Jumat, 15 Maret 2013

lelucon tentang cinta


Senyap dan sepi, malam ini bergelas-gelas kopi kembali memenuhi dahaga pangkal lidahku akan rasa pahit. Rasa yang mengantarkanku pada imajinasi bebas yang melesat mamancar ke segala arah. Hingga akhirnya imaji itu meninggalkan goresan-goresan untuk kumaknai. Di sini, dalam keheningan malam. Seperti kopi yang masih meninggalkan rasa pahit di pangkal lidahku.

Seorang teman mengunjungiku malam ini, seseorang yang membawa banyak cerita untuk dibagi dalam keheningan malam. Dan aku menyediakan kopi untuk membebaskan dirinya malam ini. Kopi dengan rasa yang mencabik pangkal lidah hingga lidahnya lemas. Rasa itu membawanya terbang seperti burung, menatap semesta dengan caranya sendiri, setiap sudut tanpa terlewat. Seperti apa yang rasa itu selalu lakukan padaku.

Cerita-ceritanya malam ini berpangkal pada satu lelucon tentang cinta. Sebenarnya aku tak benar-benar mengerti apa itu cinta, dan mengapa pula aku menyebutkannya sebagai sebuah lelucon. Aku hanya ingin menertawakannya tanpa tau sisi mana yang lucu dari cinta. Kisah temanku ini, kisahku -yang ngga aku bagi-, dan mungkin kisah pecinta-pecinta lainnya di bumi ini. Mungkin letak kelucuan dari cinta adalah ketidakmengertianku tentang cinta, tapi aku begitu sok tahunya, dan bahkan berlagak menjadi orang yang paling mengerti tentang cinta. Padahal aku sama sekali tak mengerti apa itu cinta.

Temanku ini berkisah tentang hubungan-hubungannya yang terdahulu dengan perempuan-perempuan yang pernah mengisi cerita hidupnya dengan cinta. Rasa bahagia yang dibawanya, rasa sakit yang menyertainya, rasa bimbang yang bertaburan dimalamnya, dan ada banyak rasa lagi yang mengalir bersama aliran cinta. Satu hal yang aku mengerti akan cinta, ternyata cinta itu berbeda dengan kopi. Kopi hanya menyediakan rasa yang sama pada tiap teguknya, tapi cinta memiliki banyak rasa pada masing-masing tegukan. Dan kesemua rasa itu bersifat acak tanpa kita bisa memilihnya.

Seperti itukah cinta? Tak adakah rasa yang mampu menggambarkannya secara jelas?

Selanjutnya temanku ini bercerita tentang kisah percintaan yang sedang ia alami sekarang. Bagaimana ia berjumpa dengan seorang perempuan. Sebenarnya bukan pertama kali itu berjumpa dengan perempuan ini. Ia sudah lama mengenalnya. Namun hanya perkenalan yang hanya sebatas tahu, dan dulu ia hanya menganggap perempuan ini sebagai kenalan biasa. Hingga suatu hari, pada sebuah perjalanan yang tidak terduga, jalan takdir memperkenalkan mereka lebih dalam lagi. Dan sesaat setelah massa itu, temanku ini merasa ia telah jatuh cinta pada perempuan ini.

Saat ku tanya kenapa ia mencintainya, temanku ini hanya menjawab bahwa ia mencintai perempuan ini karena ia merasa nyaman saat bebincang dengan perempuan ini. Ia juga merasa kagum akan sifat-sifat perempuan ini yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Ia benar-benar menikmati rasa yang ia rasakan sekarang, rasa bahagia para pecinta yang sedang dimabuk asmara. Lalu, ketika datang sebuah massa ketika rasa nyaman itu menguap bersama putaran waktu dan perempuannya berubah mengikuti aturan jalan takdir yang tak pernah terduga, akankah masih ia mencintainya?

Hingga saat ini temanku ini masih belum menyatakan perasaanya, baik dalam bentuk pertanyaan, maupun dalam bentuk pernyataan. Saat ini, ia masih terlalu asik untuk menikmati rasa yang dibawa olehnya. Rasa yang terkadang justru membuatnya terjaga lebih lama dalam kegalauan. Menatap langit-langit kamar dalam keremangan malam, menahan rindu yang belum juga tersampaikan, mengutuk bibir yang belum mmengucap apa yang hatinya ingin ucapkan. Ia masih terlalu sibuk untuk merenda-renda khayalan, merangkainya menjadi harapan-harapan yang menguncup indah. Berbau semerbak harum.

Seperti itukah cinta? Lalu apa bedanya ia dengan obat-obatan terlarang yang membuat syaraf-syarafnya tetap terjaga sepanjang malam?

