Jumat, 15 Februari 2013

Rumah 14 inci


Setiap orang pasti tau apa itu rumah. Mereka pasti menjawab rumah adalah bangunan tempat tinggal, bisa beratap genteng mahal, maupun beratap rumbia. Berlantai keramik mengkilat, bisa juga hanya tanah liat. Tapi itu rumah secara fisik, menurutku pengertian rumah lebih dari itu, rumah adalah sebuah tempat untuk pulang, hadiah bagi mereka yang mengarungi jarak. Jadi rumah tak melulu tentang bangunan, rumah bisa berbentuk apa saja, yang terpenting adalah rasa nyaman dan tujuan kita untuk pulang dari suatu petualangan. Petualangan yang nyata, maupun petualangan secara harfiah. Petualangan hati.

Begitu pula layar 14 inci ini. Halaman blog ini. Ini adalah salah satu rumahku.

Ya, bagiku halaman blog ini adalah rumah. Tempat tujuan pulangku dari melalui dunia nyata yang selalu membawa banyak kisah berbeda. Sebuah petualangan hidup yang kadang membuatku lelah dan penat. Disaat-saat seperti itulah halaman blog ini selalu berhasil menarikku untuk pulang, sekedar menghela nafas di dalamnya. Halaman blog ini adalah rumah kecilku, rumah 14 inci.

Aku merasa nyaman berada di dalamnya. Udara yang segar, ruang yang lapang, imajinasi yang bebas. Dan di sini, aku bisa berjumpa dengan diriku sendiri, ialah sebagian jiwaku yang selalu mendiami ruang hatiku yang paling dalam. Di sini aku bebas berdiskusi dengannya.

Rumah ini hanya diperuntukan untukku. Tak ada orang lain yang diizinkan mampir ke sini. Aku yang selalu memegang kunci gerbangnya. Ya, karena rumah ini adalah zona nyamanku, tempat dimana aku menikmati kesendirianku, berbagi kopi dengan kesepian. Di sini, aku menikmati jingga yang redup juga hembusan angin dingin saat purnama.

Untuk sahaba-sahabat terbaikku, kalian bukanlah omong kosong, kalian adalah orang-orang terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Aku percaya kalian. Sangat. Tapi pria idealis ini juga seorang pria rapuh yang selalu merasa kuat (karena dengan inilah aku mencoba tetap hidup). Aku butuh sendiri dalam kepenatanku, dan rumah 14 inci ini selalu menawarkan kenyamanan istirahat setelah aku menempuh perjalanan jauh yang menguras banyak energi kehidupan. Semangat. Dan di dalam sini, terlalu banyak coretan-coretan tentang hidupku, dan di dalamnya lebih banyak coretan tentang kalian. Terutama kau, gadis kecil.

Ah ya, maaf kalau untuk sekarang ini aku masih ingin sendiri saja berkunjung ke rumah 14 inciku ini. Karena aku masih belum juga berdamai dengan perasaanku, masih terlalu banyak hal yang ingin aku diskusikan dengan separuh jiwaku yang tinggal di sini. Dan aku masih belum bisa melibatkan kalian dalam diskusi absurb ini. Terutama kau gadis kecil. Karena sebagian hal itu adalah tentangmu. Maaf. Aku tak bermaksud untuk tak terbuka dengan kalian.

Diakui atau tidak, dan meskipun aku selalu berusaha untuk menutupi ini. Aku masih memendam perasaan itu, mungkin hanya berkurang sedikit setiap harinya. Tapi terkadang perasaan itu dengan teganya selalu berhasil menjebakku hingga aku terkadang sibuk merangkai kejadian-kejadian disekitar kita untuk membenarkan perasaan itu berharap, menghubung-hubungkan banyak hal agar perasaan itu senang menimbun mimpi, dan terkadang aku lupa mana simpul yang nyata, dan mana simpul yang dusta. Sungguh tega. Aku masih belum bisa mengendalikan perasaan ini, aku masih terlalu rapuh.

Kalian tau, saat seseorang lain yang menyukaimu mencurahkan cerita tentang mu, gadis kecil. Perasaan itu dengan teganya kembali mengikat ku dengan akar-akarnya yang tiba-tiba keluar dari tanah (yang kukira sudah mati), erat hingga aku tercekat. Dan apa yang bisa kulakukan? Perasaan itu berhasil menjebakku. Perasaan itu belum benar-benar mati.

Aku selalu berusaha memungkiri itu semua, selalu tampil di depan kalian dengan memakai baju zirah yang kuat. Tapi, di dalamnya hanya ada sebuah daging merah yang empuk, rapuh. Aku selalu berkata pada kalian bahwa perasaan itu sudah hilang, tapi itu semua hanya omong kosong. Sungguh susah untuk menangani, mengendalikan bentuk perasaan seperti itu.

Kalian tau, aku selalu merasa canggung ketika ada kamu, gadis kecil. Serasa ada jarak yang mungkin cuma aku yang menyadarinya. Aku masih terlalu canggung untuk membicarakan masalah ini dengan kalian, apalagi dengan mu, gadis kecil. Karena aku belum benar-benar berdamai dengan perasaanku.

Tapi bukan maksudku untuk menyalahkan keadaan ini. Karena cinta itu tak pernah salah, ia bisa datang kepada siapa dan kapan saja semaunya. Ia selalu indah. namun, bagiku perasaan ini hanyalah pelangi. Ia memang indah dengan tujuh warnanya. Tapi ia hanya sesaat menerangi bumiku setelah turun hujan. Esok lusa, pelangi itu pasti mengabur, memudar, kemudian hilang. Digantikan cahaya mentari, yang selalu menerangi bumiku ini. Ialah cahaya persahabatan kita, cinta sejati.

Esok lusa pasti akan ku bawa kalian mengunjungi rumah 14 inciku ini, setelah semua urusan dengan perasaanku (bukan dengan siapa-siapa, bahkan kau gadis kecil) ini selesai. Dan bendera putih telah dikibarkan, tanda aku sudah berdamai dengan perasaanku, pasti akan ku ajak kalian berkeliling. Kita tertawa bersama mengenang betapa absurbnya aku bisa menyukaimu gadis kecil. Tertawa mengenang banyak kisah, massa itu pasti datang. Percayalah karena bumi ini selalu berputar, begitu pula dengan bumiku.

Oh ya, esok aku akan mengunjungi gunung merbabu, rumahku yang lain. Di sana juga akan ku curahkan semua kisahku, berharap Tuhan melapangkan hatiku, biar sedikit saja. Hingga pemahaman kebaikan itu datang, dan aku bisa berdamai dengan perasaan ku ini.

Tunggulah saat-saat itu sahabat, sekarang ini, biarlah aku mencobanya sendiri. Menikmati kesendirian dan kesepianku ini. Di rumah sederhanaku, rumah 14 inci.

Masing-masing dari kita berjalan dengan jalan masing-masing dengan langkah yang tentu berbeda. Tapi ingatlah, kita terikat satu sama lain oleh simpul tali yang tak tampak. Ikatan persahabatan.

Sahabat-sahabat terbaikku, aku mencintai kalian sepenuh hatiku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar