Segumpal
daging terbungkus kulit, itu secara umum. Tapi jika kau lihat sekilas saja,
bahkan lebih lama maka kau akan sangsi kalau yang kau lihat itu benar-benar
daging, bagai mana bisa kau mengatakan itu segumpal daging kalau yang kau lihat
hanyalah goresan kasar dari tulang-tulang yang mencuat. Tapi manusia ya tetap
manusia, ia tetaplah daging yang diberi jiwa, walau kadang jiwa itu tak
terlihat seperti jiwa sebagaimana seharusnya. Seperti segumpal daging ini, yang
sedang mencoba mengartikan tulisan-tulisan jiwanya. Seseorang yang sedang
mencari jati diri, mencoba mendefinisikan kata ‘aku’. Yang baru ia tau sekarang
hanya bahwa ia itu laki-laki yang lahir 20 tahun lalu. Tapi itu saja sudah
lebih baik dari pada yang belum bisa menentukan laki-laki atau perempuan kah
dirinya, setidaknya ada yang bisa ia mengerti untuk disukuri. Walau masih
sedikit, karena masih terlalu banyak penjelasan yang belum ia mengerti,
penjelasan Tuhan tentunya.
Hari
ini kembali ia mencoba mengerti penjelasan-penjelasan itu, dengan duduk sendiri
merenungi hidup, meresapi keramaian di depan kostnya. Diam nya adalah bentuk
usaha nya mencari penjelasanNya, walau mungkin tidak seperti yang dilihat
orang. Tapi bukankah setiap orang memang bebas berpendapat, baik berkomentar
tentang apa yang dilakukan orang lain maupun berpendapat untuk menentukan
hidupnya sendiri. Pendapat memang selalu relative tentang siapa dan dari sudut
pandang yang mana. Tapi sekarang ia hanya sedang mencoba berpendapat lewat
SENJA.
Ia
memang selalu suka senja, mulai dari keindahan secara langsung yang ia terima
lewat inderanya maupun lewat suasana yang ia lihat lewat hatinya. Senja memang
indah, dari warna kemerahannya, dari berubahnya suasana, dan yang paling indah
menurutnya adalah bahwa senja telah mengantar malamnya, menutup siangnya.
Membawa kedamaian dan ketenangan malam, dan mengantar penatnya siang, lebih
dari itu senja selalu menjadi waktu yang tepat untuk melepas penat, sejenak ber
istirahat, menikmati hidup.
Harum
kopi menemaninya sejenak menikmati senja kali ini. Sendiri ia meresapi suasana,
suasana senja yang teramat damai. Akhir pekan memang selalu seperti ini, kost
sepi karena yang lainnya, pulang ke suatu tempat yang mereka sebut rumah, tapi
menurutnya rumahnya sekarang ya tempat ia duduk sekarang. Bukankah rumah itu
adalah suatu tempat yang membuatmu merasakan nyaman, merasakan hembusan udara
yang kau hirup. Seperti halnya perkampungan dimanapun, suasana didepan kostnya
pun ramai akan penduduk asli. Ada anak-anak yang berkejaran berebut bola sementara
anak lainnya menangis keras beradu argumen dengan ibunya bahwa jajanan somai
benar-benar enak, dan ibu-ibu yang lain sibuk membicarakan hidup orang lain.
Tapi yang sedang laki-laki ini pikirkan sekarang hanyalah tentang hidupnya
semata, lewat senja tak peduli dengan teriakan, tangisan, atau bisik-bisik
disekitarnya. Yang ia tau hanya ada senja yang bersiap mengantarkan malamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar