Selasa, 10 April 2012

Kisah 3 Desember 2011 : Tentang Aku dan Senja



Segumpal daging terbungkus kulit, itu secara umum. Tapi jika kau lihat sekilas saja, bahkan lebih lama maka kau akan sangsi kalau yang kau lihat itu benar-benar daging, bagai mana bisa kau mengatakan itu segumpal daging kalau yang kau lihat hanyalah goresan kasar dari tulang-tulang yang mencuat. Tapi manusia ya tetap manusia, ia tetaplah daging yang diberi jiwa, walau kadang jiwa itu tak terlihat seperti jiwa sebagaimana seharusnya. Seperti segumpal daging ini, yang sedang mencoba mengartikan tulisan-tulisan jiwanya. Seseorang yang sedang mencari jati diri, mencoba mendefinisikan kata ‘aku’. Yang baru ia tau sekarang hanya bahwa ia itu laki-laki yang lahir 20 tahun lalu. Tapi itu saja sudah lebih baik dari pada yang belum bisa menentukan laki-laki atau perempuan kah dirinya, setidaknya ada yang bisa ia mengerti untuk disukuri. Walau masih sedikit, karena masih terlalu banyak penjelasan yang belum ia mengerti, penjelasan Tuhan tentunya.

Hari ini kembali ia mencoba mengerti penjelasan-penjelasan itu, dengan duduk sendiri merenungi hidup, meresapi keramaian di depan kostnya. Diam nya adalah bentuk usaha nya mencari penjelasanNya, walau mungkin tidak seperti yang dilihat orang. Tapi bukankah setiap orang memang bebas berpendapat, baik berkomentar tentang apa yang dilakukan orang lain maupun berpendapat untuk menentukan hidupnya sendiri. Pendapat memang selalu relative tentang siapa dan dari sudut pandang yang mana. Tapi sekarang ia hanya sedang mencoba berpendapat lewat SENJA.

Ia memang selalu suka senja, mulai dari keindahan secara langsung yang ia terima lewat inderanya maupun lewat suasana yang ia lihat lewat hatinya. Senja memang indah, dari warna kemerahannya, dari berubahnya suasana, dan yang paling indah menurutnya adalah bahwa senja telah mengantar malamnya, menutup siangnya. Membawa kedamaian dan ketenangan malam, dan mengantar penatnya siang, lebih dari itu senja selalu menjadi waktu yang tepat untuk melepas penat, sejenak ber istirahat, menikmati hidup.

Harum kopi menemaninya sejenak menikmati senja kali ini. Sendiri ia meresapi suasana, suasana senja yang teramat damai. Akhir pekan memang selalu seperti ini, kost sepi karena yang lainnya, pulang ke suatu tempat yang mereka sebut rumah, tapi menurutnya rumahnya sekarang ya tempat ia duduk sekarang. Bukankah rumah itu adalah suatu tempat yang membuatmu merasakan nyaman, merasakan hembusan udara yang kau hirup. Seperti halnya perkampungan dimanapun, suasana didepan kostnya pun ramai akan penduduk asli. Ada anak-anak yang berkejaran berebut bola sementara anak lainnya menangis keras beradu argumen dengan ibunya bahwa jajanan somai benar-benar enak, dan ibu-ibu yang lain sibuk membicarakan hidup orang lain. Tapi yang sedang laki-laki ini pikirkan sekarang hanyalah tentang hidupnya semata, lewat senja tak peduli dengan teriakan, tangisan, atau bisik-bisik disekitarnya. Yang ia tau hanya ada senja yang bersiap mengantarkan malamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar