Selasa, 17 April 2012

Antara Aku, Waktu dan Merapi



Pagi, siang, senja, malam, kemudian berputar lagi melewati pagi…

Begitulah waktu, selalu berputar dengan cara yang sama melewati kisah yang berganti tiap ia lewati. Bahkan terkadang justru ia yang dengan jahil meninggalkan goresan kisah pada tiap jejaknya. Bukankah yang namanya goresan itu terkadang menyakitkan, terkadang pula sebuah kenangan indah yang akan selalu sulit untuk dilupakan…

Waktu itu seperti roda besar yang berputar dengan kecepatan konstan menggunakan sebuah mesin yang sangat misterius. Tak peduli ada batu yang menghalanginya, tak peduli ada lubang yang siap menjebaknya, roda waktu akan terus berputar, dengan kecepatan yang sama, dengan cara yang sama. Tak peduli kita sedang berduka, atau pun sedang berbahagia, waktu akan terus berputar, meninggalkan jutaan kisah menjadi kepingan-kepingan kenangan yang terkadang tak pernah bisa dilupakan…

Itulah keagungan dari sang waktu, yang digerakan oleh sebuah energy misterius, oleh tangan Tuhan…

Ada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan…

Pernah aku mendengar dari sebuah film, kebahagiaan itu, saat-saat dimana kita merasa bahwa tak ada masa lalu, masa depan, yang ada hanya masa sekarang. Memang benar adanya, saat-saat dimana kita tidak memikirkan masa lalu dan masa depan, rasanya semua beban terangkat, semua kisah yang menjemukan ditutup, hanya ada kesenangan waktu sekarang, tak perlu bersusah-susah memikirkan masa lalu dan masa depan. Rasanya semua hal menjadi indah. Inilah cara yang tepat untuk sejenak menyingkir dari penatnya hidup. Tapi, seharusnya hanya sesaat saja kita boleh berpandangan seperti itu, karena seperti yang sudah aku katakana, bahwa waktu akan terus berputar dengan kecepatan yang sama, dengan cara yang sama, maka kita harus bisa kembali mengejarnya, berlari meraih masa depan kita masing-masing. Dan semua yang telah tertinggal dibelakang, hanya tinggal menyisakan rekaman kisah yang sudah seharusnya kita kenang, karena sesekali kita memang harus melihat rekaman itu, untuk menentukan kemana kita akan melangkah, kemana kita akan berlari untuk mengejar sang roda waktu…

Juga seperti dua hari kemarin, kenangan indah yang tak pernah bisa ku lupakan. Kenangan indah dipuncak merapi…

Entahlah, karena memang sepertinya aku sudah jatuh cinta dengan merapi. Sudah dua kali aku mencapai puncaknya, tapi tetap saja, rasa senangnya tak akan bisa berubah. Keindahan dan keagungan merapi, selalu saja bisa membuatku melupakan masa lalu, juga masa depan. Hanya ada waktu sekarang, berdua hanya aku dan merapi…

Karena aku suka naik gunung…

Berkejar-kejaran dengan kabut tipis yang perlahan naik, atau berlindung dibalik batu saat kabut tipi situ turun perlahan melewati bukit…

Sejenak menghela nafas, mengelap keringat yang tercecer kemana-mana, duduk diatas batu memandang ke luasnya daratan yang hijau…

Saling bertanya, kapan jalan setapak ini berujung, atau sekedar saling meneriaki kata-kata penuh semangat…

Dan aku suka…

Dua hari yang lalu, yang sekarang masih menyisakan sakit pada otot-ototku, juga jejak senar mentari yang membakar wajahku…

Aku suka…

Pendakian merapi dua hari yang lalu mengajarkanku akan banyak hal, terutama tentang tanggung jawab. Ya, pendakian kemarin aku yang bertindak sebagai ketua, berat rasanya mengemban tanggung jawab itu. Karena semua kru adalah pendaki amatir, yang sebenarnya adalah kawan satu perjuangan mendapatkan title S.Pd. sebelas orang pendaki, hanya aku dan satu kawanku yang sudah berpengalaman, tapi justru disitulah letak keindahan itu, karena aku banyak belajar tentang sebuah kepemimpinan dan tanggung jawabnya…
Inilah salah satu yang kusuka dari pendakian, semuanya tiba-tiba menjadi keluarga, dan setiap orang benar-benar menjadi dirinya sendiri, karena tiap kebohongan dan topeng yang selalu dipakai telah diterbangkan oleh angin gunung yang begitu dingin. Memang kadang ada yang menyebalkan, ada pula yang menyenangkan, tapi bukankah semua itu diri mereka sendiri. Setidaknya itu lebih baik dari sekedar berpura-pura baik…

Banyak tawa dan canda yang terukir di tiap hentakan kaki di lereng merapi yang hijau dan dingin, banyak peluh yang menetes, banyak pula teriakan-teriakan pembakar semangat, teriakanku tentunya…

Karena aku sebagai ketua pendakian, sudah menjadi tanggung jawabku untuk meneriaki mereka…

Hari yang indah, tak ada masa lalu, dan masa depan…

Wajah-wajah yang cemas akan badai yang menerjang semalam, atau saat mentari begitu telak membakar wajah, lelah.. dan selalu membuatku tersenyum saat mengenangnya… besemangat bercerita tentang hari kemarin…

Sebenarnya pendakian merapi kemarin sebagai pelunas hutangku pada seorang gadis, karena aku telah berjanji untuk mengajaknya menikmati senja di puncak merapi, namun sayang alam tak merestui senja untuk gadis kecil itu, dan kini janji itu menggantung tinggal separuh saja, entahlah…

Aku tahu dia sangat suka akan senja, karena banyak hal yang ia lewati bersama senja di masa lalu, dan aku masih saja belum bisa membawakan senja yang indah yang sudah aku janjikan, maaf…

Terlepas dari itu semua, pendakian merapi kemarin benar-benar berkesan, benar-benar indah, banyak hal yang tak mampu ku tulis, banyak hal yang hanya bisa kurekam lewat kepingan-kepingan kenangan yang tersimpan rapi di kepala kecilku…

Dan waktu kembali berputar, membawaku kembali pada rutinitas ini, memang penat dan menjemukan, tapi sebenarnya ada banyak hal yang bisa ku ambil untukku belajar lagi, agar kelak dapat lebih banyak penjelasan tuhan yang mampu aku pahami. Dan ada banyak cara yang bisa ku tempuh dalam memandang hidup ini…

Terima kasih waktu,, terimakasih gunung merapi,, aku akan selalu merindukan rimbamu,, juga merahnya sinar mentari saat melambai dari balik punggungmu,, saat senja datang…
Terima kasih semua…

Waktu kembali berputar, sperti kemarin…

Kamis, 12 April 2012

kebohongan

Malam telah larut...

Dan hujan telah lama berlalu,, menyisakan basah pada aspal juga daun-daun yang masih menggantungkan tetes-tetesnya...

Sayangnya aku tak tau kalau hujan turun tadi, aku tak berkesempatan menikmati sejuk tiap tetesnya, merdu suaranya... aku hanya berkesempatan menikmati sisa lembabnya...

Malam yang basah dan lembab, tak apalah... Masih berkesempatan menikmati sisa hujan malam ini juga sudah indah, karena setidaknya masih ada hal yang bisa untuk kusyukuri...

Malam merangkak perlahan, sesekali loncat menghindari genangan sisa hujan tadi, tapi rasanya aku masih saja belum beranjak dari tampatku sekarang, walaupun sebenarnya aku entah berada dimana sekarang...

Ya, aku tak tau dimana tepatnya aku sekarang. Yang aku tahu bahwa aku hanya bisa melihat waktu berkelebat dengan cepat melewati ujung mataku, terlalu dekat, tapi aku juga tak bisa meraihnya. Aku hanya bisa duduk di sini, di suatu tempat yang tak kuketahui...

Hari-hari yang berlalu kemarin, terasa sangat cepat. Lewat begitu saja, bahkan aku belum sempat memandang seluruh wajahnya. Aku hanya bisa melihat bayangnya menghilang ujung kelokan jalan. Waktu jauh meninggalkan ku...

sebenarnya aku sudah berusaha lari secepat yang aku bisa, namun aku tak jua beranjak. Bukan kah sering kita bermimpi, kita berusaha untuk berlari dari kejaran mimpi buruk, namun tak jua kita mau melangkah. Mungkin begitulah keadaan ku sekarang...

Hari-hari yang berlalu, lewat begitu saja. Namun aku malah marasa semakin hampa. Dan aku merasa sendiri, aku benar-benar ingin sendiri. Menikmati malam ini...

Entahlah, rasanya tak ada hari yang istimewa, tak ada juga kesibukan yang menjadikan semangatku meletup-letup seperti minggu kemarin. Hanya secangkir kopi, begitu saja, sederhana...

Mungkin rencana esok sabtu untuk naik merapi, yang sedikit membuatku bergairah, karena aku rindu belaian mesra angin gunung. kecupan mesranya saat ku menggigil didalam malamnya, juga genggaman tangannya saat peluh bercucuran dibawah mentari, dan aku akan selalu berlindung dibalik rimbanya.. Ku rindu...

Namun itu masih dua hari lagi, sekarang, malam ini... Aku sepi....

Aku iri pada mereka yang masih berkesempatan untuk menikmati kebahagiaan, kesakitan, entahlah... Sepertinya aku tak bisa merasakan apapun... hanya hampa, sesederhana itu..

Rasanya hari-hari ini begitu penat. Penat oleh sesatu ketiadaan. Bukankah kadang justru kelelahan datang saat kita tak tau untuk berbuat apa-apa...

Rasanya terlalu banyak kebohongan, entah itu kebohongan kepada orang lain maupun kepada diriku sendiri. Karena memang ku tak tau pasti akan kebenaran... Aku memang belum tau siapa aku sendiri, memang...

Rasanya, guratan wajah ini sudah kaku, terlalu berat untuk menarik bibir, untuk menyungging sebuah senyum yang ikhlas, benar-benar lepas... Aku ingin tertawa lepas...

Apa benar kehampaan ini, kesendirian ini sudah mencapai batasnya, karena tiba-tiba aku merasa lelah. Aku merasa bosan untuk tertawa dalam kepalsuan ini, rasanya jiwa ini selalu berteriak saat ku coba untuk tertawa. Dan akhirnya hanya tawa palsu ini yang mampu ku biarkan mengalir lewat bibir ini. Aku muak...

Kenapa tiba-tiba aku begitu muak, begitu bosan akan hidup ini. Akan tawa disekitarku, akan kebersamaan... Tiba-tiba aku hanya ingin sendiri... Aku muak...

Aku muak untuk berbohong... Aku muak akan semua kepalsuan ini...

Tapi bukankah saat kita merasa lelah, kita akan lebih peka terhadap apapun. Kadang kita bisa sangat cepat marah, kadang pula bisa tertawa tanpa sebab...

Aku hanya perlu menikmati ini.. Dan aku ingin sendiri menikmati ini, menikmati semua kehampaan ini...

Mungkin dengan semua kehampaan ini, aku bisa lebih peka lagi dalam memandang hidup. karena aku ingin seperti itu. aku ingin bisa melihat keindahan dari sesuatu yang tak dapat kulihat... Ku ingin lebih peka...

Mungkin dengan ini, aku lebih memiliki banyak kesempatan untuk menikmati malam, untuk mengerti siapa aku, karena aku bosan menjadi orang lain, dengan semua kepalsuan ini. Kepalsuan tawa ini. Dan aku hanya ingin tertawa lepas, berjalan apa adanya...

Malam.... bantu aku mengerti semua penjelasan ini,, temani kesendirianku,, temani kehampaanku...

Dua hari lagi, Merapi .. tunggu aku,, aku rindu akan rimbamu, aku rindu akan senja mu... Aku benar-benar rindu................

Selasa, 10 April 2012

Kisah 3 Desember 2011 : Tentang Aku dan Senja



Segumpal daging terbungkus kulit, itu secara umum. Tapi jika kau lihat sekilas saja, bahkan lebih lama maka kau akan sangsi kalau yang kau lihat itu benar-benar daging, bagai mana bisa kau mengatakan itu segumpal daging kalau yang kau lihat hanyalah goresan kasar dari tulang-tulang yang mencuat. Tapi manusia ya tetap manusia, ia tetaplah daging yang diberi jiwa, walau kadang jiwa itu tak terlihat seperti jiwa sebagaimana seharusnya. Seperti segumpal daging ini, yang sedang mencoba mengartikan tulisan-tulisan jiwanya. Seseorang yang sedang mencari jati diri, mencoba mendefinisikan kata ‘aku’. Yang baru ia tau sekarang hanya bahwa ia itu laki-laki yang lahir 20 tahun lalu. Tapi itu saja sudah lebih baik dari pada yang belum bisa menentukan laki-laki atau perempuan kah dirinya, setidaknya ada yang bisa ia mengerti untuk disukuri. Walau masih sedikit, karena masih terlalu banyak penjelasan yang belum ia mengerti, penjelasan Tuhan tentunya.

Hari ini kembali ia mencoba mengerti penjelasan-penjelasan itu, dengan duduk sendiri merenungi hidup, meresapi keramaian di depan kostnya. Diam nya adalah bentuk usaha nya mencari penjelasanNya, walau mungkin tidak seperti yang dilihat orang. Tapi bukankah setiap orang memang bebas berpendapat, baik berkomentar tentang apa yang dilakukan orang lain maupun berpendapat untuk menentukan hidupnya sendiri. Pendapat memang selalu relative tentang siapa dan dari sudut pandang yang mana. Tapi sekarang ia hanya sedang mencoba berpendapat lewat SENJA.

Ia memang selalu suka senja, mulai dari keindahan secara langsung yang ia terima lewat inderanya maupun lewat suasana yang ia lihat lewat hatinya. Senja memang indah, dari warna kemerahannya, dari berubahnya suasana, dan yang paling indah menurutnya adalah bahwa senja telah mengantar malamnya, menutup siangnya. Membawa kedamaian dan ketenangan malam, dan mengantar penatnya siang, lebih dari itu senja selalu menjadi waktu yang tepat untuk melepas penat, sejenak ber istirahat, menikmati hidup.

Harum kopi menemaninya sejenak menikmati senja kali ini. Sendiri ia meresapi suasana, suasana senja yang teramat damai. Akhir pekan memang selalu seperti ini, kost sepi karena yang lainnya, pulang ke suatu tempat yang mereka sebut rumah, tapi menurutnya rumahnya sekarang ya tempat ia duduk sekarang. Bukankah rumah itu adalah suatu tempat yang membuatmu merasakan nyaman, merasakan hembusan udara yang kau hirup. Seperti halnya perkampungan dimanapun, suasana didepan kostnya pun ramai akan penduduk asli. Ada anak-anak yang berkejaran berebut bola sementara anak lainnya menangis keras beradu argumen dengan ibunya bahwa jajanan somai benar-benar enak, dan ibu-ibu yang lain sibuk membicarakan hidup orang lain. Tapi yang sedang laki-laki ini pikirkan sekarang hanyalah tentang hidupnya semata, lewat senja tak peduli dengan teriakan, tangisan, atau bisik-bisik disekitarnya. Yang ia tau hanya ada senja yang bersiap mengantarkan malamnya.

Senin, 09 April 2012

Puisi-puisi

Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, banyak kisah, juga cerita. Namun akhir-akhir ini aku lebih merasa melankolis, entah apa penyebabnya. Mungkin karena hidup yang sangat melelahkan ini kemudian pelan-pelan membawaku pada imajinasiku sendiri, atau mungkin karena efek novel terakhir yang kubaca.

Tiga pusi untuk hari-hari kemarin....


Hujan Turun di Ujung Jalan Itu


Butiran-butiran yang jatuh
Membasahi daun, aspal, juga redup lampu kota
Berkejaran satu dengan yang lainnya
Berlomba, mengumbar ego menuju tanah kering
Akhirnya hujan turun di ujung jalan itu


Muda-mudi tertawa nyaring
Menghindari genangan juga cipratannya
Saling bergandeng, berlari riang
dan akhirnya menghilang dibalik redup lampu kota
Karena hujan turun di ujung jalan itu


Bulan malu-malu mengintip
Menikmati tetes demi tetes yang jatuh
Membasahi helai demi helai daun yang kering
Merangkainya kembali menjadi utuh
Potongan-potongan saat hujan turun di ujung jalan itu


Esok mungkin mentari akan menghapus jejak basah ini
menggantinya dengan sajian debu pekat
Dan waktu kembali berputar seperti hari kemarin
Saat wajah-wajah yang gelisah menengadah cemas
karena sepi menakutinya dengan topeng warna-warni


Biarlah sejenak aku nikmati potongan kisah ini
Saat hujan turun di ujung jalan itu




Untuk Burung Kecil


Burung kecil terbang rendah
dengan kepaknya yang kecil,
dengan matanya yang kecil,
dengan ekornya yang kecil,
dengan kakinya yang juga kecil,
Lalu hinggap malu-malu di dahan yang tak lagi kering


Sendirian...
Menatap luasnya langit senja
Menikmati curahan hujan di bulan Desember
Bertahan dari hempasan badai Selatan
Berharap esok ia dapat terbang tinggi
menggapai awan menuju ujung pelangi
yang terbit di ujung hujan Desember


Dan aku masih saja di sini
mengagumi tekad seekor burung kecil






Kerinduan


Dini hari aku terjaga
dan kini masih juga membaca
tentang hidup,
tentang aneka warna,
atau yang orang sebut dengan 'cinta'


wajah-wajah yang berganti
dari waktu ke waktu,
dari saat ke saat,
dengan rasa dan bentuk yang berbeda
tapi tetap saja selalu sama
karena itu semua hanyalah topeng


Bumi kembali berputar
menyapa sang mentari,
dengan cara dan sisi yang selalu sama
tak ada topeng, tak ada pembatas
dan selalu membawa pada satu ingatan yang sama
kembali pada satu wajah yang sama
tanpa topeng, tanpa pembatas


Entah ini yang orang sebut dengan 'cinta'?
tapi yang aku tahu, inilah kerinduan...

Jumat, 06 April 2012

Kisah Malam Tadi

Sinar mentari bergerak lincah melewati celah-celah jendela. Membangunkanku dari mimpi-mimpi- malam, membiarkan kantuk menggantung di sela pagi.

Hari sudah dimulai lagi, ada banyak hal yang harus dikerjakan.

Ada janji-janji kehidupan yang harus diraih, dan ada hidup yang harus dimaknai.

Seduh segelas kopi, dan hari telah dimulai lagi....

Mungkin memang hari yang berat, mungkin juga melelahkan, karena memang kahir-akhir ini ada banyak hal yang menunggu diselesaikan. Tapi semua itu adalah bentuk dari sebuah kesempatan yang Tuhan berikan, agar kita bisa memaknai hidup...

Kemarin, hujan turun tanpa jeda, dari sore hingga malam. Ada gerimis yang menggantung disela senja...

Aku suka, hujan, gerimis, dan senja...

Gerimis yang menolongku dari penatnya hidup, dengan berbagai masalahnya. Gerimis datang disaat yang tepat, saat banyak pekerjaan menumpuk yang belum terselesaikan, saat beberapa masalah hidup datang silih berganti, dan saat aku merasa sepi...

Saat butirnya tepat menyapa wajah ini, dingin, sejuk... Meredupkan beban hati juga mendinginkan fikiran, dan yang pasti sepi akan diuapkan oleh kesejukannya, karena ketika butirnya tepat menyapa wajah, maka aku bisa merasakan dingin, aku bisa merasakan sejuh, aku bisa merasakan perih, hingga kehampaan sang sepi akhirnya mengalah pergi. Aku suka gerimis...

Mungkin esok bisa saja aku sakit karena gerimis ini, tapi setidaknya aku bisa terlepas dari sepi. Karena aku suka gerimis senja...

Ketika senja telah menyambut malam dengan alunan adzan Magrib, gerimis tak kunjung usai. Hingga adzan Isya terdengar, gerimis masih saja setia. Seperti aku yang masih setia memandang gerimis. menikmati alunan merdunya. karena aku masih saja merasa penat, dengan semua pekerjaan dan tumpukan buku-buku tebal yang menggunung. Dan aku masih saja merasa sepi dengan semua pekerjaan itu...

Namun malam selalu saja berhasil membawaku menapaki zona prifasiku, mendamaikan antara aku dengan aku. Malam yang tenang, malam yang hening, dan dengan secangkir kopi...

Malam selalu mengajariku banyak hal, membimbingku pada pemahaman, mengajakku melihat dari sudut pandang yang berbeda...

Aku suka malam....

Malam pun akhirnya membangunkanku, dari sejuknya gerimis, dari gelapnya malam. Ada keindahan yang tak pernah kulihat. ketika gerimis turun perlahan, mencurahkan sisa-sisa air yang ia punya. Ku melihat ke langit, pemandangan yang indah....

Awan kelabu yang menggantung beriringan, berjejalan mencoba menghalangi sinar rembulan. Bulan yang benar-benar indah... Aku melihat ada halo pelangi yang melindungi bulan dari awan yang mengepungnya, juga dari gelap malam... Tapi keindahan itu bukan hanya dari bulan, tapi keindahan itu dibentuk oleh banyak hal, oleh awan-awan kelabu yang berjejalan, oleh gerimis yang menggantung, juga oleh gelapnya malam... semua berpadu membentuk keindahan...

Sama hal nya dengan hidup ini, bukan hanya kebahagian yang menjadikan hidup yang indah, tapi ada banyak hal yang berpadu menjadi satu...

Ada lelah, ada sedih, ada bahagia, ada senyum, ada tawa, ada air mata, ada gelisah, ada sepi, ada canda, ada kebersamaan, ada penat, dan masih banyak lagi... Hal-hal itu lah, yang terkadang selalu ku maki dan keluhkan, justru hal-hal itulah yang membawa keindahan pada hidup. Hanya saja aku kadang terlalu silit untuk memaknainya...

Terimakasih malam, terimakasih gerimis, terimakasih senja, terimakasih bulan....

Selamat datang pagi.........

Senin, 02 April 2012

Gelisah dan Sepi

Malam terus berjalan...
cepat meninggalkan sisa hujan tadi sore,
Menjauh pergi, lari dari lembab yang dilemparkan senja...

Malam, hujan, senja...

Aku juga, mencoba lari, menjauh.
Dari kesepian ini..

Malam ini, kesepian ini benar-benar menghancurkanku. aku benar-benar merasa sendiri, terpojok pada sudut sebuah ruang yang tak ada siapapun di sana. Entah kenapa aku benar-benar merindukan keramaian, walaupun mungkin aku tak butuh itu. Entah lah, gelisah ini sangat keras menghantam hatiku.

Aku tak tau apa yang terjadi malam ini, mungkin karena malam ini terlalu tenang, hingga akhirnya aku terjerembab pada lubang kesepian. Atau mungkin aku memang belum berdamai pada kesendirian ini. aku tak tau, gelisah, tolong jangan ganggu aku malam ini...

Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini, ada banyak hal yang siap menjemput esok hari, gelisah.. pergi lah jauh-jauh...

Atau mungkin aku yang harus pergi, berlari menjauh... bukankah gelisah ini selalu saja menggenggam tanganku, ia selalu bisa memelukku, kapanpun ia mau.. gelisah, aku lelah..

Apa memang selama ini aku hanya terus berlari, bukan berdamai? dan ketika malam seperti ini datang, maka gelisah ini memeluk dari belakang, menghentikan lariku, menghentikan gerakku...

Atau mungkin aku selalu membohongi hatiku. Aku lebih mengedepankan logika, lalu tiba-tiba perasaan ini berteriak karena ia ingin pendapatnya didengar juga..

Logika dan Perasaan...

Wajah gadis dengan mata sayu, kenapa malam ini ia hadir, ketika gelisah memeluku dari belakang, menghentikan gerakku. Dan kau tiba-tiba menatap mataku, dengan mata sayu mu.. dan aku akan selalu mencoba memalingkan wajah...

Karena aku lebih memilih logikaku sekarang, meski perasaan ini selalu saja berteiak meminta didengar...

Esok pasti ada jalan lain yang bisa kutempuh, esok waktu akan membimbingku, aku hanya harus terus bertahan...

Dan aku masih ingin terus berlari, sendiri, bersama malam, bersama gelisah, bersama kesepian ini...
mengayuh putaran roda kehidupanku, hingga waktu menunjukan jalanku, membimbingku pada satu genggaman tangan...

Gelisah dan sepi, terimakasih untuk malam ini....