selama ini, aku mengira kalau aku sudah bisa naik tingkat dari aku yang dulu. tapi nyatanya tidak. aku hanya berjalan ditempat dengan keringat yang bercucuran. aku tak sekuat yang aku pikirkan selama ini, sekuat yang aku harapkan.
ya, terkadang hal-hal menyakitkan bisa membuat kita tersadar dari ilusi yang diciptakan oleh hati dan pikiran. ilusi yang memberikan harapan-harapan palsu. sama halnya denganku, kini aku tersadar bahwa aku belum sepenuhnya dapat menata kembali hati ini. hati baru yang sedang aku perjuangkan ini belum utuh sepenuhnya. dan hal-hal kecil yang menerpa ternyata akan sangat mudah kembali meruntuhkan pondasi yang sedang berusaha aku susun.
ada banyak sekali hal di dalam tubuh renta ini yang harus ditambal di sana sini. kekurangan-kekurangan yang harusnya bisa aku perbaiki dalam rangka menjadi aku yang sebenarnya. namun rasanya ekspektasi yang aku inginkan ini terlalu tinggi. atau aku yang terlalu lemah untuk mewujudkannya?
ah, bumi masih berputar, dan mentari juga masih terbit di ufuk timur. aku masih terlalu muda untuk memahami ini semua. masih ada perjalanan panjang yang harus aku lalui, perjalanan penuh cerita dan kisah yang berisi banyak sekali pembelajaran.
aku bukannya lari, aku hanya butuh banyak hal untuk kembali membuatku tersadar dan menyempurnakan hati yang sedang aku buat ini.
Ia bebas terbang di atas langit, namun ia tetap terikat dengan bumi yang melahirkannya. Dengan cara itu lah ia tetap bisa terbang dengan bebas, menikmati langit biru dengan semburat jingga.
Sabtu, 31 Agustus 2013
Kamis, 13 Juni 2013
Pesta, Cinta, dan Cita
lambaian tangan mengiringi sebuah kepergian. Aku masih
menatap mereka dari balik jendela mobil yang terus berlalu menjauh. Dan mereka
semua tenggelam dilalap jarak. Lambaian tangan-tangan mereka berlalu bersama
bising deru mobil yang menggeram pelan.
Sudah hampir empat tahun aku berguru di kota ini. kota yang
istimewa, begitulah slogan kota ini. memang benar adanya, menurutku kota ini
benar-benar istimewa. Aku banyak belajar di sini. Bukan hanya pelajaran formal
yang di ajarkan di kelas-kelas kampus. Tapi lebih dari itu, ada banyak
pelajaran yang bahkan jauh lebih berguna. Pelajaran yang amat sangat penting
untuk mengarungi hidup. Membantu ku tetap bertahan melewati jalan hidup yang
ada banyak tikungan tajam dan lubang-lubang di sana sini.
Lambaian tangan mereka sudah jauh tertinggal di belakang. Mengantar
kepergianku dari kota istimewa ini. Ada setumpuk haru di ujung mata. Melihat
lambaian tangan yang sudah menjauh. Memandang kenangan-kenangan yang melesat
cepat. Menelusuri jalanan yang masih lengang. Keluar dari kota ini. tapi,
memang sekaranglah waktu yang tepat. Waktu yang tepat untuk berpisah.
Terimakasih banyak Jogja. Untuk apa-apa yang sudah kau
berikan. Kau ajarkan. Untuk kenangan-kenangan yang manis, jalan cerita yang
begitu menakjubkan. Terimakasih untuk mau menjadi salah satu tempat singgahku.
Kau akan selalu berada di salah satu ruang di dalam hatiku. Salah satu rumah
tempat aku pulang dari perjalanan jauh.
Jogjakarta, terimakasih untuk
Pesta, Cinta, dan Cita yang kau ajarkan selama ini…
Pesta, yang kau ajarkan lewat
kenangan-kenangan bersama sahabat terbaik.
Cinta, yang kau ajarkan lewat
peperjalanan kisah yang romantis.
Cita, yangkau tanamkan lewat
idealisme yag kini telah keras membatu.
Jumat, 24 Mei 2013
Tarian Perpisahan
Akhirnya waktu itu pun datang.
Dalam sepenggal malam yang begitu sepi. Sepi yang mengalunkan elegi sendu. Yang
mengantarkan jari untuk berdansa dengan tuts keyboard. Menarikan tarian
perpisahan. Sebuah kecup di dahi mengawali mereka menari, bebas menghentak
malam yang semakin kelam.
Malam ini, lemari sudah di
kosongkan, rak-rak buku menyisakan ruang. Kardus-kardus besar tertumpuk rapi di
salah satu sudut kamar. Namun komputer dengan beragam stiker perjalanan ini
masih berada ditempatnya. Untuk malam ini, malam terakhirnya. Biar ia puas
meneguk apa-apa yang pernah ia bagi bersamaku. Bersama emosi yang mengendap
dalam ujung jari.
Aku mengela nafas pelan.
Mengumpulkan banyak energi untuk menyelesaikan tarian perpisahan ini.
Mengendapkan imajinasi dan kemudian memecahnya dalam lesatan-lesatan kata yang
berpilin membentuk rasa.
Gelembung-gelembung udara terbang
disekitarku. Mereka berpendar dalam keremangan. Dan aku bisa melihat ada kisah
di dalamnya. Ya, itu kisah-kisahku. Kisah-kisah yang aku bagi bersama komputer
ini.
Aku melihatnya. Saat-saat pertama
ia datang ke zona nyamanku ini. Berpenampilan sederhana. Malu-malu memanggilku
manja. Lalu kami menari bersama, ya itu tarian pertama kami. Dan sepanjang
bulan itu kami menari ditemani berbungkus-bungkus mie instan. Ah, itu sudah
hampir tiga tahun yang lalu.
Hari berganti hari. Sedikit demi
sedikit aku mulai mengupgrade
komputer ini. Bukan dengan biaya yang sedikit memang, bahkan beberapa kali aku
harus berjuang melewati hari dengan hanya sebungkus mie instan. Tapi, rasanya
itu harga yang pantas untuk apa-apa yang komputer ini telah berikan.
Ada terlalu banyak kisah yang
kami tarikan bersama. Kisah-kisah yang terkadang aku kutuki. Aku ingat, kadang
komputer ini dengan zona nyamannya selalu berhasil mengikatku erat agar tak
beranjak dari game-game yang
ditawarkannya. Dimana semua inderaku berpusat dalam sebuah layar 14 inci di
depanku. Ngegame selalu berhasil
membuatku lupa akan waktu yang terus berputar konstan meninggalkan segalanya di
belakang. Namun, tentu saja aku tak pernah bisa melupakan tentang lagu-lagu
yang dimainkannya. Film-film yang diputarnya. Juga cerita-cerita yang kubagi lewat
pijatan di tuts keyboardnya. Berkali-kali komputer ini berhasil menyelamatkanku
dari kebosanan yang menderu. Dari kesepian yang terkadang terlalu tega. Atau
dari konflik-konflik yang terlalu asik untuk dituangkan dalam sebuah sinetron.
Rasanya semuanya itu baru
berlangsung kemarin. Dan kini tarian terakhir itu harus diselesaikan. Tarian
perpisahan yang begitu sendu.
Gelembung-gelembung udara yang
berisi kisah itu sekarang sudah hilang entah dimana. Menyisakan aku yang duduk
mematung mengenang semuanya.
Terimakasih telah mengantarku
sejauh ini kawan. Hingga gelar S.Pd yang sedikit menambah panjang namaku.
Terimakasih untuk semua kenangan yang telah kita lewati. Kini tiba saatnya
untuk berpisah. Tarian perpisahan ini telah sampai di penghujung geraknya. Saatnya
aku untuk melangkah jauh dari zona nyaman yang kau tawarkan. Karena dunia di
luar sana telah lama menanti kedatanganku.
Untuk hari-hari yang telah lalu.
Dan untuk tarian yang telah selesai.
Aku siap melangkah menuju
kehidupanku...
Catatan Birding di SM Sermo (FollowUp Gelatik 18-19 Mei 2013)
19 Mei 2013
Udara masih cukup dingin di pagi
ini. Cahaya fajar belum beranjak dari ufuk timur. Cahaya emasnya masih
terperangkap oleh kabut pagi. Namun, sepagi ini saya dan beberapa teman melangkah
meninggalkan rumah penginapan, karena saat masih sepagi ini burung-burung masih
belum begitu aktif. Ya, kami sedang melakukan kegiatan pengamatan burung di SM
Sermo, Kulonprogo, DIY. Acara pengamatan ini adalah bagian dari acara FollowUp
Gelatik dua hari ini yang diadakan oleh Kelompok Pengamat Burung Bionic UNY.
Sebenarnya acara FollowUp Gelatik
sudah dimulai dari kemarin. Namun, acara kemarin baru diisi dengan materi
tentang identifikasi dan seketsa yang dibawakan oleh Kholil, sesama rekan di Bionic,
dan tentang dokumentasi dan publikasi oleh Mas Shaim, senior di Bionic. Acara
pengamatan burung di daerah SM Sermo baru diadakan pagi esoknya, dimulai dari
saat mentari baru merekah.
Pengamatan pagi ini dimulai
dengan kejutan dari Burung Cucak kuning yang ternyata ada banyak sekali di
sekitar SM Sermo. Pertama kali saya melihatnya, Cucak Kuning ini masih
malas-malasan di atas ranting. Awalnya, karena cuaca yang masih gelap saya
mengira kalau burung tersebut hanya burung Cucak Kutilang, namun si Abid salah
satu teman seangkatan di Bionic berkata kalau burung tersebut adalah burung Cucak
Kuning. Karena penasaran saya langsung melihat burung tersebut menggunakan
binoculer. Benar saja, secara umum burung tersebut memang sama dengan cucak
kutilang. Kepalanya yang memakai topi hitam berjambul. Ukuran, bentuk paruh dan
ekor juga sama dengan cucak kutilang. Yang membedakan cucak kuning dengan cucak
kutilang adalah dada hingga ke tunggirnya berwarna kuning. Berbeda dengan
burung cucak kutilang yang hanya berwarna kuning di bagian tunggir sedangkan
dadanya putih.
Selain terdapat banyak cucak
kuning, ternyata di sekitar sermo ini juga terdapat banyak sekali burung madu.
Hal ini terjadi karena banyak tersedianya pohon-pohon berbunga sebagai makanan
dari burung ini. Sesuai namanya, burung madu menghisap nektar atau madu dari
bunga-bunga tersebut menggunakan paruhnya yang panjang, kecil, dan melengkung. Kami juga sempat melihat
burung madu yang sedang mengumpulkan material untuk membangun sarang. Burung
madu di daerah sermo terdiri dari dua jenis. Yakni, burung madu Sriganti dan
burung madu Kelapa.
Untuk membedakan burung madu Sriganti
dan madu Kelapa lebih mudah jika melihat pejantannya. Ya, untuk burung madu Sriganti
dan Kelapa, jantan dan betinanya memiliki morfologi yang berbeda. Berbeda
dengan manusia, burung pejantan berpenampilan lebih mencolok di banding yang
betina. Bahkan saat membangun sarang, si betina lebih banyak mengumpulkan
material dari pada si pejantan. Untuk membedakan burung pejantan madu Sriganti dan
Kelapa dapat dilihat dari ukuran serta corak kepalanya. Ukuran madu kelapa
sedikit lebih besar dari madu Sriganti. Pada pejantan madu Sriganti warna
kepalanya adalah biru metalik yang sangat gelap, bahkan terkadang terlihat
berwarna hitam jika tidak cermat melihatnya. Sementara itu untuk burung madu Kelapa,
warna kepalanya juga biru metalik, namun tidak seluruhnya, karena warna
tenggorokannya coklat dan terdapat gradasi warna hijau di samping tenggorokan.
Mahkota madu kelapa juga berwarna hijau. Selain itu, iris keduanya juga
berbeda. Madu Sriganti berwarna hitam sementara madu Kelapa berwarna merah.
Selain perbedaan itu kedua pejantan ini memiliki morfologi yang sama. Dari
paruh yang kecil, panjang, dan melengkung berwarna hitang, hingga badan
berwarna kuning dan sayap yang hijau.
Akan lebih sulit untuk membedakan
betina burung madu Sriganti dan Kelapa. Butuh kejelian untuk membedakan
keduanya. Sama seperti pejantan, ukuran kedua betina ini juga berbeda. Madu Kelapa
sedikit lebih besar dibanding madu Sriganti. Begitu pula dengan warna irisnya.
Madu Kelapa berwarna merah sementara madu Sriganti berwarna hitam. Hal yang
membedakan lainnya adalah terdapat alis berwarna putih pada bagian mata madu Kelapa,
sedangkan pada madu Sriganti tidak terdapat alis tersebut. Selain perbedaan
kecil itu kedua betina ini nyaris sama. Dari paruhnya yang panjang, kecil, dan
melengkung berwarna hitam, kepala dan sayap berwarna hijau hingga badan yang
berwarna kekuningan.
Pukul setengah tujuh semua
peserta FollowUp Gelatik sudah mulai melakukan pengamatan bersama-sama. Mulai
dari anggota Bionic angkatan beberapa tahun terakhir hingga yang entah angkatan
berapa. Total berjumlah tiga puluhan peserta yang melakukan pengamatan bersama
pagi-pagi ini. Peserta yang terlalu banyak yang hanya mengelompok menjadi satu
kelompok ini sudah tidak lagi memungkinkan untuk melakukan pengamatan secara
tenang. Akhirnya saya, Abid, Panji, Raden, dan Mas Kukuh memutuskan untuk
memisahkan diri dari kelompok besar ini.
Kami berencana melakukan
pengamatan di area selatan RPH (penginapan). Di perjalanan lagi-lagi kami
menemui burung madu, baik madu Sriganti maupun madu Kelapa, dan juga burung Cucak
Kuning. Saat melewati RPH kami bertemu dengan Eki dan Bina yang akhirnya ikut
dalam kelompok kecil kami. Mereka berdua adalah panitia dari acara FollowUp Gelatik
kali ini sehingga belum sempat melakukan pengamatan bersama pagi tadi. Akhrinya
binocular yang cuma dua dalam kelompok kecil kami di pegang oleh Eki dan Bina
untuk mengamati burung Madu Sriganti, Madu Kelapa, dan Cucak Kuning.
Pukul 07.00 kami tiba di lokasi
di selatan RPH. Sebuah bukit terbuka yang menghadap ke lembah yang berisi hutan
jati dan beberapa hutan homogen di tebing seberang. Pemandangan yang sangat
indah. Dari bukit ini kami bisa melihat lanscape barisan hijaunya pohon-pohon
yang terbentang. Bahkan di bukit seberang yang jauh lebih tinggi dari bukit
terbuka tempat kami berdiri berisi pohon-pohon besar. Menurut Mas Kukuh dan
Raden, tempat ini sangat cocok untuk raptor swaring untuk mencari makan. Dan
bukit ini sangat cocok untuk melakukan pengamatan mengingat areanya yang
terbuka, bebas memandang ke hutan di seberang tanpa halangan apapun.
