, mengutuk bibir yang belum mmengucap apa yang
hatinya ingin ucapkan. Ia masih terlalu sibuk untuk merenda-renda khayalan,
merangkainya menjadi harapan-harapan yang menguncup indah. Berbau semerbak
harum.
Seperti itukah cinta? Lalu apa bedanya
ia dengan obat-obatan terlarang yang membuat syaraf-syarafnya tetap terjaga
sepanjang malam?
Ia bercerita padaku tentang bagaimana
perempuan ini selalu bersikap spesial padanya. Pernah suatu hari perempuan ini
meminjam pundaknya untuk bersandar dikala lelah. Temanku ini, senang bukan
kepalang. Hingga malam ini, ia masih dengan semangatnya menceritakan kisah ini dengan
detail sedetail-detailnya. Pernah suatu hari dalam sebuah perjalanan bersama
perempuan ini -yang juga dengan teman-temannya-, ia meminjamkan kain sarungnya
untuk melindungi tubuh perempuan ini dari terpaan angin. Hingga saat ini,
mungkin sudah berminggu-minggu, ia berjanji untuk tidak mencuci kain sarungnya
tersebut. Padahal menurut logikaku, logika orang waras tentunya, bau
perempuannya itu sudah pasti akan tergantikan oleh bau apek yang umum muncul
dari sebuah kain yang tak pernah dicuci. Ada banyak kejadian-kejadian antara
temanku ini dengan perempuannya yang boleh jadi dianggap biasa saja olehku,
mungkin juga oleh kalian, tapi entah pasal apa temanku ini bercerita dengan
sangat semangatnya bahwa kejadian-kejadian itu adalah pertanda yang selalu membuat
cintanya tumbuh semakin mekar. Dan lebih banyak lagi kata-kata yang terucap
dari bibir perempuan ini yang selalu ditanggapi dengan impulsif oleh temanku
ini yang menjadikanku berpikir bahwa
temanku ini lebih mirip sebagai mesin perekam suara.
Ia lupa bahwa orang yang memendam
perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua
kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan
banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu hari ia tak tahu
lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.
Begitukah yang namanya cinta? Ia
seperti sebuah fatamorgana yang menyesatkan para penjelajahnya yang sedang
berusaha untuk memaknainya?
Saat ini aku bisa menertawakan itu
semua sebagai sebuah lelucon yang memang pantas untuk ditertawakan.
Pertanyaan-pertanyan yang hanya digunakan sebagai pemantas untuk olok-olokku
akan kisah temanku yang sedang jatuh cinta ini. Pertanyaan yang sebenarnya
tidak membutuhkan lagi jawaban. Aku lupa bahwa aku pernah berada pada suatu
massa seperti itu. Keadaan yang sama dengan temanku yang sedang jatuh cinta
ini. Mencari banyak alasan untuk membenarkan perasaanku. Menatap langit-langit
kamar sepanjang malam dengan tatapan kegalauan. Membiarkan hati menjebakku
dalam sebuah kebahagian yang palsu. Aku pernah mengalami itu semua dulu. Jauh
sebelum pemahaman baik itu datang.
Aku bisa menertawakan kisah itu karena
sekarang aku berada pada sisi yang berbeda dengan temanku ini. Aku tidak lagi
berada dalam keadaan yang sama seperti temanku ini. Aku telah berhasil keluar
dari pemahaman tentang cinta yang mengotak-kotakannya pada rasa tertentu.
Karena menurutku cinta itu tidak berasa. Tapi ia ada. Dan ia tak perlu alasan
untuk menunjukan keberadaannya. Cinta hanya meninggalkan jejak-jejak untuk
dimaknai keberadaannya. Jejak-jejak yang berupa kata kerja, bukan kata sifat.
Cinta itu ibarat mata air segar yang
keluar dari dalam tanah, kita hanya perlu sesuatu yang cukup kuat untuk
mengendalikannya. Menutupnya ketika dirasa cukup, atau mengalirkannya ketika
kehausan. Seperti itulah cinta, ia hanya butuh hati yang kuat untuk
mengendalikannya. Hingga ia tahu kapan waktunya merasa cukup, karena cinta itu
tentang harga diri. Dan cinta yang tak sesuai takarannya hanya akan menariknya
dari dunia logika. Cinta yang terkendali kemudian akan bisa dikonfersi menjadi
sebuah energi positif yang akan membawanya naik tingkat pada tingkatan
kedewasaan yang lebih tinggi lagi. Dan cinta yang seperti itu akan mendorongnya
menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Cinta, cinta, cinta.... sampai
sekarangpun aku belum benar-benar mengerti apa itu cinta. Tapi yang jelas,
sekarang aku bisa menertawakan lelucon tentang pemahaman cinta orang-orang yang
sedang mabuk asmara. Orang-orang yang tidak mampu mengendalikan perasaan cinta
di dalam hatinya. Sekarang aku bisa menertawakannya, namun esok lusa mungkin
aku akan kembali terjebak pada pemahaman seperti itu lagi. Apa yang aku
fikirkan sekarang mungkin nantinya hanya akan menjadi sebuah omong kosong besar
tentnag kemunafikan. Tapi esok biarlah takdir yang akan menjawabnya, aku hanya
sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan sekarang.
Aku akan berusaha untuk sekuat tenaga menjaga idealisme seperti ini. Dan aku
sungguh-sungguh berdoa dari hatiku yang paling dalam agar temanku ini bisa
mengerti akan makna yang bisa ia peroleh dari jalan takdir yang dipersiapkan
padanya hingga ia mendapat pemahaman baru tentang cinta. Mungkin tak sama
dengan pemahamku, tapi setidaknya suatu hari nanti ia bisa menertawakan
pemahamannya tentang cinta di hari ini.