Ia bercerita padaku tentang bagaimana perempuan ini selalu bersikap spesial padanya. Pernah suatu hari perempuan ini meminjam pundaknya untuk bersandar dikala lelah. Temanku ini, senang bukan kepalang. Hingga malam ini, ia masih dengan semangatnya menceritakan kisah ini dengan detail sedetail-detailnya. Pernah suatu hari dalam sebuah perjalanan bersama perempuan ini -yang juga dengan teman-temannya-, ia meminjamkan kain sarungnya untuk melindungi tubuh perempuan ini dari terpaan angin. Hingga saat ini, mungkin sudah berminggu-minggu, ia berjanji untuk tidak mencuci kain sarungnya tersebut. Padahal menurut logikaku, logika orang waras tentunya, bau perempuannya itu sudah pasti akan tergantikan oleh bau apek yang umum muncul dari sebuah kain yang tak pernah dicuci. Ada banyak kejadian-kejadian antara temanku ini dengan perempuannya yang boleh jadi dianggap biasa saja olehku, mungkin juga oleh kalian, tapi entah pasal apa temanku ini bercerita dengan sangat semangatnya bahwa kejadian-kejadian itu adalah pertanda yang selalu membuat cintanya tumbuh semakin mekar. Dan lebih banyak lagi kata-kata yang terucap dari bibir perempuan ini yang selalu ditanggapi dengan impulsif oleh temanku ini yang menjadikanku  berpikir bahwa temanku ini lebih mirip sebagai mesin perekam suara.

Ia lupa bahwa orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu hari ia tak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.

Begitukah yang namanya cinta? Ia seperti sebuah fatamorgana yang menyesatkan para penjelajahnya yang sedang berusaha untuk memaknainya?

Saat ini aku bisa menertawakan itu semua sebagai sebuah lelucon yang memang pantas untuk ditertawakan. Pertanyaan-pertanyan yang hanya digunakan sebagai pemantas untuk olok-olokku akan kisah temanku yang sedang jatuh cinta ini. Pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan lagi jawaban. Aku lupa bahwa aku pernah berada pada suatu massa seperti itu. Keadaan yang sama dengan temanku yang sedang jatuh cinta ini. Mencari banyak alasan untuk membenarkan perasaanku. Menatap langit-langit kamar sepanjang malam dengan tatapan kegalauan. Membiarkan hati menjebakku dalam sebuah kebahagian yang palsu. Aku pernah mengalami itu semua dulu. Jauh sebelum pemahaman baik itu datang.

Aku bisa menertawakan kisah itu karena sekarang aku berada pada sisi yang berbeda dengan temanku ini. Aku tidak lagi berada dalam keadaan yang sama seperti temanku ini. Aku telah berhasil keluar dari pemahaman tentang cinta yang mengotak-kotakannya pada rasa tertentu. Karena menurutku cinta itu tidak berasa. Tapi ia ada. Dan ia tak perlu alasan untuk menunjukan keberadaannya. Cinta hanya meninggalkan jejak-jejak untuk dimaknai keberadaannya. Jejak-jejak yang berupa kata kerja, bukan kata sifat.

Cinta itu ibarat mata air segar yang keluar dari dalam tanah, kita hanya perlu sesuatu yang cukup kuat untuk mengendalikannya. Menutupnya ketika dirasa cukup, atau mengalirkannya ketika kehausan. Seperti itulah cinta, ia hanya butuh hati yang kuat untuk mengendalikannya. Hingga ia tahu kapan waktunya merasa cukup, karena cinta itu tentang harga diri. Dan cinta yang tak sesuai takarannya hanya akan menariknya dari dunia logika. Cinta yang terkendali kemudian akan bisa dikonfersi menjadi sebuah energi positif yang akan membawanya naik tingkat pada tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi lagi. Dan cinta yang seperti itu akan mendorongnya menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Cinta, cinta, cinta.... sampai sekarangpun aku belum benar-benar mengerti apa itu cinta. Tapi yang jelas, sekarang aku bisa menertawakan lelucon tentang pemahaman cinta orang-orang yang sedang mabuk asmara. Orang-orang yang tidak mampu mengendalikan perasaan cinta di dalam hatinya. Sekarang aku bisa menertawakannya, namun esok lusa mungkin aku akan kembali terjebak pada pemahaman seperti itu lagi. Apa yang aku fikirkan sekarang mungkin nantinya hanya akan menjadi sebuah omong kosong besar tentnag kemunafikan. Tapi esok biarlah takdir yang akan menjawabnya, aku hanya sedang berusaha untuk melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan sekarang. Aku akan berusaha untuk sekuat tenaga menjaga idealisme seperti ini. Dan aku sungguh-sungguh berdoa dari hatiku yang paling dalam agar temanku ini bisa mengerti akan makna yang bisa ia peroleh dari jalan takdir yang dipersiapkan padanya hingga ia mendapat pemahaman baru tentang cinta. Mungkin tak sama dengan pemahamku, tapi setidaknya suatu hari nanti ia bisa menertawakan pemahamannya tentang cinta di hari ini.

Rabu, 13 Maret 2013

Perjanjian Persahabatan


Segala yang telah dilalui, yang hari ini dilalui, yang akan dilalui di massa yang akan datang. Dalam keadaan apapun, baik suka maupun duka akan kita syukuri sebagai proses kehidupan yang membahagiakan. Kita berjanji untuk selalu saling menjaga sampai kapanpun dan apapun. Apapun yang menyebabkan perselisihan harus kita pikirkan dengan hati kita yang hebat dan kuat.

                                          Tertanda
                                           7 Januari 2013
 
          Angga       Yudha        Ayu     Ijul

 
 






                  


Sebuah Lelucon Kehidupan


Malam kian larut, bercampur dalam pekat yang gelap. Jiwa-jiwa lelah telah lama membaringkan diri dalam sebuah peristirahatan yeng mengantarkannya kepada alam mimpi. Berselimut dalam kehangatan yang melindunginya dari malam yang kian dingin saja. Begitu pula denganku, sudah saatnya aku menuju zona nyamanku, ruang 2x3 tempatku pulang dari kepenatan hidup. Tempatku untuk merenungi apa-apa yang sudah terjadi dan melelahkanku. Disini aku membagi cerita lewat rumah 14 inci ini...

Malam ini, entah kenapa tiba-tiba aku ingin kembali meneguk pahitnya kopi, merasakan sensasi rasa yang mncabik-cabik pangkal lidahku. Pahit dan kental. Dan memadukan rasa itu dalam gelap malam, kemudian mengaduknya dalam putaran makna. Panas dan dingin, bercampur menentramkan jiwa...

Aku menikmatinya, sebuah rasa yang terkadang diremehkan, bahkan lebih sering dibenci. Lewat bergelas-gelas ini aku mencoba menikmati rasa pahit. Aku memaknainya lewat kopi. Aneh memang, tapi begitulah aku, dan aku menikmatinya. Sampai-sampai ada beberapa teman kost yang hilir mudik keluar masuk kost mengomentari aku yang duduk di depan kost sendiri hanya dengan secangkir kopi. Seperti orang gila kata mereka, dan aku hanya tertawa menimpalinya. Memang mungkin begitulah pandangan orang-orang tentangku, tapi mau bagaimana lagi, aku menikmatinya. Karena aku sedang merindukan pahitnya secangkir kopi. Dan aku sedang ingin menikmatinya bersama malam, bukan karena galau atau sedih, aku hanya ingin menikmati secangkir kopi pahit. Itu saja. Sama halnya orang yang sedang ingin merokok atau ingin minuman alkohol, aku hanya sedang ingin menikmati kopi di antara malam ini.

Tandas sudah segelas kopi yang pekat ini menari-nari di atas lidahku. dan aku benar-benar puas. Aku bersiap menuju ruang 2x3 ku ketika teman kostku, si pria galau pulang. Ahhhh, alamat mulai menggalau ini kalu sudah duduk berdua begini di depan kost. Benar saja, berbagai topik cerita dan kisah tuntas dibahas dalam sesi malam ini.

Teman kost ku ini, aku menyebutnya si pria galau, karena terlalu seringnya kita membicarakan banyak hal tentang kegalauan masing-masing, lebih banyak dia tentunya...hehe. tapi, dia, pria galau ini satu frekuensi denganku, jadi apapun itu yang dibicarakan, walau kadang terlalu sok dewasa dan munafik tetap nyambung saja. Dan sebenarnya aku bisa berdiskusi dengan diriku sendiri lewat cerita-cerita yang kita bagi, meskipun hanya tersirat.

Secangkir kopi pahit yang telah habis tadi cukup untuk mengantarkanku pada diskusi galau dan idealis dengan si pria galau, teman kostku ini. Tema malam ini masih sama tentang perempuan yang sama yang membuatku menyematkan nama pria galau untuk temanku yang satu ini.

Malam ini kami membicarakan bagaimana tentang norak dan kampungan nya seorang pecinta yang sedang PDKT. Masa lalunya, juga masa laluku dulu. Malam ini, kita berdua menertawakan masa-masa itu...

Ia, si pria galau ini bercerita panjang lebar tentang kepecundangannya dia. Bagaimana ia hanya berani menyapa perempuannya lewat dunia maya, bukan dunia nyata. Saat-saat dimana ia merasa galau tingkat dewa ketika tidak bisa mengutarakan perasaannya. Dan masih banyak hal lagi yang menunjukan bagaimana norak dan kampungannya ia.

Sama halnya denganku, bukankah sudah kukatakan kalau aku dan pria galau ini satu frekuensi, jadi apa-apa yang ia critakan akan mempengaruhi ku juga, hingga akhirnya aku pun bercerita tentang kisahku dulu. Bagaimana noraknya aku dulu saat mealkukan PDKT.

Ya, dulu aku pernah berusaha untuk mendekati salah seorang perempuan. Ia memang manis, dan cantik. Itulah alasan utama yang membuatku tertarik untuk mendekatinya. Ia seorang mahasiswi kimia yang ikut dalam praktikum fisika dimana aku menjadi asistennya. Cerita konyol dan norak tentang seorang yang ingin PDKT pun dimulai dari sini...

Pertama aku menanyakan no telfonnya pada teman-teman dekatnya. Kemudian aku searcing jejaring sosialnya, dan proses norak itupun dimualilah. Entah apa yang memotifasiku untuk melakukan ini, yang pasti bukan cinta. Mungkin karena rasa iriku akan pasangan-pasangan kekasih disekitarku, dan aku ingin pula merasakan hal yang sama setelah begitu lamanya aku menjomblo. Ceritapun dimulai disini.

Aku mulai intens untuk mendekatinya, dari mulai sms, hingga chating dengannya di dunia maya. Berkirim pesan tiap pagi, membangunkannya ketika azan subuh. Terkadang aku heboh sendiri ketika mendapat balasan darinya, harap-harap cemas memikirkan ribuan kisah yang aku susun sendiri dalam dunia khayalku. Selalu bersikap berlebihan menanggapi hal-hal yang sebenarnya biasa. Bercerita kepada semua teman betapa bahagianya aku yang sedang jatuh cinta ini. Ah aku kadang tertawa sendiri ketika mengingat itu semua. Namun itu semua hanya di didunia maya, kerena kenyataan di dunia nyata, aku sama sekali tak pernah punya keberanian untuk menyapa nya. Pecundang, begitu aku menyebutnya.
Ya begitulah seorang pecinta ketika sedang mengalami proses itu. Terlihat kekanak-kanakan dan sungguh kalau boleh aku bilang, NORAK. Aku juga pernah mengalami itu semua, begitu pula dengan si pria galau tadi, dan boleh jadi para pecita di muka bumi ini. Namun tidak semuanya sebenarnya, karena masih banyak jiwa-jiwa idealis di luar sana yang berbeda dari pecinta kebanyakan. Ialah orang-orang yang mencintai bukan karena iri melihat orang lain memiliki pacar, atau karena olok-olok status jomblo. Ialah jiwa-jiwa yang tau apa-apa yang baik buat dirinya, bukan karena orang-orang disekitarnya, bahkan orang-orang yang tak dikenalnya. Aku sungguh mengagumi jiwa-jiwa seperti itu.

Malam ini, aku dan pria galau sedang menertawakan kisah kita masing-masing. Masa lalu itu memang sungguh memalukan, tapi aku tak pernah menyesalinya. Karena tanpa masa-masa itu aku takkan pernah bisa melangkah dalam tingkatan kedewasaan yang seperti sekarang ini. Belum dewasa memang, masih jauh dari kata itu. Tapi setidaknya aku bisa menertawakan masa yang sudah lewat itu, itu sebagai pertanda bahwa aku sudah naik ketingkatan yang lebih tinggi dari aku yang dulu. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari kisah-kisah yang sudah lalu, itu lah yang terus menempaku dalam putaran waktu.

Dan yang aku sendari sekarang, mungkin memang masih terlalu banyak kekurangan yang aku punya, tapi setidaknya ada beberapa hal yang berubah jauh lebih baik dari dulu di dalam diriku ini. Seorang pecundang ini mungkin masih belum menjadi seorang pemenang, tapi setidaknya pecundang ini sedang berjuang menata hidupnya lewat idealisme-idealismnya. Setidaknya sekarang aku sudah bisa menertawakan kisahku dulu, bahkan kisah-kisah teman yang sedang dalam proses itu. Ada yang sedang galau jatuh cinta dan sedang proses PDKT, ada yang galau tentang status jomblonya dan iri melihat pasangan-pasangan kekasih disekitarnya, dan masih banyak hal-hal norak untuk ku tertawakan sekarang ini.

Dan sekarang, ketika aku jatuh cinta dengan seseorang, setidaknya aku tak se impulsif dan se drama dulu. Sebuah perasaan cinta adalah urusannya dengan dirinya sendiri. Tak harus diumbar dan diceritakan kepada semua orang, cukup dibagi dengan dirinya sendiri. Rasa itu berbunga dengan indah dari dalam, bukan karena melihat lingkungan sekitarnya, atau karena kebosanannya akan kesendirian. Rasa cinta itu sesuatu yang misterius yang harusnya bisa ia jaga dan kendalikan. Dan cinta itu kata kerja, bukan kata sifat, jadi tak seharusnya cinta membuatnya galau dan terpuruk, karena cinta itu seharusnya berupa kerja-kerja yang akan membahagiakannya dan mengisinya dengan energi positif yang meletupkannya menuju tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi dari sekarang.

Tetnang perasaanku yang satu ini, aku tak berniat untuk membagikannya dengan siapa-siapa, bahkan dengannya, si pria galau. Aku hanya ingin menikmatinya sendiri, memaknainya hingga mengantarkanku pada tingkatan selanjutnya. Dan aku sedang berusaha mengontrolnya karena aku yang sekarang ini benar-benar tidak siap untuk menjalani apa yang orang sebut dengan pacaran (walaupun aku kemarin dengan nekatnya -ceroboh- menyatakan perasaan itu kepadamu gadis kecil). Dan aku benar-benar bersyukur karena kau tak membalasnya, karena aku memang benar-benar belum siap untuk itu. Aku hanya bisa naik sedikit dari kepecundanganku dulu. Ada masih banyak hal yang harus aku perbaiki sekarang.

Mungkin terdengar idealis, tapi memang begitulah aku sedang berusaha sekarang, menjadi seorang idealis. Persetan dengan olok-olok mereka akan kesendirianku saat ini, karena aku memang jauh dari siap sekarang ini. Hidupku ya hidupku ini, aku jauh lebih mengerti akan hidupku ini dari pada orang-orang yang mengolok-olokku itu, kuanggap mereka sebagai angin lalu dan lelucon yang harusnya aku tertawakan.

Pria idealis ini sudah punya caranya sendiri untuk hidup. Dan ia sedang berusaha untuk menjadi dirinya sendiri hingga mencapai apa yang disebut dengan aku. Berusaha merealisasikan idealismenya. Ada bnyak hal yang harus diperbaiki dalam dirinya, dan ketika saatnya nanti tiba, ketika ia benar-benar siap takdir akan membimbingnya kedalam cerita yang mungkin sama sekali tak pernah ia duga. Dalam sebuah cerita yang berjudul aku. Cerita yang mengantarkan aku kedalam kisah tentang cinta bersama perempuan yang membawa sebagian tulang rusukku. Aku benar-benar percaya akan hal itu. Sekarang, aku hanya berusaha untuk melakukan apa yang terbaik yang bisa aku lakukan.

Apakah kau percaya bahwa kau bisa mengubah takdir? Jawabanku tidak, aku hanya bisa melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan, hingga kemudian takdir itu yang akan datang dengan sendirinya kedalam kehidupanku.

Untuk secangkir kopi hitam yang telah mengantarkan sebuah rasa yang berhasil mencabik-cabik pangkal lidahku. Kerinduan yang tertuntaskan.
Untuk si pria galau yang telah berhasil naik tingkat.
Dan untuk semua pecinta-pecinta yang sedang menjalani proses yang benar-benar norak. Esok hari kalian akan menertawakan kisah-kisah kalian hari ini, begitu pula aku yang mungkin entah kapan nanti akan menertawakan kisahku hari ini. Waktu akan membimbing kita semua dalam tingkatan kedewasaan yang lebih tinggi dari sekarang ini.

Minggu, 03 Maret 2013

Aku Cinta Negeri Ini


Pulang kembali ke kota ini setelah 2 hari bertualang di hutan dengan disambut gerimis yang benar-benar membuat ngantuk. Rasa lelah yang tertimbun rasa-rasanya sudah siap untuk dibongkar di atas pembaringan ini. Tapi rasa senang yang sudah menumpuk tinggi ini rasanya tak cukup bahkan untuk di gelar menutupi bumi ini. Karena semua kesenangan 2 hari ini benar-benar keren...

Dua hari kemarin aku baru saja menjelajah hutan bukit tritis, sebelah selatan gunung merapi. Sebenarnya untuk urusan menjelajah hutan itu sudah menjadi hal yang biasa buatku, yang tidak biasa adalah menjelajah hutan sambil melakukan pengamatan terhadap burung-burung yang ada di dalamnya. Ya, dua hari kemarin adalah pelantikan anggota KPB Bionic, sebuah ukmf yang bergerak dibidang pengamatan burung. Sebenarnya menjadi anggota bionic bukan tujuan utamaku, yang terpenting adalah meraup pengalaman sebanyak-banyaknya, terutama dalam hal pengamatan burung.

Selama ini, aku cuma mengagumi alam secara umum. Seperti gunung, sunrise, sunset, atau pantai. Saat penjelajahan alam (naik gunung), aku cuma menikmati suguhan panorama yang dihidangkannya. Berjalan sambil berucap syukur menikmati pemandangan luar biasa di depan sana. Sekarang, ada hal lain lagi yang bisa aku nikmati selain itu semua, yaitu burung-burung yang berdiam di dalamnya.

Ada banyak hal yang sangat keren dari penjelajahan kemarin. Menerobos hutan yang heterogen dengan beraneka biotanya. Jalan sempit yang jauh berbeda dari jalan-jalan di pendakian gunung. Dan yang paling penting adalah saat menemukan jenis burung yang warna-warni. Selain itu, penjelajahan kemarin juga menambah pengetahuanku tentang anggrek hutan, mumpung penjelajahan sama anak-anak biologi, menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya.

Dan yang paling berkesan dari semua itu adalah bagaimana belajar menggunakan binokuler. Semacam teropong yang digunakan untuk melihat objek-objek yang letaknya jauh. Awal menggunakan bino, canggungnya bukan main. Ada burung yang jelas-jelas ada di atas ranting pohon pinus, setelah dilihat menggunakan bino si burung tadi entah berada di mana. Tapi, lama kelamaan semakin terbiasa, dan ketika berhasil melihat burung menggunakan bino, benar-benar keren. Apalagi pas berkesempatan melihat jenis burung yang bagus.

Penjelajahan kemarin aku berkesempatan untuk melihat dua burung yang benar-benar keren. Hari pertama aku mendapatkan betet biasa. Salah satu burung berparuh bengkok yang punya warna hijau dan orange, pokoknya keren. Dan yang paling membuatku terkesan adalah aku berkesempatan melihatnya saat bereada di ranting pohon dengan sangat anggunnya. Dan aku berhasil melihatnya dengan jelas menggunakan binokuler. Sementara teman-teman yang lain hanya berkesempatan melihat kepalanya, karena burung betet tadi keburu masuk sarangnnya di pohon mati diseberang jurang. Hari kedua aku berkesempatan meyaksikan pertunjukan burung sepah gunung dengan warna merahnya. Dan yang paling keren adalah ketika burung itu terbang bergerombol kemudian hinggap di pucuk pohon hutan pinus dan aku berhasil mengekernya dengan binokuler. Meskipun jaraknya jauh, dan di binokuler kadang terlihat tidak begitu jelas tapi itu semua tak menutup keindahan burung itu.

Masih banyak jenis burung-burung lain yang belum sempat teridentifikasi, meskipun sebagian juga sudah bisa terkeker menggunakan binokuler. Ada banyak jenis burung di bukit triris itu, dan perlu perjuangan ekstra untuk bisa menikmati keindahan itu menggunakan bino, terutama bagi para amatiran sepertiku ini. Tapi apapun itu, selama masih mau belajar pasti ada jalan. Dan aku benar-benar menikmati melakukan pengamatan burung kemarin.

Yang masih menjadi minatku adalah burung-burung predator seperti elang. Kemarin hanya berkesempatan melihat mereka bermanufer dengan eloknya di atas langit, masih belum terlalu jelas. Apalagi saat menggunakan binokuler, burungnya dimana, ngekernya kemana. Masih butuh banyak latihan dalam menggunakan binokuler.

Kesempatan seperti itu, berjumpa dengan hal-hal baru, mendapatkan banyak pengetahuan baru. Hal-hal seperti itulah yang benar-benar aku nikmati. hidup yang aku idam-idamkan. Seperti quotes yang disampaikan salah satu teman kemarin, bedakan antara kerja dan pekerjaan, kerja adalah hal yang membuatmu tetap hidup, dan pekerjaan adalah hal yang memembuatmu bertahan dalam kehidupan ini. Pekerjaanku nanti mungkin entah akan menjadi apa, tapi kerjaku nanti adalah untuk hidup seperti yang sudah aku idam-idamkan. Meraih cita-citaku untuk menjelajah tiap inci alam indonesia ini beserta kehidupan masyarakatnya.

Dan aku berjanji bukan hanya sebagai penikmat, tapi juga penjaga alam indonesia ini. 1600 jenis burung di negeri ini, 17% jenis burung di dunia. Karena aku mencintai alam indonesia ini. Dan cinta adalah kata kerja, bukan kata sifat. Karena itulah ia menuntut tindakan-tindakan kita untuk membuktikan cinta tersebut. Dan aku akan membuktikan rasa citaku ini, meskipun hanya terbatas pada lingkungan-lingkungan disekitarku, orang-orang disekitarku. Aku tak percaya pada slogan-slogan, karena cinta itu tak bberujung di mulut saja, butuh banyak karya untuk membuktikan keberadaannya. Melalui hal-hal kecil, setidaknya aku bisa membuktikan itu. Terdengar idealis memang, tapi aku hanya sedang mencoba untuk melakukan yang terbaik yang aku bisa untuk negeri tercintaku ini.

Untuk gunung-gunung yang menjulang tinggi,
untuk hutan-hutan yang tertutup belukar,
untuk pohon-pohon besar yang menutupi mentari,
untuk bunga-bunga yang bermekaran di dalamnya,
dan untuk burung-burung beraneka warna yang berkicau merdu menyanyikan nyanyian alam.
Untukmu indonesia, aku dan kamu.

Pohon Perasaan


Dulu sekali, aku pun tak ingat kapan. Aku pernah memiliki benih pohon melon. Benih yanhg aku dapat dari liburan di madiun, di rumah paman. Sebenarnya aku tak begitu suka melon, tapi aku sangat bersemangat untuk menanam benihnya.

Setelah sampai di rumah kembali, aku tak menunggu lama untuk menanam benih tersebut di depan halaman rumah. Membayangkan bisa menikmati melon dari pohon melon yang di tanam sendiri sungguh sangat membuatku bersemangat.

Benih itu aku tanam di daerah yang rindang, yang terlindung dari cahaya matahari langsung, seperti saran dari paman. Tiap sore aku menyiraminya, merawatnya. Bahkan memberinya sedikit pupuk, untuk menambah nutrisinya.

Waktu berlalu, dan benih itu telah tumbuh menjadi pohon melon yang bagus. Aku sungguh senang saat melihatnya. Aku sungguh sudah tidak sabar lagi untuk menikmati buah melon dari pohonnya langsung.

Waktu kembali berlalu, mulai tumbuh bunga, kemudian lama kelamaan bunga tersebut berubah menjadi buah yang masih kecil. Ah, menatapnya saja membuatku kembali bersemangat. Aku sunggguh bahagia ketika melihatnya. Aku bersemangat, dan aku kembali merawat pohonnya sebaik yang bisa kulakukan.

Namun, ternyata kenyataan berkata lain. Memang kadang kenyataan itu dengan teganya menghianati harapan yang sudah disusun matang-matang. Kenyataaan itu menjatuhkan mimpi yang sudah disusun sedemikian rupa. Pohon melon yang aku rawat setiap hari dengan sangat baik tiba-tiba layu, kemudian mati.

Aku melapor kepada ayah dengan sesenggukan, bahwa pohon melon yang aku rawat setiap hari itu telah mati. Dan ayah berkata sambil tersenyum, membelai rambutku, bahwa sudah seharusnya pohon itu mati. Karena pohon melon hanya bisa tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi, sementara daerahku merupakan dataran rendah dengan udara panasnya. Ayah memberi pengertian padaku bahwa sebaik apapun aku merawat pohon melon itu, akhirnya pohon melon itu akan tetap mati. Ia hanya menunggu waktu saja untuk mati, ia tak akan berbuah seperti di rumah paman yang notabennya adalah dataran tinggi. Dan untuk menghiburku kemudian ayah membelikanku buah melon. Tentu saja aku yang masih kecil waktu itu langsung lupa perihal pohon melon yang mati.

Sekarang, ketika aku mengenang kejadian itu, ada sebuah pemahaman yang terbawa bersama berlalunya waktu dan kejadian. Bahwa pohon melon itu seperti sebuah perasaan.

Ya, sebuah perasaan yang kita tanam di dalam hati kita. Perasaaan suka, cinta, atau sayang sekalipun. Kalau memang ia bukan jodoh kita, sebaik apapun kita merawatnya ia tak akan pernah berbuah. Ia hanya menunggu waktu untuk layu, kemudian mati. Kita tak bisa memaksakan perasaaan, yang bukan jodoh kita untuk berbuah.

Mungkin perasaan itu bisa membahagiakan kita, ketika melihatnya tumbuh inci demi inci. Namun kalau memang bukan jodohnya, suatu hari pasti perasaan itu akan layu dengan sendirinya, kemudian mati. Hanya bekas layunya yang tersisa di dalam lahan hati kita, bahkan terkadang meninggalkan luka di sana.

Namun, apabila sudah jodohnya. Entah benih itu terbang oleh angin atau terbawa musim dan dengan tidak sengaja jatuh kedalam lahan hati kita. Atau ada orang lain yang membawakan benih itu kepada kita. Benih itu akan tumbuh dengan sendirinya, meskipun tak pernah kita menyiraminya, merawatnya. Tapi ia akan tetap tumbuh, dan ketika kita menyadarinya pohon itu telah berbuah. Karena pohon itu cocok dengan lahan di hati kita. Itulah yang namanya jodoh.

Perasaan itu memang seperti itu. Perasaan tetaplah perasaan. Suatu waktu kita memang pernah suka dengan seseorang, tapi kita tak bisa memaksakan perasaan itu. Kalau memang berjodoh, perasaaan itu akan menemukan jalannya sendiri, dan ketika kita sadar perasaaan itu telah berbuah lebat membawa kebahagiaan.

Maka itu, tak usahlah sibuk mencari cintalah, mencari pacarlah. Karena ketika memang jodohnya, ia akan menemukan jalannya sendiri dengan cara yang tak pernah dibayangkan dunia. Karena itulah, alangkah baiknya jika kita seharusnya menyiapkan diri kita, menyiapkan lahan dihati kita untuk suatu hari itu. Melihat luasnya dunia, meraup pelajaran hidup sebanyak-banyaknya agar lahan di hati kita menjadi lahan yang subur, dan apa bila tiba suatu hari itu, benih itu akan tumbuh dengan subur tanpa kita sadari.

Dan aku benar-benar menunggu akan saat-saat itu, menungguku bukannya tanpa usaha. Usahaku adalah bagaimana memperiapkan diri untuk hari itu. Menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sekarang. Kalupun ada pohon yang tumbuh di dalam hati ini, biarlah ia tumbuh dengan sendirinya. Ketika aku sudah siap, kita lihat esok akan menjadi apa?

Pesan Sang Waktu


Sebuah hari telah berlalu lagi. Kini pagi tlah datang membawa hari yang baru dalam suasana khidmat bertabur kabut. Pagi ini juga membawa kesadaran baru bagiku, bahwa aku kini telah berganti status dari mahasiswa menjadi seorang sarjana.

Rasa-rasanya baru kemarin aku mengikuti serangkaian kegiatan pendaftaran dan penyambutan kampus, tapi sekarang sudah harus menerima kenyataan bahwa aku bukan lagi seorang mahasiswa dengan semua kenyamanannya. Waktu melesat begitu cepat.

Ya, rasanya tak ada status yang lebih nyaman dari menjadi seorang mahasiswa. Walaupun banyak tugas menumpuk, kadang kiriman bulanan telat atau secukupnya, makan juga jauh dari pola sehat, romansa yang acak dan tak tentu arah, tapi entah kenapa menjadi seorang mahasiswa adalah sebuah kenyamanan yang sangat. Kalau setiap mahasiswa mau membuka matanya sedikit lebih lebar, saat-saat menjadi mahasiswa adalah saat dimana pembelajaran akan kedewasaan berlangsung. Kita ditempa dalam suatu keadaan untuk menjadi dewasa, kalau kita bisa mengambil pelajaran dari setiap kejadian, niscaya ada banyak hal yang bisa menjadi alasan untuk kita bisa dibilang dewasa. Walaupun aku juga tak benar-benar tau kriteria dewasa itu seperti apa.