Sama halnya disekitar daerah
sermo, di bukit terbuka ini juga terdapat banyak sekali burung madu. Selain itu
banyak terdapat juga burung Bondol Jawa. Burung berukuran kecil yang sangat
sering sekali di jumpai di daerah jawa. Mungkin hampir disetiap daerah di pulau
jawa terdapat burung ini. Selain itu kami juga melihat tiga burung Sepah Kecil yang
bergerombol dalam kelompok. Burung sepah kecil memang selalu berkelompok dalam
kelompok kecil. Berbeda dengan keluarga sepah-sepah lainnya, burung Sepah Kecil
ini memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan keluarga sepah lainnya, yakni
berukuran sekitar 15cm. mungkin hal inilah yang mendasari namanya sebagai sepah
kecil. Sepah Kecil juga tidak semerah sepah-sepah lainnya seperti Sepah Gunung dan
Sepah Hutan. Kepala dan mantel burung ini berwarna abu-abu. Bahkan untuk yang
betina lebih buram lagi dengan tubuh bagian atas abu-abu kecoklatan. Iris
burung ini berwarna coklat dengan paruh dan kaki berwarna hitam. Namun sayang
kami tak sempat mengamati menggunakan binoculer sehingga belum sempat
mengidentifikasi mana yang jantan dan mana yang betina. Beberapa waktu setelahnya
terlihat burung yang sama terbang melintasi kepala kami dalam kelompok kecil
yang berjumlah lima ekor burung.
Pukul 07.40, sudah beranjak
siang. Mungkin sudah cukup list burung untuk pagi ini. Saatnya kembali RPH
untuk sarapan. Ketika kami sedang bersiap-siap pulang saya dan Abid melihat
sekelebat hitam di pohon sebelah utara. Saya dan abid seketika heboh dan
penasaran, lalu kami berdua turun sedikit dari bukit untuk memastikan makhluk
apakah itu sambil meminta binoculer yang saat itu dibawa Eki dan Panji. Namun
ketika kami sudah sedikit berjalan tiba-tiba makhluk tersebut yang ternyata
burung terbang ke sisi lain lembah. Rupanya burung tersebut sejenis burung
kadalan. Hal ini terlihat dari ekornya yang panjang serta ukurannya yang besar,
mungkin sekitar 50cm. burung tersebut hinggap di salah satu pohon dengan jelas.
Lalu, Eki yang saat itu tengah memegang binoculer segera saja mengamati burung
tersebut. Ia melihat kalau ujung ekor berwarna merah. Namun burung tersebut
kembali terbang dan tak terlihat lagi. Saya cukup kecewa karena belum sempat
mengamati menggunakan binoculer.
Kami memutuskan untuk menunggu
lagi di bukit terbuka ini, siapa tahu kadalan yang belum kami identifikasi
secara lengkap muncul kembali. Namun kadalan tersebut belum keluar juga.
Akhirnya Raden menggunakan teknik scanning untun mencari posisi kadalan
tersebut. Teknik scanning adalah teknik menggunakan binoculer untuk melihat
area untuk menemukan burung yang masih belum jelas keberadaannya. Ternyata Raden
berhasil menemukan burung ini menggunakan teknik scanning. Burung tersebut
berada pada salah satu pohon di seberang lembah, cukup jauh memang. Bina dan
Ekki kembali mengamati burung tersebut menggunakan binoculer. Burung tersebut
cukup aktif, berkali-kali berpindah-pindah ke dahan lainnya, cukup menyulitkan.
Saya pun sudah tidak sabar untuk melihat burung tersebut menggunakan binoculer.
Namun sayang, burung tersebut kembali masuk ke balik pohon. Akhirnya saya
berkesempatan menggunakan binoculer. Saya dengan sabar kembali menunggu burung
tersebut kembali muncul. Akhirnya kesempatan itu datang. Burung itu muncul
kembali di ujung pohon. Kepalanya muncul dan dapat saya amati. Bagian
tenggorokan hingga dada berwarna merah, pipi hingga tengkuk berwarna abu-abu,
kulit sekitar mata berwarna merah, sebagian mahkota berwarna hijau, namun dengan
jarak yang sangat jauh saya tak bisa mengamati paruhnya dengan detail. Rupanya
burung tersebut sedang mencari sarapan yang berupa serangga-serangga. Burung
tersebut kemudian turun ke dalam hutan, dan saya sempat mengamatinya
menggunakan binoculer saat burung tersebut mengepakan sayapnya. Sungguh sangat
anggun. Setelah diadakan diskusi dengan melihat buku makinnon sebagai panduan
akhirnya kami memutuskan bahwa burung tersebut adalah burung Kadalan Birah. Setelah
puas mengamati Kadalan Birah akhirnya kami memutuskan untuk berpindah tempat ke
utara RPH.
Pukul 08.30, ketika kami berjumpa
dengan kelompok besar dan Prajawan selaku ketua Bionic meminta kami untuk
kembali ke RPH untuk sarapan terlebih dahulu sebelu melanjutkan pengamatan.
setelah perut terisi kemudian sekitar pukul 09.00 kami memutuskan untuk kembali
memulai pengamatan. Tapi untuk pengamatan kali ini tidak semua peserta FollowUp
gelatik ikut. Kebanyakan anggota angkatan lama memilih untuk tetap di RPH,
sedangkan anggota angkatan baru melakukan pengamatan. Saat akan memulai
pengamatan terdapat sepasang burung kipasan di dekat RPH. Saya yang waktu itu
masih berada di dalam RPH segera berhambur keluar dengan tidak lupa membawa
binoculer. Setelah bertanya dimana letak burung tersebut kemudian saya melihat
burung kipasan yang ternyata Kipasan Belang sedang aktif di atas pohon. Namun
burung ini sangat aktif, saya belum sempat mengamati menggunakan binocular.
Namun ternyata burung tersebut malah turun mendekat ke arah kami, jadi saya
tidak usah susah-susah menggunakan binocular. Saya juga sempat menjumpai burung
ini di lembah UGM, jadi sudah tidak begitu exaited seperti melihat kadalan
birah.
Dari RPH kami naik sedikit
kemudian berbelok ke barat mengikuti jalan raya. Kami mencoba mengamati burung
dihutan sekitar jalan raya. Namun akhirnya kami turun ke dalam hutan karena
dari jalan raya burung-burung tidak begitu terlihat. Ada jalan setapak kecil
untuk yang bisa jadi jalan untuk memasuki hutan. Memasuki hutan kami menjumpai
burung madu. Mas Kir juga sempat melihat burung Sepah Kecil. Namun rupanya pada
spot ini burung-burung yang ada tidak begitu beragam. Saya sedikit masuk
kedalam hutan bersama Panji saat teman-teman yang lain memanggil karena akan
berpindah spot. Namun saat itu saya dan Panji tidak begitu memperhatikan
panggilan mereka. Kami berdua sedang mengamati burung layang-layang yang sedang
hinggap di salah satu pohon. Secara umum burung layang-layang tersebut sangat
mirip dengan burung layang-layang rumah. Dada hingga muka berwarna abu-abu,
perut kebawah berwarna putih. Sayap yang panjang dengan warna yang sama dengan
punggung, gelap karena siluet. Tapi menurut saya sayap dan punggung berwarna
hitam. Tunggingnya berwarna putih. Namun yang membedakannya dengan
layang-layang rumah, ekornya panjang seperti layang-layang api. Terlalu asik
mengamati burung tersebut saya melupakan kalau saya dan Panji terpisah dengan
kelompok.
Kami berdua naik kembali ke jalan
raya dan berusaha mencari kelompok. Namun kami tak menemui tanda-tanda
kelompok. Kami pun memutuskan untuk kembali ke RPH. Saat dalam perjalanan
pulang sayup-sayup saya mendengar suara teman-teman di bawah hutan. Kemudian
saya dan Panji memutuskan untuk kembali masuk ke dalam hutan. Saya setengah
berlari masuk terlebih dahulu kedalam hutan. Saya mengambil jalur berbeda dari
saat masuk hutan pertama kali. Melewati semak-semak dan bagian lain yang memang
bukan jalan karena berusaha untuk memotong jalan mendekati suara teman-teman.
Namun saya akhirnya sadar kalau suara-suara tersebut berasal dari suara
teman-teman di RPH. Ketika saya akan kembali naik tiba-tiba saya dikejutkan
dengan seekor ayam yang terbang dari semak-semak di dekat saya. Rupanya ayam
tersebut terganggu dengan kedatangan saya. saya terkejut ternyata seekor ayam
bisa terbang sebegitu tinggi. Ayam tersebut kembali masuk ke semak-semak. Saya
sempat melihat punggungnya yang berwarna hijau dengan corak merah di
tengah-tengahnya menggaris ke arah kepala. Ukurannya sebesar pejantan ayam
kampung. Rupanya yang saya lihat ini adalah ayam hutan merah. Saya langsung
memanggi-manggil Panji yang masih berada di atas.
Setelah Panji turun kemudian kami
blusukan untuk mencari kembali ayam hutan tadi. Namun sayang ayam hutan
tersebut sudah menghilang entah kemana. Lalu kami kemudian blusukan lebih dalam
ke dalam hutan setelah melihat layang-layang yang sama yang tadi kami lihat.
Semakin dalam jalannya semakin susah meskipun dengan pohon-pohon yang tidak
begitu padat. Namun sepertinya jalan yang kami lewati tidak pernah digunakan.
Bahkan kami harus melewati sungai kering dan naik dari batu ke batu untuk naik
ke bukit yang lebih terbuka. Namun sayang kami tidak bisa menambah list burung
sejak blusukan tadi. Suasana sepi, hanya terdapat banyak suara-suara di dalam
hutan namun tidak jelas itu burung apa. Kami menunggu cukup lama di atas bukit
terbuka namun sayang hasilnya nihil. Setelah kecewa dengan hasil ini saya dan
panji memutuskan untuk kembali ke RPH. Keringat sudah deras bercucuran. Selain
karena udara yang panas dan cerah juga karena blusukan tadi cukup menguras
Energi.
Saya cukup lama beristirahat di
RPH. Minum air segar yang sedari tadi sangat saya rindukan. Di RPH saya ikut
bergerombol dengan angkatan-angkatan tua yang tidak ikut pengamatan. Rupanya
mereka sedang mendengarkan Jarot bercerita tentang pengalamannya main ke Badui
luar dan dalam serta ke Ujung Kulon. Ia bercerita tentang kehidupan orang-orang
badui, baik itu badui dalam amupun badui luar. Ia juga bererita tentang
keindahan surga ujung kulon beserta sebagian detail-detainya. Keindahan yang
ditawarkan surga di ujung barat pulau Jawa. Salah satu destinasi yang sangat
ingin saya kunjungi. Mungkin esok saat sudah punya pengahasilan sendiri saya
ingin sekali berkunjung ke Taman nasional Ujung Kulon.
Ketika sudah cukup istirahat dan
sudah mulai merasa sedikit bosan akhirnya sekitar pukul 11.00 saya dan Panji ikut
Arel, Mas Jul, Wahab, Nizar, Mas Shaim, dan Mas Ano hunting foto sekaligus
main. Menurut Arel, kami akan main ke kali daerah Waduk Sermo. Jalanan cukup
berkelak-kelok naik turun. Kami juga harus membayar retribusi masuk 10rb untuk
empat motor.
Pemandangan di kali ini cukup
bagus. Sungai kecil khas pegunungan dengan alirannya yang lumayan deras serta
batu-batuan yang terlindungi dinding-dinding bukit yang hijau juga dinding dari
bendungan waduk Sermo. Namun sayang, bau dari air tersebut cukup kurang nyaman,
seperti air pembuangan sampah. Padahal kalau menurut saya airnya cukup jernih,
entah berasal dari apa bau ini. Seperti bau berelang.
Teman-teman yang lain sudah mulai
masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga
memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk
masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke
sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup
curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat
terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan
pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon
yang lumayan rapat dan besar.
Rupanya sungai ini adalah lembah
dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya.
Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini
tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya
memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya
panjang."
Saya langsung bangkit dari duduk
dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah
mana?" saya bertanya tidak sabaran.
"Di sana !" kata Panji
sambil menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.
Saya pun langsung menggunakan
binoculer untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum
juga paham dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana
nji?" saya kembali bertanya tidak sabaran.
"Di sana! Itu loh di atas
semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan"
Panji menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap
digunakannya. Rupanya ia sedang asik mengamati.
Saya kembali mencari arah yang
ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya
saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah
cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan
berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung
tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali
tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.
Saya pun mencoba mencari sudut
pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke
dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan
bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan
dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat
sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali
saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun
memutuskan untuk menyebrang sungai.
Sesampainya di seberang burung
tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung
tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang
tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali
berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.
Saya berdiri di atas batu besar
untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi
area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak
menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya
benar-benar dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.
Akhirnya saya putuskan untuk
kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk
mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya
sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah
untuk bisa naik ke tebing tersebut.
Sebenarnya saya sedikit ragu bisa
memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung
misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir
tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat
bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya
saya memutuskan untuk memanjat.
Cukup susah memanjat tebing ini,
apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat
pada semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk
naik ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan
susah payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.
Sayapun langsung waspada dan
mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi.
saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan
mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah
sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi
cukup menguras energi.
Saya sudah merasa cukup putus asa
karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi
berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut,
namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang.
Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha
menaiki tebing.
Saya sudah benar-benar putus asa.
Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk
mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya
mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung
tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya
berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.
Namun, sama halnya seperti tadi.
Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya
tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun
masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam
yang tidak begitu jelas.
Saya pun bergeser berusaha
mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit
lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk mendapatkan
view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai harapan. Burung
tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang bergoyang-goyang,
seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya sedang serius
untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah kembali berpindah
turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan kepalang dengan burung
ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.
Tebing yang satu ini lebih sulit
dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih
sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya
harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya
tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya.
Keringat sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi
tanah tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk
berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.
Setelah perjuangan ekstra akhirnya
saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi tebing ini
terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menggarap
lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian milik
penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah
berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing
yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya
pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari
celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.
Ketika sedang berkeliling saya
mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang
woi?" Itu suara Panji.
Saya pun mencari sumber suara
itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat
saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru
sambil melambaikan tangan.
"Heh, kok kamu bisa berada
di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga
mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.
"Lewat sebelah kanan Nji,
jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati
tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.
Akhirnya setelah bersusah payah
Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana
sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya
tidak sabaran.
"Tadi terbang ke atas situ,
terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil
menunjukan tempat burung tadi menghilang.
Tebing di atas kami lumayan
tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa
dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai
setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan
penduduk untuk naik ke atas tebing.
Kami memutar cukup jauh. Beberapa
kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan
hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan
kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari
saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.
Sesampainya di terasering paling
atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah.
Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung
tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak
bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh
mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat
denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa
melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto.
Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar
eksotis.
Akhirnya panji sampai juga di
atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"
Saya menggeleng. "Ngga ada
Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil
menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya
sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."
Ah, setidaknya meskipun tidak
berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang
terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang
dengan sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim
menikmati karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan
dan bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk
Sermo yang mempesona.
Setelah puas memandangi
pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun.
Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di
mana tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya,
rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.
"Di sebelah sana, coba aja
dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.
"Lho, kan kamu yang tahu
tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.
"Benar juga katamu,
baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.
Saya pun melempari tempat
terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung
tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun
mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua
ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi
untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan
sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya,
rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang
saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu
saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.
Burung tersebut terbang ke arah
seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin
panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung
kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap,
sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa
di dalam hati.
Benar saja, burung tersebut
kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana.
Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung
tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat
kemerahan.
Dari ketinggian ini saya bisa
melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat
melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya
yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu
kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang
sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini
saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak.
Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil
berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip
kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku
mekinnon dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan
Birah yang juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan
burung-burung pada halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya
sama dengan yang sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu
burung yang sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.
Sama seperti tadi, burung
tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak
sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut.
Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang
benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap
menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki
terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati
kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar
dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.
Ah ya, saya jadi ingat akan film
"The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis
tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di
Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan,
Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari
kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya
sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)".
Lalu stu menjawab dengan dingin "it's
called 'birding', rick". Ya, birding,
atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka
menyebut Birding dari pada birdwatching.
Setelah pengamalaman hari ini,
saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus
semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya
hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut
berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut.
Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk
mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya.
Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target
buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching'
sudah harus diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan
untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.
Ah, sudah puas mengamati dan
berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah
sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal
makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan
turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi.
Benar saja, ternyata jalan turun
memang benar-benar sulit. Kami tak bisa lagi melewati jalan se ekstrim saat
naik. Kemi sempat mencoba untuk turun lewat dinding bendungan wafuk sermo. Tapi
itu sama saja bununh diri, sanagat ekstrim. Akhirnya saya dan panji memutuskan
untuk mengikuti jalan setapak milik penduduk setempat. Setelah menemukan celah
untuk turun, akhirnya kami turun. Sesampainya di sungai hujan mulai turun.
Segera saja saya berjalan cepat menyeberangi sungai untuk menuju tempat saya
memarkir motor.
Akhirnya pukul 12.15 saya dan
panji kembali sampai di RPH. Sesampainya di RPH saya langsung istirahatat. Saya
juga ngbrol bersama teman-teman lain yang tadi terpisah saat birding di hutan.
Sama seperti saya dan panji, mereka juga blusukan lebih jauh ke dalam hutan,
dan mereka juga menemukan lebih banyak lagi 'buruan' burung. Salah satu yang
membuat Prajawan exited adalah walik kembang, katanya ia baru pertama kali ini
menjumpai burung ini. Saya sendiri belum pernah berjumpa dengan burung ini.
Sama seperti saya, prajawan juga merasakan nikmatnya birding, berburu. Ia bahkan
berkata bahwa saat birding seperti ini ia lebih suka menggunakan binoculler
dari pada kamera, sensasi berburunya lebih terasa katanya. Saat obrolan ini
saya juga dapat info dari mas Shaim kalu ternyata burung Bubut Jawa yang
berhasil saya amati berstatus terancam. Wah, sebuah kehormatan bisa mengamati
burung ini.
Akhirnya setelah makan siang,
sholan dan foto-foto tentunya, kami kembali ke jogja. Ke kehidupan nyata.
Birding, Bukan Sekedar Birdwatching!!
Hari ini 19 Mei 2013 adalah hari
terakhir FollowUp Gelatik yang bertempat di SM Sermo. Sudah cukup siang,
saatnya beristirahat setelah cukup lelah melakukan pengamatan sedari subuh
hingga siang ini. Saya pun memutuskan kembali ke RPH (penginapan) untuk
beristirahat dan berjumpa dengan air segar yang sudah sangat saya rindukan.
Keringat yang bercucuran ini rasanya sudah menguras semua cadangan air di tubuh
saya.
Setelah sampai di RPH saya
langsung meneguk air segar. Ah, rasanya benar-benar lega. Kemudian saya
duduk-duduk di teras depan sambil mendengarkan obrolan mas Kukuh, Wahab, Jarot,
dan Adin. Ternyata mereka sedang mengobrolkan Taman Nasional Ujung Kulon dan
masyarakat Badui. Sontak obrolan tersebut langsung kembali membangkitkan
semangat saya, semangat berpetualang. Rasanya lelah setelah pengamatan dan
blusukan di hutan tadi sudah hilang entah kemana.
Setelah obrolan itu selesai
rasanya ada sesuatu yang menggantung. Tiba-tiba bosan datang menyergap. Ada
semangat yang menuntut pelampiasan. Tepat ketika berada di ujung kebosanan
tiba-tiba arel dan mas jul keluar dari RPH. Mereka akan hunting foto di
"kali". Wah, momen yang tepat sekali. Segera saja saya menyambar
binoculler dan ikut mereka jalan-jalan di "kali".
"kali" yang akan kami
tuju rupanya berjarak cukup jauh sehingga untuk menujunya kami menggunakan
sepeda motor. Saya bersama panji naik motor bersama tiga motor lainnya yang
mengangkut Arel, Mas Jul, Nizar, Wahab, Mas Shaim, dan Mas Ano. Jalanan yang
kami lewati ternyata cukup naik turun dan berkelak-kelok. rupanya
"kali" yang akan kami tuju letaknya berada di bawah.
Akhirnya kami sampai juga di
"kali" yang dimaksud. Ternyata "kali" yang dimaksud adalah
belokan sebuah sungai kecil lengkap dengan batu-batuan khas sungai pegunungan
yang berbatasan dengan dinding Waduk Sermo. Saat kami datang tercium bau yang
kurang enak, seperti bau belerang atau malah bau air pembuangan. Padahal air
sungai di depan saya ini cukup jernih.
Teman-teman yang lain sudah mulai
masuk ke sungai yang memang hanya sebatas betis untuk hunting foto. Mereka juga
memanggil-manggil saya dan Panji yang masih berada di pinggiran sungai untuk
masuk ke sungai. Tapi, rasanya saya belum begitu tertarik untuk masuk ke
sungai. Saya masih asik menikmati pemandangan di depan sana. Tebing yang cukup
curam yang ditumbuhi semak dan beberapa pohon kecil. Di bagian atasnya terdapat
terasering yang rupanya dimanfaat oleh penduduk setempat sebagai lahan
pertanian. Lebih ke atas lagi adalah hutan yang cukup lebat dengan pohon-pohon
yang lumayan rapat dan besar.
Rupanya sungai ini adalah lembah
dan di apit oleh dua buah bukit. Bukit yang lengkap dengan hutan tentunya.
Sedang asik-asiknya menikmati keindahan yang diciptakan Sang Pencipta ini
tiba-tiba panji yang tengah duduk di salah satu batu di belakang saya
memanggil. "Ngga, sini. Ada burung mirip kadalan nih, besar dan ekornya
panjang."
Saya langsung bangkit dari duduk
dan dengan semangat menghambur ke arah Panji. "Mana nji, di sbelah
mana?" saya bertanya tidak sabaran.
"Di sana !" kata Panji sambil
menunjuk salah satu arah. Rupanya ia menunjuk bibir tebing.
Saya pun langsung menggunakan binoculer
untuk mengamati arah yang ditunjukan Panji. Tapi rupanya saya belum juga paham
dengan arah yang ditunjukan panji. "Mana? Sebelah mana nji?" saya
kembali bertanya tidak sabaran.
"Di sana! Itu loh di atas
semak yang saya tunjuk kan ada pohon. Nah di batang yang sebelah kanan" Panji
menjawab sambil menunjuk arah dengan binoculler yang masih tetap digunakannya.
Rupanya ia sedang asik mengamati.
Saya kembali mencari arah yang
ditunjukan Panji. Setelah berkali-kali mencoba mencari burung tersebut akhirnya
saya menemukan sekelebat gerakan. Rupanya burung tersebut sedang berpindah
cabang. Benar yang dikatakan panji, burung tersebut memang berukuran besar dan
berekor panjang. Namun sebelum saya menggunkan binoculler ternyata burung
tersebut pindah ke balik pohon dan tertutup batang-batang. Saya sama sekali
tidak bisa melihatnya, bahkan menggunakan bonuculler sekalipun.
Saya pun mencoba mencari sudut
pandang yang lain untuk bisa melihat burung tersebut. Akhirnya saya masuk ke
dalam sungai. Airnya cukup dingin dan segar. Namun fokus saya sekarang bukan
bermain air sungai, tapi menemukan burung yang bersembunyi di balik dedaunan
dan ranting itu. Berkali-kali saya "scan" namun belum juga dapat
sudut yang tepat. Burung tersebut masih belum kelihatan meskipun beberapa kali
saya bisa melihat ranting-ranting pohon tersebut bergoyang-goyang. Saya pun
memutuskan untuk menyebrang sungai.
Sesampainya di seberang burung
tersebut menampakan wujudnya. Namun hanya sekelebat saja karena rupanya burung
tersebut turun ke semak begitu anggunnya. Dari tempat saya berdiri sekarang
tentu saja saya tidak bisa mengamati burung tersebut. Akhirnya saya kembali
berjalan menuju sisi sungai seberang, mendekati arah burung tersebut.
Saya berdiri di atas batu besar
untuk mencoba mencari keberadaan burung tersebut. Saya "scan" lagi
area di sekitar burung tersebut tadi turun. Namun hasilnya nihil. saya tidak
menemukan jejak keberadaan burung tersebut. Terlihat sangat lengang. Saya benar-benar
dibuat penasaran oleh burung yang satu ini.
Akhirnya saya putuskan untuk
kembali mendekat ke arah bibir tebing tersebut. Saya sudah tidak sabar untuk
mengejar burung tersebut. Dengan hanya bertelanjang kaki, karena sandal saya
sudah lama saya lepas sebelum masuk ke sungai tadi, saya mencoba mencari celah
untuk bisa naik ke tebing tersebut.
Sebenarnya saya sedikit ragu bisa
memanjat tebing itu atau tidak. Namun saya meyakinkan diri, demi burung
misterius yang sukses membuat saya penasaran. Akhirnya setelah mengamati bibir
tebing itu saya menemukan celah yang mungkin bisa saya panjat. Terdapat
bebatuan dan semak yang bisa saya gunakan sebagai tempat berpegangan. Akhirnya
saya memutuskan untuk memanjat.
Cukup susah memanjat tebing ini,
apalagi dengan membawa binoculler dan tas kecil. Saya harus berpegangan kuat pada
semak dan menapak pada bebatuan. Berkali-kali saya harus merangkak untuk naik
ke atas. Kaki yang bertelanjang cukup sakit saat menapak bebatuan. Dengan susah
payah akhirnya saya sampai di salah satu sisi datar tebing.
Sayapun langsung waspada dan
mengendap-endap. Takut keberadaan saya disadari oleh burung misterius tadi.
saya melangkah dengan sangat hati-hati dan sambil menyapu area sekitar dengan
mata saya. Namun saya belum juga menemukan burung tersebut. Keringat sudah
sangat bercucuran dan lelah sudah sangat mendera. Rupanya menaiki tebing tadi cukup
menguras energi.
Saya sudah merasa cukup putus asa
karena belum juga menemukan burung tersebut. Saya sudah tidak lagi
berhati-hati. Bahkan sekarang saya sedang mengacak-acak area datar tersebut,
namun hasilnya nihil. Burung tersebut entah sedang berada di mana sekarang.
Mungkin tadi ia naik karena terusik suara-suara ribut saat saya berusaha
menaiki tebing.
Saya sudah benar-benar putus asa.
Saya pun mendongakan kepala, mengela nafas. Sekedar mencari udara segar untuk
mengusir sebal karena tidak menemukan burung tersebut. Hei !! saat saya
mendongakan kepala tiba-tiba ada sesuatu yang berkelebat. Rupanya burung
tersebut terbang di atas kepala saya menuju salah satu pohon tepat di atas saya
berdiri. Seketika gairah itu bangkit kembali.
Namun, sama halnya seperti tadi.
Burung tersebut berada di belakang dedaunan dan ranting-ranting pohon. Saya
tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dengan menggunakan binocullerpun
masih belum bisa termati dengan jelas. Saya hanya bisa melihat siluet hitam
yang tidak begitu jelas.
Saya pun bergeser berusaha
mencari sudut pandang lain. Siapa tahu bisa melihat burung tersebut sedikit
lebih jelas. Bahkan saya harus merangkak-rangkak di dinding tebing untuk
mendapatkan view yang lebih jelas. Namun lagi-lagi hasilnya tidak sesuai
harapan. Burung tersebut masih belum dapat diamati. Hanya ranting pohon yang
bergoyang-goyang, seakan-akan burung tersebut menggoda saya. Bahkan ketika saya
sedang serius untuk mencari sudut pandang yang lain, burung tersebut malah
kembali berpindah turun masuk ke seak-semak. Saya benar-benar gemas bukan
kepalang dengan burung ini. Saya pun kembali memanjat tebing di atas saya.
Tebing yang satu ini lebih sulit
dari yang pertama tadi. Selain jaraknya yang lebih tinggi medannya juga lebih
sulit. Tidak terdapat celah yang sedikit longgar untuk dilewati. Terpaksa saya
harus menerobos semak dan merayap naik. Berkali-kali kaki dan badan saya
tersangkut oleh semak belukar dan tumbuhan merayap yang entah apa namanya. Keringat
sudah sangat bercucuran tak sempat saya bersihkan, menetes membasahi tanah
tempat saya berpijak. Bagaimana tidak, kedua tangan saya digunakan untuk
berpegangan apapun yang bisa menarik saya ke atas.
Setelah perjuangan ekstra
akhirnya saya kembali sampai di sisi datar tebing tersebut. Rupanya di sisi
tebing ini terdapat jalan setapak yang digunakan oleh penduduk setempat untuk
menggarap lahan. Rupanya saya sedang berada tepat di bagian lahan pertanian
milik penduduk yang tadi saya lihat dari bawah. Tanpa sadar ternyata saya sudah
berada di bagian tebing yang cukup tinggi. Tepat di atas saya terdapat tebing
yang di atasnya terdapat pohon dan semak tempat burung tadi menghilang. Saya
pun kembali berkeliling untuk mencari keberadaan burung tersebut dan mencari
celah untuk bisa naik ke tebing di atas saya.
Ketika sedang berkeliling saya
mendengar pangglan di bawah saya. "Ngga, Angga! kamu dimana sekarang
woi?" Itu suara Panji.
Saya pun mencari sumber suara
itu. Ternyata panji sedang berada di bagian datar tebing tepat di bawah tempat
saya berdiri sekarang. "Di sini Nji, sebelah sini." Saya berseru
sambil melambaikan tangan.
"Heh, kok kamu bisa berada
di situ, tadi lewat sebelah mana sih?" Panji bertanya, rupanya dia juga
mau menaiki tebing tersebut, menuju ke tempat saya berdiri.
"Lewat sebelah kanan Nji,
jangan yang kiri. Ikuti semak yang sudah lumayan terbuka, bekas saya lewati
tadi." Saya pun berseru sambil menunjukan jalan.
Akhirnya setelah bersusah payah
Panji sampai juga di atas, tempat saya berdiri sekarang. "Eh, dimana
sekarang burungnya? Kok di bawah sudah tidak ada." Dia langsung bertanya
tidak sabaran.
"Tadi terbang ke atas situ,
terus langsung menghilang ke balik semak yang itu." Ucap saya sambil
menunjukan tempat burung tadi menghilang.
Tebing di atas kami lumayan
tinggi dan curam. Karena kemiringannya yang benar-benar tegak dan tidak bisa
dipanjat. Akhirnya saya dan Panji yang sudah kepalang tanggung sudah sampai
setinggi ini memutuskan untuk mengambil jalan memutar melewati terasering lahan
penduduk untuk naik ke atas tebing.
Kami memutar cukup jauh. Beberapa
kali melompati terasering untuk naik lebih ke atas. Kami juga berjalan dengan
hati-hati karena takut merusak lahan penduduk yang ditanami singkong dan
kacang-kacangan. Keringat saya sudah sangat deras mengucur. Setengah berlari
saya menaiki terasering tersebut, terlalu bersemangat mungkin.
Sesampainya di terasering paling
atas saya bersitirahat sejenak sambil menunggu Panji yang masih di bawah.
Sambil menghela nafas saya lihat sekeliling, siapa tahu ada jejak burung
tersebut. Tebing dan bukit bagian atas saya sudah benar-benar hutan, dan tidak
bisa dipanjat lagi. Ini adalah titik tertinggi yang bisa saya panjat. Sejauh
mata memandang, saya bisa melihat bukit-bukit hijau, hutan yang sangat rapat
denga pohon yang menjulang tinggi jauh di seberang sana. Di bawah, saya bisa
melihat sungai yang mengalir jernih, juga teman-teman yang sedang hunting foto.
Terlihat lumayan kecil di bawah sana. Sugguh pemandangan alam yang benar-benar
eksotis.
Akhirnya panji sampai juga di
atas. "Bagaimana? Ada burungnya?"
Saya menggeleng. "Ngga ada
Nji, tadi saya lihat burungnya masuk ke dalam semak sebelah situ." Sambil
menunjuk arah "Tapi sepertinya sudah tidak ada keberadaan tanda-tandanya
sekarang. Mungkin sudah terbang saat kita naik kesini tadi."
Ah, setidaknya meskipun tidak
berhasil menemukan burung tersebut, rasa-rasanya keringat dan lelah yang
terkuras saat naik kesini tadi cukup untuk membayar keindahan yang terpampang dengan
sangat jelas di depan saya ini. Saya dan panji sekarang sedang takzim menikmati
karya Tuhan di seberang sana. Dari ketinggian ini, pemandangan hutan dan
bukit-bukit itu benar-benar elok. Belum lagi ditambah pemandangan waduk Sermo
yang mempesona.
Setelah puas memandangi
pemandangan alam yang mempesona di depan kami, akhirnya kami memutiskan turun.
Sedikit di bawah terasering tertinggi, panji kembali bertanya. "eh, di mana
tadi kamu terakhir melihat burung itu Ngga?" Panji kembali bertanya,
rupanya ia masih penasaran dengan burung misterius tadi.
"Di sebelah sana, coba aja
dilempar pake batu". Saya asal menjawab sambil menunjuk arah.
"Lho, kan kamu yang tahu
tempatnya, coba kamu yang lemparin aja." Jawab Panji.
"Benar juga katamu,
baiklah." Ucap saya sambil mengambil batu.
Saya pun melempari tempat
terakhir saya lihat burung misterius tadi dengan batu. Mudah-mudahan burung
tersebut masih di situ dan menampakan wujudnya. Namun hasilnya nihil. Saya pun
mengambil batu lebih banyak lagi untuk melempari area tadi. Lemparan batu kedua
ini belum juga mendapatkan hasilnya. Akhirnya saya ambil lebih banyak batu lagi
untuk lemparan ketiga. Stelah batu yang saya lempar mengenai semak-semak dan
sekitarnya, "Bleber", akhirnya burung tersebut menampakan wujudnya,
rupanya burung tersebut berpindah tidak begitu jauh dari tempat terakhir yang
saya lihat. Dan rupanya burung tersebut merasa terganggu dengan lemparan batu
saya. Saya pun meloncat senang sambil mengepalkan tangan.
Burung tersebut terbang ke arah
seberang dengan anggunnya, terlihat jelas ukurannya yang lumayan besar, mungkin
panjangnya sekitar 45 cm. Ekornya juga terlihat panjang, seperti burung
kadalan. Namun sayapnya berwarna coklat kemerahan. Badannya berwarna gelap,
sepertinya hitam. "Ayo hinggap, hinggap, hinggap!!". Sayapun berdoa
di dalam hati.
Benar saja, burung tersebut
kemudian hinggap di sekumpulan bambu yang menjulang tinggi di seberang sana.
Lumayan jauh memang, tapi masih cukup teramati menggunakan binoculler. Burung
tersebut mendarat begitu anggunnya dengan sayap yang terbentang indah, coklat
kemerahan.
Dari ketinggian ini saya bisa
melihat dengan cukup jelas burung tersebut menggunakan binoculler. Saya dapat
melihat paruhnya yang hitam, kakinya juga hitam. Begitu pula dengan badannya
yang hitam. Namun saya tidak bisa melihat warna iris matanya karena terlalu
kecil. Tapi hal itu tidak mengurangi keindahan mengamati burung tersebut yang
sedang nangkring di pucuk pohon bambu begitu anggunnya. Dari ketinggian ini
saya juga bisa mendengar suaranya, "krak krak" sedikit lebih serak.
Saya dan Panji mengamati burung tersebut sampai benar-benar puas sambil
berdiskusi untuk mengidentifikasinya. Dari ciri-cirinya, burung ini mirip
kadalan. Namun corak warnanya membedakan burung ini dengan kadalan. Dari buku mekinnon
dkk yang pagi tadi saya lihat untuk mengidentifikasi burung Kadalan Birah yang
juga berhasil saya amati, saya masih ingat bahwa di deretan burung-burung pada
halaman tersebut terdapat gambar burung yang ciri-cirinya sama dengan yang
sedang kami amati sekarang. Saya dan panji berkesimpulan kalu burung yang
sedang kami amati sekarang adalah Bubut Jawa.
Sama seperti tadi, burung
tersebut kembali masuk ke balik batang-batang bambu. Namun saya sudah tidak
sepenasaran tadi. Karena saya sudah benar-benar puas mengamati burung tersebut.
Hal ini merupakan hadiah yang benar-benar indah dari Tuhan. Kesempatan yang
benar-benar tak akan terlupakan. Perjuangan yang tidak mudah tadi, merayap
menaiki tebing, menerobos semak-semak. Belum lagi berputar dan menaiki
terasering. Rasa-rasanya harga perjuangan tersebut sangat cukup untuk menikmati
kesempatan seperti ini. Keringat dan lelah yang bercucuran tuntas terbayar
dengan keanggunan Bubut Jawa yang berhasil kami amati.
Ah ya, saya jadi ingat akan film
"The Big Year" yang saya tonton tempo hari. Sebuah film yang rilis
tahun 2011 ini bercerita tentang kompetisi dalam mengamati banyaknya burung di
Amerika Utara dalam jangka waktu satu tahun kalender. Dalam salah satu adegan,
Stu, salah satu pemeran utama dalam film ini yang sudah hampir pensiun dari
kantornya sedang mengadakan rapat dengan lawan bisnisnya. Lawan bisnisnya ini mengoloknya
sambil tertawa "aku belum siap untuk pensiun sehingga aku bisa menghabiskan sisa hidupku untuk 'Birdwatcing' (mengamati burung)".
Lalu stu menjawab dengan dingin "it's
called 'birding', rick". Ya, birding,
atau dapat berarti berburu burung. Dalam hal ini Stu, si tokoh utama lebih suka
menyebut Birding dari pada birdwatching.
Setelah pengamalaman hari ini,
saya setuju dengan pendapat tersebut. Susah payah menaiki tebing, menembus
semak-semak. Berlari-lari kecil, melompat-lompat menaiki bukit. Rasa-rasanya
hal tersebut tidak hanya cukup disebut mengamati, tapi lebih cocok disebut
berburu. Bukan berburu yang membawa senapan kemudian menembaki burung tersebut.
Tapi berburu menggunakan binoculler dan kamera -kalau ada- untuk
mengidentifikasi jenis burung tersebut dan kemudian mendokumentasikannya.
Sebuah rasa pusa dan lega luar biasa ketika berhasil memburu burung target
buruan tersebut. Saya kira istilah 'Birdwatching'
sudah harus diganti dengan istilah 'birding' apabila mengacu perjuangan
untuk dapat mengamati burung yang diinginkan.
Ah, sudah puas mengamati dan
berhasil berburu burung bubut jawa. Saatnya untuk kembali turun. Langit sudah
sangat mendung dan waktu sudah menunjukan pukul 11.45. Jangan sampai tertinggal
makan siang di RPH dan hujan turun sebelum sampai di bawah. Eh, rasanya jalan
turun akan jauh lebih sulit dari pada saat naik tadi...
Kamis, 16 Mei 2013
Mawar Merah
Suatu ketika di negri antah
berantah hiduplah seekor burung. Burung kecil dengan sayap putihnya. Terbang
membelah birunya langit, mengejar kebebasan dan menantang teriknya mentari.
Tiba-tiba pandangannya dialihkan oleh sesuatu yang lebih bercahaya dari
matahari. Dialah bunga mawar putih yang begitu anggunnya bergoyang diterpa
angin. Lembut mengalun menikmati nyanyian alam.”benar-benar cantik” batin Si
Burung dalam hati. Serta merta iapun langsung jatuh hati pada Si Bunga Mawar
Putih. Seketika keberadaan mentari tak lagi penting, dan rasanya dia pun
tak lagi butuh keberadaan rembulan
dimalam hari, karena sekarang ada Si Mawar Putih yang akan selalu menyinarinya,
entah siang ataupun malam.
Secepat kilat ia melesat membelah
udara, tak menghiraukan angin yang meneriakinya. Sayapnya terbentang indah
memamerkan kegagahannya pada Si mawar Putih, tepat mendarat disampingnya.
Mereka pun mulai berkenalan, mengobrol seadanya hingga akhirnya mengalir
seperti air semuanya berjalan tanpa terbendung, hingga lengit berubah
kemerahan. Indah, namun tak cukup indah untuk menggambarkan keadaan hati si
Burung.
Hari-hari seperti itu terus
berlanjut, dari langit kemerahan di ufuk timur hingga berpindah di ufuk barat,
begitu pula ketika rembulan tersenyum manis mencoba menyaingi kemerlap
bintang-bintang di belahan langit sana. Ataupun saat awan mencurah semua
miliknya hingga akhirnya tak mampu melawan teriknya mentari. Semuanya terus
berulang, namun hanya satu yang jelas, bahwa Si Burung dengan setia selalu
menemani, berdiri tegap di samping Si Mawar Putih. Mungkin kini Ia pun sudah
mulai lupa artinya kebebasan terbang di angkasa, karena yang ia ingat sekarang
bahwa ia hanya terbang berputar-putar di dalam hati Si Mawar putih.
Setelah sekian lama semua cerita
berjalan, dan ia hanya memendam saja. Dan sekarang ia tak lagi sanggup menahan
sesuatu yang selalu berteriak-teriak di dalam hatinya, sesuatu yang membuat ia
lupa akan kebebasannya. Akhirnya, dengan mengumpulkan semua keberanian yang
ada, ia pun mengungkapkan semua isi hatinya kepada SI Mawar Putih. Tanpa
tersisa satu tetespun, benar-benar tersampaikan secara lugas. Mungkin inilah
yang dinamakan kekuatan penjelas dari cinta. Kadang sesuatu yang benar-benar
absurb menjadi sangat gamblang dilihat, dan sesuatu yang benar-benar jelas
terkadang menjadi kabur.
Namun semuanya tak berjalan
seperti keinginan Si Burung, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Benar-benar seperti terbang dengan satu sayapnya, menguras energy, dan akhirnya
terjatuh. Entah apa yang menjadi alasan Si Mawar Putih menolak janji cita dari
Si Burung, tapi satu yang pasti bahwa Si Burung benar-benar mencintainya. Tak
peduli cintanya ditolak oleh Si Mawar Putih, namun ia sudah berjanji pada
hatinya bahwa ia akan selalu mencintai Si Mawar Putih, seperti dulu, sekarang,
hingga nanti. Dan ia telah memutuskan untuk tetap terbang dengan satu sayapnya
itu, tulus hanya untuk Si Mawar Putih. Ia tetap datang untuk menemani Si Mawar
putih, tetap setia menemaninya hingga SI Mawar Putih jatuh tertidur. Bener-benar
cantik saat Mawar Putih tertidur dibawah cahaya rembulan.
Hari-hari berjalan sama seperti
sebelumnya. Angin tetap lembut, menjadi penyebab bergantinya musim. Dan
akhirnya hati yang semula kokoh dengan dinding-dinding tebalnya telah runtuh,
atau mungkin iba, tak pernah tau mana yang lebih jelas. Si Mawar Putih pun
berkata pada Si Burung, bahwa ia akan menerima cintanya jika ia mempu
membuktikan seberapa kuatkah cintanya. Mungkin Si Mawar Putih masih belum bisa
melihat kesungguhan Si Burung yang selalu ada di sampingnya, terbang
mengimbangi gemulai lembut geraknya sertiup angin, meski hanya dengan satu
sayap.
Tanpa pikir panjang Si Burung pun
segera terbang menjauh mencari sesuatu untuk pembuktian, sebuah pembuktian yang
benar-benar jelas. Dan akhirnya, ketika mentari hanya tinggal setengahnya saja,
ketika langit sempuna merah. Kepakan sayap itu terdengar lagi, Si Burung
terbang begitu pelannya membawa sesuatu di paruhnya. Si Mawar Putih melihatnya
dengan seksama, melihat apa yang dibawanya. Ternyata hanya sebuah sayatan kecil
bambu, berwarna hijau tua. Si Mawar Putih pun bingung dengan apa yang dibawa,
ia pun tak mampu menahan dirinya untuk bertanya, “untuk apa kau bawakan sayatan
kecil bambu itu, hei Burung?”. Burung pun menjawab dengan dingin, “bukan
tentang apa yang aku bawa, tapi apa yang akan aku lakukan dengan ini untuk
membuktikan cintaku.”
Semuanya berhenti, angin pun
hingga tak mampu menghembus, langit kian merah saja. Semuanya benar-benar
berhenti, mungkin ada seseorang yang dengan jahilnya mematikan waktu. Hingga
akhirnya suara tegas Si burung memecah itu semua. “Aku akan memberikan sayapku
untukmu, hei bidadari kecilku. Agar kau bisa terbang bebas ke langit sana,
menikmati segarnya tanah di ujung sana, menikmati sebuah kebebasan.” Tanpa
tunggu komando si burung segera menyayat sayapnya dengan sayatan bambu yang ia
pegang, tanpa bisa di cegah oleh Si Mawar Putih. Mawa Putih pun kini tersadar,
betapa Buung benar-benar mencintainya dengan setulus hati. Namun itu semua
sudah terlambat, si burung sudah berhadapan dengan kematiannya, dengan senyum
di wajahnya. Si Burung akhirnya berpisah dengan hingarnya dunia, dengan
penatnya hidup, dan dengan sejuknya kecantikan Mawar putih, ia telah kehabisan
banyak darah sebelum ia memberikan kedua sayapnya. Mawar Putih pun menyadari
kesalahannya, ia terlalu bodoh untuk menyadari ketulusan cinta dari Si Burung,
namun itu semua telah terlambat sekarang. Mawar yang tadinya putih kini berubah
menjadi merah karena darah dari Si Burung. Mawar Merah, begitulah ia disebut
sekarang. Lambang dari kekuatan cinta.
Jadi, apakah kita juga akan begitu
bodohnya seperti Mawar Putih, mengabaikan cinta yang beterbaran di sekitar
kita, menganggapnya selintas lalu. Padahal begitu besar cinta yang tidak kita
sadari. Cinta dari seseorang di ujung sana, dari teman-teman dan sahabat, cinta
dari keluarga dan orang tua tentunya, dan cinta dari diri kita sendiri, dan
cinta dari Tuhan pastinya. Bukankah itu semua terlalu berharga untuk kita
lewatkan? Benar-benar amat sangat berharga.
Catatan Pendakian Merbabu Via Selo
Pendakian gunung merbabu kali ini
benar-benar diluar rencana. Berawal dari teman saya, yuda dan diah, yang
melihat foto-foto pendakian saya di gunung Slamet 19-21 April kemarin, kemudian
mereka tidak sengaja melihat foto-foto pendakian saya di Gunung Merbabu. Mereka
merasa tersepona oleh keindahan jalur igir-igir sapi menuju puncak gunung
Merbabu. Ya, saat menuju puncak Merbabu dari basecamp wekas kita akan menjumpai
jalur igir-igir sapi. Dinamai begitu mungkin memang karena bentuknya yang
seperti punggung sapi. Indah memang, kita diajak melewati sebuah jalur pendakian
yang naik dan turun dimana di kanan dan kiri jalur pendakian berupa jurang yang
ditumbuhi rumput-rumput hijau. Apabila dilihat dari puncak Merbabu, jalur
tersebut berbentuk seperti jalur naga yang berkelak kelok dengan warna hijau di
kanan dan kirinya, apalagi saat masih musim-musim penghujan, warna hijaunya
benar-benar mempesona. Akhirnya, mereka yang juga pernah saya antar ke merapi,
meminta saya untuk mengantar mereka ke merbabu. Rupanya keindahan gunung
Merbabu telah membuat mereka penasaran.
Jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian merbabu via Wekas
Jalur pendakian merbabu sebenarnya
tidak hanya lewat wekas (Magelang), tapi bisa juga lewat Selo dan Ampel
(Boyolali). Karena memang gunung Merbabu ini terletak di kabupaten Magelang dan
Boyolali. Tapi jalur pendakian yang lebih familiar menjadi pilihan pendakian
adalah jalur pendakian via wekas dan via selo. Selama ini saya melakukan
pendakian Merbabu via Wekas. Sebenarnya ada positif dan negatifnya melakukan
pendakian lewat Wekas dan Selo. Dari informasi yang saya dapat dari pendaki
yang saya temui ketika berada di puncak Merbabu ketika saya melakukan pendakian
lewat wekas Oktober tahun lalu, sisi positif dari pendakian lewat jalur Wekas
adalah adanya sumber mata air di pos II dan treknya yang tidak begitu menanjak.
Namun jarak pos II ke puncak masih terlalu jauh, lebih dari separuh perjalanan
dari basecamp-puncak. Sedangkan jalur pendakian lewat Selo tidak terdapat
sumbermata air seperti lewat wekas, namun pemandangan yang disajikan lewat
jalur ini berbeda dengan igir-igir sapi seperti pada jalur pendakian via wekas.
Apabila saya lihat dari puncak Merbabu, pemandangan jalur pendakian via Selo
berupa bukit-bukit hijau yang berupa padang sabana dengan hiasan berupa
pohon-pohon edelweis. Seperti bukit-bukit di film Teletubies. Apalagi dengan
gunung Merapi menjulang tinggi disebelah Selatan. Sungguh sangat-sangat
eksotis. Saya dibuat sangat penasaran oleh pemandangan tersebut. Oleh karena
itu, pada pendakian kali ini saya memutuskan untuk melakukan pendakian Merbabu
via Selo.
Jadwal pun disusun. Saya memutuskan
untuk melakukan pendakian pada tanggal 11-12 Mei, berjarak tingga minggu dari
pendakian saya di gunung Slamet. Sepertinya jarak tersebut cukup untuk
memulihkan fisik, juga dompet. Undangan pendakian ini pun mulai saya sebar.
Saya mengajak teman-teman pendakian Merapi tahun lalu (Ucup, RB, Wahid, Rahmat,
Asro, Bara, Ijul, Ida), karena memang saya sudah terlanjur janji untuk
mengantar mereka ke gunung Merbabu. Selain itu saya juga mengajak personil
pendakian Slamet kemarin Panji, Atut, Arif, dan Annas. Saya juga mengajak
beberapa teman lain seperti Hasan, jalu, dan Tarkim. Dari kesemuanya itu, hanya
sembilan saja yang ikut dalam pendakian ini, yaitu Yuda, Diah, Atut, Rahmat,
Ida, Asro, Hasan, RB, dan Wahid.
Tantangan untuk saya karena tidak
seperti pendakian Merapi tahun lalu dimana masih ada ucup yang menghandel
pendakian, kali ini saya benar-benar sendiri menghandel pendakian dengan peserta
yang masih amatir. Selain itu, saya juga belum pernah melakukan pendakian lewat
jalur selo ini yang terkenal banyak terdapat percabangan. Waktu dua minggu saya
kira cukup ntuk melakukan persiapan pendakian ini.
Seminggu sebelum dilakukan pendakian,
perisapan-persiapan pendakian dimatangkan. Persiapan dalam melakukan pendakian
gunung sangat mutlak hukumnya. Terutama untuk para leader. Persiapan tersebut
meliputi tujuan, waktu pendakian, anggaran keuangan, peserta, transportasi,
perencanaan di lapangan, juga pelaksanaan di lapangan. Tujuan meliputi mencari
referensi tentang gunung yang akan dituju lengkap dengan peta gunung dengan
jalur pendakiannya, letak geografis juga adat istiadatnya. Waktu pendakian
meliputi waktu dilakukannya pendakian serta estimasi waktu. Anggaran keuangan
meliputi range-range pengeluaran untuk pendakian, biasanya dibagi untuk
kebutuhan individu dan kelompok. Peserta pendakian harus jelas, ini untuk
memudahkan menyusun rencana dilapangan dan transportasi. Perencanaan dilapangan
meliputi jadwal yang terperinci dari jam ke jam pada jalur pendakian serta
menentukan tempat untuk mendirikan tenda. Peralatan dan logistik yang akan
dibawa juga perlu diperhatikan.
Akhirnya waktu pendakian yang telah
ditetapkan datang juga. Sabtu, 11 Mei 2013. Sesuai dengan waktu yang
disepakati, peserta pendakian berkumpul di kost saya pukul 08.00. Atut adalah
yang pertama datang, telat beberapa menit. Namun ia hanya mampir sebentar,
kemudian pergi lagi untuk mencari sarapan. Setelahnya RB datang, ia marah-marah
karena peserta pendakian yang lainnya juga belum datang, padahal ia merasa
sudah telat. Ya, beginilah potret negeri kita, tepat waktu merupakan komoditi
yang langka, saya sendiri juga mengakui itu. Setelahnya saya tak begitu ingat
siapa lagi yang datang, tapi sebelum jam sembilan semua peserta sudah
berkumpul.
Setelah itu saya, Hasan, Asro, dan
Wahid mencari penyewaan perlengkapan yang belum ada seperti tenda dome, kompor,
beberapa SB, tas carrier, dan matras. Kami mulai menemui kendala. Rupa-rupanya
libur panjang akhir pekan ini benar-benar dimanfaatkan oleh banyak orang untuk
melakukan kegiatan diluar. Hal tersebut berdampak pada laris manisnya penyewaan
alat-alat kegiatan outdor. Saat kami mendatangi penyewaan semesta di utara
Peternakan UGM semua tenda dome sudah diboking jauh-jauh hari. Setelah
berputar-putar akhirnya kami mendapatkan tenda dome di penyewaan merapi, timur
perempatan concad.
Kami menyewa tenda dome kapasitas enam
dan kapasitas empat. Kendala belum selesai sampai disitu. Tenda dome yang
tersisa benar-benar dalam keadaan yang mengenaskan. Untuk yang kapasitas empat
masih lumayan ada rain covernya, meskipun dengan frame yang seadanya. Sedangkan
untuk kapasitas enam, tidak terdapat rain cover dengan frame yang benar-benar tidak
manusiawi. Ditambah lagi dengan resleting pintu yang sudah rusak. Namun, dari
pada tidak sama sekali akhirnya kami menyewa tenda dome tersebut.
Setelah packing dan mempersiapkan
semuanya, pukul 10.30 kami bersiap-siap berangkat menuju basecamp pendakian
merbabu di Selo, Boyolali. Jadwal ini jauh melenceng dari target, yaitu
berangkat pukul 09.00. Cuaca sangat panas.
Untuk sampai ke Selo, kami mengambil jalur lewat magelang, kemudian
menuju ke ketep pass. Dari ketep pass berbelok ke kanan, menurun menuju Selo.
Menurut informasi salah seorang teman (sebut saja Jalu), jalan Blabak-Ketep
Pass sedang dalam perbaikan. Hal tersebut pasti mengakibatkan kemacetan. Oleh
karena itu kami mengambil jalan alteratif, lewat Muntilan. Tepatnya lewat jalan
di samping klenteng muntilan, terus ke utara mengikuti jalan menuju ke arah
Ketep Pass.
Pemberangkatan menuju basecamp
Kami menggunakan teransportasi sepeda
motor untuk menuju basecamp merbabu. Ada lima motor yang digunakan. Saya
berboncengan dengan hasan, kemudian rahmat dengan atut, yuda dengan diah, asro
dengan ida, dan RB dengan wahid. Semua anggota laki-laki membawa tas carrier,
kecuali asro. Jadi total kami membawa enam tas carrier dan empat daypack.
Lumayan sulit untuk membawa barang-barang tersebut menggunakan sepeda motor.
Terpaksa anggota perempuan harus bersusah payah menggendong tas carrier yang
tinggi-tinggi tersebut.
Perjalanan dari kost saya menuju jalan
magelang lumayan macet. Lagi-lagi kami mengambil jalur alternatif lewat jalan
palagan untuk menghindari kemacetan di perempatan jombor. Memasuki kota
Muntilan, kemacetan berderet sangat panjang. Terutama dari arah timur, arah
kami. Rupanya sebelah ruas jalan sedang diperbaiki. Sepeda motor kami meliuk
mencari celah untuk bisa menerobos kemacetan. Cukup susah dengan barang bawaan
kami yang banyak. Menjelang masuk jalan searah kota muntilan kami bisa keluar
dari kemacetan. Di jalan samping klenteng Muntilan kami berbelok ke utara.
Namun rupanya yuda dan diah masih terjebak di kemacetan dan tertinggal di
belakang. Setelah di tunggu sekian lama di persimpangan jalan mereka tak
kunjung muncul juga. Rupanya mereka sudah lurus melewati persimpangan. Akhirnya
lewat telefon saya menyuruh mereka menuju lampu merah jalan searah dari arah
magelang, untuk kemudian berbelok ke utara, berkumpul disana. Setelah cukup
rusuh akhirnya kami kembali berkumpul lagi. Perjalanan pun kembali dilanjutkan.
Jalanan menuju ketep pass sudah mulai
nenanjak, bahkan di beberapa tempat sangat menanjak. Perlu perjuangan keras,
karena kami membawa barang yang tidak sedikit dan ringan. Kemudian dari ketep
pass, jalanan menurun menuju selo. Namun, jalanan kembali menanjak lagi.
Mendekati kota selo jalanan sudah cukup datar, hanya berkelak-kelok lumayan
banyak. Kami berkendara di antara gunung merapi dan merbabu, melewati lembah diantara
dua gunung ini. Namun sayang, cuaca tidak begitu cerah, berkabut. Padahal jika
cerah, pemandangan akan sangat menajubkan. Hawa dingin sudah mulai menusuk
kulit.
Setelah melewati kota kecamatan Selo, mengikuti
plang ke arah basecamp kami naik melewati jalan yang curam. Jalannya
benar-benar ekstrim dengan kemiringan yang amat sanyat. Belum lagi dengan kabut
yang menghalangi jarak pandang. Jalanan lumayan bagus, hanya di beberapa titik
perlu perjuangan untuk melewatinya. Dengan kabut yang semakin pekat dan tidak
tahu arah, kami pun tersasar beberapa kali. Dan beberapa kali juga harus
bertanya kepada penduduk setempat. Mendekati basecamp tiba-tiba hujan turun
sangat deras. Kebetulan ada ibu-ibu yang sedang bersih-bersih di salah satu
rumah. Kami pun memutuskan untuk berteduh sejenak dirumah tersebut. Si ibu,
dengan keramahan khas pedesaan mempersilahkan kami masuk. Tanpa malu lagi kami
pun masuk, bersepuluh memenuhi rumah tersebut. Hujan yang tak kunjung reda,
akhirnya kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Si ibu sudah lama masuk
ke dalam rumah, sebenarnya kami merasa tidak enak hati menjajah rumah orang,
tapi apa mau dikata, hujan turun begitu derasnya. Setelah hujan sudah cukup
reda, karena sudah terlalu lama menumpang di rumah ibu tersebut, kami
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menggunakanb mantol.
Jalanan sangat menanjak, apalagi
dengan gerimis dan kabut yang sangat tebal. Beberapa kali kami sepeda motor
yang kami tumpangi tak cukup tenaga untuk menanjak. Sehingga, teman-teman
pembonceng harus berjalan mendaki bukit. Udara sudah sangat dingin, apalagi
dengan gerimis yang belum juga reda. Setelah perjuangan tersebut, pukul 14.30
tiba di basecamp. Basecamp pendakian merbabu via selo ada dua. Di bawah dan
atas. Tempatnya lumayan luas dan bagus. Walaupun tidak bisa dibandingkan dengan
basecamp Slamet via Bambangan yang benar-benar kelas VIP tentunya. Saat kami
tiba, basecamp sangat ramai, separuh sudah turun dan separuh lagi akan naik.
Rupanya efek liburan akhir pekan ini benar-beanr dimanfaatkan dengan baik untuk
mendaki gunung merbabu.
Setelah sholat dan mempersiapkan
semuanya, pukul 15.40 kami pun bersiap untuk naik. Cuaca tadi sudah mulai
cerah, namun tiba-tiba hujan sangat deras lagi. Setelah sudah lumayan reda
kembali kami naik. Begituah cuaca di gunung, benar-benar tidak bisa diprediksi.
Sangat fluktuatif, dengan segala kemungkinan. Karena itulah, gunung itu bukan
tempat untuk main-main, bukan pula untuk para pendaki karbitan. Butuh persiapan
entah itu fisik maupun mental dari setiap pendaki. Gunung bukan tempat
rekreasi, jadi jangan pernah meremehkan gunung. Oleh karena itulah pendakian
gunung merupakan salah satu olahraga yang berbahaya. Gunung adalah tempat
orang-orang gila, begitu kata RB. Mengahbiskan uang, tenaga, waktu, hanya untuk
mendaki dan turun lagi. Hanya logika gila yang bisa memahaminya. Tapi, sekali
saja kalian berkunjung, mencumbu sensasinya, maka dijamin kalian pasti
ketagihan. Begitu pula dengan saya. Karena buat saya, gunung mengajarkan saya
banyak hal, yang tidak ada di kota, di kampus, atau dimanapun. Dan saya rasa
harga itu pantas untuk mendapatkan pengalaman hebat di gunung.
Sebelum pendakian, seperti biasa saya
akan meneriakan kode etik pegiat alam. (1) TIDAK MENGAMBIL APAPUN KECIALI
GAMBAR (2) TIDAK MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK (3) TIDAK MEMBUNUH APAPUN
KECUALI WAKTU (4) TIDAK MEMBAKAR APAPUN KECUALI SEMANGAT. Memang kami ini hanya
pendaki amatir, tapi bukan berarti kami pendaki karbitan yang tak bisa
menghargai alam yang hanya mendaki untuk wah-wah an saja mengikuti tren. Sebisa
mungkin kami berusaha untuk menghargai dan menjaga alam, dimulai dari diri
sendiri.
Berbekal dengan peta dari basecamp dan
catatan informasi yang saya kumpulkan jauh-jauh hari kami pun berangkat naik.
Berbeda dari jalur pendakian gunung-gunung lainnya di jawa tengah yang harus
melewati lahan penduduk sebelum memasuki hutan, pada jalur pendakian gunung
Merbabu via selo tidak terdapat lahan penduduk. Setelah melewati gerbang
pendakian pendaki langsung diajak memasuki hutan. Di
sekitar gerbang terdapat camping ground. Pada jarak
800 meter dari pintu masuk jalur pendakian akan ditemui sebuah persimpangan.
Jalur kiri (tanjakan) merupakan jalur pendakian, sedangkan jalur kanan (jalur
menurun) adalah jalur menuju daerah jurang warung yang dapat digunakan sebagai
lokasi birdwatching.
Jalur pendakian cukup landai, tidak
terlalu terjal. Kita dimanjakan dengan keindahan hutan pinus. Namun, hujan yang
baru saja reda cukup menyulitkan medan pendakian. Beberapa kali kami
mendapatkan bonus, yaitu jalan yang datar, tidak menanjak. Berdasarkan catatan
informasi yang saya kumpulkan, terdapat banyak percabangan untuk menuju pos I.
namun, menurut saya, percabangan tersebut tak begitu kentara, karena jalur
pendakian sudah benar-benar jelas. Jadi kecil kemungkinan
percabangan-percabangan tersebut menyesatkan para pendaki.
Tidak begitu jauh dari basecamp, masuk
lebih dalam ke hutan pinus, kami dusuguhi pemandangan eksotis. Yaitu segerombolan
burung sepah gunung dengan warnanya yang merah menyala. Segerombolan burung
sepah gunung tersebut terbang di antara pohon-pohon pinus di dekat jurang, atau
di kiri jalur pendakian. Sepertinya mereka tidak merasa malu dengan kami, atau
justru malah memberi semangat untuk kami. Beberapa kali juga kami melihat
lutung di beberapa pohon, meskipun letaknya jauh kedalam hutan.
Hutan pinus di jalur pendakian merbabu
via selo dengan jalur via wekas sangat berbeda. Pada jalur pendakian selo hutan
pinusnya lebih rapat dan bagus. Setelah jauh lebih kedalam hutan pendaki juga
akan disuguhi hutan heterogen yang sedikit mirip dengan gunung Slamet meskipun
dengan vegetasi yang lebih renggang dan tidak terlalu tua. Namun pemandangannya
tak kalah indah dengan pemandangan gunung Slamet. Banyak sekali terdengar kicau
burung, beberapa kali saya dapat melihat burung tersebut, meskipun tak bisa
untuk mengidentifikasinya.
Saat naik gunung, kunci nya adalah
pengaturan nafas dan bagaimana kemampuan tubuh beradaptasi dengan keadaan
gunung. Sebenarnya sudah saya katakan sebelumnya, bahwa untuk pendakian ini
mereka harus mempersiapkan fisik, setidaknya dengan joging. Dengan joging
sebenarnya kita bisa berlatih untuk mengatur nafas dan juga mempersiapkan
ketahanan tubuh. Namun sayangnya teman-teman pendakian ini tidak melaksanakan
nasehat saya ini. Teman-teman anggota pendakian mulai beradaptasi dengan
keadaan gunung, karena memang mereka tak terbiasa naik gunung. Ida dan diah
mulai kepayahan, montain sicknes mulai menyerang mereka. Pusing dan mual. Asro
yang memang hanya membawa daypack kemudian berinisiatif untuk membawa daypack
Ida, sungguh perbuatan yang sangat mulia.
Kelompok pendakian terbagi menjadi
dua. Kelompok pertama terdiri atas rahmat, RB, hasan, dan Wahid. Sedangkan
kelompok dua terdiri dari saya, asro, yuda, atut, diah, dan ida. Seperti biasa
saya bertugas sebagai sweeper. Kelompok satu dan dua tidak berjarak terlalu
jauh, seperti yang saya wanti-wanti sebelumnya. Karena memang banyak
percabangan -meskipun cukup mudah untuk membedakan mana yang jalur penduduk
mana yang jalur pendakian- dan juga masih kurangnya pengalaman naik gunung.
Jadi sebisa mungkin kelompok masih menjadi satu.
Pukul 17.00 akhirnya kami sampai di
pos I, Dok Walang. Cuaca masih cukup cerah sehingga belum begitu membutuhkan
penerangan. Kondisi fisik sudah mulai beradaptasi meskipun beberapa teman masih
juga kepayahan. Pos yang berupa sebidang tanah
ini berada pada ketinggian ± 2190 m dan masih berada pada zona hutan gunung
sehingga pemandangannya masih berupa pohon-pohon yang padat. Pos I umumnya
digunakan untuk tempat berisitirahat sejenak. Pelataran Pos I cukup
luas, bisa mendirikan 3-4 tenda.
Pos I, Dok Walang |
Kami istirahat 10 menit di pos I ini.
Kelompok I dan II kembali berkumpul. Dari pos I perjalanan kembali dilanjutkan.
Dari pos I ini sudah tidak ada jarak antara kelompok satu dan dua, kami
berjalan bersama-sama. Hanya saja urutan jalannya masih tetap sama, karena
memang jalur hanya bisa dilewati oleh satu orang saja. Dari pos I jalan sangat
landai, banyak sekali jalan bonus yang hanya memutari bukit dengan kanan jalur
pendakian adalah jurang.
Setengah jam berjalan, jalan mulai
menanjak. Sepanjang perjalanan di isi dengan candaan-candaan untuk meringankan
lelah yang mulai terasa. Yuda sekarang membawa daypack diah, karena memang diah
sudah terlihat sangat lelah. Ya begitulah kalu membawa pacar naik gunung, harus
bertanggung jawab. Suasana sudah mulai gelap namun kami sudah mulai keluar dari
hutan.
15 menit kemudian kami sampai di
tikungan macan, pukul 17.45. Gerimis mulai datang, karena kabut sedang turun
sepertinya. Di tikungan macan ini kami sedikit tertipu. Kondisi fisik yang
sudah melemah dan konsentrasi yang menurun sehingga kurang jeli dalam melihat
plang. Sebenarnya di plang tersebut tertulis pos II masih 1 KM lagi, namun kami
mengira tempat ini adalah pos II. Kami istirahat sebentar di pos II ini.
Mempersiapkan jas hujan dan senter. Pukul 1755 kami melanjutkan perjalanan.
Tikungan Macan
Dari tikungan macan ini jalur
pendakian sudah mulai menanjak curam. Teman-teman pendakian terlihat sudah
mulai kewalahan menahan lelah yang mendera. Gerimis sudah lama reda, di
gantikan pemandangan bintang yang benar-benar aduhai. Bintang di bumi, dan
bintang di langit. Bintang di bumi adalah lampu-lampu kota yang sangat padat
dengan warna kekuningannya, seperti butiran emas. Benar-benar indah. Bintang di
langit adalah bintang yang sebenarnya, jauh lebih indah tentunya. Ada banyak
sekali konstelasi yang saling menumpuk membentuk sungai. Benar-benar indah.
Cukup untuk mengisi ulang energi kami.
Suasana semakin gelap saja, jalur
pendakian juga semakin curam. Beberapa teman pendakian juga sudah mulai
mengeluh. Oksigen yang semakin tipis di ketinggian yang semakin tinggi ini,
belum lagi saat malam hari kita para manusia berbut oksigen dengan
tumbuhan-tumbuhan. Mereka mengeluhkan pendakian malam ini. Padahal menurut
saya, lebih baik pendakian malam dari pada pendakian siang untuk gunung-gunung
dengan hutan yang tidak terlalu lebat seperti merbabu ini. Walaupun udara tipis
tapi entah kenapa saya lebih merasa lebih hemat energi, selain juga saat
pendakian malam kita tidak bisa melihat trek yang bisa membuat utus asa.
Pukul 18.40 kami sampai di area kamping
di bawah pos II. Di sini kami istirahat cukup lama untuk mengisi perut, karena
memang perut sudah berontak sedari tadi. Suasana sudah sangat gelap, bahkan
bertambah satu lagi yang drop fisiknya, rahmat. Berbeda dengan rahmat, atut
malah masih sehat-sehat saja. Benar-benar supergirl si Atut ini, padahal
sebelum memulai pendakian ini dia baru pulang dari bandun. Pantas saja dia bisa
mencapai puncak slamet. Di tempat ini terlihat pemandangan yang sangat
menajubkan, bintang terlihat jelas, karena memang sudah keluar dari hutan. Asro
juga sempat melihat beberapa kunang-kunang.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Kini
Ida dan diah sudah membawa tasnya sendiri. Karena jalan yang semakin curam akan
sangat sulit kalau harus sambil membawa daypack di depan. Naik ke atas sedikit
ternyata kami menemui plang pos II, Pandean. Rupanya ini pos II yang
sebenarnya. Saya benar-benar frustasi karena rupanya perjalanan masih sangat
jauh sementara jalan semakin curam, ditambah lagi sebagian besar anggota
pendakian sudah sangat lelah. Fisik sudah sangat terkuras. Untung saja cuaca
sangat cerah dan cukup untuk menghibur jiwa-jiwa lelah ini.
Dalam perjalanan kami berjumpa dengan
keluarga pendaki. Yakni terdiri dari dua orang bapak-bapak, seorang ibu-ibu dan
dua orang anak kecil satu anak laki-laki yang masih TK dan satu lagi anak
perempuan yang mungkin sudah SD kelas 4 atau 5. Keluarga ini berasal dari
jakarta, sungguh keluarga yang benar-benar hebat. Esok lusa saya juga ingi
punya keluarga seperti itu. Berkeliling dari sati gunung ke gunung lainnya,
dari satu taman nasional ke taman nasional lainnya, ngetrip bersama orang-orang
tercinta. Esok lusa kawan, jika kalian atau kenalan kalian mendaki sebuah
gunung dan bertemu keluarga pendaki, boleh jadi itu keluarga saya kawan.
Beberapa kali kami harus beristirahat
untuk mengambil nafas. Jalan sangat curam. Tanah yang basah sangat menyulitkan
pendakian. Bahkan Wahid sedari basecamp tidak menggunakan alas kaki karena
sandalnya (swallow) tidak memungkinkan untuk di pakai di jalur ini. Semua
anggota sudah sangat lelah, namun perjalanan harus tetap dilanjutkan, karena
memang masih sangat jauh. Jalur sangat terjal dan curam, butuh perjuangan
ekstra untuk menaklukannya. di sini kami sudah mulai menemui pohon-pohon
edelweis di kanan dan kiri jalur pendakian.
Akhirnya sekitar pukul 20.15 kami
sampai di pos III, Batu Tulis. Pos III adalah tempat terbuka yang cukup luas,
di tengahnya terdapat sebuah batu yang cukup besar. Pos
III berada pada ketinggian 2590 mdpl. Pemandangan di pos ini sebenarnya
sangat indah, namun sayang suasana sangat gelap dan lelah yang semakin
mendekati puncaknya memaksa kami untuk mengabaikannya. Banyak terdapat
Edelweiss yang tumbuh tinggi dan besar sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Pemandangan dari pos III cukup lapang dan dengan cuaca yang
cerah kami dapat melihat merapi di seberangnya. Setelah pos III ini jalan
terlihat sangat menanjak, namun ditumbuhi banyak sekali pohon edelweis. 200
meter dari pos III dapat dijumpai sebuah nisan memoriam alm. Heri Susanto,
seorang pendaki asal Surabaya yang mengalami kecelakan pendakian pada tahun
1997.
Dari pos ini perjalanan kembali
dilanjutkan. Saya sekarang tidak lagi menjadi sweeper. Saya berjalan di depan
sendiri. Selain karena untuk memilih jalur yang lebih nyaman untuk didaki tapi
juga karena saya sendiri sudah mulai putus asa dan tidak sabar apabila terus di
belakang. Dan saya takut kalau tidak ada yang menyemangati di depan pendakian
akan lebih lama lagi. Jalur setelah batu tlis memang benar-benar terjal dan
medan yang susah. Untung saja hujan sudah lama berhenti, dan medannya sudah
lumayan kering. Sehingga medan terjal dari tanah ini tak begitu becek.
Jalur pendakian sangat terbuka, bisa
saya bayangkan apabila mendaki siang hari. Pasti sangat panas dan menguras
energi. Hawa dingin sudah sangat menggigit kulit, belum lagi bercampur dengan
keringat yang begitu lembab. Keadaan yang gelap membuat kami tak begitu
memperhatikan trek sehingga tak begitu membuat putus asa. Jalanan yang sangat
terjal ini memaksa kami merangkak dan sering sekali berhenti.
Saya selalu menjaga jarak agar tidak
terlalu jauh dari teman-teman di belakang. Sejak batu tulis saya juga mengalah
untuk membawa tenda dome yang dari bawah tadi bergantian di bawa RB dan Hasan.
Saya yakin mereka akan sangat kesusahan membawa tenda dome ini dengan medan
yang amat susah ini. Saya sendiri juga merasa kesusahan, belum ditambah tas
carrier yang saya bawa terasa semakin berat saja. Saya sendiri juga sudah amat
lelah, namun pendakian harus terus dilanjutkan menuju tempat yang nyaman untuk
membuat tenda dome.
Setelah melewati bukit yang sangat
terjal dengan jarak yang lumayan jauh akhirnya kami sampai di pos IV, Sabana I.
saya lupa jam berapa yang pasti sudah sangat malam. Sabana I berada pada ketinggian ±2770 mdpl. Saban Vegetasi
di sabana I ini berupa padang rumput yang sangat luas dengan beberapa pohon
edelweis yang menjulang tinggi. Bukit-bukit hijau seperti bukit teletubies akan
sangat indah apabila siang cerah datang.
Awalnya
saya berniat untuk membangun tenda dome disini, mengingat kondisi teman-teman
yang sudah saangat kepayahan dan putus asa. Namun, ketika saya berputar-putar
mencari lokasi untuk membuat dome saya tidak menemukan tempat yang cocok.
Beberapa tempat yang cocok sudah ramai dipakai oleh pendaki lainnya. Tempat
yang tersisa adalah padang luas yang tak terlindung apapun dengan tanah yang
tidak begitu rata. Hal ini sangat riskan untuk membangun dome. Karena apabila
badai datang, tidak ada yang bisa melindungi dome, belum lagi tanah yang miring
akan sangat mengganggu kenyamanan dan sangat mungkin menjadi jalan air ketika
badai atau hujan datang.
Akhirnya
saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pos V, Sabana II. Sabana I
dan Sabana II terpisah oleh sebuah bukit yang lumayan tinggi. Apalagi dengan
kondisi fisik yang sudah sangat lemah. Namun saya terus memaksa semangat
teman-teman. Meskipun dengan amat sangat pelan dan sabar saya terus
menyemangati mereka. Saya menunggu dan menjaga jarak dengan teman-teman
dibelakang saya. Ketika sudah terlalu jauh saya berhenti sambil terus meneriaki
mereka. Menyemangati mereka tentunya. Stelah break sebentar, sebelum mereka
kembali berjalan saya berjalan terlebih dahulu untuk mencari jalan.
Bukit
yang harus dilewati sangat terjal dan curam dengan medan tanah yang apabila
hujan pasti sangat licin. Hanya beberapa langkah sudah break lagi. Berkali-kali
saya meneriaki teman-teman agar tetap semangat dan tidak salah jalur, karena
memang ada banyak jalur, meskipun berujung pada jalur yang sama namun memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda. Saya selalu berusaha untuk mencari jalan dengan
tingkat kesulitan yang lebih mudah dibanding yang lainnya.
Perjuangan
yang ekstra keras. Berkali-kali break. Berkali-kali menghela nafas.
Berkali-kali memandang langit mengais-ngais semangat. Bermodalkan cahaya senter
yang kian meredup, semeredupnya kondisi fisik yang semakin kelelahan. Akhirnya
saya berada di atas bukit, tinggal turun untuk menuju pos V, sabana II. Di sini
saya duduk menatap ke belakang, menikmati dinginnya malam sambil
berteriak-teriak menyemangati teman-teman yang masih dibelakang. Mengabarkan
kalau sabana II sudah tidak jauh lagi. Sebatang coklat terasa begitu nikmatnya
sambil menunggu teman-teman.
Akhirnya
senter dari RB sudah terlihat, ia yang pertama tiba setelah saya, kemudian
diikuti oleh atut. Kami bertiga pun membuka perbekalan makanan ringan untuk
menahan perut yang sudah sangat kelaparan. Kemudian hasan, rahmat, asro, dan
ida datang. Setelah mereka istirahat sebentar kemudian saya mengajak RB dan
Asro menuju Sabana II untuk membangun dome sambil yang lain menunggu wahid,
serta pasangan Yuda dan Diah yang sudah sangat kepayahan.
Kami
bertiga pun turun terlebih dahulu ke Sabana II. Di sabana II sudah terdapat
banyak pendaki. Pukul 10.30 kami sampai di sabana II. Sama seperti sabana I di
sabana II juga merupakan padang rumput yang sangat luas dengan pohon edelweiss
yang menjulang tinggi. sabana II terletak pada ketinggian ±2860 mdpl. Di sini
saya menemukan tempat kosong untuk membangun tenda dome yang kami bawa. Cukup
untuk dua tenda dome dengan kapasitas 4 dan 6, tepat di samping sekumpulan
pohon edelweiss. Sebenarnya saya berniat untuk membangun tenda dome di
jemplongan, seratus meter dari sabana II, tempatnya lebih terlindung. Namun
daya pikir, teman-teman lain sudah sangat kelelahan dan tidak kuat melanjutkan
perjalanan. Saya kemudian meminta RB dan Asro untuk mempersiapkan tenda dome,
karena saya harus naik kembali menjemput teman-teman lain untuk membawakan tas
diah dan ida yang memang sudah sangat kelelahan. Setengah berlari saya menuju
teman-teman yang saya tinggal tadi.
Akhirnya
kami semua sudah berkumpul di Sabana II. Saya mempersiapkan alat-alat untuk
membangun tenda dome dan alat memasak. Sejujurnya saya merasa sangat kerepotan,
karena disini hanya saya sendiri yang sudah terbiasa untuk membangun tenda dome
dan memasak dengan peralatan gunung. Tahun lalu ketika mendaki gunung merapi
bersama mereka ada ucup yang juga sudah berpengalaman dalam hal pendakian
gunung, sehingga saya tidak sendiri menghandel semuanya. Apalagi pendakian
Slamet kemarin, sebagian peserta sudah cukup berpengalaman.
Namun,
namanya juga belajar dan mencari pengalaman. Mungki lewat pengalaman ini akan
menambah pengalaman temanteman pendakian ini dalam mendaki gunung. Sambil
menyiapkan peralatan, saya juga sambil mengajari mereka sedikit demi sedikit
bagaimana menggunakan alat-alat memasak dan membangun tenda dome.
Perempuan-perempuan memasak dan laki-laki membangun tenda dome.
Akhirnya
tenda dome berkapasitas 4 untuk para perempuan sudah jadi. Saya masih cukup
repot bolak-balik membantu memasak dan membangun tenda dome kapasitas 6. Si RB
marah-marah karena Rahmat malah istirahat di tenda dome kapasitas 4 yang sudah
jadi, bukannya membantunya membangun tenda dome kapasitas 6. Mungkin rahmat
sudah merasa sangat kelelahan. Saya sendiri sudah merasa sangat kedinginan.
Celana pendek tanpa jaket dan embel-embel kehangatan lainnya. Beberapa kali
saya bergetar menahan dingin yang sangat menusuk. Tapi, tenda dome kapasitas 6
ini harus segera dirampungkan.
Dalam
kegiatan pendakian gunung memang benar-benar mengajari kita untuk bekerja di
dalam tim. Menekan ego masing-masing. Bagaimanapun tim adalah satu. Harus
saling membantu satu sama lain. Susah senang bersama. Di gunung sifat dasar
manusia, egoisme, benar-benar diuji. Saya mengatakan sifat dasar karena memang
begitulah yang namanya sifat egoisme. Manusia terlahir berasal dari egoisme,
sampai kapanpun sifat itu akan terus melekat, tinggal bagaimana kita
mengelolanya saja. Dan di gunung kita dipaksa belajar untuk mengelola sifat
yang satu ini.
Setelah
bersusah payah akhirnya kedua tenda dome telah berhasil di dirikan -terutama
tenda dome kapasitas 6 yang berbentuk absurb-. Saya kemudian melanjutkan untuk
membantu kegiatan masak memasak. Malam ini kami memasak sup dan nasi goreng. Di
gunung juga kita di ajari untuk bertahan hidup, meskipun dengan kemampuan
memasak yang pas-pasan. Urusan masak-memasak ini, meskipun kadang rasanya aneh tapi
tetap saja nikmat ketika di atas gunung bersuhu ekstrim dengan tingkat
kelelahan maksimal, bersama teman-teman pula. Dan yang paling romantis adalah
gemintang yang setia menunggui kami di atas sana, cuaca sangat cerah kawan.
Setelah
puas memasak dan RB berhenti mengomel kami bersiap untuk istirahat. Bintang
masih bertabur memenuhi langit kami. Tenda dome kapasitas empat diperuntukan
untuk para perempuan karena memang tenda ini jauh lebih nyaman dibanding yang
kapasitas 6. Saya dan yuda juga ikut bersama mereka. Sedangkan yang lain (RB,
Wahid, Hasan, Asro, dan Rahmat) harus mau mengalah berada di tenda dome
kapasitas 6 dengan penutup pintu yang macet. Udara masih sangat dingin.
12 Mei
2013
Pukul
01.30 dinihari saya terbangun karena hujan badai yang tiba-tiba datang.
Begitulah memang yang namanya gunung. Cuaca bisa berubah dengan sangat cepat.
Tak pernah bisa diprediksi. Dari cerah seketika menjadi badai. Namun, tenda
dome kapasitas 4 ini masih cukup kuat dan ampuh menahan hujan badai ini. Yang
saya khawatirkan adalah tenda dome kapasitas 6 tempat teman laki-laki dengan
pinti yang tidak bisa ditutup.
Benar
saja, RB sudah berteriak mengomel. Meminta saya membantu, namun apa daya saya.
Mantol sudah saya gunakan untuk menutupi tenda dome kapasitas 4 ini, dan rasanya
saya juga sudah terlalu nyaman di tenda dome ini. Saya benar-benar merasa
bersalah ketika tidak bisa melakukan apa-apa. Rasanya keegoisan saya ini telah
membatu dan memaksa saya untuk tidak melakukan apa-apa. RB semakin keras
mengomel di seberang sana.
Pukul
02.30 tenda dome kapasitas 6 ini sudah mulai basah, namun hanya bagian ujungnya
saja. Terutama di bagian yang saya tempati. Saya kemudian duduk untuk
menanyakan kondisi penghuni dome kapasitas 4 ini. Rupanya mereka semua masih
baik-baik saja, hanya bagian yang saya tempati yang sudah basah. Tenda dome
sebelah saya sudah tidak bisa membayangkan lagi. Saya dengar Asro keluar untuk
menutup pintu menggunakan mantol sementara RB masih saja mengomel.
Waktu
rasanya berjalan begitu lambat. SB yang saya gunakan sudah mulai basah dan
tembus ke jaket. Namun rasanya teman ayng lain masih baik-baik saja (Tenda dome
kap 4). Hanya saja Yuda juga seudah mengeluh kebasahan karena terkena pinggiran
dome yang sudah basay, karena ia juga tidur di pojokan. Sementara itu diah
merasa sangat kedinginan. Begitupun dengan Ida. Yang paling tenang dan tidur
begitu pulas adalah Atut yang tidur di tengah-tengah. Ia begitu lelap tertidu.
Saya sendiri sudah tidak bisa lagi tidur dengan semua kebasahan ini. RB masih
belum berhenti berteriak-teriak.
Seluruh
SB saya sudah basah, ditambah lagi dengan kaki yang tiba-tiba kram karena tak
kuat menahan dingin. Puku 04.30, hujan badai sudah mulai reda. RB masih
mengomel pelan. Dan saya tidak bisa membantu apa-apa.
Pukul
05.30 akhirnya saya keluar dome. Menjenguk tenda dome sebelah. Rupanya
kondisinya memang sudah sangat memprihatinkan. RB dan Wahid sudah tidak lagi
memakai SB, hanya menggunakan kaos. RB bahkan berkata kalau ia sangat takut
sekali akan mati karena rasa dingin. Kejadian ini persis seperti pendakian
merapi tahun lalu dimana salah satu tenda dome kebanjiran dan memaksa
penghuninya tidak tidur semalaman. Berbeda dengan RB dan Wahid, hasan, asro dan
rahmat masih bisa tidur. Bahkan rahmat tidur begitu tenangnya, hal ini yang
memancing RB terus mengomel. Saya benar-bena merasa bersalah. Sebagai leader
saya tak bisa melakukan apa-apa.
Namun
tetap saja dalam setiap kejadian, semenyakitkannya apapun itu, tetap saja ada
hal-hal yang biasa kita tertawakan. Sebelum beranjak tidur RB dan Wahid
bergurau bagaimana asiknya tidur sambil memandang bintang-bintang yang saat itu
memang masih cerah. Namun cuaca berubah sangat cerah, dan hujan badai pun
datang. Dan mereka menjadi korban yang paling menderita.
Seperti
yang sudah saya katakan, dalam pendakian gunung kerja sama tim adalah hal yang
paling penting. Dalam pendakian ini mungkin Tuhan berbaik hati untuk mengajari
mereka, dan saya tentunya untuk bekerja sama dengan orang-orang dengan tingkat
keegoisan masing-masing. Untuk menekan ego diri sendiri. Dalam keadaan seperti
itu juga kami di ajari untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Bukan
hanay mengomel terus mengomel atau membiarkan sifat egoisme menguasai diri. Dan
pengalaman ini seharusnya bukan untuk dikutuki, tapi sebagai pengalaman
pembelajaran yang harus disyukuri dan ditertawakan bersama-sama. Menjadi cerita
untuk esok lusa.
Cuaca
sudah cukup cerah dan tidak terlalu dingin. Kami semua keluar tenda dan
membahas kesengsaraan malam tai. Saling mengomel, saling tertawa. Puncak
Merbabu sudah terlihat, walaupun saya tidak tahu kalu ternyata bagian atas
bukit merupakan puncak merbabu. Kondisi fisik teman-teman sudah sangat drop
oleh pendakian malam tadi juga oleh badai yang tiba-tiba datang membuat kami
tak tidur semalaman. Gunung merapi begitu anggun disebelah selatan. Matahari
sudah semakin naik.
Dalam pendakian gunung puncak bukanlah
segalanya. Melainkan proses menuju puncak. Hal ini kadang terlupakan, terutama
oleh pendaki-pendaki karbitan yang hanya mengikuti tren. Dalam proses menuju
puncak inilah sebnarnya gunung mengajari kita banyak hal. Seperti kerjasama dan
egoisme yang sudah saya katakan tadi. Dalam proses itu para pendaki juga
belajar bagaimana mengenali keadaan diri sendiri. Untuk mengukur kemampuar diri
sendiri. Karena itulah dalam pendakian gunung dikenal istilah STOP. STOP ini
jika kita urai menjadi Stop-Thingking-Observe-Planning. Stop berarti berhenti.
Thinking berarti berfikir. Observe berarti mengamati. Planning berarti
merencanakan. Dalam keadaan darurat seorang pendaki harus mengamalkan istilah
STOP ini. Karena yang namanya nekat dan berani itu berbeda. Nekat itu bertindak
tanpa memperhitungkan keadaan, sementara berani itu selalu memperhitungkan keadaan
sekitar dan dirinya sendiri. Keyakinan adalah bahan bakar sebuah keberanian.
Seorang pendaki yang bijak tahu kapan harus STOP dan kpan harus terus. Sama
halnya dengan kehidupan. Seseorang boleh bermimpi setinggi langit, namun ia
harus tahu mana yang cita-cita dan mana yang hanya khayalan semata. Hal
tersebut hanya bisa ia lakukan ketika ia benar-benar mengenal dirinya sendiri.
Karena manusia itu bukan makhluk sempurna yang tak memiliki batasan. Berpasrah
bukannya menyerah, berhenti bukannya tak berani. Gunung memang selalu mengajari
kita banyak hal. Karena itulah, mengingat kondisi fisik teman-teman yang sudah
sangat drop saya menawarkan dapakah tetap lanjut ke puncak atau tidak. Mereka
harus berfikir baik-baik dalam mengambil keputusan, mengenali kondisi
masing-masing.
Setelah berfikir sejenak,
membandingkan keadaan fisik dengan medan yang akan dilalui, teman-teman
memutuskan untuk tidak naik kepuncak. Kecuali atut dan hasan. Atut terlihat
sangat bugar dan yakin, benar-benar supergirl dia itu. Terang saja, ia tidur
semalaman. Hasan juga begitu, meskipun terlihat tidak sebugar atut tapi ia sama
yakinnya dengan atut. Ini akan menjadi puncak pertamanya, dan ia benar-benar
menggebu. RB sebenarnya ingin mendaki ke puncak. Namun ia terlihat masih sangat
ragu antara iya atau tidak, dan saya kemudian melarangnya karena keraguannya
itu. Akhirnya pukuk 05.55 saya mengantar Atut dan Hasan menuju puncak merbabu.
Saya mengantar atut dan Hasan ke
puncak dengan membawa daypack yang berisi air minum dan roti. Cukup untuk
sarapan kami nanti selama perjalanan. Sebelum mendaki bukit jalanan datar,
bahkan sempat menurun ketika mendekati bukit. Tepat dibawah tanjakan menuju
puncak terdapat tempat yang bernama jemblongan yang tadinya akan kami gunakan
sebagai tempat kemping. Jemblongan ini dilindungi oleh pohon-pohon edelweiss
yang menjulang tinggi. Dari sini kami harus mendaki sebuah bukit untuk selanjutnya
menuju puncak merbabu yang masih berjarak 1,1, KM lagi.
|
Puncak masih 1,1 KM lagi bung !!
Pemandangan yang sangat indah di depan
mata, sekaligus pemandangan yang mencengangkan, karena kita memandang jalur
medan terjal yang harus kita tempuh untuk menggapai puncak gunung Merbabu.
Berbalik arah pemandangan ke arah Gunung Merapi juga sangat indah sekali. Cuaca
sangat cerah dan panas. Bila kita berjalan dengan cermat sekitar sekitar 25
meter di sebelah kanan jalur akan kita temukan sebuah batu berlobang yang
keramat.
Jurang-jurang dengan taman edelweis
dan padang sabana yang hijau menemani kami sepanjang perjalanan naik. Benar-benar
pemandangan yang sangat menajubkan. Cukup untuk sarapan semangat sepagi ini.
Jalanan terjal yang bermaterial tanah sangat menyulitkan. Beberapa kali kami
mengambil nafas dan istirahat untuk melemaskan otot-otot kaki dan memompa
semangat.
|
Setengah jam berjalan kami istirahat
sejenak untuk mengisi perut sambil menikmati pemandangan yang disajikan dibawah
sana. Kami baru saja berhasil mendaki bukit pertama dan dari sini puncak sudah
terlihat. Tinggal sedikit lagi !!
Akhirnya, pukul 06.50, setelah
perjuangan yang melelahkan kami sampai di puncak triangulasi. Puncak
triangulasi merupakan puncak tertinggi gunung merbabu, sama halnya dengan
puncak kenteng songo. Ketinggian puncak merapi adalah 3142 mdpl. Puncak
triangulasi merupakan lahan yang cukup luas, tapi manurut saya tak ada yang
berani untuk membangun di sini karena letaknya yang sangat terbuka. Sedikit
kebawah dari puncak teriangulasi ada sedikit ruang untuk kemping, sedikit
terlindung puhon dan puncak triangulasi. Dari sini pendaki bisa melihat gunung
sindoro dan sumbung menjulang tinggi di sebelah barat. Dari sini gunung merapi
juga terlihat sangat megah. Pemandangan dari puncak triangulasi ini benar-benar
keren. Selain dapat melihat jalur igir-igir sapi pada jalur pendakian wekas
kita juga bisa melihat bukit teletubies hijau pada jalur pendakian lewat selo.
Dari sini seaya bisa melihat cukup jelas sabana II tempat kami membuat tenda
dome.
Pemandangan gunung merapi, sindoro, dan sumbing dari puncak triangulasi
|
Setelah menikmati puncak triangulasi
kemudian hasan dan atut menuju puncak kenteng songo. Saya sendiri menunggu di
puncak triangulasi. Puncak kenteng songo berada 10 menit di sebelah timur.
Letaknya sejajar dengan puncak triangulasi. Hanya tinggal turaun kemudian naik
sedikit. Puncak kenteng songo adalah lahan luas sama seperti puncak
triangulasi. Di puncak kenteng songo terdapat kenteng atao batu berlubang.
Menurut cerita dinamakan kenteng songo karena batu berlobang yang ada di puncak
kenteng songo terdapat sembilan buah, atau songo dalam bahasa jawa. Namun yang
bisa di pandang dengan mata telanjang hanya empat buah, selebihnya hanay bisa
dipandang dengan mata batin. Entah benar atau tidak cerita ini bisa kalian
buktikan sendiri. Yang punya mata batin tentunya.
Sambil menunggu hasan dan atut di
puncak triangulasi saya berjumpa dengan dua orang pendaki dari jogja juga, dari
godean. Mereka juga naik dari jalur selo. Kami pun bercerita tentang badai
semalam. Saya bercerita tentang kondisi dome yang mengenaskan sehingga
teman-teman yang lain tidak bisa naik ke puncak. Sementara itu mereka bercerita
tentang sesuatu yang sangat mengejutlan. Rupanya mereka tidak membawa tenda
dome. Para survival ini hanya menggunakan mantol, SB, dan matras. Mencari
tempat berlindung di jemblongan. Dari cerita mereka saya mendapat pengalaman
baru saat menghadapi badai. Seharusnya saat mendaki kita membawa raincoat
(setidaknya mantel individu) dan mantel yang lebar (mantel batman). Sebelum
masuk kedalam SB terlebih dahulu kita menggunakan mantol individu atau
raincoat. Sedangkan mantel batman kita gunakan untuk membungkus tubuh yang
sudah memakai SB. Cara ini bisa menanggulangi tenda dome yang mengenaskan
seperti malam tadi dalam menahan badai, bahkan saat tak ada tenda dome sama
sekali. Hal ini seharusnya saya lakukan semalam. Setidaknya ini menjadi
pengalaman tambahan untuk kedepannya. Memang selalu saja menyenangkan berbagi
kisah dengan para pegiat alam bebas. Banyak hal-hal menarik yang bisa dibagi
dan dipelajari.
Beberapa menit setelah para survival
tersebut turun akhirnya atut dan hasan tiba kembali di puncak triangulasi.
Cuaca sudah cukup panas dan kabut sudah mulai naik menutupi jalan turun. Pukul
08.10 kami memutuskan untuk turun kembali ke sabana II. Ternyata pemandangan
jalur wekas ini benar-benar hebat. Tadi saat naik saya tidak begitu
memperhatikannya. Bukit-bukit hijau dengan edelweiss di lembah-lembahnya. Kabut
tipis menyelimutinya sesekali, mengaburkan keindahannya namun justru menambah
keromantisannya. Saat turun ini kami berjumpa banyak sekali pendaki yang akan
naik ke puncak. Sapa dan senyum menjadi pengikat di antara pendaki. Saat turun
saya berlari terlebih dahulu sambil tetap memperhatikan jarak dengan atut.
Sungguh menyenangkan berlari turun dari puncak gunung dengan semua pemandangan
nya yang indah ini. Rasanya benar-benar menyenangkan.
Pemandangan saat turun dari puncak
Pukul 08.50 kami sampai kembali di
Sabana II. Tadi saat turun saya sempat melihat burung anis gunung di jemblongan
sedag memakan cacing. Awalnya saya kira burung jalak karena morfologinya yang
mirip sekali dengan jalak, namun ketika sudah sampai dijogja saya berdiskusi
dengan salah satu teman dan ia berkata bahwa itu burung anis gunung. Burung
yang juga banyak terdapat di gunung Lawu.
Saat saya, atut, dan hasan naik ke
puncak merbabu ternyata teman-teman yang lain naik ke bukit di sabana II untuk
melihat pemandangan. Ternyata dari sabana II ini emandangannya juga sudah cukup
bagus. Bukit teletubies yang hijau enjadi primadonanya. Ditambah pula dengan
kemegahan gunung Merapi diseberang sana, pemandangan yang benar-benar indah.
Sambil menunggu kami pulang tadi rupanya mereka sudah bersiap-siap untuk
packing dan makan. Saya yang belum sarapan akhirnya memasak sayur-sayuran yang
belum dimasak oleh teman-teman. Sayur kacang dan jamur, sarden kaleng, serta
mie sebagai sumber karbohidratnya. Benar-benar sarapan yang bergizi.
Hasil masakan saya rupanya tidak
begitu buruk. Cukup lezat, apalagi tumis kacang dan jamurnya, mungkin perut
yang sudah kosong menjadikan makanan apa saja yang masuk menjadi lezat. Asro
bahkan mengemiks semua makanan tersebut dalam dua potongan roti tawar plus
selai kacang, sendwich katanya. Benar-benar eksperiman yang tidak patut di
contoh. Hehe
Setelah puas mengisi perut dan packing
akhirnya pukul 10.15 kami turun menuju basecamp. Setelah berdoa bersama kami
pun meluncur turun. Saat proses turun ini kami menikmati pemandangan yang
semalam kami abaikan karena gelap dan lelah. Pemandangan di sabana I dan II
memang benar-benar indah. Kami berjalan di antara bukit-bukit teletubies yang
hijau dengan rumput-rumputnya yang khas. Sambil memandangi merapi yang megah di
seberang sana. Kabut yang sesekali naik juga menambah sisi romantisme
tersendiri. Menyelimuti pohon-pohon edelweis yang sayang sekali belum berbunga.
Akan sangat indah jika ditambah dengan taman edelweis yang sedang bermekaran.
Cuaca cukup cerah dengan langit yang benar-benar biru dan awan yang menggumpal
di bawah sana layaknya kapas yang begitu lembut.
Kami istirahat sebentar di sabana I
untuk menghela nafas dan menikmati pemandangan yang sangat indah ini.
Perjalanan turun kembali dilanjutkan menuju pos III, Batu tulis. Sebelum turun
saya sempat melihat seekor burung opior jawa. Kabut sudah mulai naik,
mengurangi jarak pandang. Saat turun ini kami juga dapat melihat jalur yang
kami lewati semalam. Jalan turun sangat ekstrim. Jadi seperti inilah jalan yang
kami lewati saat naik semalam. Pantas saja sangat menguras energi. Namun harga
itu cukup untuk membayar pemandangan yang sungguh eksotis ini. Curam-curam
bukit dengan taman edelweiss yang terselimuti kabut tipis putih.
Dari batu tulis perjalanan kembali
dilanjutkan menuju basecamp. Atut dan asro berjalan dengan sangat cepat di
depan sendiri sementara saya menemani pasangan emas, Yuda dan Diah di belakang
(hehehehe). Saat turun ini adalah proses yang paling susah dalam pendakian
gunung. Energi yang sudah drop ditambah passion yang sudah melemah. Berbeda seperti
saat naik yang menggunakan puncak sebagai passion yang mempompa semangat. Saat
turun passion tersebut sedikit menurun.
Saat turun sebenarnya kondisi fisik
tidak begitu penting. Yang terpenting adalah kondisi kaki. Kondisi kaki yang
sudah terekspos saat naik akan sangat lemah ketika digunakan untuk turun.
Meskipun saat turun membutuhkan waktu yang paling hanya separuh naik, tetapi
energi yang di gunakan membutuhkan jauh lebih banyak, terutama ketahanan kaki.
Saat turun lebih baik terus berjalan meskipun tidak terlalu cepat. Jalan dengan
kecepatan yang konstan. Karena apabila terlalu sering berhenti maka justru akan
semakin menguras kemamampuan kaki. Hal inilah yang diterapkan oleh Atut dan
asro sehingga mereka berdua terus berjalan cepat di depan, hanya sesekali
berhenti.
Akhirnya pukul 13.30 saya sebagai
kelompok terakhir merangkap sweeper sampai kembali di basecamp pendakian. Saat
turun tadi saya sempat melihat dua buah raptor yang sedang swaring di dalam
hutan. Saat mendekati basecamp saya juga ditemani segerombolan burung sepah
dengan warna merahnya yang mempesona.
Untuk sahabat-sahabat saya di
pendakian gunung Merbabu 11-12 Mei kemarin. Pendakian kemarin benar-benar
mengesankan buat saya. Meskipun di beberapa bagian cerita tidak begitu
menyenangkan, kedinginan, lelah yang mendera, hujan badai, bahkan berujung pada
tidak naik ke puncak merbabu. Tapi, pengalaman itu mengajarkan saya banyak hal,
dari semua kesusahan itu ada banyak hal untuk bisa dipelajari. Seperti hidup,
ada banyak kejadian buruk yang kadang menyakitkan, kalau kita mau memaknainya
dengan pemahaman-pemahaman baik pasti hal-hal itu bisa mengajari kita menjadi jauh lebih baik. Esok
lusa mungkin kenangan-kenangan di gunung merbabu kemarin akan kita kenang
bersawa, kita tertawakan bersama. Dan esok lusa kalau Tuhan berkenan, bersama
kita menikmati keindahan edelweis yang sedang mekar di merbabu, dan
menyelesaikan pendakian puncak yang belum selesai.
Langganan:
Postingan (Atom)