Setiap orang
pasti tau apa itu rumah. Mereka pasti menjawab rumah adalah bangunan tempat
tinggal, bisa beratap genteng mahal, maupun beratap rumbia. Berlantai keramik
mengkilat, bisa juga hanya tanah liat. Tapi itu rumah secara fisik, menurutku
pengertian rumah lebih dari itu, rumah adalah sebuah tempat untuk pulang,
hadiah bagi mereka yang mengarungi jarak. Jadi rumah tak melulu tentang
bangunan, rumah bisa berbentuk apa saja, yang terpenting adalah rasa nyaman dan
tujuan kita untuk pulang dari suatu petualangan. Petualangan yang nyata, maupun
petualangan secara harfiah. Petualangan hati.
Begitu pula
layar 14 inci ini. Halaman blog ini. Ini adalah salah satu rumahku.
Ya, bagiku
halaman blog ini adalah rumah. Tempat tujuan pulangku dari melalui dunia nyata
yang selalu membawa banyak kisah berbeda. Sebuah petualangan hidup yang kadang
membuatku lelah dan penat. Disaat-saat seperti itulah halaman blog ini selalu
berhasil menarikku untuk pulang, sekedar menghela nafas di dalamnya. Halaman
blog ini adalah rumah kecilku, rumah 14 inci.
Aku merasa
nyaman berada di dalamnya. Udara yang segar, ruang yang lapang, imajinasi yang
bebas. Dan di sini, aku bisa berjumpa dengan diriku sendiri, ialah sebagian
jiwaku yang selalu mendiami ruang hatiku yang paling dalam. Di sini aku bebas
berdiskusi dengannya.
Rumah ini
hanya diperuntukan untukku. Tak ada orang lain yang diizinkan mampir ke sini.
Aku yang selalu memegang kunci gerbangnya. Ya, karena rumah ini adalah zona
nyamanku, tempat dimana aku menikmati kesendirianku, berbagi kopi dengan
kesepian. Di sini, aku menikmati jingga yang redup juga hembusan angin dingin
saat purnama.
Untuk
sahaba-sahabat terbaikku, kalian bukanlah omong kosong, kalian adalah
orang-orang terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Aku percaya kalian. Sangat.
Tapi pria idealis ini juga seorang pria rapuh yang selalu merasa kuat (karena
dengan inilah aku mencoba tetap hidup).
Aku butuh sendiri dalam kepenatanku, dan rumah 14 inci ini selalu menawarkan
kenyamanan istirahat setelah aku menempuh perjalanan jauh yang menguras banyak
energi kehidupan. Semangat. Dan di dalam sini, terlalu banyak coretan-coretan
tentang hidupku, dan di dalamnya lebih banyak coretan tentang kalian. Terutama
kau, gadis kecil.
Ah ya, maaf
kalau untuk sekarang ini aku masih ingin sendiri saja berkunjung ke rumah 14
inciku ini. Karena aku masih belum juga berdamai dengan perasaanku, masih
terlalu banyak hal yang ingin aku diskusikan dengan separuh jiwaku yang tinggal
di sini. Dan aku masih belum bisa melibatkan kalian dalam diskusi absurb ini.
Terutama kau gadis kecil. Karena sebagian hal itu adalah tentangmu. Maaf. Aku
tak bermaksud untuk tak terbuka dengan kalian.
Diakui atau
tidak, dan meskipun aku selalu berusaha untuk menutupi ini. Aku masih memendam
perasaan itu, mungkin hanya berkurang sedikit setiap harinya. Tapi terkadang perasaan
itu dengan teganya selalu berhasil menjebakku hingga aku terkadang sibuk
merangkai kejadian-kejadian disekitar kita untuk membenarkan perasaan itu
berharap, menghubung-hubungkan banyak hal agar perasaan itu senang menimbun
mimpi, dan terkadang aku lupa mana simpul yang nyata, dan mana simpul yang
dusta. Sungguh tega. Aku masih belum bisa mengendalikan perasaan ini, aku masih
terlalu rapuh.
Kalian tau,
saat seseorang lain yang menyukaimu mencurahkan cerita tentang mu, gadis kecil.
Perasaan itu dengan teganya kembali mengikat ku dengan akar-akarnya yang tiba-tiba
keluar dari tanah (yang kukira sudah mati), erat hingga aku tercekat. Dan apa
yang bisa kulakukan? Perasaan itu berhasil menjebakku. Perasaan itu belum
benar-benar mati.
Aku selalu
berusaha memungkiri itu semua, selalu tampil di depan kalian dengan memakai
baju zirah yang kuat. Tapi, di dalamnya hanya ada sebuah daging merah yang
empuk, rapuh. Aku selalu berkata pada kalian bahwa perasaan itu sudah hilang,
tapi itu semua hanya omong kosong. Sungguh susah untuk menangani, mengendalikan
bentuk perasaan seperti itu.
Kalian tau,
aku selalu merasa canggung ketika ada kamu, gadis kecil. Serasa ada jarak yang
mungkin cuma aku yang menyadarinya. Aku masih terlalu canggung untuk
membicarakan masalah ini dengan kalian, apalagi dengan mu, gadis kecil. Karena
aku belum benar-benar berdamai dengan perasaanku.
Tapi bukan
maksudku untuk menyalahkan keadaan ini. Karena cinta itu tak pernah salah, ia
bisa datang kepada siapa dan kapan saja semaunya. Ia selalu indah. namun,
bagiku perasaan ini hanyalah pelangi. Ia memang indah dengan tujuh warnanya.
Tapi ia hanya sesaat menerangi bumiku setelah turun hujan. Esok lusa, pelangi
itu pasti mengabur, memudar, kemudian hilang. Digantikan cahaya mentari, yang
selalu menerangi bumiku ini. Ialah cahaya persahabatan kita, cinta sejati.
Esok lusa
pasti akan ku bawa kalian mengunjungi rumah 14 inciku ini, setelah semua urusan
dengan perasaanku (bukan dengan siapa-siapa, bahkan kau gadis kecil) ini selesai.
Dan bendera putih telah dikibarkan, tanda aku sudah berdamai dengan perasaanku,
pasti akan ku ajak kalian berkeliling. Kita tertawa bersama mengenang betapa
absurbnya aku bisa menyukaimu gadis kecil. Tertawa mengenang banyak kisah,
massa itu pasti datang. Percayalah karena bumi ini selalu berputar, begitu pula
dengan bumiku.
Oh ya, esok
aku akan mengunjungi gunung merbabu, rumahku yang lain. Di sana juga akan ku
curahkan semua kisahku, berharap Tuhan melapangkan hatiku, biar sedikit saja.
Hingga pemahaman kebaikan itu datang, dan aku bisa berdamai dengan perasaan ku
ini.
Tunggulah
saat-saat itu sahabat, sekarang ini, biarlah aku mencobanya sendiri. Menikmati
kesendirian dan kesepianku ini. Di rumah sederhanaku, rumah 14 inci.
Masing-masing
dari kita berjalan dengan jalan masing-masing dengan langkah yang tentu
berbeda. Tapi ingatlah, kita terikat satu sama lain oleh simpul tali yang tak
tampak. Ikatan persahabatan.
Sahabat-sahabat
terbaikku, aku mencintai kalian sepenuh hatiku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar