Senin, 18 Februari 2013

Sebuah Kehilangan Besar


Pagi ini, aku berhasil membuat setan-setan kecewa. Aku bangun jauh lebih pagi dari biasanya, mengambil air wudhu, dengan langkah pasti bergerak menuju masjid ujung gang. Rutinitas yang entah kapan terakhir kali aku melakukanya. Aku pun lupa.

Udara pagi di kota ini memang tak sesegar seperti udara di gunung merbabu kemarin pagi, tapi pagi tetaplah pagi, sunyi yang menyelimutinya tetaplah sama. Dimanapun itu.

Ketidakbiasaanku ini bukannya tanpa alasan, aku memang sedang butuh banyak energi. Dan aku mengisi ulang energiku dengan cara memenuhi rongga dadaku dengan udara pagi dan kesunyiannya, serta secangkir kopi tentunya.

Ya, aku baru saja kehilangan banyak sekali energi bersama dengan sepeda tuaku yang juga hilang entah kemana.

Seperti mimpi, seperti semuanya tak pernah terjadi. Rasanya baru kemarin aku bersepeda mengelilingi kota. Baru semalam aku mengayuhnya dengan semangat. Tapi pagi ini, sepeda tuaku entah berada dimana.

Sebenarnya semalam aku berharap itu semua hanya mimpi belaka. Saat aku bangun, sepeda tuaku itu sudah ada di depan kamar kostku. Tapi kenyataan tetaplah kenyataan, yang terjadi pasti terjadi.

Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa
­­­_Soe Hok Gie

Ya, kita memang tidak pernah menanamkan (memiliki) apa-apa, jadi sudah sepantasnya juga kalau kita tak akan kehilangan apa-apa. Sesuatu yang memang tak pernah ada, akhirnya juga akan kembali kedalam ketiadaan itu. Sesuatu yang kita punya sekarang ini bukan lah apa yang kita punya, Tuhan hanya sedang berbaik hati meminjamkannya kepada kita, menitipkan sesuatu tersebut untuk kita jaga sepenuh tenaga. Namun, jika waktu itu telah habis, Tuhan akan mengambilnya lagi, karena itu memang hakNya, Dia yang memiliki bumi, alam semesta, dan semua isinya.

Setiap orang pasti pernah mengalami yang namanya kehilangan. Karena Tuhan dengan sangat adilnya selalu menitipkan sesuatu kepada setiap hambanya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Namun, suatu waktu Dia mengambilnya lagi, ketika waktu yang diberikan dirasa cukup. Namun, Dia pasti akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik. Menggantinya dalam bentuk apapun yang Dia mau. Mungkin bukan dengan sesuatu yang sama seperti yang kita punya dulu, tapi yang pasti itu jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena, buat yang memahaminya (yang tidak bebal dan sombong), ia akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih keren dari sekedar sesuatu tersebut, ialah pemahaman baik. Pengertian baru.

Suatu waktu mungkin kita pernah kehilangan robot-robotan, namun beberapa hari kemudian kita sudah asik bermain dengan mobil-mobilan. Suatu waktu mungkin kita pernah kehilangan uang 10ribu, tapi hari kemudian kita sudah jajan di kantin lagi. Ya, kita semua memang sudah pasti pernah merasakannya. Hidup memang selalu membawa kita pada kehilangan-kehilangan selanjutnya.

Begitu pula dengan orang-orang yang pernah kita cintai. Kita tak pernah memiliki mereka, kita hanya diberi kesempatan olehNya untuk menikmati waktu bersama mereka. Suatu waktu, Dia pasti akan mengambil kepunyaanNya lagi. Dan kita tak seharusnya meratapi kehilangan itu, karena Tuahan pasti akan menggantinya dengan sesuatu yang baru, cinta yang baru. Dan cinta itu memang jauh berbeda dengan cinta yang lama. Karena memang begitulah hidup mengajari kita, ada banyak pintu di dalam kehidupan kita. Ketika suatu pintu tertutup, kita masih punya banyak pintu yang masih terbuka, di dalamnya memang jauh berbeda dengan pintu sebelumnya. Tapi memang begitulah hidup, setiap konstelasi punya susunannya sendiri-sendiri, setiap planet punya waktu rotasinya sendiri-sendiri, dan setiap pintu punya isinya sendiri-sendiri. Bukan tentang pintu yang sudah tertutup, tapi tentang apa yang kita maknai untuk pintu-pintu yang masih terbuka.

Sama halnya dengan sepeda tuaku itu, si hitam yang ringkih. Mingkin sepeda tua itu kini sudah diambil lagi oleh Tuhan, dan Dia menitipkannya pada orang lain, tapi kenanganku dengan sepeda tua itu tak akan pernah hilang. Ia akan tetap hidup menempati salah satu ruang di dalam hatiku. Kenangan-kenangan itulah yang akan menjaga ia tetap hidup di dalam hati. Karena hal yang menyakitkan adalah bukan tentang kehilangan bentuk nyatanya, tapi saat kehilangan kenangan yang diberikannya. Ketika kenangan itu hilang, ada sebuah runang kosong yang tertinggal di dalam hati, dan itu akan merapuhkan hati.

Sebenarnya sampai sekarang pun aku masih heran, kenapa sepeda tua yang amat ringkih itu masih ada yang berminat untuk mengambilnya. Pastilah ada sesuatu yang besar yang mendorongnya untuk mengambil sepeda tuaku itu. Karena, mungkin hanya aku yang merasa nyaman-nyaman saja saat mengayuh pedal ringkihnya yang berbunyi setiap dikayuh. Apapun itu, mudah-mudahan sepeda tuaku itu bisa membantu si pengambil menyelesaikan urusannya, entah apapun itu. Dan aku berharap agar Tuhan bersedia untuk memberikannya sebuah pemahaman baik, bahwa apapun yang terjadi, mencuri adalah hal yang benar-benar hina. Aku ikhlas akan sepeda tua itu.

Tuhan selalu adil, walau mungkin terkadang kita terlalu bebal untuk memahaminya. Kita pernah merasa kehilangan, tapi Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu yang baru. Kita hanya perlu memahaminya dengan pemahaman baik. Karena Tuhan tau mana yang terbaik untuk hambaNya. Begitu pula ketika kita belum siap maka Tuhan tak akan menitipkan milikNya kepada kita, Tuhan juga tak akan pernah mengambil apapun milikNya ketika kita belum siap. Karena Tuhan lah yang paling mengeti keadaan kita, lebih mengerti dari diri kita sendiri. Jadi, sudah seharusnya kita memasrahkan semuanya kepada Tuhan, bersukur akan apa yang kita miliki sekarang, dan apa pun yang pernah kita miliki.

Untuk beratus kilometer yang aku lewati bersamanya. Untuk beribu waktu yang aku arungi bersamanya. Dan untuk berjuta lembaran kenangan yang aku maknai bersamanya. Ia memang telah hilang, pergi entah kemana. Tapi kenangan akannya tetap tinggal dan hidup di dalam hatiku. Kenangan itu yang menjagaku tetap hidup dalam sebuah putaran waktu.

Aku sudah ikhal akan kepergiannya, dan aku bersyukur akannya. Tuhan, berilah hambamu pemahaman baik itu.

Untuk pagi, dan untuk segelas kopi.

Jumat, 15 Februari 2013

Menjadi Bijak


Sore ini aku kembali mengayuh sepeda tuaku menyusuri jalanan kota ini. Melengkapi jalanan yang sudah semakin sesak saja dari tahun-ke tahun oleh bermacam kendaraan. Mendung, tapi pengap.

Sore ini aku kembali melanjutkan rutinitas pekerjaanku yang sudah hampir 1,5 tahun kujalani, memberi jam tambahan (ngeles). Sebagian besar anak yang menjadi siswaku adalah anak-anak dari golongan 'mampu'. Sebagian anak-anak itu ikut les karena di paksa orang tua, tapi sebagian lagi karena kebutuhan mereka yang memang membutuhkan les tambahan.

Terkadang pekerjaan ini bisa menjadi cara untuk merefresh otak dari rutinitas kampus, tapi tak jarang pekerjaan ini justru menambah penat suasana. Tapi, apapun itu aku harus bisa menikmatinya. Setidaknya aku bisa mengambil beberapa sisi positif darinya. Ya, bertemu wajah-wajah baru, cerita-cerita baru. Hujan atau terik, jingga atau gelap. Dan yang aku suka dari pekerjaan ini adalah kefleksibelannya, dan gaji yang lumayan tentunya. Aku bebas mengubah jadwal les sesuai waktu yang aku punya.

Tentu saja aku tak mau selamanya menjalani pekerjaan ini. Aku masih membutuhkan petualangan-petualangan baru. Petualangan yang bisa membawaku menapak lebih tinggi pada sisi kedewasaan. Bertemu wajah-wajah baru, budaya-budaya baru, kisah-kisah baru.

Sore ini aku memberi jam tambahan untuk siswi kelas 2 SMA. Ia tampak tak begitu semangat melalui 90 menit pembelajaran ini. Matanya sembab. Di awal ia beralasan bahwa ia masih mengantuk, tapi di akhir ia akhirnya mengakui juga bahwa ia baru putus dari pacarnya.

Ah, elegi masa muda. Percintaan yang masih mentah, tapi juga mengesankan untuk dikenang.

Dulu aku juga pernah mengalami hal yang seperti itu. Kenangan masa SMA, saat umur masih berbilang belasan. Kini umurku sudah berkepala dua, sudah banyak hal yang aku lewati bertahun-tahun dari kisah percintaan masa SMA ku. Sudah banyak kisah yang terlewati. Petualangan-petualangan membawa banyak pelajaran untuk dimaknai.

Sekarang aku melihat kisah siswi lesku itu dengan sebuah sisi kedewasaan, dan ringan aku menimpalinya. "esok bertahun-tahun setelah ini, ada banyak masalah yang lebih kompleks dari masalahmu yang sekarang. Tapi tak usah takut, karena kehidupan akan mengajarimu banyak hal untuk bisa meliwati setiap masalah yang datang. Ia akan dengan sabar mengajarimu tahap demi tahap. Percayalah kalau kau cukup kuat untuk melewatinya." Begitulah aku menasehatinya.

Sambil mengayuh sepeda tuaku menelusuri jalanan senja, aku tersenyum sendiri mengenang kisah-kisahku yang telah lalu, juga nasehat yang baru saja aku sampaikan untuk siswi lesku tadi. Betapa hidup ini terkadang begitu lucu. Tapi yang pasti, hidup mengajari kita untuk menjadi dewasa, tapi kadang kita yang terlalu bebal untuk memahami penjelasan-penjelasannya. Terlalu malas untuk memaknai hal-hal yang terlewati. Bahkan terkadang dengan teganya mengutuk dan menyalahkan kejadian-kejadian yang menimpa, mata hati kita terlalu buta untuk bisa melihat makna-makna yang terselip di balik tumpukan-tumpukan kisah.

Bertahun-tahun yang lalu mungkin aku juga masih sama saja seperti siswi lesku. Terlalu mendramatisir dan eksplosif dalam memandang masalah. Aku lupa bagaimana caranya bersukur. Kisah-kisah percintaan masa-masa SMA yang begitu absurb dan kekanak-kanakan. Kadang aku tertawa sendiri saat mengenangnya. Betapa tidak dewasanya aku dulu. Dan kadang aku berfikir, kalau saja bisa mengulang waktu, tentu ada banyak hal yang ingin aku ubah di masa lalu. Tapi waktu tetaplah waktu, ia adalah kekuatan absolut di dunia ini. Ia berputar dengan caranya sebdiri tanpa memandang keberadaan kita. Ia adalah tangan Tuhan.

Kisah-kisah yang telah terlewat menempa kita agar menjadi lebih tajam dari sebelumnya, kadang proses penempaan itu keras, kadang juga lembut. Kadang begitu lama, kadang juga terlalu singkat. Yang pasti hidup akan selalu sabar mengajari kita untuk menjadi lebih dewasa lagi.

Esok lusa, ketika waktu membawaku jauh melewati masa. Melampaui kisah-kisah. Mungkin aku akan tertawa sendiri saat mengenang kisahku hari ini, masalah-masalah yang menempaku akhir-akhir ini. Tapi setidaknya itu menandakan bahwa aku telah naik ke tingkatan yang lebih tinggi dari sekarang.

Petualangan-petualangan baru, di suatu tenpat yang baru, di waktu yang baru, dengan kisah-kisah yang baru. Esok lusa mungkin aku sudah berbubah, tak seperti yang sekarang ini. Tapi aku percaya, perubahan itu selalu positif selama aku bisa memaknai hidup ini dengan pemahaman yang baik. Aku hanya harus selalu bisa untuk menikmati jalan yang sudah digariskan untukku, bersyukur akan apa yang aku dapat. Berani untuk melewati itu semua.

Karena aku percaya, hidup akan membimbing kita untuk menjadi bijak.

Rumah 14 inci


Setiap orang pasti tau apa itu rumah. Mereka pasti menjawab rumah adalah bangunan tempat tinggal, bisa beratap genteng mahal, maupun beratap rumbia. Berlantai keramik mengkilat, bisa juga hanya tanah liat. Tapi itu rumah secara fisik, menurutku pengertian rumah lebih dari itu, rumah adalah sebuah tempat untuk pulang, hadiah bagi mereka yang mengarungi jarak. Jadi rumah tak melulu tentang bangunan, rumah bisa berbentuk apa saja, yang terpenting adalah rasa nyaman dan tujuan kita untuk pulang dari suatu petualangan. Petualangan yang nyata, maupun petualangan secara harfiah. Petualangan hati.

Begitu pula layar 14 inci ini. Halaman blog ini. Ini adalah salah satu rumahku.

Ya, bagiku halaman blog ini adalah rumah. Tempat tujuan pulangku dari melalui dunia nyata yang selalu membawa banyak kisah berbeda. Sebuah petualangan hidup yang kadang membuatku lelah dan penat. Disaat-saat seperti itulah halaman blog ini selalu berhasil menarikku untuk pulang, sekedar menghela nafas di dalamnya. Halaman blog ini adalah rumah kecilku, rumah 14 inci.

Aku merasa nyaman berada di dalamnya. Udara yang segar, ruang yang lapang, imajinasi yang bebas. Dan di sini, aku bisa berjumpa dengan diriku sendiri, ialah sebagian jiwaku yang selalu mendiami ruang hatiku yang paling dalam. Di sini aku bebas berdiskusi dengannya.

Rumah ini hanya diperuntukan untukku. Tak ada orang lain yang diizinkan mampir ke sini. Aku yang selalu memegang kunci gerbangnya. Ya, karena rumah ini adalah zona nyamanku, tempat dimana aku menikmati kesendirianku, berbagi kopi dengan kesepian. Di sini, aku menikmati jingga yang redup juga hembusan angin dingin saat purnama.

Untuk sahaba-sahabat terbaikku, kalian bukanlah omong kosong, kalian adalah orang-orang terbaik yang pernah ada dalam hidupku. Aku percaya kalian. Sangat. Tapi pria idealis ini juga seorang pria rapuh yang selalu merasa kuat (karena dengan inilah aku mencoba tetap hidup). Aku butuh sendiri dalam kepenatanku, dan rumah 14 inci ini selalu menawarkan kenyamanan istirahat setelah aku menempuh perjalanan jauh yang menguras banyak energi kehidupan. Semangat. Dan di dalam sini, terlalu banyak coretan-coretan tentang hidupku, dan di dalamnya lebih banyak coretan tentang kalian. Terutama kau, gadis kecil.

Ah ya, maaf kalau untuk sekarang ini aku masih ingin sendiri saja berkunjung ke rumah 14 inciku ini. Karena aku masih belum juga berdamai dengan perasaanku, masih terlalu banyak hal yang ingin aku diskusikan dengan separuh jiwaku yang tinggal di sini. Dan aku masih belum bisa melibatkan kalian dalam diskusi absurb ini. Terutama kau gadis kecil. Karena sebagian hal itu adalah tentangmu. Maaf. Aku tak bermaksud untuk tak terbuka dengan kalian.

Diakui atau tidak, dan meskipun aku selalu berusaha untuk menutupi ini. Aku masih memendam perasaan itu, mungkin hanya berkurang sedikit setiap harinya. Tapi terkadang perasaan itu dengan teganya selalu berhasil menjebakku hingga aku terkadang sibuk merangkai kejadian-kejadian disekitar kita untuk membenarkan perasaan itu berharap, menghubung-hubungkan banyak hal agar perasaan itu senang menimbun mimpi, dan terkadang aku lupa mana simpul yang nyata, dan mana simpul yang dusta. Sungguh tega. Aku masih belum bisa mengendalikan perasaan ini, aku masih terlalu rapuh.

Kalian tau, saat seseorang lain yang menyukaimu mencurahkan cerita tentang mu, gadis kecil. Perasaan itu dengan teganya kembali mengikat ku dengan akar-akarnya yang tiba-tiba keluar dari tanah (yang kukira sudah mati), erat hingga aku tercekat. Dan apa yang bisa kulakukan? Perasaan itu berhasil menjebakku. Perasaan itu belum benar-benar mati.

Aku selalu berusaha memungkiri itu semua, selalu tampil di depan kalian dengan memakai baju zirah yang kuat. Tapi, di dalamnya hanya ada sebuah daging merah yang empuk, rapuh. Aku selalu berkata pada kalian bahwa perasaan itu sudah hilang, tapi itu semua hanya omong kosong. Sungguh susah untuk menangani, mengendalikan bentuk perasaan seperti itu.

Kalian tau, aku selalu merasa canggung ketika ada kamu, gadis kecil. Serasa ada jarak yang mungkin cuma aku yang menyadarinya. Aku masih terlalu canggung untuk membicarakan masalah ini dengan kalian, apalagi dengan mu, gadis kecil. Karena aku belum benar-benar berdamai dengan perasaanku.

Tapi bukan maksudku untuk menyalahkan keadaan ini. Karena cinta itu tak pernah salah, ia bisa datang kepada siapa dan kapan saja semaunya. Ia selalu indah. namun, bagiku perasaan ini hanyalah pelangi. Ia memang indah dengan tujuh warnanya. Tapi ia hanya sesaat menerangi bumiku setelah turun hujan. Esok lusa, pelangi itu pasti mengabur, memudar, kemudian hilang. Digantikan cahaya mentari, yang selalu menerangi bumiku ini. Ialah cahaya persahabatan kita, cinta sejati.

Esok lusa pasti akan ku bawa kalian mengunjungi rumah 14 inciku ini, setelah semua urusan dengan perasaanku (bukan dengan siapa-siapa, bahkan kau gadis kecil) ini selesai. Dan bendera putih telah dikibarkan, tanda aku sudah berdamai dengan perasaanku, pasti akan ku ajak kalian berkeliling. Kita tertawa bersama mengenang betapa absurbnya aku bisa menyukaimu gadis kecil. Tertawa mengenang banyak kisah, massa itu pasti datang. Percayalah karena bumi ini selalu berputar, begitu pula dengan bumiku.

Oh ya, esok aku akan mengunjungi gunung merbabu, rumahku yang lain. Di sana juga akan ku curahkan semua kisahku, berharap Tuhan melapangkan hatiku, biar sedikit saja. Hingga pemahaman kebaikan itu datang, dan aku bisa berdamai dengan perasaan ku ini.

Tunggulah saat-saat itu sahabat, sekarang ini, biarlah aku mencobanya sendiri. Menikmati kesendirian dan kesepianku ini. Di rumah sederhanaku, rumah 14 inci.

Masing-masing dari kita berjalan dengan jalan masing-masing dengan langkah yang tentu berbeda. Tapi ingatlah, kita terikat satu sama lain oleh simpul tali yang tak tampak. Ikatan persahabatan.

Sahabat-sahabat terbaikku, aku mencintai kalian sepenuh hatiku...

Selasa, 12 Februari 2013

Hujan Diantara Kita



Hujan kembali turun dengan derasnya, angin berhembus kencang membawa butiran-butiran hujan menghempas wajah. Perih dan dingin. kita ber empat berjalan terhuyung dalam sebuah jalan temaram dibalik bukit itu, tapi kita coba tetap berjalan, menanti sebuah warna. Bukan pelangi, tapi sebuah warna yang lebih indah. Ialah warna persahabatan.

Gadis kecil, gadis polos, lelaki berkacamata. Peganglah tanganku, kita berjalan bersama-sama. Jangan pernah meragu akan pegangan ini, atau kita akan terhempas dan yang aku takutkan aku tak bisa lagi memandang wajah kalian di dalam kotak penyimpanan rahasisa di dalam hatiku.

Percayalah, persahabatan kita ini bukanlah sebuah omong kosong belaka. Maaf kalau aku pernah mengacaukannya, ketika sebuah perasaan baru mencuat ke permukaaan dan mengacaukan putaran kita. Hingga pegangan kita renggang dan hampir terlepas. Tapi percayalah, aku selalu berusaha sekuat yang aku bisa untuk tetap bertahan dan menghapus semua rasa yang tertinggal dan mengerak di dalam hatiku.

Karena aku bangga bisa menjadi bagian dari persahabatan luar biasa ini.

Gadis kecil, maaf kalau kau merasa kecewa dan menjadi orang bodoh karena sebuah rahasia kecil yang kami sembunyikan darimu. Tapi percayalah, ini hal terbaik yang bisa kami lakukan agar kita tetap bisa berjalan beriringan.

Kami tak pernah bermaksud untuk munutupi semua ini darimu, karena kami juga (kalau bisa) tak pernah mau menjadi bagian dari rahasia ini. Tapi kenyataan dengan teganya menjadikan jalan cerita yang seperti ini. Kami juga tak bermaksud untuk memojokanmu dalam situasi seperti ini. Tapi, keadaan kadang memaksa kami untuk seakan-akan berkonspirasi dalam sebuah bualan besar.

Kalian tau, sebenarnya aku tak pernah yakin akan keberadaanku dalam keadaan ini. Aku seperti dalam sebuah persimpangan rawa-rawa, dimana aku terhisap ke antaranya. Dan yang paling menyakitkan adalah, aku terhisap oleh rawa-rawa di dalam hatiku sendiri. Karena entah banyak atau tidak, tapi yang pasti rasa itu masih bersisa di dalam sebuah ruang di dalam hatiku. Rasa yang harusnya tak pernah berbunga, perasaan sayangku padamu gadis kecil.

Sebuah lelucon besar memang, di mana aku terjebak dalam situasi ini. Persahabatan yang begitu indah, juga perasaan yang coba untuk di buang jauh-jauh, dan kemudian datang seorang lain membawa cerita cintanya untuk mu gadis kecil. Sebuah situasi yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Lelaki berkacamata, posisi kita disini hampir sama. Sebagai orang yang mendapat kepercayaan dan sebagai seorang sahabat, tapi aku menanggung satu beban lagi yang tak ada padamu, sebuah beban yang lebih berat dari kedua hal tadi. Rasa yang masih tertinggal di dalam hatiku. Tapi apapun itu aku bersyukur melalui ini bersamamu, bersama kalian.

Gadis kecil, kau pernah berkata bahwa aku adalah seorang idealis dan sama sekali tidak fleksibel. Untuk yang pertama memang benar, tapi yang kedua kau salah besar. Justru aku adalah seorang yang sangat fleksibel, lebih dari seperti yang kau bayangkan. Dan dengan kefleksibelanku inilah aku menjadi seorang yang idealis, dan bahkan aku justru kerap terjebak di dalamnya, seperti aku sedang terjebak sekarang ini.

Aku mencoba untuk memposisikan diri sebagai sahabatmu, sebagai penjaga kepercayaan seseorang yang datang untuk mencintaimu, juga memposisikan diri sebagai seseorang yang berusaha untuk tak terjebak dalam ilusi hati. Dan aku benar-benar terjebak dalam kefleksibelan ini, aku tak pernah bisa tegas untuk bertindak. Terkadang aku benci akan sikapku yang seperti ini.

Gadis polos, maaf kalau selama ini aku bersembunyi dibalik mu dari rasaku akan gadis kecil. Aku sebenarnya tak pernah mau akan situasi ini, tapi aku begitu rapuh untuk tetap berdiri sendiri. Maaf kalau aku membawamu dalam putaran absurp ini, semuanya begitu random.

Apapun itu, aku berjanji akan berusaha yang terbaik yang bisa aku lakukan, untukmu gadis kecil, gadis polos, juga lelaki berkacamata. Aku akan menjadi seseorang yang idealis dengan kefleksibelannya. Dan aku akan sekuat tenaga memegang erat tangan kalian, kita berjalan bersama dalam hujan ini. Aku percaya, semua ini membuat kita sedikit lebih dewasa dari sebelumnya.

Warna Persahabatan Kita



Bagiku, persahabatan kita ini bukanlah sebuah omong kosong atau bualan besar. Bagiku, persahabatan kita ini adalah sesuatu yang luar biasa, pekat seperti secangkir kopi hitam.

Kalian tau, masing-masing dari kita datang dengan warna yang berbeda, dan walaupun aku tak benar-benar tau warna dari masing-masing kita, tapi begitu keseluruhan warna itu bercampur dalam satu adukan random aku bisa melihat sebuah warna. Warna yang tak terdapat dalam tujuh warna pelangi, sebuah warna yang apabila melingkar setengah lingkaran setelah hujan reda akan mengalahkan keindahan pelangi dengan tujuh warnanya. Warna itu, menenangkan dan menyejukan.

Tapi, warna ini tak berbentuk dan berasa. Namun Ia ada, menguatkan dan indah. Karena warna ini adalah udara yang selalu ada di dalam rongga dada, di sebelah kanan di bagian bawah.