Selasa, 24 Maret 2015

Rutinitas

Bangun pagi pukul 04.00 > Mandi > Ibadah > Sarapan > Ngampus (pukul 06.0) > Jungkir Balik Menguras Otak > pulang asrama (pukul 16.00) > Istirahat > Ibadah > Makan malam > nggarap tugas > tidur. entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan segala rutinitas menjemukan ini. tapi, tak peduli aku mau atau tidak aku harus bisa melalui semua ini.

Semangat Pagi !!

Perubahan


Memasuki hari kedua liburan ini, asrama terasa lebih sepi lagi. Yah, mau bagaimana lagi, semua penghuni asrama pulang ke rumah masing-masing, hanya menyisakan beberapa penghuni dari luar jawa atau yang rumahnya jauh. Rumah ku sendiri bisa dikatakan tidak begitu jauh dari asrama tapi aku memilih untuk tetap tinggal di asrama saja. Selain karena mengistirahatkan tubuh yang lelah, tapi buatku rumah bukan hanya sekedar arti fisik. Lebih dari itu rumah adalah penghargaan untuk para penjelajah jarak, pengarung waktu.
Sore kemarin aku kembali mengunjungi sebuah tempat di kota kecil ini, tempat spesial yang amat bermakna. Tempat yang membuatku bertahan dalam kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang sebagian besar menjadi perabot rumah 14 inci.  Yah, di sinilah aku menghabiskan waktu masa-masa itu. Duduk dengan segelas kopi, menunggui senja, menghindari deru kereta, menatap hamparan sawah, dan mencoba mnepis ia dari benakku.
Aku tidak sendiri. Kemarin sore, aku mengunjungi tempat ini dengan seorang perempuan. Gadis ceria, begitu mungkin aku bisa menyebutnya. Jelas sekali ini bukanlah sebuah kencan, ini hanyalah obrolan antar sahabat. Yah, waktu telah menerbangkanku ke banyak tempat dan di tiap tempat-tempat itu aku menemukan beberapa sahabat baru yang dengan mereka aku siap untuk bersusah-susah maupun bersenang-senang.
Banyak yang kami bicarakan di tempat itu. Hal-hal yang mungkin terdengar terlalu idealis. Yah, tapi seperti inilah kami jika sudah bertukar pendapat. Seolah-olah kami sedang mewujud menjadi orang lain, bercerita banyak hal –tema berat yang kadang terlalu susah untuk diwujudkan. Yah, tapi rasanya sudah lama tidak ngobrol dalam obrolan sok dewasa ini.
Namun, satu yang agak berbeda, gadis ceria ternyata sudah agak berubah. Yah, setiap orang pasti berubah, hanya orang-orang yang tak mau belajar saja yang terlalu senang berada di zona nyamannya. Gadis ceria itu telah mewujud dalam bentuk baru. Yah, ia memang maih ceria, masih cerewet, masih gemuk, dan banyak hal yang masih sama. Tapi ia memiliki pemahaman baru tentang hidup, hal yang amat berharga dan tak mudah dilihat dari luar. Kini, ia tengah berjuang perlahan untuk menjadi seorang perempuan alim yang memposisikan Tuhan di atas segalanya. Aku benar-benar salut dengannya. Tapi aku tak kaget mendengarnya, ia memang memiliki jiwa seorang idealis, dan memang sudah sepantasnya ia meralisasikan idealisme-idealismenya. Dia berani untuk meninggalkan zona nyamannya, berani untuk mendobrak batasan-batasan diri kemudian membuat batasan-batasan diri yang baru untuk menjadi seorang yang baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena dengan batasan-batasan itulah jiwanya bisa membatasi diri dari kotornya hiruk pikuk dunia.
Aku sungguh malu mendengar ceritanya. Karena aku masih belum juga beranjak dari tempatku ini, tempat yang begitu banyak dosa dimana-mana. Aku masih belum lepas dari jeratan kesepian. Aku masih belum bisa mengendalikan jiwaku ini dan lebih sering harus menyadari kekalahanku akan nafsu di dalam hati.
Terimakasih gadis ceria untuk cerita-cerita yang telah dibagi. Maaf karena tak bisa menyajikan senja yang indah karena bukan kuasaku untuk mengusir gumpalan awan dilangit barat itu. Tapi, duduk di samping rel kereta dimana kereta melintas sangat cepat menghadirkan sensasi yang menyenangkan bukan? Mungkin suatu hari aku bisa menyajikan senja yang cantik atau mungkin bercerita tentang begitu spesialnya tempat ini buatku dan banyak cerita tentangku yang selama ini cuma kubagi dalam rumah 14 inci ini.
Kesepian-kesepian, bantulah aku untuk mewujud dalam bentuk baru sepertinya. Aku tak mau lari darimu dalam dekapan seorang perempuan. Karena orang-orang seperti itu jauh lebih kesepian dari pada aku yang sekarang.  Semoga dalam kesepian ini aku bisa memaknai aku, mengerti tentang batasan-batasan diri, dan mewujud kedalam bentuk baru yang konsisten. Memantaskan diri untuk sebuah hari dimana aku bisa bertemu kamu.
Sampai jumpa lagi senja!

Minggu, 15 Maret 2015

Mengenang Persahabatan Kita


Saat-saat paling menyenangkan dalam sebuah kesempatan adalah saat-saat ketika mengenang. Yah, mengenang apa saja, sebatas kau masih mampu mengingat setiap detailnya dengan jelas.  Bisa jadi kenangan manis masa kecil, atau mungkin juga kenangan pahit bertahun-tahun lalu. Ah, apapun itu, entah manis atau kah pahit sebuah masa lalu selama kau mampu mengenangnya dengan lapang dada kau akan menemukan semburat senyuman di sudut bibirmu. Dan pada akhirnya kau pun akan menyadari betapa kini kau telah mewujud kedalam bentuk yang baru yang berbeda dari masa-masa sebelum ini.

Namun terkadang, sebuah kenangan tak ada cukup ruang untuk disimpan dalam memori otak manusia yang penuh keterbatasan, apalagi untuk takaran otak sederhanaku ini. Karena itulah adakalanya sebuah kenangan diwujudkan dalam berbaris-baris tulisan absurb yang mungkin cuma bisa dimengerti oleh si penulis. Sama halnya dengan rumah 14 inci ini. Sekumpulan tulisan absurb tentang kehidupan seorang lelaki biasa yang mungkin juga tak akan berubah dalam skala besar menjadi seseorang yang luar biasa.

Ketika membaca tulisan-tulisan dalam rumah 14 inci ini pun terkadang akupun merasakan sensasi yang sama menyenangkan dengan saat-saat mengenang. membolak-balikan susunan kata dalam tulisan-tulisan absurb ini terkadang mengingatkanku akan peristiwa-peristiwa lampau yang sudah mulai menguap dari kepalaku. Namun adakalanya juga tulisan-tulisan absurb itu berhasil membenturkanku pada idealisme-idealisme masa muda yang semakin terkikis saja oleh jiwa-jiwa pragmatis seorang lelaki tua. Ah, padahal aku pun belum setua itu bukan?

Sama halnya untuk malam ini, ketika tanpa disengaja aku membaca postingan bertanggal 13 Maret 2013. Seperti ini redaksinya :

Segala yang telah dilalui, yang hari ini dilalui, yang akan dilalui di massa yang akan datang. Dalam keadaan apapun, baik suka maupun duka akan kita syukuri sebagai proses kehidupan yang membahagiakan. Kita berjanji untuk selalu saling menjaga sampai kapanpun dan apapun. Apapun yang menyebabkan perselisihan harus kita pikirkan dengan hati kita yang hebat dan kuat.

Tidak terasa sudah dua tahun dari aku menuliskan itu. Dari sepengingatku, itu adalah kata-kata ajaib yang dituliskan oleh si gadis kecil pada ulang tahun lelaki berkacamata. Samar-samar aku bisa mengingat kejadian di awal tahun 2013 lalu itu saat aku, si gadis kecil, dan si gadis polos diam-diam memberi kejutan ulang tahun untuk si pria berkacamata. Meskipun dengan persiapan yang apa adanya akhirnya malam itu menjadi cerita manis tentang persahabatan kami berempat.

Yah, itu sudah dua tahun yang lalu, dan rasa-rasanya semua kenangan itu sudah hampir memudar dalam sebuah distorsi waktu. Mungkin tanpa tulisan itu aku akan mulai lupa bahwa aku punya sahabat-sahabat terbaik yang pernah singgah mewarnai kehidupanku. Mungkin semua rutinitas dan rentangan jarak ini telah menjadi kabut tebal yang menutupi warna persahabatan kami.

Sungguh aku benar-benar merindukan saat-saat itu. Saat-saat kita tertawa bersama dalam canda, atau saat beberapa kalimat sakti yang sok dewasa meluncur deras dari ulut-mulut kita dalam sebuah malam di pinggiran jalan samping FT? Adakah kalian –gadis kecil, gadis polos, dan pria berkacamata- masih menyimpan rapi kenangan-kenangan itu itu?

Ah, aku benar-benar merindukan kalian. SAHABAT........

Jumat, 13 Maret 2015

Kembali Pulang

12 Februari 2014, tak terasa sudah satu tahun lebih aku tak mengunjungi rumah 14 inci ini. Kalau saja rumah 14 inci ini adalah sebuah bentuk fisik, pasti sudah tak karuan lah bentuknya. mungkin debunya sudah mengendap bersenti-senti. atau juga sudah tak terhitung lagi sarang laba-laba yang memenuhi setiap sudut plafonnya. tapi, yah namanya juga rumah imaji, tempat semua emosi mengendap, tak perlulah aku bersusah payah buat membersihkan rumah 14 inci ini.
Bukankah memang sebuah rumah tak melulu soal fisik? rumah buatku adalah sebuah tempat yang nyaman untuk berpulang. Tempat menumpahkan segala emosi yang memampat, keluh kesah tanpa arah. Dan ya, rumah 14 inci ini nyatanya sudah lama tidak menampung segala cerita selama setahun ini yang terlalu banyak bahkan untuk sekedar dibuat sebuah buku. Mulai dari perjuangan di tanah batas peradaban -Flores-, perjalanan-perjalanan yang sudah pasti tak pernah bisa dilupakan begitu saja, kesepian-kesepian, hingga perjalanan kisah cinta yang selalu saja sensitif -mungkin lain kali akan kuceritakan. Yang pasti kini aku telah dilemparkan oleh waktu kedalam sebuah pusaran baru yang jelas berbeda dari pusaran-pusaran sebelumnya. tapi, sudah pasti pusaran ini pun nantinya akan memampatkanku kedalam bentukku yang baru.
mudah-mudahan, rumah i14 inci ini masih sama nyamannya dengan dulu. Menjadi pendengar untuk cerita-cerita absurb yang kadang membuatku malu. kisah-kisah yang akan menjadi perabot manis di setiap sudutnya. saat malam, saat hujan, saat angin mendera, atau saat sepi kembali menelikung hati.
selamat datang lagi, yah, akhirnya aku kembali merasakan pulang setelah merentang begitu jauh jarak.

Dibawah ini aku sisipkan sebuah lagu berjudul Tentang Rumahku dari DDH

Tentang rumahku
Di ujung bukit karang yang berbatu
Beranda rumahku
Tumbuh tumbuhan liar tak tahu malu
Tentang rumahku
Berbagai macam musim telah kurengkuh
Jadi saksi bisu
Cerita mimpi indah di masa lalu
Yang terlahir dari sebuah gerbang waktu
Yang menjadi tembok kokoh mengitari rumahku
Adakah yang lebih indah dari semua ini
Rumah mungil dan cerita cinta yang megah
Bermandi cahaya di padang bintang
Aku bahagia
Tentang rumahku
Tak kan goyah walau badai mengamuk
Seperti pohon jati
Akarnya tertancap di poros bumi
Sewindu merindu
Kembali pulang dengan sebongkah haru
Senyum menyambut
bagai rindu kumbang pada bunga di taman