Namun, sekali lagi. Waktu melesat begitu cepat. Ia dengan teganya menarikku jauh melesat meninggalkan masa-masa itu. Tapi begitulah memang waktu, ia berputar tanpa mau tau keadaan kita. Karena ia punya caranya sendiri untuk berputar dalam arah.

Tapi, memang begitulah tugas dari waktu. Ia akan membawa kita pada keadaan-keadaan selanjutnya, kisah-kisah yang berbeda. Kadang senang, kadang pula menyakitkan. Tapi, apapun itu, waktu sebenarnya selalu berhasil mengajari kita banyak hal agar kita tetap bisa tumbuh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun, kadang ada saja sebagian orang yang terlalu bebal untuk mengerti pesan yang disampaikan oleh waktu.

Suatu waktu, kita hanya bisa menangis di pangkuan orang-orang terkasih. Berucap tanpa kata,berkehendak tanpa penyampaian. Tapi kemudian waktu membawa kita kemasa-masa yang lain, saat kita akhirnya bisa berucap. Kata papa atau mama. Waktu mengajari kita bagaimana menggunakan bahasa.

Di suatu waktu yang lain, kita hanya bisa merangkak. Berusaha menggapai-gapai mainan di atas meja. Tapi, di masa yang lain waktu kembali membawa kita ke masa dimana kita bisa berlari sepuasnya dan mengambil apapun benda yang ada di atas meja, ataupun benda yang lebih tinggi sekalipun. Karena waktu mengajari kita bagaimana cara berjalan, melompat, dan berlari.

Ya, begitulah waktu. Ia berputar membawa kita kepada keadaan-keadaan yang baru, kisah-kisah yang berbeda dari sebelumnya. Sama halnya saat aku lulus SMA dulu, aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana hidup dalam lingkungan yang baru, jauh dari lingkungan keluarga yang selalu melindungiku. Tapi, nyatanya sekarang, aku begitu nyaman dengan keadaan ini. Keadaan dimana aku bertanggung jawab pada diriku sendiri, bagaimana caranya menjadi diri sendiri.

Sekarang ini, sama halnya seperti masa-masa lulus SMA dulu, akupun merasa bagitu takutnya menghadapi kehidupan selanjutnya. Dimana aku harus berpisah dengan kenyamanan menjadi seorang mahasiswa, berpisah dengan sahabat-sahabat terbaik, menanggung tanggung jawab yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya, dan yang pasti bertanggung jawab akan gelar sarjana yang aku punya sekarang.

Dan aku benar-benar benci akan pertanyaan 'setelah sekarang mau kemana?'.

Tapi, sama sepeti masa-masa sebelumnya. Waktu pasti akan kembali membawaku jauh ke keadaan yang tak pernah kubayangkan. Ia akan mengajari banyak hal, membawa banyak kisah berbeda. Aku percaya itu.

Sama halnya dengan seorang pesakitan yang akhirnya bisa berdamai dengan masa lalunya, karena waktu akan selalu menyembuhkan. Tapi ia tak hanya menyembuhkan, tapi juga mengajari banyak hal hingga akhirnya seorang pesakitan itu telah menjelma menjadi seorang petualang yang bijak. Petualang kehidupan.

Seperti kisahku ini, akupun yakin waktu akan membawaku bertualang dalam kisah-kisah yang berbeda. Waktu akan mengajariku banyak hal. Tapi sekali lagi, kita sendiri lah yang menjalani kehidupan ini, waktu hanya sebagai katalis yang membantu perjalanan kita. Apapun pilihannya, kita sendiri yang memutuskan.

Aku yakin, pada suatu massa waktu pasti akan menyelesaikan tugasnya, mengajari kita banyak hal. Tapi cepat atau lambatnya, kita sebdiri yang memutuskan. Itulah pilihan yang harus kita ambil. Pesakitan tadi, mungkin butuh waktu puluhan tahun untuk menjadi seorang petualang bijak, tapi sebenarnya ia bisa saja menjelma menjadi seorang petualang bijak hanya dalam hitungan bulan. Semua pilihan ada padanya.

Waktu pasti akan membawaku pada kisah selanjutnya yang berbeda, mengajariku banyak hal. Tapi cepat atau lambatnya perjalanan itu, aku sendiri yang menentukannya. Sekarang ini, aku mungkin memang masih dalam keadaan transisi, tapi aku yakin waktu pasti akan membawaku pada kisah yang baru. Mungkin bisa cepat, mungkin bisa bertahun-tahun. Itu semua pilihanku sendiri. Dan aku harus jadi kuat untuk bisa memilih.

Waktu memang akan menyembuhkan segala luka,  waktu memang akan menyelesaikan semua tugas-tugasnya. Tapi cepat atau lambatnya, kita sendiri yang menentukan.